Sore ini aku pulang dengan membawa oleh-oleh dari Malik yang baru pulang dari kampungnya. Saat sedang mengendarai motorku dan akan berbelok menuju gang masuk rumahku, di sebrang sana aku melihat istriku sedang mengobrol di bengkel dengan Jana.Aku menepikan motorku dan memperhatikan mereka dari sebrang jalan. Kenapa Jana akrab sekali dengan Farida? Begitu juga istriku itu. Entah apa yang mereka obrolkan sampai Farida tak henti tertawa. Tawa Farida yang akhir-akhir ini sudah tidak pernah lagi kulihat.Farida lalu melihat jam di tangannya, setelah itu ia seperti berpamitan pada Jana, kemudian ia mengendarai motor bekasnya. Jana tak henti menatap kearah perginya Farida dan sekilas kulihat ia tersenyum. Sampai punggung Farida tak terlihat lagi barulah Jana masuk ke dalam bengkelnya. Aku lalu melanjutkan perjalanan ku pulang ke rumah.Sesampainya di rumah, pintu rumah di kunci. Warung Farida pun di tutup. Terpaksa aku menunggu di luar karena pasti Farida bawa kuncinya yang hanya satu. Aku
Malam ini, terpaksa aku keluar dengan motorku. Aku akan membeli nasi goreng kesukaanku saja yang tempatnya agak jauh dari rumahku. Farida benar-benar mengesalkan! Suami minta dimasakin tak digubris sama sekali. Makanan yang dibelinya pun, ia habiskan sendiri.Kalau begini, pengeluaran malah bertambah. Lalu untuk apa kemarin kuberikan uang bulanan. Apa dia tak takut berdosa pada suami? Benar-benar sudah berubah Farida sekarangPedagang nasi goreng spesial kesukaanku ternyata belum ramai pembeli, karena sekarang baru jam 7 malam. Aku memesan satu nasi goreng untuk makan ditempat. Rasanya malas untuk pulang. Biarlah nanti aku pulang larut malam. Biar Farida sadar, kalau dia sudah benar-benar keterlaluan.Lihat saja, pasti dia akan menelpon dan mengirim pesan berkali-kali agar aku cepat pulang. Biarkan Farida sadar, kalau aku sedang marah padanya."Risfan!" Seseorang memanggil namaku, dari suaranya aku sangat hafal itu suara siapa.Aku lalu menoleh, benar dugaanku. Itu suara Malik. Ia lal
Kulihat jam dinding di kamar kontrakan Malik, menunjukan pukul setengah 11 malam. Kurogoh ponsel dalam saku celana yang sengaja aku silent. Aku ingin tahu, berapa kali Farida menghubungi untuk menyuruhku segera pulang.Aku menekan tombol kunci pada ponselku. Lalu mengaktifkan data selulernya. Hah? Aku membelalak. Apa ponselku rusak? Aku lalu mengibaskan ponselku di udara, mungkin jaringan di kontrakan Malik jelek. Aku mencoba keluar dari kamar kontrakan Malik. Kulihat jaringan juga stabil.Arrghhh … kenapa tidak ada satu pun chat dari Farida? Panggilan tak terjawab juga tidak ada. Aku mengusap wajahku dengan kasar … huh. Tidak mungkin! Tidak mungkin Farida mendiamkanku seperti ini. Mana berani Farida tinggal di rumah sendirian?Aku hafal betul istriku, ia tidak berani tinggal di rumah sendirian jika malam hari. Farida itu perempuan manja dan penakut. Jika aku belum pulang, dia pasti sudah mengirimku pesan berkali-kali. Tapi kenapa sekarang tidak?"Ris, mau kemana?" Malik memanggil dar
Jam 10 aku baru selesai mandi. Aku duduk lemas di kursi meja makan. Di atas meja makan sudah tersaji makanan yang kemarin ingin sekali aku makan. Sop buntut. Ya, satu panci sedang sop buntut sudah Farida masak. Namun, aku tak berselera. Aku merogoh ponsel di saku celana jeans, lalu cepat mengaktifkan mode pesawat. Jangan sampai atasanku melihatku aktif di sosial media, sedangkan aku tak memberi kabar apapun hari ini tak masuk kerja.Tiba-tiba perutku meminta haknya untuk diisi. Aku lalu mengambl sedikit nasi dari magic com ke atas piring dan menuang sop buntutnya, itupun hanya sedikit.Aku lalu makan dengan tidak berselera. Masakan Farida yang selalu enak di lidahku, jadi tak terasa karena pikiranku gusar begini. Biasanya, aku paling lahap makan dengan sop buntut.Selesai makan, aku masih di meja makan. Tidak buru-buru beranjak. Aku bingung harus apa. Tiba-tiba Farida masuk ke dapur sambil membawa tabung gas melon. Ia lalu memasangkan regulator pada tabungnya.Cetrek! Kompor kembali
