Share

Bab.7

Sore ini aku pulang dengan membawa oleh-oleh dari Malik yang baru pulang dari kampungnya. Saat sedang mengendarai motorku dan akan berbelok menuju gang masuk rumahku, di sebrang sana aku melihat istriku sedang mengobrol di bengkel dengan Jana.

Aku menepikan motorku dan memperhatikan mereka dari sebrang jalan. Kenapa Jana akrab sekali dengan Farida? Begitu juga istriku itu. Entah apa yang mereka obrolkan sampai Farida tak henti tertawa. Tawa Farida yang akhir-akhir ini sudah tidak pernah lagi kulihat.

Farida lalu melihat jam di tangannya, setelah itu ia seperti berpamitan pada Jana, kemudian ia mengendarai motor bekasnya. Jana tak henti menatap kearah perginya Farida dan sekilas kulihat ia tersenyum. Sampai punggung Farida tak terlihat lagi barulah Jana masuk ke dalam bengkelnya. Aku lalu melanjutkan perjalanan ku pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah, pintu rumah di kunci. Warung Farida pun di tutup. Terpaksa aku menunggu di luar karena pasti Farida bawa kuncinya yang hanya satu. Aku duduk di motorku lalu menoleh ke rumah Mila yang berhadapan dengan rumahku. Pintunya tertutup sepertinya ia belum pulang bekerja. Farida tak suka aku melarangnya dekat dengan Mila.  

Setelah 10 menit Farida pun pulang. Ia lalu menyimpan motornya di dekat motorku.

"Dek, kamu darimana?" tanyaku memulai pembicaraan. Melihatku ada di atas motor ia sama sekali tak menyapa.

"Ngantar pesanan," jawabnya. 

Ia lalu membuka kunci pintu rumah dan masuk. Aku pun segara masuk dan bergegas untuk mandi.

Selesai mandi dan berganti pakaian aku menuju dapur. Begitu membuka tudung saji, terdapat dua potong ayam goreng dan satu mangkuk sayur asam. Dari tampilannya, aku yakin, ini adalah masakan buatan warung makan di depan sana. Aku lalu menyusul Farida yang sedang membuka kembali warungnya.

"Dek, kamu beli sayur buat makan?"

"Iya."

"Kok gak masak aja, Dek?"

"Gak sempat, aku repot banyak yang beli dan banyak pesanan. Masakan tadi pagi 'kan Mas yang habiskan karena dibekal ke pabrik."

"Alah, alasan saja kamu tuh, Dek. Serepot apapun kalau kamu niat masak buat suami, ya pasti masak, gak beli!"

Seketika Farida menghentikan gerakan tangannya yang sedang membereskan meja yang berantakan. Ia lalu mendekat dan menatapku sengit.

"Mas bilang, aku banyak alasan? Mas, tuh yang banyak omong! Tinggal makan aja banyak protes, segala harus masak jangan beli, kalau gak mau gak usah di makan. Biar aku yang makan!"

"Tinggal masak lagi, Dek. Apa susahnya?"

"Apa susahnya? Mas pikir masak itu gak pakai tenaga?! Mas sih enak, pulang kerja atau berangkat kerja tinggal makan dan gak mau tau kerepotanku."

"Itu 'kan sudah tugasmu sebagai istri, Dek, yaitu melayani suami!"

"Apa itu tidak termasuk melayani, Mas? Nasi dan sayur sudah tersedia, Mas tinggal makan!"

Farida lalu masuk ke rumah. Aku menghela nafas. Susah sekali Farida dinasehati. Benar-benar sudah berubah Farida ini. Dulu, apapun yang aku katakan pasti ia turuti. 

Dulu aku sering mengatakan, kalau aku lebih suka makan masakannya. Dan Farida menuruti, tak pernah ia membeli masakan di warung makan jika aku tak memintanya. Tapi sekarang? Awas saja kalau nanti dia mengeluh uang bulanan dariku tidak cukup. Dia sendiri yang menghamburkan dengan membeli masakan sudah jadi di warung makan. Padahal masakan yang dia buat selalu enak.

Aku teringat oleh-oleh dari Malik masih digantung di motor. Lekas aku mengambilnya. Kemudian masuk ke rumah dan mengeluarkan oleh-oleh pemberian Malik.

Ada dodol, rengginang, cochodot, dan makanan lain khas dari kampungnya, Garut. Farida lalu keluar dari kamar.

