Share

Chapter 3

Bismillah ...

Demi apa pun aku ingin keluar dari kamar pengantin ini. Meski pendingin ruang kamar ini menyala, entah mengapa terasa sangat panas.

Aku melangkah lambat hendak keluar dari kamar. Namun tercekat saat di depan pintu, karena tiba-tiba Mas Ivan menahan lengan ini. Membuat tatapan kami bertaut, dengan jarak wajah yang begitu dekat. Hanya sesaat, sebab setelahnya kami saling memalingkan wajah.

Aku menarik tangan yang dia genggam. Pandangan kami kembali bertemu. Aku tersenyum, lalu melipat bibir ke dalam. Oh astaga, sekarang aku salah tingkah. Jantungku yang sudah berdebar-debar sejak tadi, kian menggila saja detaknya.

"Ke mana?"

Aku cuma menyengir, bingung mau menjawab apa. Ke mana saja, asal keluar dari sini.

"Bantuin Mas dulu." Tampak olehku sudut bibirnya berkedut.

"Apa, Mas?"

"Bukain sesuatu."

"Bu-kain a-apa?"

Mas Ivan menyeringai. Lalu ia menutup pintu kamar, dilanjutkan berjalan ke arah kasur.

"Sini," panggilnya saat menoleh padaku.

Haruskah sekarang?

Apa ini saatnya?

Oh, astaga! Sumpah, aku benar-benar belum siap.

"Mau apa, Mas?"

Mas Ivan tersenyum geli, hingga menampakkan deretan giginya yang rapi. "Kamu nggak dengar tadi Mama bilang apa?"

"Cucu?" Aku membulatkan mata padanya.

"Apa lagi?" katanya masih dengan tersenyum lebar.

Ragu dan dengan badan gemetaran, aku melangkah mendekat. Kuremas tangan yang saat ini terasa dingin.

Bukankah ini memang kewajiban seorang istri?

Oke, Amanda. Lihat dia sebagai laki-laki, bukan Mas yang selama ini selalu nyebelin. Tepis semua rasa aneh, aku dan Mas Ivan sudah halal melakukannya. Bahkan ini ibadah dan berpahala malah.

Perlahan melangkah, akhirnya aku sampai di hadapan sepupuku ini. Mas Ivan malah tertawa. Membuatku makin salah tingkah. Ah, rasanya aku ingin mengurung diri di kamar mandi saja, agar terbebas dari kondisi menyebalkan ini.

Kukerutkan kening sambil memperhatikan lelaki yang kemarin menikahiku. Dia tengah merunduk, menarik keranjang yang terletak di lantai samping kasur. Keranjang itu berisi banyak kado.

"Jadi mau buka ini?" kataku disertai helaan nafas lega. Ternyata aku sedang dipermainkan, Bambang!

"Kamu pikir apaan?" Mas Ivan mengekeh, dari gelagatnya seperti memang sengaja menggoda.

"Nggak lucu tau!" Tidak lucu, karena tadi sempat berpikir yang bukan-bukan. Dasar dia ini! 

Konyol memang, dan lama-lama aku ikut tertawa juga.

"Ya salam, Amanda!" Mas Ivan menggeleng.

"Rese' ah! Tapi ... ketawanya mas, aku suka."

Ia juga ikut tersenyum. "Kamu baru sadar kalau Mas cakep?" Mas Ivan menaik-turunkan dua alisnya.

Aku mengangguk. "Bodoh nggak sih, ada perempuan yang kabur dari pernikahannya sama Mas? Padahal sekarang susah dapat suami yang udah ganteng, baik pula."

Ironisnya, ada yang merasa beruntung saat mendapat lelaki yang sudah ditinggalkan wanita lain. Aku orangnya.

Raut wajah Mas Ivan kembali menegang. Aku penasaran dengan sikapnya yang seolah tanpa beban. Ia sangat pandai berpura-pura.

"Udah ah ... ayo buka!" katanya yang lagi-lagi mengalihkan pembicaraan.

