Share

Chapter 2

Bismillah ....

Malam yang panjang pun akhirnya berlalu juga. Entah berapa kali aku bangun, mencoba tidur lelap, lalu terbangun lagi. Begitu berulang terus hingga menjelang pagi. Tidurku tak bisa nyenyak. Serba salah tidur seranjang dengan lelaki meski itu mas sendiri.

Rasanya masih bagai mimpi. Kakak yang menyebalkan kemarin, kini jadi suamiku. Dulu waktu kecil, dia tak jarang bikin aku menangis. Sebabnya cuma rebutan remot dan rebutan channel TV. Sekarang gede, malah rebutan selimut. Eh?

Rasanya aku ingin menertawai takdir yang seakan mempermainkan sedemikian rupa ini. Entah takdir macam apa, yang sedang kujalani sekarang. Dunia yang sangat luas dengan milyaran manusianya tapi aku malah menikah dengan sepupu sendiri.

Aku tahu, kalau sepupu memang bukan mahram. Maka sah dan halal saja kalau kami menikah. Namun rasanya ... aneh! Mas Ivan dan aku selama ini saudara. Namun kini, keadaan memaksa menerimanya sebagai suami.

Tahu bagaimana rasanya tidur di kasur dan selimut yang sama dengan mas sendiri?

Risih.

Dan ... geli.

Posisi tidur apa pun rasanya serba salah.

Hingga bangun pagi ini, terasa sangat berbeda. Sekuat tenaga aku mencoba untuk menerima dengan ikhlas takdir ini. Anggaplah lagi menang lotre, dapat suami tiba-tiba. Sudah ganteng, mapan pula. Lebih untung lagi, kalau saling cinta. Bagian menyesakkan, kalau cinta sendirian. Tak terbalas. Ah ... sudahlah.

Lalu saat ini aku jongkok di depan keran, dalam kamar mandi. Mengaliri air ditangan. Gara-gara cincin yang kekecilan, jari manisku bengkak dan memerah. Nyeri. Aku meringis, saat mencoba melepas cincin ini.

"Ngapain?"

Aku menoleh ke sumber suara. Ternyata Mas Ivan sedang berdiri di tengah pintu dengan kening mengerut, memperhatikanku.

"Eh? Mau apa, Mas?" tanyaku kikuk.

"Kamu ngapain jongkok di sana?"

Aku menggigit bibir dan langsung berdiri. Debaran jantung yang seketika mengencang, membuatku gugup.

Relaks Amanda, relaks! Aku menarik nafas dan membuangnya perlahan. Menetralisir rasa gugup yang mendera.

Mas Ivan mendekat, lalu memutar keran hingga menghentikan air yang mengucur.

Aku menelan ludah, ketika menyadari di ruangan yang lembab ini lagi-lagi kami hanya berdua.

"Mana, sini?" Mas Ivan menadahkan tangannya.

"Hmm?" Jelas saja aku merasa bingung. Apanya yang mana?

Mas Ivan menyambar tangan ini, lalu menggelengkan kepala. Saat melihat jariku yang memerah dan bengkak.

"Auw-auw, sakit, Mas!" Aku meringis. Saat Mas Ivan mencoba memutar benda itu.

Lelaki itu mendorong kepalaku dengan telunjuknya. "Makanya jangan ngeyel! Keras kepala amat, udah tau cincin kekecilan masih nggak mau dilepas."

Ia menatap lekat, semakin membuatku gugup. Astaga ... jantung, kumohon bersahabatlah.

"Ambilin sabun,sana!"

"Sabun? Buat ... a-pa?"

"Mandiin kamu!"

Apa-apaan?

"A-aku bisa ... mandi sendiri!"

Dia malah tertawa. Lalu berjalan, mengambil sabun yang terletak di rak yang menggantung di dinding.

"Kamu gemesin, ya!" kekehnya, setelah kembali di hadapanku.

Dan lagi, ada rasa hangat yang saat ini mengaliri pipi. Rasanya ingin menyembunyikan wajahku sekarang.

