Share

Bab.6

Hari ini aku bangun terlambat. Saat terbangun tadi, kulihat sudah jam setengah 8. Sudah tidak mungkin lagi aku berangkat ke pabrik. Mungkin semalam makanku terlalu banyak, sampai aku tidur terlalu nyenyak. Mungkin juga Farida sudah membangunkan ku, tapi karena tidurku kadang seperti kerbau, maka susah sekali dibangunkan.

Aku lantas menyetel televisi sambil menikmati segelas susu jahe. Farida sudah sibuk di warungnya. Membersihkan meja dan kompor, serta menyiapkan bahan untuk berjualan nanti.

Melihatku bangun kesiangan seperti ini, biasanya Farida akan menyuruhku membantunya. Mengupas bawang, memblender bumbu, merebus tulang ayam, menyapu, mengepel, atau apa saja yang menurutku bukan pekerjaan lelaki.

Tapi tidak pagi ini, melihat ku bersantai di depan televisi begini, ia tidak manja lagi kepada ku. Ia justru sibuk sendirian.

Aku mengucek siaran televisi, tidak ada yang seru untuk ditonton.

"PAKET!" Terdengar teriakan pengirim paket. Sepertinya paket yang kupesan tiba hari ini.

"Mas, paket," ucap Farida. Ia menyodorkan bungkusan paket padaku.

Aku menerimanya. "Iya, Dek."

"150 ribu, Mas," sambungnya.

"Belum dibayar, Dek?"

"Belumlah! Mana uangnya, Mas? Biar aku berikan pada kurirnya," ujar Farida.

"Mmm … pakai uangmu dulu, Dek,"

"Apa? Itukan paket pesanan, Mas. Kok aku yang bayar?"

"Sebentar saja, Dek. Nanti Mas ganti uangnya! Mas belum ambil uang di ATM."

"Ihh!" Farida menghentakkan kakinya dan masuk ke kamar. Tak lama ia keluar lagi dan membayar uang paketnya.

Cepat ku buka bungkusan paket yang ku terima barusan. Isinya kaos polos berwarna navy berlengan panjang. Pas, sesuai dengan foto. Aku langsung menuju kamar dan memakainya.

Aku mematut diri di depan cermin. Pas sekali baju yang kupesan ini di tubuhku. Wajahku tampan. Hidung mancung. Kulitku juga bersih. Beruntunglah Farida mendapatkan suami rupawan sepertiku.

"Dek, Mas ke ATM dulu!" pamitku pada istriku. Ia sedang memainkan ponselnya di kursi ruang tamu.

"Hemmm," jawabnya malas.

***

Aku keluar dari ATM yang berada di dekat tempat perbelanjaan. Lalu berjalan menuju parkiran motor. Seketika, aku melihat seseorang yang amat aku kenali.

Perempuan memakai blouse lengan pendek dan celana jeans. Rambutnya di kuncir sehingga memperlihatkan leher jenjangnya. Ia baru saja keluar dari tempat belanja. Aku memperhatikannya, di tangannya terdapat dua kresek putih besar. Ia lalu memainkan ponselnya, sepertinya sedang memesan taksi online.

Aku masih memperhatikannya dari tempat parkir. Tak berselang lama, sebuah mobil putih mendekatinya. Kemudian ia memasukkan belanjaannya ke dalam mobil dan ia pun turut masuk. 

Mobil kemudian melaju, lekas aku mengikutinya dari jarak aman. Setelah dua puluh menit, mobil putih tersebut berhenti di pinggir jalan. Perempuan tadi lalu turun. Ia lalu masuk ke dalam sebuah gang yang hanya bisa dilewati motor.

Ingin aku mengikutinya, tapi aku bisa ketahuan. Lebih baik aku pulang saja.

***

Sesampainya di rumah, kulihat Farida sedang ada pembeli. Aku lalu masuk, duduk di kursi ruang tamu dan menyandarkan punggungku. Seketika ingatanku melayang pada perempuan yang tadi ku ikuti.

Rindu. Seorang perempuan yang sudah memporak-porandakan hatiku begitu hebat. Perempuan yang ku coba lupakan dengan berbagai cara. Perempuan yang meninggalkanku di acara lamaran tiga tahun lalu. Perempuan yang sudah membuatku malu.

Kenapa dia bisa ada di kota ini lagi? Bukankah dia sudah pindah jauh dari kota ini? Di saat aku sudah bisa melupakannya, dia malah muncul sesuka hatinya. Seketika hatiku merasakan nyeri yang disertai debaran. Menyebalkan!