Ia duduk di atas karpet. Mulai mengosongkan keranjang, menumpahkan kotak yang berbalut kertas berwarna-warni.

Aku juga ikut duduk, lalu mengambil satu kado yang terlihat sangat elegan. Berbungkus kertas berwarna gold, lalu melihat kartu nama yang menempel di luar.

"Linda Febriani." Begitu nama yang tertera di postcard. "Boleh aku buka, Mas?"

"Linda ... dia sekretarisku. Buka aja."

Aku membukanya dengan hati-hati, takut kalau di dalamnya ada sesuatu yang berharga. Karena dilihat dari luar, kutebak isinya barang branded, pasti mahal.

Benar saja dugaanku. Kotak ini berisikan sebuah sepatu tinggi berwarna hitam nomor tiga puluh enam. Dengan merek brand ternama. Tampak sangat cantik dan elegan. Aku hampir lupa kalau semua hadiah ini di tujukan bukan untukku.

"Modelnya cakep ini. Selera dia emang bagus."

"Hmm ... bagus banget. Sayangnya nggak muat." Aku menatap lekat manik coklat Mas Ivan. "Semua ini bukan buat aku, tapi buat Mbak Amira."

Mimik wajah Mas Ivan berubah, matanya memerah. Dari sini aku paham, laki-laki yang kuat secara fisik bukan berarti jiwanya tak pernah rapuh. Maka dari sanalah lelaki membutuhkan wanita sebagai pendamping, untuk menjadi penguat.

"Yaudah, buka yang lain aja." Aku melempar sepatu, memasukkannya kembali dalam keranjang yang tadi dikosongkan.

Aku tahu kalau Mas Ivan sedang menyembunyikan kesedihannya. Ia tersenyum dan tertawa, padahal sesungguhnya ia sangat hancur. Terluka sangat dalam. Pura-pura tidak mengetahui kesedihannya, mungkin lebih baik. Biasanya laki-laki terlihat tegar hanya demi sebuah harga diri. Hanya ingin diakui bahwa ia baik-baik saja.

Aku mengambil sebuah kado dan membukanya lagi. Kali ini isinya sepasang pakaian dalam wanita. Tentu saja kekecilan, karena ini bukan ukuranku. Lesu, aku kembali melemparnya ke dalam keranjang.

"Hiiy! Apaan ini?!" Mas Ivan menjerit, tampak melempar sesuatu ke atas kasur.

"Eh ... ada apa?" Aku mengerutkan kening, heran.

"Nggak papa." Keningku semakin mengerut, saat Mas Ivan meraup wajahnya.

Karena penasaran, aku melihat ke atas kasur. Oh ini ....

"Ini cicak mainan. Mas takut?"

Aku mengapit ekor hewan melata yang terbuat dari karet itu dengan ibu jari dan telunjuk. Sambil mengayunkan di dekat sepupuku itu. Dia tampak mengangkat bahunya. Bergidik.

"Bukan takut, tapi geli. Hiiy!"

"Tapi ini bukan cicak betulan, Mas. Ini cuma mainan." Kini kuayunkan cicak lebih dekat dengannya. Dua bahunya makin terangkat, diikuti kepalanya yang menggeleng kecil. Khas orang geli.

"Stop Amanda! Please!" Kali ini ia berkata dengan penekanan.

Aku menutup mulut dengan tangan dan tertawa. "Mas Ivan takut?"

"Nggak lucu, Nda. Aku bukannya takut," kilahnya.

"Aku baru tau, kalau Mas Ivan takut ini."

"Bukan takut!"

"Yelah-yelah! Bukan takut, tapi geli." Aku melempar cicak mainan ke keranjang. Dilanjutkan berbaring di kasur.

Terus apa bedanya hubungan kami dengan seekor cicak? Sama-sama menggelikan, bukan?

Membuka kado membuat mood ini kian memburuk. Bagaimana tidak, semua hadiah ditujukan untuk wanita yang posisinya kugantikan saat ini.

Aku hampir lupa, kalau di sini hanya pengantin pengganti. Cincin kekecilan, semua hadiah juga tak ada yang muat.

