Share

Chapter 4

Bismillah ...

Sudah menjadi kebiasaan, setelah mandi aku akan mengganti baju di dalam kamar mandi. Terlebih saat ada Mas Ivan di rumah. Namun, saat ini aku kebingungan. Sebab tidak menemukan underware di lipatan baju ganti yang sudah kusiapkan tadi.

Ah, mungkin lupa, tapi ... aku yakin kalau tadi sudah mengambilnya. Apa jangan-jangan tercecer? Kuhembuskan napas kasar.

Jadilah aku melilit tubuh ini dengan handuk. Merasa penasaran, aku sedikit membuka pintu. Celingak-celinguk, mengintip ke luar. Sepi. Sepertinya Mas Ivan sedang berada di luar kamar. Lalu pandanganku menyapu lantai kamar, mencari dalaman warna merah muda.

Ah, tu dia, rupanya jatuh di dekat pintu lemari. Ya ampun, Amanda ... ceroboh sekali!

Lalu aku harus apa? Dan itu ... bagaimana kalau dilihat Mas Ivan? Aku menepuk jidat, kenapa selalu saja mempermalukan diri sendiri, sih? Aku merutuki diri.

Kubuka pintu dengan lebar, kemudian melangkah cepat menuju celana merah muda yang tergeletak di lantai. Dengan membawa serta piama yang sudah aku siapkan.

Aku menghela napas lega saat meraih dalamanku tersebut. Karena tidak ada siapa-siapa di kamar, jadi aku berniat akan mengganti baju di sini.

Namun, astaga! Aku terkejut setengah mati, ketika mendengar suara pintu terbuka. Ini celaka!

"Maas! Jangan masuk!" teriakku histeris.

Mas Ivan yang sudah masuk membulatkan mata melihatku, dengan cepat aku menyilangkan tangan di depan dada yang masih terlilit handuk. Ternyata semua laki-laki sama saja. Mata keranjang, memang!

“Mas Ivan! Mutar!”

“Apanya?” tanyanya seakan tanpa dosa.

 “Hais! Balik badan, Mas! Balik, balik!" pekikku panik. Terdengar kekehan gelinya. Diiringi dengan memutar tubuhnya. Aseem, apa-apaan?

“Sama sekali nggak lucu, Mas,” omelku, sambil berjalan menuju kamar mandi.

“Ya elah, nggak nafsu juga kali."

Ck, sialan!

"Mau masuk kamar itu ketuk pintu dulu, kek. Salam, kek."

"Ribet amat, kayak mau namu aja."

Aku berdecak sebal. Kemudian menutup pintu kamar mandi lagi. Ya Lord, aku menutup wajah saat melihat pipi yang merah terpampang di cermin.

Tak peduli mau setampan apa pun sepupuku. Namun tetap saja, drama underware itu sangat memalukan sekaligus menggelikan. Bayangkan saja, Mas Ivan itu kakak yang sering momong diri ini saat kecil. Lalu sekarang, melihatnya sebagai suami yang berhak atas setiap jengkal tubuh ini. Ah, pastinya itu tak akan mudah.

Hubungan kami dari kecil, memang sangat dekat. Seperti kakak-adik biasanya, aku menyayanginya sebagai kakak. Wajar. Karena memang hanya mereka yang aku punya. Umur kami terpaut lima tahun, lebih empat bulan. Artinya saat aku masih suka tantrum, bisa jadi Mas Ivanlah yang membujuk. Mungkin inilah sebabnya, mengapa kami bingung menyikapi status baru. Yah, semua pastinya butuh waktu.

**

Malam ini, aku bersama keluarga Mas Ivan duduk berkumpul di ruang tamu. Berbincang hangat serta merta bercanda tawa. Sembari menikmati bolu kukus yang aku dan Mama buat sore tadi.

Rasanya jauh berbeda saat tinggal di rumah Oma. Di sini hangat dan sangat nyaman. Mereka menerimaku dengan baik.

Begitulah hidup, terkadang keluarga pun malah seperti orang asing. Yah, karena kadang manusia menghargai seseorang lainnya melihat dari materi. Siapa yang punya, dialah yang dijunjung. Sementara yang tak punya akan terasing.

Miris.

"Biasanya kalau Mama sendiri yang bikin pasti kuenya bantet." Papa berucap sambil menikmati kue manis berwarna coklat itu.

Mama malah terkekeh pelan mendengar kejujuran suaminya. "Ini memang Amanda yang bikin. Enak, nggak, Van?"

"Lumayan. Manis sama kayak yang bikin." Mas Ivan mengangkat alisnya melihatku.

"Eeaa, gombal!" Sekuat tenaga aku bersikap biasa saja. Sialnya aku malah tersipu. Saat ini pipi juga hati terasa menghangat.