"Dek, ini ada oleh-oleh dari Malik, katanya ada salam buat kamu dari kampung."

Farida duduk di sebelahku dan mengangguk. Ia lalu memakan oleh-oleh pemberian Malik. Tumben sekali Farida tak cerewet saat ada oleh-oleh dari kampungnya begini. Biasanya ia akan merajuk, ia ingin juga pulang ke kampungnya dan aku harus ikut. Tapi kali ini, ia diam saja sambil menikmati makanan khas dari kampungnya. Seingatku, ia pulang kampung adalah 8 bulan yang lalu, sebelum memulai jualan.

Baguslah kalau Farida tidak merengek ingin pulang kampung. Karena aku tak kuat hawa dinginnya di pagi hari. Membuatku ingin tidur terus menerus. Tapi aku malu pada kedua mertuaku kalau tidur terus, sedangkan untuk bangun aku malas karena tak kuat dinginnya.

"Dek, warungmu biar Mas yang tunggu. Kamu belanjalah, Mas mau makan masakan kamu. Mas 'kan sudah kasih uang bulanan," perintahku.

Farida menghentikan makannya dan memutar bola mata malas. "Belanja apa jam segini? Warung sayuran Bu Amih sudah gak ada apa-apa sore begini, Mas!"

"Mas ingin kamu masak sop buntut, Dek. Kalau di warung Bu Amih pasti gak ada, cari ke pasarlah, Dek" ucapku.

"Mas aja sana yang belanja! Sekalian tuh ke pasar Induk, sore begini 'kan pasar Induk ramai," jawabnya.

"Ya kamulah, Dek. Mas capek pulang kerja, kamu masak dulu, gak apa-apa biar nanti Mas makannya malam saja," perintahku lagi.

"Terus, Mas pikir aku jualan gak capek apa? Ke pasar Induk butuh 30 menit terus aku harus masak sop buntut? Makan yang sudah ada, apa susahnya sih, Mas?"

"Mas mau makan masakan kamu, Dek! Awas nanti kamu dosa 'loh gak nurut sama suami!"

"Biarinlah aku berdosa, tinggal minta ampun sama Allah. Ada juga, Mas yang berdosa karena memaksakan kehendak pada istri Mas yang sudah lelah! Aku di rumah gak cuma rebahan aja, Mas. Aku jualan, banyak pembeli banyak pesanan, aku capek gak sempat masak. Makanya aku beli masakan yang sudah jadi di warung makan. Mas kayak gak pernah makan masakan jadi saja!" jawabnya santai. Kemudian ia lanjutkan memakan oleh-oleh pemberian Malik.

Aku mengernyit. Ya ampun, kenapa sekarang pandai sekali Farida membalikan ucapanku? Dia juga sudah tak takut berdosa sepertinya karena membantah perintah suami.

"Mas maunya, makan masakan kamu, Dek. Ngerti tidak?" tanyaku.

"Aku capek buat masak. Mas, ngerti tidak?" ucapnya balik bertanya.

"Oh, ya biarkan saja, biar Mas kelaparan dan kamu akan lebih berdosa, Dek! Karena sudah membuat suamimu kelaparan!"

Farida menghela nafasnya. Ia lalu pergi ke dapur. Bukannya menurut untuk belanja ke pasar. Ah, Farida sudah tak mendengar perintahku sekarang ini. Perutku memang belum terlalu lapar, makanya aku ingin Farida memasak dulu dan aku akan menikmati masakannya nanti malam. Tapi ia tak menggubrisnya sama sekali.

Aku pun menyusulnya, ternyata Farida sedang makan. "Dek! Kok, malah makan?"

"Aku lapar, jadi ya, makan!"

"Kamu gak dengerin perintahnya Mas, ya, Dek!"

"Emangnya, Mas dengerin aku?" Farida menjawab setiap pertanyaanku dengan santai.

Aku mengusap wajahku. Lalu aku melirik meja makan, makanan yang tadi terhidang sudah habis. "Kamu habiskan, Dek?"

Farida mengangguk. "Mas 'kan gak mau makan masakan yang kubeli."

"Terus Mas makan apa?"

Farida mengangkat bahu. Setelah selesai makan, ia mencuci tangannya dan melengos keluar.

Ah, kesal sekali!

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Hebat amat msh mau bertahan kayak gitu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status