Mas Ivan menuntunku kembali menuju keran. Dengan posisi sama-sama jongkok. Ia mulai menyabuni tanganku. Aku berdesis, saat ia mencoba melepas cincin dari sana. Sumpah! Sakit banget.

"Tahan bentar, ya!"

Aku hanya mengangguk dan aku yakin Mas Ivan tak akan melihatnya. Sebab ia masih fokus pada tanganku. Bodoh, memang! Semua gara-gara jantungku. Rasanya ingin kulepas sejenak, kalau saja bisa.

"Masih sakit, nggak?"

"Hah?"

Mas Ivan menoleh padaku, hingga tatapan kami bertemu. Dengan jarak yang sangat dekat seperti ini, tampak wajahnya yang putih bersih. Satu hal yang baru aku sadari dia ... manis.

Aku mendesis, saat merasa tekanan di jariku yang bengkak.

"Lepas." Ia memperlihatkan cincin yang sudah terlepas, lalu mematikan keran.

Mas Ivan berdiri, beranjak keluar membawa cincin. Sementara aku masih terpaku. Pesonanya seakan menghipnotisku.

"Masih melamun?"

Astaga! Aku mengerjap.

"Mau mandi bareng?"

Lekas aku berdiri, lalu berjalan cepat menutup pintu kamar mandi.

**

"Ciye ... pengantin baru udah mandi, keramas lagi," goda Alisa yang baru saja masuk ke dapur, masih dengan mengenakan piyama bermotif doraemon kesayangannya. Ia tengah mengambil air minum di kulkas.

Aku hanya tersenyum miring, malas menanggapi. Masih mengaduk dua gelas teh panas bergantian.

"Udah diapain aja sama Mas Ivan? Eh, gimana rasanya?" tanyanya lirih, kali ini ia duduk di hadapanku. Menatap dengan penuh minat.

"Apaan sih?" Aku mengerutkan kening, tak suka privasiku diusik. Lalu beranjak meninggalkannya yang terlihat sangat penasaran, menuju wastafel untuk mencuci tangan.

"Aku tebak sih semalam belum, 'kan? Ah, pasti belumlah," ucapnya yakin.

Aku hanya menghela nafas.

"Diam artinya iya."

"Kepo banget, sih?" gumamku tanpa menoleh.

"Aku cuma penasaran aja. Soalnya kalau aku yang waktu itu ditawarin jelas-jelas aku bakalan nolak."

Aku terenyak.

"Tapi nggak papa sih. Kesempatan bagus nggak boleh di sia-sia'in, kan?" lanjutnya lagi, diikuti dengan suara langkah yang terdengar menjauh meninggalkan dapur.

Sesaat aku terpejam, mengusap dada yang sesak. Lantas beranjak pergi, mengantarkan teh panas untuk Oma dan suamiku.

**

Di rumah Oma aku tinggal bersama Alisa dan keluarganya yang masih lengkap. Sementara orang tuaku sendiri sudah meninggal dunia. Papa tiada karena kecelakaan sejak aku di dalam kandungan, begitu cerita mereka. Dan Mama pergi karena sakit kanker usus, saat usiaku masih lima tahun.

Namun, perhatian dan kasih-cinta Oma selalu membuat hati ini menghangat. Mungkin itulah sebabnya, cucu Oma yang lain merasa kalau wanitaku itu pilih kasih terhadap cucunya. Padahal kalau dipikir-pikir, siapa lagi yang mengasihiku kalau bukan Oma?

Seusai sarapan aku ikut Mas Ivan pulang ke rumahnya. Sepanjang perjalanan tak banyak yang kami perbincangkan. Mas Ivan hanya mengomentari jalanan Jakarta yang macet, sedang aku hanya bergumam pelan menimpali.

Kaku. Padahal dulu hubungan kami tidak sedingin ini. Bahkan kemarin saat menulis nama tamu di undangan, kami masih sempat bercanda.