Aku jadi mengasihani nasib sendiri. Poor Amanda!

**

Aku takjub saat membuka pintu lemari pakaian di kamar ini. Seakan sudah disiapkan untuk penghuni baru, lemari dua pintu ini tampak kosong. Hanya ada satu setel piyama yang tergantung di hanger. Hadiah juga, mungkin.

Ternyata semua sudah dipersiapkan dengan sempurna, demi menyambut anggota keluarga baru. Kamar pengantin ini, bahkan lemari ini masih beraroma khas barang yang baru keluar dari toko. Entah hal apa lagi yang sudah disiapkan.

Siapa pun pasti merasa istimewa mendapat sambutan seperti ini. Begitu juga aku. Meski awalnya semua ini ditujukan untuk orang lain.

Dengan perasaan yang tak dapat didefenisikan, aku membuka tas dan mengeluarkan pakaian dari sana. Saat menata rapi baju ke dalam lemari, aku menoleh ke arah pintu yang dibuka dari luar. Memastikan siapa yang baru saja masuk. Tante Yasmin.

"Eh, Tante," sapaku ramah.

"Kok masih Tante? Ma-ma." Tante yang sekarang jadi mertuaku itu menghampiriku.

"Eh, iya, Ma. Udah kebiasaan," kataku cengengesan.

"Ini muat nggak sama Amanda?" Mama mengambil piyama yang tergantung di lemari.

Ada luka di tatapan mata sendu itu. Pasti menyakitkan sekali rasanya, ketika kenyataan tak sesuai dengan harapan. Aku dapat merasakan kesakitan yang sama.

"Kecil kayaknya, Ma," jawabku sembari melanjutkan kegiatan menyusun baju ke lemari.

Mama mengembalikan piyama ke tempat semula. "Oh iya, Manda."

Sesaat aku menghentikan aktivitas dan menoleh ke arah Mama.

"Karena sibuk sama acara kemaren, baju kotornya Ivan numpuk. Tolong bantu cuci, ya!"

Aku menoleh ke sudut kamar, di mana dua keranjang baju kotor terletak di sana. "Semuanya Amanda yang cuci, Ma?"

"Kalau mau dilaundri nggak papa. Tapi dalemannya jangan, ya. Pamali daleman suami dicuci orang lain."

Oh astaga!

**

Lalu sekarang jadilah aku di sini, duduk di sofa ruang tamu sedang membolak-balik album foto. Sembari menunggu mesin yang saat ini sedang berputar otomatis mencuci pakaian sepupuku.

Sekarang mulai terasa bedanya peran antara jadi saudara dan seorang istri. Hal yang tak pernah aku lakukan dulu saat menjadi adik selain tidur bersama, adalah melayani semua kebutuhan Mas Ivan. Termasuk mengurus pakaian bahkan underware-nya.

Kaget sudah pasti. Tentu saja aku butuh waktu untuk menyesuaikan diri.

"Nggak punya baju lain lagi?" Suara Mas Ivan membuatku mendongak, tampak mata itu menatapku tajam.

"Kenapa sama bajunya? Aku nyaman aja, kok, pake baju ini."

Mas Ivan berdecak.

Aku mengamati pakaian yang kukenakan saat ini. Baju kaus ketat hingga menampakkan lekuk pinggang serta celana jeans hot pants.l

"Ganti!"

Eh.

"Kan nggak kemana-mana. Di rumah Oma aku biasa pake baju ini," protesku dengan mengernyit menatapnya.

"Di rumah Oma sama di sini beda, Dodol! Di sana kamu tinggal sama sodara perempuan semua."

Ah, entah kejutan apa lagi ini.

"Abis nyuci aja aku ganti bajunya, Mas. Tanggung!"

"Ganti sekarang!"

Baru ingin membuka mulut ini ingin menyela, Mas Ivan kembali berkata tegas.

"Ganti nggak? Kalau mau pake kayak gini ntar malam aja di kamar."

Eh.

