Share

ISTRIKU YANG MULAI MANDIRI
ISTRIKU YANG MULAI MANDIRI
Penulis: Sity Mariah

Bab.1

Istriku Yang Mulai Mandiri (1)

****

"Dek, kamu beli motor?" tanyaku pada istriku.

"Iya Mas," jawabnya singkat.

"Berapa Dek?" tanyaku lagi.

"3 juta Mas." jawabnya membuatku kaget.

"Ha?! 3 juta? Motor harga 3 juta? Motor apa yang dijual dengan harga segitu? Jangan-jangan motor rusak, Dek?" cecarku. 

"Enak aja kamu, Mas! Sebelum deal aku cek dan coba dulu motornya, masih bagus kok," sangkalnya. 

"Bisa aja kan sekarang bagus, eh besok udah hancur, Dek," cicitku.

"Apa sih kamu, Mas. Aku emang beli motor bekas dan murah bukan berarti motor itu rusak, lagian dijual segitu karena si penjual lagi butuh banget uang!" sengitnya tak terima dengan ucapanku.

"Emang kamu beli motor buat apa toh dek? Motor Mas kan ada malah masih bagus." 

"Loh, ya 'kan aku butuh buat kepasar mas! Males aku ngandelin Mas terus."

Aku mendecak. "Dek, Dek, kalau ada uang kenapa gak kamu tabung aja Dek, ngapain dibelikan motor?"

"Ya ampun Mas, aku beli motor pake uangku sendiri! Gak minta ke kamu!"

"Emang berapa sih keuntungan kamu jualan? Mas gak percaya bisa sampai beli motor, atau jangan jangan kamu pinjam uangnya sama si Mila?" tuduhku. Aku tak percaya, istriku yang baru 8 bulan berjualan aneka jajanan bisa membeli motor, walaupun bekas.

"Ah terserah kamu, capek ngomong sama kamu, Mas!" ucapnya. Lalu dia masuk ke dalam kamar. 

Begitulah istriku, Farida. Akhir-akhir ini sikapnya mulai berbeda. Ya, dia mulai dingin padaku. Padahal sejak awal aku mendekatinya, ia adalah perempuan yang manja dan lemah lembut. Setelah menikah pun, ia masih sangat manja. Jika saat mendekatinya dulu, aku suka dengan sikap manjanya, maka setelah menikah aku merasa bosan.

Ya, setelah menikah, dia selalu memintaku untuk membantu pekerjaan rumah. Seperti menjemur pakaian, menjemur bed cover, memasang tabung gas, mengangkat galon. Saat tidur pun, ia selalu ingin aku peluk. Ia akan marah, ketika aku bermain PS sampai tengah malam dan tertidur di ruang televisi. 

Ia selalu memintaku untuk memijit kakinya sebelum tidur, karena katanya pijitanku lumayan enak. Sebelum tidur, ia selalu ingin ditemani mengobrol, apapun yang terjadi ia selalu ceritakan padaku, meski aku tidak menanggapi nya karena malas. Namun, akhir-akhir ini, tepatnya setelah ia berjualan, ia seperti berubah. Ia bukan lagi Farida-ku yang dulu.

Bahkan setelah berjualan, ia tidak lagi mengeluh uang yang kuberikan sedikit dan sudah habis sebelum waktunya aku gajian. Aku bekerja di pabrik garmen sebagai staff administrasi. Gajiku sebesar 4 juta perbulannya dan aku memberikan 1,5 juta pada istriku. Sisanya kupegang sendiri.

Sebelum berjualan, istriku selalu mengeluh kalau uang yang aku berikan tidak cukup sampai satu bulan. Sampai ia ingin bekerja lagi sebagai operator jahit di pabrik garmen. Tentu saja aku melarang keras, aku masih mampu untuk mencari uang, buat apa dia ikut-ikutan bekerja?

Akhirnya ia memutuskan berjualan aneka jajanan di teras rumah. Entah apa saja yang ia jual, sekarang pelanggannya sudah banyak. Kuakui tangan istriku itu memang pandai mengolah makanan. Masakan buatannya selalu enak di lidahku.

Farida masih belum keluar dari kamar, padahal biasanya jika aku pulang kerja begini, ia selalu menyiapkan teh manis hangat. Tapi ini, air putih saja tak diberikan. Aah, dengan malas aku melangkah ke dapur untuk mengambil air putih.

Saat menuangkan air galon, aku terkesiap. Dispenser baru? Dispenser dengan galon bawah. Aku yakin, tadi pagi masih dispenser lama. Aku meninggalkan dispenser dengan galon kosong, karena aku yang menghabiskan airnya. Jika harus membelinya airnya dulu, aku bisa terlambat ke pabrik. Jadi, aku biarkan saja tadi pagi.

Aku lalu memperhatikan sekeliling dapur, lagi-lagi aku terkesiap. Bagaimana tidak? Di meja penyimpanan terdapat 2 kotak teh celup, 2 kemasan gula pasir, 2 kemasan minyak goreng ukuran 2 liter, beras ukuran 5 kilo, bumbu dapur semua lengkap. Aku benar-benar dibuat melongo. Darimana Farida bisa membeli semua ini?