"Habis Mas Ivan siapa lagi yang bakalan nikah?"

"Amanda ntar yang duluan nikah," kata Mas Ivan waktu itu.

"Eh? Kok aku, sih?"

"Kamu pecicilan!"

"Asem!" Kesal, aku pun memukul pelan bahunya dengan buku tulis.

Namun sekarang untuk bicara pun sungkan. Aku hanya bisa tersenyum miris mengingat kenangan betapa eratnya persaudaraan kami.

Aku menoleh ke arah jalan di luar jendela. Seketika juga teringat pesan Oma saat aku mengantar teh ke kamar beliau tadi pagi.

"Baik-baik di sana, Nda. Jadi istri yang nurut sama suami. Jangan bikin ulah."

Masih teringat jelas mata Oma yang berkaca-kaca saat meyakinkan kalau Mas Ivan itu laki-laki baik. Beliau hanya ingin aku bahagia. Sebab Oma yakin kalau keluarga Mas Ivan akan menerimaku dengan baik dan sepenuh hati.

Tak terasa mobil pun memasuki halaman rumah Mas Ivan. Ketika deru mesin terdengar berhenti, aku turun dari mobil hitam ini. Lantas berjalan menuju rumah, di mana aku pernah besar dan tumbuh bersama dua sepupuku di tempat ini.

Bukan hal baru, menginjak rumah suamiku. Bedanya dulu aku tinggal sebagai keponakan. Lalu sekarang malah jadi menantu.

"Selamat datang Sayang," sambut adik dari Papa itu dengan semringah.

Aku yang baru saja masuk rumah pun meraih tangan dan mencium punggung tangan beliau takzim.

"Langsung ke atas, ya. Istirahat."

"Nggak di kamar bawah aja, Tan?" tawarku hati-hati.

"Ngawur aja kamu. Ya, di kamar Masmulah. Sekarang status kamu di sini itu istri. Udah sah, udah halal," jelasnya lagi sambil tersenyum geli.

"Eh, iya, Tan." Kami pun berjalan bersisian.

"Ah ... harusnya bukan Tante lagi, tapi Mama."

"Iya, Ma." Sepupu jadi suami, tante jadi mama mertua. Aku menggelengkan kepala, takdir memang selucu itu.

Aku mengekori Tante Yasmin hingga menuju kamar Mas Ivan. Seketika bulu tengkuk meremang. Sumpah! Bagiku kamar ini lebih horor, dari wahana rumah hantu.

Aku mengamati kasur yang bertabur mawar. Wangi bunga memenuhi penciuman. Membuat aku jadi membayangkan sesuatu. Malam ini aku dan Mas Ivan, tidur bersama ... di sini?

"Amanda," panggil Tante Yasmin lirih.

"Mungkin lucu ya. Tapi memang ini kenyataannya. Sekarang kamu menantu Mama. Ivan suami kamu. Lakukan tanggung jawab sebagai seorang menantu. Kasih service yang terbaik saat melayani suami." Tante Yasmin mengerling nakal.

Membuatku jengah, hingga aku menoleh ke arah pintu. Di sana sudah ada Mas Ivan ternyata. Membawa tas yang berisi pakaianku. Pesan Tante Yasmin membuatku gugup. Debaran jantung ini tak lagi berirama. Berpacu sangat cepat.

"Dan kamu Ivan, perlakukan Amanda sebagai istri kamu. Jangan liat dia kayak seorang adik lagi."

Mas Ivan menatapku sejenak, lalu tersenyum tidak simetris pada Tante Yasmin.

"Jangan nunda momongan. Mama pengen secepatnya gendong cucu." Mama tersenyum melihat kami bergantian, lalu pergi meninggalkan kamar.

Tinggallah kami berdua di sini, di kamar pengantin ini. 

Mas Ivan menatapku lagi. Membuatku refleks menelan ludah.

Ya ampun, Tante Yasmin bilang apa, cucu?