#Romance

Pengantin Pengganti

MENIKAH DENGAN SEPUPU

BAB 3

Bismillah ...

Demi apa pun aku ingin keluar dari kamar pengantin ini. Meski pendingin ruang kamar ini menyala, entah mengapa terasa sangat panas.

Aku melangkah lambat hendak keluar dari kamar. Namun tercekat saat di depan pintu, karena tiba-tiba Mas Ivan menahan lengan ini. Membuat tatapan kami bertaut, dengan jarak wajah yang begitu dekat. Hanya sesaat, sebab setelahnya kami saling memalingkan wajah.

Aku menarik tangan yang dia genggam. Pandangan kami kembali bertemu. Aku tersenyum, lalu melipat bibir ke dalam. Oh astaga, sekarang aku salah tingkah. Jantungku yang sudah berdebar-debar sejak tadi, kian menggila saja detaknya.

"Ke mana?"

Aku cuma menyengir, bingung mau menjawab apa. Ke mana saja, asal keluar dari sini.

"Bantuin Mas dulu." Tampak olehku sudut bibirnya berkedut.

"Apa, Mas?"

"Bukain sesuatu."

"Bu-kain a-apa?"

Mas Ivan menyeringai. Lalu ia menutup pintu kamar, dilanjutkan berjalan ke arah kasur.

"Sini," panggilnya saat menoleh padaku.

Haruskah sekarang?

Apa ini saatnya?

Oh, astaga! Sumpah, aku benar-benar belum siap.

"Mau apa, Mas?"

Mas Ivan tersenyum geli, hingga menampakkan deretan giginya yang rapi. "Kamu nggak dengar tadi Mama bilang apa?"

"Cucu?" Aku membulatkan mata padanya.

"Apa lagi?" katanya masih dengan tersenyum lebar.

Ragu dan dengan badan gemetaran, aku melangkah mendekat. Kuremas tangan yang saat ini terasa dingin.

Bukankah ini memang kewajiban seorang istri?

Oke, Amanda. Lihat dia sebagai laki-laki, bukan Mas yang selama ini selalu nyebelin. Tepis semua rasa aneh, aku dan Mas Ivan sudah halal melakukannya. Bahkan ini ibadah dan berpahala malah.

Perlahan melangkah, akhirnya aku sampai di hadapan sepupuku ini. Mas Ivan malah tertawa. Membuatku makin salah tingkah. Ah, rasanya aku ingin mengurung diri di kamar mandi saja, agar terbebas dari kondisi menyebalkan ini.

Kukerutkan kening sambil memperhatikan lelaki yang kemarin menikahiku. Dia tengah merunduk, menarik keranjang yang terletak di lantai samping kasur. Keranjang itu berisi banyak kado.

"Jadi mau buka ini?" kataku disertai helaan nafas lega. Ternyata aku sedang dipermainkan, Bambang!

"Kamu pikir apaan?" Mas Ivan mengekeh, dari gelagatnya seperti memang sengaja menggoda.

"Nggak lucu tau!" Tidak lucu, karena tadi sempat berpikir yang bukan-bukan. Dasar dia ini! 

Konyol memang, dan lama-lama aku ikut tertawa juga.

"Ya salam, Amanda!" Mas Ivan menggeleng.

"Rese' ah! Tapi ... ketawanya mas, aku suka."

Ia juga ikut tersenyum. "Kamu baru sadar kalau Mas cakep?" Mas Ivan menaik-turunkan dua alisnya.

Aku mengangguk. "Bodoh nggak sih, ada perempuan yang kabur dari pernikahannya sama Mas? Padahal sekarang susah dapat suami yang udah ganteng, baik pula."

Ironisnya, ada yang merasa beruntung saat mendapat lelaki yang sudah ditinggalkan wanita lain. Aku orangnya.

Raut wajah Mas Ivan kembali menegang. Aku penasaran dengan sikapnya yang seolah tanpa beban. Ia sangat pandai berpura-pura.

"Udah ah ... ayo buka!" katanya yang lagi-lagi mengalihkan pembicaraan.