Gegas aku menyusul Farida ke dalam kamar. Ternyata dia sedang duduk di kasur sambil memainkan ponsel. Lantas aku duduk di depannya. "Dek, kok gak siapin teh manis hangat buat Mas, sih? tanyaku.

"Buat sendiri saja, semua sudah lengkap kok," jawabnya. Masih menatap ponselnya.

"Gak, Mas capek, baru pulang, kamu dong layani Mas, Dek!" perintahku.

"Aku juga capek, Mas! Layani banyak pembeli," jawabnya tak mau kalah.

"Oh, ya, Dek, yang beli dispenser kamu?"

Dia hanya mengangguk.

"Uang darimana, Dek?"

"Untung jualan," jawabnya tanpa beralih dari layar ponsel.

"Terus … yang beli keperluan dapur, kamu juga?" Aku bertanya pelan.

"Kalau bukan aku, siapa yang beli?"

"Emang keuntungan jualanmu banyak, ya, Dek?"

"Gak perlu tahu!"

"Loh, ya, Mas kan pengen tahu aja, Dek. Sekarang kamu gak pernah ngeluh lagi dengan uang yang Mas kasih."

"Ngeluh buat apa, Mas gak peka!"

"Ya … bukan gak peka, tapi kan Mas sudah kasih sesuai dengan yang diperlukan, Dek. Mas saja, dulu saat masih sendiri sebulan cuma pegang 500 ribu, Dek. Kamu hanya perlu mengatur pengeluarannya saja," ucapku menjelaskan.

"Kalau duitnya gak ada, gimana ngaturnya, Mas? Kamu kira, listrik jerit-jerit bisa diem sendiri? Air galon kosong, bisa penuh sendiri? Beras, sabun mandi, sabun cuci, semua gak dibeli apa, Mas?

"Gak ada gimana sih, Dek? Tiap bulan sudah Mas kasih."

"Aku kan sudah sering bilang, uang yang Mas kasih itu gak cukup sampai satu bulan! Bulan ini, Mas belum kasih aku uang. Ini sudah tanggal 10, Mas. Padahal, Mas gajian setiap tanggal satu! Jangan mulai melupakan kewajibanmu, Mas!"

"Itu karena kamu gak bisa ngaturnya, Dek. Sekarang buktinya kamu bisa, Dek! Berarti sekarang kamu sudah pandai mengatur keuangan!"

"Aku memang pandai mengatur keuangan, Mas! Aku tahu mana yang dibutuhkan, mana yang tidak! Itupun karena uangnya ada! Kalau tidak ada, aku mau mengatur apa? Daun? Kertas?" Farida menjawab dengan menggebu-gebu. Kemudian dia turun dari kasur.

"Mas, aku titip warung. Mau antar pesanan ke bengkel Jana!" pintanya. Istriku itu lalu keluar dari kamar.

Aku menyusulnya. "Memang Jana pesan apa?"

"10 Roti bakar."

"Biar Mas saja nanti yang antar."

"Gak usah, Mas belum mandi. Aku selalu kena omel pelanggan, karena Mas terlalu lama dalam mengantar pesanan. Mas kalau mandi bisa sampai sejam, entah apa yang Mas bersihkan. Sudah, aku pergi, Mas. Assalamu'alaikum!"

"Waalaikumsalam." Farida pergi dengan motor bekasnya. Biasanya ia menyuruhku yang mengantarkan pesanan. Setelah ada motor, ia bisa lakukan sendiri. Baguslah, jadi aku bisa mandi dengan santai.

Saat aku hendak masuk, ternyata ada yang ingin membeli.

"Bang, beli sosis goreng!" ucapnya menyodorkan uang dua ribu.

"Mbak Rida nya gak ada. Abang gak bisa buatnya!" jawabku.

"Tinggal di goreng, ini sosisnya Bang!" perintahnya. Dia menunjukkan sosis yang sudah ditusuk.

Mau tidak mau aku layani saja, sepertinya dia sering jajan ke sini. Selama berjualan, aku tidak pernah membantu istriku melayani pembeli. Aku hanya mengantarnya ke pasar dan kadang mengantarkan pesanan. Makanya aku tidak tahu jika ada yang membeli seperti ini. Tapi aku coba saja, biar dia cepat pergi, dan aku bisa segera mandi. Setelah selesai, akhirnya dia pergi.

Gegas aku ke kamar mandi. Begitu sampai di kamar mandi, aku terkejut. Ada stok pasta gigi, sabun mandi, sampo, deterjen, pewangi pakaian, pencuci piring. Cepat kuambil wadah lulurku, aah tinggal sedikit. Kenapa Farida tidak membelinya sekalian? Meski lelaki, aku sangat merawat kulit dan tubuhku. Makanya Farida bilang, kalau mandiku lama. Sebab, aku tidak suka tubuhku bau asap dan keringat setelah seharian bekerja. Aku kemudian memakai lulur dan memakai sampo.

"Mas Risfaaannnnn!!!"

Saat sedang asik memakai sampo, suara teriakan dari luar mengangetkanku. Hingga tangan yang penuh busa mengenai mataku. Duh, kenapa Farida ini?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nabila Salsabilla Najwa
Bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Anjing lu ksh bini cm 1,5jt doank lu yg lbh banyak tp nuntut bini bs ngatur duit. W cekek lu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status