#Romance

Pengantin Pengganti

MENIKAH DENGAN SEPUPU

Bab 2

Bismillah ....

Malam yang panjang pun akhirnya berlalu juga. Entah berapa kali aku bangun, mencoba tidur lelap, lalu terbangun lagi. Begitu berulang terus hingga menjelang pagi. Tidurku tak bisa nyenyak. Serba salah tidur seranjang dengan lelaki meski itu mas sendiri.

Rasanya masih bagai mimpi. Kakak yang menyebalkan kemarin, kini jadi suamiku. Dulu waktu kecil, dia tak jarang bikin aku menangis. Sebabnya cuma rebutan remot dan rebutan channel TV. Sekarang gede, malah rebutan selimut. Eh?

Rasanya aku ingin menertawai takdir yang seakan mempermainkan sedemikian rupa ini. Entah takdir macam apa, yang sedang kujalani sekarang. Dunia yang sangat luas dengan milyaran manusianya tapi aku malah menikah dengan sepupu sendiri.

Aku tahu, kalau sepupu memang bukan mahram. Maka sah dan halal saja kalau kami menikah. Namun rasanya ... aneh! Mas Ivan dan aku selama ini saudara. Namun kini, keadaan memaksa menerimanya sebagai suami.

Tahu bagaimana rasanya tidur di kasur dan selimut yang sama dengan mas sendiri?

Risih.

Dan ... geli.

Posisi tidur apa pun rasanya serba salah.

Hingga bangun pagi ini, terasa sangat berbeda. Sekuat tenaga aku mencoba untuk menerima dengan ikhlas takdir ini. Anggaplah lagi menang lotre, dapat suami tiba-tiba. Sudah ganteng, mapan pula. Lebih untung lagi, kalau saling cinta. Bagian menyesakkan, kalau cinta sendirian. Tak terbalas. Ah ... sudahlah.

Lalu saat ini aku jongkok di depan keran, dalam kamar mandi. Mengaliri air ditangan. Gara-gara cincin yang kekecilan, jari manisku bengkak dan memerah. Nyeri. Aku meringis, saat mencoba melepas cincin ini.

"Ngapain?"

Aku menoleh ke sumber suara. Ternyata Mas Ivan sedang berdiri di tengah pintu dengan kening mengerut, memperhatikanku.

"Eh? Mau apa, Mas?" tanyaku kikuk.

"Kamu ngapain jongkok di sana?"

Aku menggigit bibir dan langsung berdiri. Debaran jantung yang seketika mengencang, membuatku gugup.

Relaks Amanda, relaks! Aku menarik nafas dan membuangnya perlahan. Menetralisir rasa gugup yang mendera.

Mas Ivan mendekat, lalu memutar keran hingga menghentikan air yang mengucur.

Aku menelan ludah, ketika menyadari di ruangan yang lembab ini lagi-lagi kami hanya berdua.

"Mana, sini?" Mas Ivan menadahkan tangannya.

"Hmm?" Jelas saja aku merasa bingung. Apanya yang mana?

Mas Ivan menyambar tangan ini, lalu menggelengkan kepala. Saat melihat jariku yang memerah dan bengkak.

"Auw-auw, sakit, Mas!" Aku meringis. Saat Mas Ivan mencoba memutar benda itu.

Lelaki itu mendorong kepalaku dengan telunjuknya. "Makanya jangan ngeyel! Keras kepala amat, udah tau cincin kekecilan masih nggak mau dilepas."

Ia menatap lekat, semakin membuatku gugup. Astaga ... jantung, kumohon bersahabatlah.

"Ambilin sabun,sana!"

"Sabun? Buat ... a-pa?"

"Mandiin kamu!"

Apa-apaan?

"A-aku bisa ... mandi sendiri!"

Dia malah tertawa. Lalu berjalan, mengambil sabun yang terletak di rak yang menggantung di dinding.

"Kamu gemesin, ya!" kekehnya, setelah kembali di hadapanku.