Tiba-tiba, Farida sudah duduk disebelah ku.

"Dek, ini uang bulan ini." Ku serahkan 15 lembaran uang merah.

Farida menerimanya. "Mas, kok masih segini? Uang ganti paket tadi mana?"

"Nanti itu Mas ganti, tenang saja!" ucapku.

"Sekarang, Mas! Itu uang buat puter modal!" ucapnya menekan.

"Ya, ampun, Dek. Uangmu masih banyak, Mas pinjam juga cuma 150."

"Itu uang buat belanja, Mas! Lagian Mas jadi lelaki kok seneng banget sih pesen online? Aku saja yang perempuan begini, jarang sekali belanja online begitu!"

"Ya, gimana lagi, Dek? Barangnya bagus-bagus, sesuai dengan yang di foto."

"Ya, sudah, sini ganti uangku, Mas."

"Aduh, Dek! Mas di ATM cuma ambil segitu, kamu gak percaya?" Aku berdiri, merogoh saku celana jeans ku. 

"Mas nyebelin!" gerutunya. 

Farida hendak beranjak dari duduknya. Cepat aku mencegahnya. "Sebentar, Dek!"

"Kenapa lagi Mas?" tanyanya.

"Mas mau bicara."

"Bicara apa, Mas? Mas mau tambahin uang bulanan?"

"Bukan."

"Terus apa?"

"Gini, Dek. Mas minta, kamu jangan deket-deket lagi sama si Mila, Dek"

"Maksudnya, Mas?"

"Ya, maksud Mas, kamu cari temen yang lain. Kan ada Naira, Defi, mending kamu deketin mereka, jangan Mila, Dek."

"Memang kenapa sih, Mas? Mila udah anggap aku kayak adiknya sendiri. Mila itu baik, aku kenal Naira, kenal Defi, itu juga karena awalnya dikenalin sama Mila, Mas!"

"Memang kamu gak merasa aneh sama dia?"

"Aneh gimana sih, Mas?"

"Ya, dia kan lebih tua dari kamu, Dek. Tapi sampai sekarang, dia belum menikah. Apa kamu gak merasa aneh, Dek?"

"Aku gak ngerti maksud, Mas! Selama ini aku dan Mila berteman baik, Mas. Kenapa tiba-tiba, Mas minta aku jauhin Mila?"

"Dek, Mila itu orangnya gampang marah. Makanya sampai sekarang, dia itu belum nikah juga. Lelaki saja takut mendekatinya, semua temannya perempuan. Mas belum pernah melihat teman laki-laki main ke rumahnya. Kayaknya Mila … gak suka lelaki, Dek!"

"Astaghfirullah! Mas kalau ngomong jangan sembarangan! Enak saja menilai orang seperti itu! Mila itu perempuan baik-baik, Mas. Meskipun Mila memang mudah sekali marah, tapi sebenarnya dia baik. Mas saja yang tidak mengenalnya lebih jauh!"

"Untuk apa Mas mengenalnya lebih jauh, Dek? Mas itu lebih dulu tahu Mila daripada kamu. Mas tahu orang seperti apa Mila itu."

"Kalau memang Mas tahu Mila lebih dulu, Mas tidak akan menilai dia seperti itu!"

"Lihat! Lihat dirimu, Dek! Lihat dirimu sekarang yang berani melawan Mas! Dulu, sebelum kamu dekat dengannya, kamu adalah istri Mas yang sangat penurut. Tidak pernah berani melawan Mas!"

"Harusnya, Mas lihat diri Mas sendiri! Jangan menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi pada diri istri, Mas! Harusnya, Mas yang menyadari diri Mas! Bukan menuduh Mila yang tidak-tidak!"

"Kenapa harus Mas yang sadar diri? Mas sudah menjadi suami yang bertanggung jawab buat kamu, Dek. Seharusnya, kamu yang mendengarkan perintah suamimu, Dek!"

"Perintah seperti apa yang harus aku turuti, Mas? Memangnya, Mila sudah melakukan apa padaku? Sampai Mas menyuruhku menjauhinya?"

"Lihat! Kamu sekarang jadi istri yang pandai membantah kata-kata suami!"

"Ah! Terserah! Ngomong tuh sama tembok!" sentaknya seraya pergi.

Aku mengusap wajahku dengan kasar.

Ah, Rida!

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Gila yah sama sekali ndak perdulian. Buat apa ke pasar malam klo diajal ini itu ndak mau cm sebatas nganter doank. Kayu mn kayu biar w ketok palanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status