"Pa, Amanda sama Ivan itu apanya yang mirip?" Mama menyipitkan mata melihatku dan Mas Ivan, mengamati kami bergantian. Mencari kemiripan pada kami, sepertinya.

"Dagunya yang mirip," jawab Papa.

"Ah, alisnya juga sama, lebat. Kata orang jodoh itu memang mirip-mirip." Mama berpendapat.

"Mereka mah, memang sodara. Makanya mirip, bukan karena jodoh doang," celetuk Mas Alfin.

Membicarakan masalah jodoh, pasangan hidup itu memang rahasia Yang Maha Kuasa. Tidak pernah menyangka akan berjodoh dengan makhluk Tuhan yang menyebalkan ini. Sudah ke sana, kemari ... eh, ternyata jodohku masih sama keluarga sendiri. Jodoh itu sangat dekat, ternyata.

"Kamu inget nggak, Mas? Amanda kecil kalau lagi nangis, kamu cium atau kamu pangku aja, dia berenti nangisnya," kenang Mama.

Mas Ivan berdehem.

“Sekarang masih kali. Kalau dicium Mas Ivan berenti nangisnya." Mas Alfin tertawa, diikuti juga kekehan Mama.

"Kasian Mas Ivan disuruh momong sampai tua," celetuk Mas Alfin lagi.

"Nasib emang!" Mas Ivan menjawab.

"Apaan, sih! Emang aku bocah di-emong?" Aku mendelik pada Mas Alfin. Lalu tawa kecil mereka pun berderai.

"Kira-kira nanti gimana muka anak mereka, ya?" tanya Mama.

Mas Ivan seketika tersedak. Lalu ia meraih segelas air putih di meja, meminumnya hingga tandas.

Mendengar kata anak itu memang sama seperti makan bolu ini, tapi tidak minum. Kan seret.

Gimana mau punya anak, Ma. Kalau bersentuhan pun tidak. Membayangkannya saja membuatku bergidik sendiri.

Seketika hening.

Aku menggigit bibir, saat mendapati Mama menatapku seakan penuh selidik. Sorot mata yang tajam, disertai keningnya mengerut. Seperti mengerti apa yang sedang aku pikirkan sekarang.

**

Malam makin larut. Aku yang sedang berbaring, menarik selimut hingga sebatas leher. Mengusir dingin yang membuat bulu kuduk berdiri.

Tanganku memainkan ponsel, berselancar di sosial media. Bibir tersenyum saat mendapati foto Mas Ivan yang lewat di beranda. Beberapa jam lalu ia mengganti foto profil, dengan gaya sok cool. Tangannya dimasukkan ke kantong celana, sambil tersenyum kecil. Memang keren, sih.

Namun, terlalu cool untukku. Mengingat tadi dia bilang kalau tak bernafsu saat melihat diri ini cuma terlilit handuk. Hei ayolah, aku tidak berbusana dan lagi, dapat dipastikan badanku lebih berisi dari pada kekasih yang meninggalkannya itu. Cincin dan ukuran sepatu, buktinya. Lalu ia tak tergoda sama sekali, jadi ragu akan kenormalannya.

Aku menggeleng sendiri.

Lalu kembali scrool beranda di aplikasi bersimbol 'F' ini. Sesekali tertawa membaca status lucu dan saat ini bergidik ngeri. Membaca postingan seakun yang menuliskan ....

'Musim hujan itu rezekinya pengantin baru.' Singkat tapi lebih horor dari cerita hantu. Hiiy, seram.

Kuklik kolom komentar ingin membaca balasan netizen lainnya.

'Musim hujan, musimnya bikin anak.' Astaga, apa-apaan ini?

Seketika berkelebat di benak tentang Mama yang pengin cucu. Lalu bagaimana ia dengan antusiasnya bercerita tentang wajah anak kami. Aku jadi merasa bersalah.

Kubalikkan tubuh, menghadap Mas Ivan. Mengamatinya yang tengah terlelap, nafasnya teratur seperti bayi. Sosok hangat yang dulu melindungiku, sekarang adalah suamiku.

Sebenarnya ada debar tak karuan saat ini, saat terlalu dekat dengannya. Ketika mata coklat itu menatapku. Saat bibir belahnya itu tersenyum. Tanpa kusadari ada yang salah di dalam sini.

Ah, ini bukan cinta.

Mungkin karena aku terlalu bersimpati akan sakitnya. Wajar kalau aku khawatir, bukan? Karena kami bersaudara. Perasaan ini tidak lebih dari sekadar sayang seorang adik untuk kakaknya.

Ya, bukan cinta.