Dan lagi, ada rasa hangat yang saat ini mengaliri pipi. Rasanya ingin menyembunyikan wajahku sekarang.

Mas Ivan menuntunku kembali menuju keran. Dengan posisi sama-sama jongkok. Ia mulai menyabuni tanganku. Aku berdesis, saat ia mencoba melepas cincin dari sana. Sumpah! Sakit banget.

"Tahan bentar, ya!"

Aku hanya mengangguk dan aku yakin Mas Ivan tak akan melihatnya. Sebab ia masih fokus pada tanganku. Bodoh, memang! Semua gara-gara jantungku. Rasanya ingin kulepas sejenak, kalau saja bisa.

"Masih sakit, nggak?"

"Hah?"

Mas Ivan menoleh padaku, hingga tatapan kami bertemu. Dengan jarak yang sangat dekat seperti ini, tampak wajahnya yang putih bersih. Satu hal yang baru aku sadari dia ... manis.

Aku mendesis, saat merasa tekanan di jariku yang bengkak.

"Lepas." Ia memperlihatkan cincin yang sudah terlepas, lalu mematikan keran.

Mas Ivan berdiri, beranjak keluar membawa cincin. Sementara aku masih terpaku. Pesonanya seakan menghipnotisku.

"Masih melamun?"

Astaga! Aku mengerjap.

"Mau mandi bareng?"

Lekas aku berdiri, lalu berjalan cepat menutup pintu kamar mandi.

**

"Ciye ... pengantin baru udah mandi, keramas lagi," goda Alisa yang baru saja masuk ke dapur, masih dengan mengenakan piyama bermotif doraemon kesayangannya. Ia tengah mengambil air minum di kulkas.

Aku hanya tersenyum miring, malas menanggapi. Masih mengaduk dua gelas teh panas bergantian.

"Udah diapain aja sama Mas Ivan? Eh, gimana rasanya?" tanyanya lirih, kali ini ia duduk di hadapanku. Menatap dengan penuh minat.

"Apaan sih?" Aku mengerutkan kening, tak suka privasiku diusik. Lalu beranjak meninggalkannya yang terlihat sangat penasaran, menuju wastafel untuk mencuci tangan.

"Aku tebak sih semalam belum, 'kan? Ah, pasti belumlah," ucapnya yakin.

Aku hanya menghela nafas.

"Diam artinya iya."

"Kepo banget, sih?" gumamku tanpa menoleh.

"Aku cuma penasaran aja. Soalnya kalau aku yang waktu itu ditawarin jelas-jelas aku bakalan nolak."

Aku terenyak.

"Tapi nggak papa sih. Kesempatan bagus nggak boleh di sia-sia'in, kan?" lanjutnya lagi, diikuti dengan suara langkah yang terdengar menjauh meninggalkan dapur.

Sesaat aku terpejam, mengusap dada yang sesak. Lantas beranjak pergi, mengantarkan teh panas untuk Oma dan suamiku.

**

Di rumah Oma aku tinggal bersama Alisa dan keluarganya yang masih lengkap. Sementara orang tuaku sendiri sudah meninggal dunia. Papa tiada karena kecelakaan sejak aku di dalam kandungan, begitu cerita mereka. Dan Mama pergi karena sakit kanker usus, saat usiaku masih lima tahun.

Namun, perhatian dan kasih-cinta Oma selalu membuat hati ini menghangat. Mungkin itulah sebabnya, cucu Oma yang lain merasa kalau wanitaku itu pilih kasih terhadap cucunya. Padahal kalau dipikir-pikir, siapa lagi yang mengasihiku kalau bukan Oma?

Seusai sarapan aku ikut Mas Ivan pulang ke rumahnya. Sepanjang perjalanan tak banyak yang kami perbincangkan. Mas Ivan hanya mengomentari jalanan Jakarta yang macet, sedang aku hanya bergumam pelan menimpali.

Kaku. Padahal dulu hubungan kami tidak sedingin ini. Bahkan kemarin saat menulis nama tamu di undangan, kami masih sempat bercanda.

