Share

Bab.8

Malam ini, terpaksa aku keluar dengan motorku. Aku akan membeli nasi goreng kesukaanku saja yang tempatnya agak jauh dari rumahku. Farida benar-benar mengesalkan! Suami minta dimasakin tak digubris sama sekali. Makanan yang dibelinya pun, ia habiskan sendiri.

Kalau begini, pengeluaran malah bertambah. Lalu untuk apa kemarin kuberikan uang bulanan. Apa dia tak takut berdosa pada suami? Benar-benar sudah berubah Farida sekarang

Pedagang nasi goreng spesial kesukaanku ternyata belum ramai pembeli, karena sekarang baru jam 7 malam. Aku memesan satu nasi goreng untuk makan ditempat. Rasanya malas untuk pulang. Biarlah nanti aku pulang larut malam. Biar Farida sadar, kalau dia sudah benar-benar keterlaluan.

Lihat saja, pasti dia akan menelpon dan mengirim pesan berkali-kali agar aku cepat pulang. Biarkan Farida sadar, kalau aku sedang marah padanya.

"Risfan!" Seseorang memanggil namaku, dari suaranya aku sangat hafal itu suara siapa.

Aku lalu menoleh, benar dugaanku. Itu suara Malik. Ia lalu duduk di kursi sebelahku.

"Tumben di sini, Ris?" tanya Malik. Aku yakin dia pasti heran aku ada disini. Dulu, tempat ini adalah tempat nongkrong kesukaan ku dan Malik. Setelah menikah, aku tidak lagi sering ke tempat ini.

"Bosan aja di rumah, Lik," jawabku.

"Rida gak masak lagi?" tebaknya.

"Rida sih bilangnya capek, banyak pembeli, banyak pesanan, terus tadi dia beli masakan jadi dari warung makan," ungkapku.

"Terus?" Malik bertanya mungkin ia penasaran.

"Gue maunya dia masak, Lik. Gue maunya makan masakan Farida, tapi terus saja alasan kalau capek," keluhku.

Malik tak menjawab, ia hanya mengangguk saja. Ah … mana mengerti dia urusan wanita? Dia saja sampai sekarang masih sendiri.

Pesanan nasi goreng ku dan Malik sudah tiba. Aku lalu segera memakannya. Rasanya masih sama, tidak ada yang berubah.

Meski aku sudah jarang ke sini selain kepepet seperti ini. Namun rasanya tetap enak di lidahku. Aku dan Malik makan bersama, seperti yang sering kami lakukan dulu. 

Selesai makan aku ikut Malik untuk main ke kontrakannya. Sengaja aku tidak buru-buru pulang, biar saja Farida sendirian. Biar nanti dia sadar kesalahannya.

Sesampainya di kontrakan, Malik membuka pintu kontrakan yang di kunci. Begitu pintu terbuka, aku hanya melongo. Sedangkan Malik, buru-buru masuk dan membereskan kamar kontrakannya yang seperti tertimpa tsunami.

Ia memungut baju, celana, handuk, yang bercecer di atas kasur dan memasukkannya asal ke dalam lemari pakaian plastik. Piring dan gelas kotor segera ia angkut ke dapur. Selimut dan bantal juga ia gulung asal lalu di simpan di tepi kasur. Ia lalu nyengir dan menyuruhku yang masih berdiri di luar untuk segera masuk. Aku lalu masuk dan duduk di atas karpet.

Aku heran dengan Malik, wajah saja tampan tapi kamar kontrakannya dari dulu selalu berantakan. Apa dia nyaman tidur di kamar yang berantakan?

"Jangan heran, gue masih bujangan. Gak ada yang beresin," ujarnya. Ia menyuguhkan air putih dan kacang kulit lalu duduk di sebelahku.

"Ck, dari dulu emang begitu!"

"Gak ada waktu beberes, pulang kerja gue rebahan," sangkalnya.

"Makanya buruan kawin, Lik!" 

"Belum ada jodohnya, Ris!" 

"Gimana mau ada? Lu aja dingin sama cewek, mana ada cewek yang mau!"

Malik tak menjawab, hanya memakan kacang kulit di depannya. Seketika, aku jadi teringat Mila.

"Lu inget tetangga depan rumah gue, gak?"

"Mila?"

"Hu'um."

"Jangan bilang, lu mau jodohin gue sama dia!"

"Betul! Lagian sama-sama jomblo, apa salahnya?"

"Gue bukan tipe dia, begitupun sebaliknya!"

"Kata siapa?"

"Asal lu tau, sampai sekarang gue sama Mila berteman baik sejak dua tahun lalu Rida ngenalin dia sama gue."

"Terus?"

"Ya, gak ada terusannya! Intinya gue dan Mila berteman baik."