#Romance

Pengantin Pengganti

MENIKAH DENGAN SEPUPU

(4)

Bismillah ...

Sudah menjadi kebiasaan, setelah mandi aku akan mengganti baju di dalam kamar mandi. Terlebih saat ada Mas Ivan di rumah. Namun, saat ini aku kebingungan. Sebab tidak menemukan underware di lipatan baju ganti yang sudah kusiapkan tadi.

Ah, mungkin lupa, tapi ... aku yakin kalau tadi sudah mengambilnya. Apa jangan-jangan tercecer? Kuhembuskan napas kasar.

Jadilah aku melilit tubuh ini dengan handuk. Merasa penasaran, aku sedikit membuka pintu. Celingak-celinguk, mengintip ke luar. Sepi. Sepertinya Mas Ivan sedang berada di luar kamar. Lalu pandanganku menyapu lantai kamar, mencari dalaman warna merah muda.

Ah, tu dia, rupanya jatuh di dekat pintu lemari. Ya ampun, Amanda ... ceroboh sekali!

Lalu aku harus apa? Dan itu ... bagaimana kalau dilihat Mas Ivan? Aku menepuk jidat, kenapa selalu saja mempermalukan diri sendiri, sih? Aku merutuki diri.

Kubuka pintu dengan lebar, kemudian melangkah cepat menuju celana merah muda yang tergeletak di lantai. Dengan membawa serta piama yang sudah aku siapkan.

Aku menghela napas lega saat meraih dalamanku tersebut. Karena tidak ada siapa-siapa di kamar, jadi aku berniat akan mengganti baju di sini.

Namun, astaga! Aku terkejut setengah mati, ketika mendengar suara pintu terbuka. Ini celaka!

"Maas! Jangan masuk!" teriakku histeris.

Mas Ivan yang sudah masuk membulatkan mata melihatku, dengan cepat aku menyilangkan tangan di depan dada yang masih terlilit handuk. Ternyata semua laki-laki sama saja. Mata keranjang, memang!

“Mas Ivan! Mutar!”

“Apanya?” tanyanya seakan tanpa dosa.

 “Hais! Balik badan, Mas! Balik, balik!" pekikku panik. Terdengar kekehan gelinya. Diiringi dengan memutar tubuhnya. Aseem, apa-apaan?

“Sama sekali nggak lucu, Mas,” omelku, sambil berjalan menuju kamar mandi.

“Ya elah, nggak nafsu juga kali."

Ck, sialan!

"Mau masuk kamar itu ketuk pintu dulu, kek. Salam, kek."

"Ribet amat, kayak mau namu aja."

Aku berdecak sebal. Kemudian menutup pintu kamar mandi lagi. Ya Lord, aku menutup wajah saat melihat pipi yang merah terpampang di cermin.

Tak peduli mau setampan apa pun sepupuku. Namun tetap saja, drama underware itu sangat memalukan sekaligus menggelikan. Bayangkan saja, Mas Ivan itu kakak yang sering momong diri ini saat kecil. Lalu sekarang, melihatnya sebagai suami yang berhak atas setiap jengkal tubuh ini. Ah, pastinya itu tak akan mudah.

Hubungan kami dari kecil, memang sangat dekat. Seperti kakak-adik biasanya, aku menyayanginya sebagai kakak. Wajar. Karena memang hanya mereka yang aku punya. Umur kami terpaut lima tahun, lebih empat bulan. Artinya saat aku masih suka tantrum, bisa jadi Mas Ivanlah yang membujuk. Mungkin inilah sebabnya, mengapa kami bingung menyikapi status baru. Yah, semua pastinya butuh waktu.

**

Malam ini, aku bersama keluarga Mas Ivan duduk berkumpul di ruang tamu. Berbincang hangat serta merta bercanda tawa. Sembari menikmati bolu kukus yang aku dan Mama buat sore tadi.

Rasanya jauh berbeda saat tinggal di rumah Oma. Di sini hangat dan sangat nyaman. Mereka menerimaku dengan baik.

Begitulah hidup, terkadang keluarga pun malah seperti orang asing. Yah, karena kadang manusia menghargai seseorang lainnya melihat dari materi. Siapa yang punya, dialah yang dijunjung. Sementara yang tak punya akan terasing.

Miris.

"Biasanya kalau Mama sendiri yang bikin pasti kuenya bantet." Papa berucap sambil menikmati kue manis berwarna coklat itu.

Mama malah terkekeh pelan mendengar kejujuran suaminya. "Ini memang Amanda yang bikin. Enak, nggak, Van?"

"Lumayan. Manis sama kayak yang bikin." Mas Ivan mengangkat alisnya melihatku.