"Habis Mas Ivan siapa lagi yang bakalan nikah?"

"Amanda ntar yang duluan nikah," kata Mas Ivan waktu itu.

"Eh? Kok aku, sih?"

"Kamu pecicilan!"

"Asem!" Kesal, aku pun memukul pelan bahunya dengan buku tulis.

Namun sekarang untuk bicara pun sungkan. Aku hanya bisa tersenyum miris mengingat kenangan betapa eratnya persaudaraan kami.

Aku menoleh ke arah jalan di luar jendela. Seketika juga teringat pesan Oma saat aku mengantar teh ke kamar beliau tadi pagi.

"Baik-baik di sana, Nda. Jadi istri yang nurut sama suami. Jangan bikin ulah."

Masih teringat jelas mata Oma yang berkaca-kaca saat meyakinkan kalau Mas Ivan itu laki-laki baik. Beliau hanya ingin aku bahagia. Sebab Oma yakin kalau keluarga Mas Ivan akan menerimaku dengan baik dan sepenuh hati.

Tak terasa mobil pun memasuki halaman rumah Mas Ivan. Ketika deru mesin terdengar berhenti, aku turun dari mobil hitam ini. Lantas berjalan menuju rumah, di mana aku pernah besar dan tumbuh bersama dua sepupuku di tempat ini.

Bukan hal baru, menginjak rumah suamiku. Bedanya dulu aku tinggal sebagai keponakan. Lalu sekarang malah jadi menantu.

"Selamat datang Sayang," sambut adik dari Papa itu dengan semringah.

Aku yang baru saja masuk rumah pun meraih tangan dan mencium punggung tangan beliau takzim.

"Langsung ke atas, ya. Istirahat."

"Nggak di kamar bawah aja, Tan?" tawarku hati-hati.

"Ngawur aja kamu. Ya, di kamar Masmulah. Sekarang status kamu di sini itu istri. Udah sah, udah halal," jelasnya lagi sambil tersenyum geli.

"Eh, iya, Tan." Kami pun berjalan bersisian.

"Ah ... harusnya bukan Tante lagi, tapi Mama."

"Iya, Ma." Sepupu jadi suami, tante jadi mama mertua. Aku menggelengkan kepala, takdir memang selucu itu.

Aku mengekori Tante Yasmin hingga menuju kamar Mas Ivan. Seketika bulu tengkuk meremang. Sumpah! Bagiku kamar ini lebih horor, dari wahana rumah hantu.

Aku mengamati kasur yang bertabur mawar. Wangi bunga memenuhi penciuman. Membuat aku jadi membayangkan sesuatu. Malam ini aku dan Mas Ivan, tidur bersama ... di sini?

"Amanda," panggil Tante Yasmin lirih.

"Mungkin lucu ya. Tapi memang ini kenyataannya. Sekarang kamu menantu Mama. Ivan suami kamu. Lakukan tanggung jawab sebagai seorang menantu. Kasih service yang terbaik saat melayani suami." Tante Yasmin mengerling nakal.

Membuatku jengah, hingga aku menoleh ke arah pintu. Di sana sudah ada Mas Ivan ternyata. Membawa tas yang berisi pakaianku. Pesan Tante Yasmin membuatku gugup. Debaran jantung ini tak lagi berirama. Berpacu sangat cepat.

"Dan kamu Ivan, perlakukan Amanda sebagai istri kamu. Jangan liat dia kayak seorang adik lagi."

Mas Ivan menatapku sejenak, lalu tersenyum tidak simetris pada Tante Yasmin.

"Jangan nunda momongan. Mama pengen secepatnya gendong cucu." Mama tersenyum melihat kami bergantian, lalu pergi meninggalkan kamar.

Tinggallah kami berdua di sini, di kamar pengantin ini. 

Mas Ivan menatapku lagi. Membuatku refleks menelan ludah.

Ya ampun, Tante Yasmin bilang apa, cucu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status