Ia duduk di atas karpet. Mulai mengosongkan keranjang, menumpahkan kotak yang berbalut kertas berwarna-warni.

Aku juga ikut duduk, lalu mengambil satu kado yang terlihat sangat elegan. Berbungkus kertas berwarna gold, lalu melihat kartu nama yang menempel di luar.

"Linda Febriani." Begitu nama yang tertera di postcard. "Boleh aku buka, Mas?"

"Linda ... dia sekretarisku. Buka aja."

Aku membukanya dengan hati-hati, takut kalau di dalamnya ada sesuatu yang berharga. Karena dilihat dari luar, kutebak isinya barang branded, pasti mahal.

Benar saja dugaanku. Kotak ini berisikan sebuah sepatu tinggi berwarna hitam nomor tiga puluh enam. Dengan merek brand ternama. Tampak sangat cantik dan elegan. Aku hampir lupa kalau semua hadiah ini di tujukan bukan untukku.

"Modelnya cakep ini. Selera dia emang bagus."

"Hmm ... bagus banget. Sayangnya nggak muat." Aku menatap lekat manik coklat Mas Ivan. "Semua ini bukan buat aku, tapi buat Mbak Amira."

Mimik wajah Mas Ivan berubah, matanya memerah. Dari sini aku paham, laki-laki yang kuat secara fisik bukan berarti jiwanya tak pernah rapuh. Maka dari sanalah lelaki membutuhkan wanita sebagai pendamping, untuk menjadi penguat.

"Yaudah, buka yang lain aja." Aku melempar sepatu, memasukkannya kembali dalam keranjang yang tadi dikosongkan.

Aku tahu kalau Mas Ivan sedang menyembunyikan kesedihannya. Ia tersenyum dan tertawa, padahal sesungguhnya ia sangat hancur. Terluka sangat dalam. Pura-pura tidak mengetahui kesedihannya, mungkin lebih baik. Biasanya laki-laki terlihat tegar hanya demi sebuah harga diri. Hanya ingin diakui bahwa ia baik-baik saja.

Aku mengambil sebuah kado dan membukanya lagi. Kali ini isinya sepasang pakaian dalam wanita. Tentu saja kekecilan, karena ini bukan ukuranku. Lesu, aku kembali melemparnya ke dalam keranjang.

"Hiiy! Apaan ini?!" Mas Ivan menjerit, tampak melempar sesuatu ke atas kasur.

"Eh ... ada apa?" Aku mengerutkan kening, heran.

"Nggak papa." Keningku semakin mengerut, saat Mas Ivan meraup wajahnya.

Karena penasaran, aku melihat ke atas kasur. Oh ini ....

"Ini cicak mainan. Mas takut?"

Aku mengapit ekor hewan melata yang terbuat dari karet itu dengan ibu jari dan telunjuk. Sambil mengayunkan di dekat sepupuku itu. Dia tampak mengangkat bahunya. Bergidik.

"Bukan takut, tapi geli. Hiiy!"

"Tapi ini bukan cicak betulan, Mas. Ini cuma mainan." Kini kuayunkan cicak lebih dekat dengannya. Dua bahunya makin terangkat, diikuti kepalanya yang menggeleng kecil. Khas orang geli.

"Stop Amanda! Please!" Kali ini ia berkata dengan penekanan.

Aku menutup mulut dengan tangan dan tertawa. "Mas Ivan takut?"

"Nggak lucu, Nda. Aku bukannya takut," kilahnya.

"Aku baru tau, kalau Mas Ivan takut ini."

"Bukan takut!"

"Yelah-yelah! Bukan takut, tapi geli." Aku melempar cicak mainan ke keranjang. Dilanjutkan berbaring di kasur.

Terus apa bedanya hubungan kami dengan seekor cicak? Sama-sama menggelikan, bukan?

Membuka kado membuat mood ini kian memburuk. Bagaimana tidak, semua hadiah ditujukan untuk wanita yang posisinya kugantikan saat ini.