"Eeaa, gombal!" Sekuat tenaga aku bersikap biasa saja. Sialnya aku malah tersipu. Saat ini pipi juga hati terasa menghangat.

"Pa, Amanda sama Ivan itu apanya yang mirip?" Mama menyipitkan mata melihatku dan Mas Ivan, mengamati kami bergantian. Mencari kemiripan pada kami, sepertinya.

"Dagunya yang mirip," jawab Papa.

"Ah, alisnya juga sama, lebat. Kata orang jodoh itu memang mirip-mirip." Mama berpendapat.

"Mereka mah, memang sodara. Makanya mirip, bukan karena jodoh doang," celetuk Mas Alfin.

Membicarakan masalah jodoh, pasangan hidup itu memang rahasia Yang Maha Kuasa. Tidak pernah menyangka akan berjodoh dengan makhluk Tuhan yang menyebalkan ini. Sudah ke sana, kemari ... eh, ternyata jodohku masih sama keluarga sendiri. Jodoh itu sangat dekat, ternyata.

"Kamu inget nggak, Mas? Amanda kecil kalau lagi nangis, kamu cium atau kamu pangku aja, dia berenti nangisnya," kenang Mama.

Mas Ivan berdehem.

“Sekarang masih kali. Kalau dicium Mas Ivan berenti nangisnya." Mas Alfin tertawa, diikuti juga kekehan Mama.

"Kasian Mas Ivan disuruh momong sampai tua," celetuk Mas Alfin lagi.

"Nasib emang!" Mas Ivan menjawab.

"Apaan, sih! Emang aku bocah di-emong?" Aku mendelik pada Mas Alfin. Lalu tawa kecil mereka pun berderai.

"Kira-kira nanti gimana muka anak mereka, ya?" tanya Mama.

Mas Ivan seketika tersedak. Lalu ia meraih segelas air putih di meja, meminumnya hingga tandas.

Mendengar kata anak itu memang sama seperti makan bolu ini, tapi tidak minum. Kan seret.

Gimana mau punya anak, Ma. Kalau bersentuhan pun tidak. Membayangkannya saja membuatku bergidik sendiri.

Seketika hening.

Aku menggigit bibir, saat mendapati Mama menatapku seakan penuh selidik. Sorot mata yang tajam, disertai keningnya mengerut. Seperti mengerti apa yang sedang aku pikirkan sekarang.

**

Malam makin larut. Aku yang sedang berbaring, menarik selimut hingga sebatas leher. Mengusir dingin yang membuat bulu kuduk berdiri.

Tanganku memainkan ponsel, berselancar di sosial media. Bibir tersenyum saat mendapati foto Mas Ivan yang lewat di beranda. Beberapa jam lalu ia mengganti foto profil, dengan gaya sok cool. Tangannya dimasukkan ke kantong celana, sambil tersenyum kecil. Memang keren, sih.

Namun, terlalu cool untukku. Mengingat tadi dia bilang kalau tak bernafsu saat melihat diri ini cuma terlilit handuk. Hei ayolah, aku tidak berbusana dan lagi, dapat dipastikan badanku lebih berisi dari pada kekasih yang meninggalkannya itu. Cincin dan ukuran sepatu, buktinya. Lalu ia tak tergoda sama sekali, jadi ragu akan kenormalannya.

Aku menggeleng sendiri.

Lalu kembali scrool beranda di aplikasi bersimbol 'F' ini. Sesekali tertawa membaca status lucu dan saat ini bergidik ngeri. Membaca postingan seakun yang menuliskan ....

'Musim hujan itu rezekinya pengantin baru.' Singkat tapi lebih horor dari cerita hantu. Hiiy, seram.

Kuklik kolom komentar ingin membaca balasan netizen lainnya.

'Musim hujan, musimnya bikin anak.' Astaga, apa-apaan ini?

Seketika berkelebat di benak tentang Mama yang pengin cucu. Lalu bagaimana ia dengan antusiasnya bercerita tentang wajah anak kami. Aku jadi merasa bersalah.

Kubalikkan tubuh, menghadap Mas Ivan. Mengamatinya yang tengah terlelap, nafasnya teratur seperti bayi. Sosok hangat yang dulu melindungiku, sekarang adalah suamiku.

Sebenarnya ada debar tak karuan saat ini, saat terlalu dekat dengannya. Ketika mata coklat itu menatapku. Saat bibir belahnya itu tersenyum. Tanpa kusadari ada yang salah di dalam sini.

Ah, ini bukan cinta.

Mungkin karena aku terlalu bersimpati akan sakitnya. Wajar kalau aku khawatir, bukan? Karena kami bersaudara. Perasaan ini tidak lebih dari sekadar sayang seorang adik untuk kakaknya.

Ya, bukan cinta.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status