Sudah jam delapan malam. Aku duduk selonjoran sambil bersandar pada sandaran kasur di dalam kamar. Saat aku keluar dari dapur tadi, kudapati Farida sedang menyetrika pakaian sambil menyalakan televisi. Ditemani segelas minuman coklat dan biskuit.Aku mengambil ponselku dan mulai mengaktifkan datanya. Muncul pesan dari Malik.[Ris][Bro][Bapak lu ngamuk bro!]Bapak yang Malik maksud ialah Pak Mulyo, Kepala Administrasi, atasanku. Pastilah ngamuk, pekerjaan kemarin harus selesai hari ini aku malah tidak masuk. Hanya ada pesan dari Malik, tidak ada pesan apapun dari Farida. Bahkan sekadar menanyakan aku kemana saja, tidak.Aku lalu membuka galeri, melihat lagi foto-fotoku tadi siang. Bagus. Ingin sekali aku meng-uploadnya di status WhatsApp atau sosmed yang lain, tapi nanti bisa ketahuan kalau siang tadi aku pergi.Aku lalu berpindah ke aplikasi berhuruf F, ada satu pesan masuk. Dari akun bernama 'Mey Rindu'.Degh.Seketika hatiku berdegup. Apa mungkin pesan dari Rindu. Tapi seingatku,
Jam istirahat, aku makan siang di pantry area. Setelah menikah dengan Farida, aku selalu membawa bekal, tidak pernah lagi membeli makan di kantin pabrik. Aku menatap makananku tak bersemangat. Hilang nafsu makanku setelah diceramahi panjang lebar Pak Mulyo tadi."Ngapa itu muka, kusut bener!" ucap Santo yang datang bersama Malik. Mereka duduk di hadapanku.Sama sepertiku, Santo juga membawa bekal. Tapi kadang-kadang, ia masih suka jajan di kantin. Sedangkan Malik, dia kadang menitip masakan jadi pada Santo. Atau membeli makan siang di kantin pabrik. Begitulah nasibnya yang masih bujangan."Diamuk bapaknya, To!" Malik menjawab cepat."Gara-gara?" Santo bertanya penasaran."Kemaren gak masuk," jawab Malik."Gemblung! Kemaren kerjaan lagi banyak malah gak masuk. Rasain! Pantesan kemaren gue gak liat," ledek Santo.Aku mendecak. Bukan prihatin dengan keadaan temannya, malah asik meledek. Sial.Aku tak menanggapi mereka, hanya mengaduk-aduk makanan yang ada ada dalam wadah bekal.Santo me
"Dek, Bu RT mau apa malam-malam kemari?" Aku bertanya pada Farida. Ia sedang melepas kerudungnya di depan cermin meja rias. Sementara aku sedang bersandar di atas kasur."Oh, besok pagi aku diminta masak, cucunya mau syukuran ulang tahun." Farida menjawab sambil menyisir rambutnya yang hitam tebal."Cucunya yang mana?""Alisa.""Anaknya si Fahri?Farida mengangguk."Berapa tahun emangnya?""Satu tahun.""Dek, dulu si Fahri nikahnya beda seminggu dengan pernikahan kita. Tapi dia sudah lebih dulu punya anak.""Ya, udah waktunya, Mas.""Kita kapan ya, Dek, punya anaknya?"Farida tidak menjawab, masih menyisir rambutnya karena memang panjang. Ya, sudah dua tahun aku dan Farida menikah namun belum ada tanda-tanda Farida hamil."Dek …""Hmmm."Aku beranjak ke bibir ranjang, duduk di belakang Farida yang masih di depan cermin rias."Tanggung jawab, Dek," ujarku.Seketika Farida memutar badannya. "Tanggung jawab apa?"Aku menunjuk bibirku. "Nih!"Farida mengulum senyumnya. Kemudian ia berbali
Aku sampai rumah jam tujuh malam. Selesai mandi dan makan malam, kini aku duduk sendirian di atas kasur dalam kamarku. Farida sedang menonton televisi. Entah apa yang dia tonton, sampai tertawa-tawa.Pikiranku teringat kembali dengan kejadian tadi dengan Rindu. Ia menangis sesenggukan sambil memelukku, tapi tidak mengatakan apapun. Terkadang, wanita adalah makhluk yang paling sulit dimengerti. Mereka selalu mengatakan kalau lelaki adalah makhluk yang tidak peka. Mereka, para wanita, selalu ingin dimengerti oleh lelaki tanpa mereka katakan apa maunya.Mereka inginnya lelaki mengerti tanpa mereka ucapkan apa keinginannya. Apa mereka pikir, lelaki itu punya kemampuan menembus dan membaca hati wanita?Karena Rindu hanya terus menangis tanpa mengatakan apa pun, terpaksa aku mendorong tubuhnya agar tidak terus-menerus memelukku. Setelah berhasil melepaskan pelukannya, aku lalu menaiki motorku. Aku tinggalkan dia sendirian yang masih duduk.Hingga dia berteriak memanggilku yang berlalu de