Aku hampir lupa, kalau di sini hanya pengantin pengganti. Cincin kekecilan, semua hadiah juga tak ada yang muat.

Aku jadi mengasihani nasib sendiri. Poor Amanda!

**

Aku takjub saat membuka pintu lemari pakaian di kamar ini. Seakan sudah disiapkan untuk penghuni baru, lemari dua pintu ini tampak kosong. Hanya ada satu setel piyama yang tergantung di hanger. Hadiah juga, mungkin.

Ternyata semua sudah dipersiapkan dengan sempurna, demi menyambut anggota keluarga baru. Kamar pengantin ini, bahkan lemari ini masih beraroma khas barang yang baru keluar dari toko. Entah hal apa lagi yang sudah disiapkan.

Siapa pun pasti merasa istimewa mendapat sambutan seperti ini. Begitu juga aku. Meski awalnya semua ini ditujukan untuk orang lain.

Dengan perasaan yang tak dapat didefenisikan, aku membuka tas dan mengeluarkan pakaian dari sana. Saat menata rapi baju ke dalam lemari, aku menoleh ke arah pintu yang dibuka dari luar. Memastikan siapa yang baru saja masuk. Tante Yasmin.

"Eh, Tante," sapaku ramah.

"Kok masih Tante? Ma-ma." Tante yang sekarang jadi mertuaku itu menghampiriku.

"Eh, iya, Ma. Udah kebiasaan," kataku cengengesan.

"Ini muat nggak sama Amanda?" Mama mengambil piyama yang tergantung di lemari.

Ada luka di tatapan mata sendu itu. Pasti menyakitkan sekali rasanya, ketika kenyataan tak sesuai dengan harapan. Aku dapat merasakan kesakitan yang sama.

"Kecil kayaknya, Ma," jawabku sembari melanjutkan kegiatan menyusun baju ke lemari.

Mama mengembalikan piyama ke tempat semula. "Oh iya, Manda."

Sesaat aku menghentikan aktivitas dan menoleh ke arah Mama.

"Karena sibuk sama acara kemaren, baju kotornya Ivan numpuk. Tolong bantu cuci, ya!"

Aku menoleh ke sudut kamar, di mana dua keranjang baju kotor terletak di sana. "Semuanya Amanda yang cuci, Ma?"

"Kalau mau dilaundri nggak papa. Tapi dalemannya jangan, ya. Pamali daleman suami dicuci orang lain."

Oh astaga!

**

Lalu sekarang jadilah aku di sini, duduk di sofa ruang tamu sedang membolak-balik album foto. Sembari menunggu mesin yang saat ini sedang berputar otomatis mencuci pakaian sepupuku.

Sekarang mulai terasa bedanya peran antara jadi saudara dan seorang istri. Hal yang tak pernah aku lakukan dulu saat menjadi adik selain tidur bersama, adalah melayani semua kebutuhan Mas Ivan. Termasuk mengurus pakaian bahkan underware-nya.

Kaget sudah pasti. Tentu saja aku butuh waktu untuk menyesuaikan diri.

"Nggak punya baju lain lagi?" Suara Mas Ivan membuatku mendongak, tampak mata itu menatapku tajam.

"Kenapa sama bajunya? Aku nyaman aja, kok, pake baju ini."

Mas Ivan berdecak.

Aku mengamati pakaian yang kukenakan saat ini. Baju kaus ketat hingga menampakkan lekuk pinggang serta celana jeans hot pants.l

"Ganti!"

Eh.

"Kan nggak kemana-mana. Di rumah Oma aku biasa pake baju ini," protesku dengan mengernyit menatapnya.

"Di rumah Oma sama di sini beda, Dodol! Di sana kamu tinggal sama sodara perempuan semua."

Ah, entah kejutan apa lagi ini.

"Abis nyuci aja aku ganti bajunya, Mas. Tanggung!"

"Ganti sekarang!"

Baru ingin membuka mulut ini ingin menyela, Mas Ivan kembali berkata tegas.

"Ganti nggak? Kalau mau pake kayak gini ntar malam aja di kamar."

Eh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status