"Gak salah? Si Mila itu cewek tempramen, Lik! Kok, lu bisa temenan sama dia?"

"Tempramen ya sama lu, Ris. Lu 'kan nyebelin!" 

"Si*lan!" Aku lemparkan cangkang kulit kacang padanya yang sedang tertawa.

Kenapa Malik seperti Farida? Bisa berteman baik dengan Mila yang jelas-jelas tempramen.

"Cewek di pabrik banyak, Lik! Emang gak ada yang lu taksir dari sekian banyak cewek? Jangan-jangan …" Aku menggantung ucapanku.

Malik melotot. "Apa? Jangan-jangan gue belok maksud lu?" Ia menebak dengan benar ucapanku yang belum selesai.

"Ha ha, kali aja …" jawabku.

Malik balas melempar cangkang kulit kacang kepadaku. "Kurang aj*r! Gue masih normal!"

Aku tertawa. "Buktinya lu belum kawin juga!"

"Dulu di kampung, gue punya pacar orang sana juga. Tapi, Emak udah jodohin gue sama anak pak Kyai."

Aku penasaran. "Terus?"

"Awalnya gue nolak, karena gue gak cinta sama cewek pilihan Emak. Tapi … pacar gue bilang, dia yang mundur. Dia gak mau jadi penyebab gue membantah Emak. Akhirnya gue terima perjodohannya."

Aku semakin penasaran. "Berarti lu, duda?"

"Dengerin dulu, kamvret!"

"Ya, lu ceritanya lama!"

"Belum selesai! Gue terima perjodohannya sebagai bakti gue sama Emak, meski gue berat lepasin pacar gue waktu itu …" Malik menghela nafasnya. Membuat ku semakin penasaran.

"Buruan!" ucapku tak sabar.

"Terus gue ngadain lamaran dan pihak keluarga si cewek minta waktu tiga bulan setelah lamaran buat langsung nikah. Ya, gue sanggupin, pokoknya gue bakal nurutin kemauan Emak waktu itu. Tapi … satu bulan sebelum penikahan, cewek pilihan Emak gue tutup usia," pungkasnya. Ia menghembuskan nafasnya berat.

"Lu gak lagi ngarang cerita 'kan?" tanyaku tak percaya dengan ceritanya barusan.

"Kagak!"

"Awas lu, bohong!" 

"Kurang kerjaan gue bohongin lu."

Aku tak percaya mendengar ceritanya. Tapi Malik sepertinya tidak berbohong, dia serius dengan ceritanya.

"Terus, Lik?"

"Gak ada terusannya!"

"Terus, kenapa lu belum kawin juga? Lu belum bisa lupain cewek pilihan Emak, lu?"

"Bukan! Tapi … gue masih ngarepin pacar gue yang waktu itu mundur. Makanya, sampai sekarang gue masih bujangan."

"Terus kenapa gak lu ajak nikah mantan pacar lu itu?"

"Dia udah nikah, Ris! Udah punya suami!"

Aku menggeleng. "Kaasihan …"

Malik mendecak. Aku tak menyangka kisah cinta Malik yang tampan ternyata mengenaskan. 4 tahun aku berteman baik dengannya baru kali ini ia menceritakan semua ini. Meski aku dan Malik berteman sudah lama, tapi Malik memang tertutup. Dia bukan orang yang terbuka tentang hidupnya. Makanya sekian lama berteman dengannya, aku baru tahu kalau dia belum menikah, karena masih berharap dengan mantan pacarnya yang sudah bersuami. Benar-benar kasihan.

"Mau sampai kapan, lu ngarepin mantan pacar lu itu? Mending, lu cari cewek lain, Lik! Cewek masih banyak!"

"Gue tunggu jandanya!"

"Gila! Emang lu gak laku? Cewek masih banyak, Lik!"

"Gue gak bisa lupain dia, Ris!"

"Gue gak nyangka, lu segila ini ternyata!" Aku kaget mendengar ucapannya.

"Biarin gue gila, daripada lu, nyebelin!" balasnya. Ia lemparkan cangkang kulit kacang lebih banyak padaku.

"Emangnya apa sih yang buat lu, gak bisa lupain mantan pacar, lu itu?"

"Dia … cinta pertama gue."

"Ah … klise! Semua orang juga punya cinta pertama, Lik!"

"Terserah, lu! Tapi yang jelas, gue masih di sini buat dia!" ucapnya. Dia lantas berlalu ke kamar mandi.

Aku hanya geleng-geleng mendengar penuturannya. Benar-benar gila Malik itu.

🌷🌷🌷

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Nabila Salsabilla Najwa
Bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
nengani farida
dan cwe yang di maksud itu rida.
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
W rasa ce yg dimaksud malik itu si rida
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status