Share

Chapter 5

Bismillah ...

Di suatu pagi, aku berdiri di depan cermin, mengamati penampilan adalah kebiasaan baru sebelum aku keluar dari kamar. Memastikan kalau yang aku kenakan ini sudah pantas. Kan sungkan bila ditegur lagi seperti kemarin. Pastinya sebal juga.

Ditegur tegas seperti itu bukan hal baru sebenarnya. Ah, aku jadi teringat masa dulu.

Di suatu pagi saat Mas Ivan mengantarku ke sekolah, dia berhenti sejenak di depan kios bunga.

"Tunggu bentar, ya, Nda," katanya sembari keluar dari mobil. Lalu dia tampak berjalan memasuki toko yang menjual berbagai macam bunga berwarna-warni itu.

Aku hanya mengamatinya dari dalam sini. Tak lama menunggu, Mas Ivan sudah kembali membawa sebuket bunga mawar merah. Sangat cantik.

"Eeaa! Buat pacarnya, ya?" godaku saat Mas Ivan kembali dan duduk di kursi kemudinya. "Mas Ivan ternyata manis juga."

Sepupuku itu hanya tersenyum kecil. Lalu kembali menjalankan mobil.

"Jadi kepengen juga dikasih bunga," kataku seraya tersenyum.

"Sekolah yang pinter, jangan pacaran mulu!"

Aku memutar bola mata. "Iya-iya."

"Awas aja kalau Mas tau kamu pecicilan!" Begitu ancamnya disertai dengan mata yang mendelik.

"Is, bawel banget, sih!" gumamku pelan.

"Apaan?"

"Bunganya cantik, Mas. Buat siapa emang?"

"Ini bocah mau tahu ... aja urusan orang."

Aku cuma cengengesan melihatnya.

**

Pernah juga saat malam minggu, aku punya janji dengan kekasihku nonton di bioskop.

Aku yang saat itu masih remaja, tersenyum riang di depan cermin. Kukenakan lotion di tangan dan kaki, lalu memoles wajah dengan bedak tipis-tipis. Aku mengenakan dress longgar selutut berwarna biru, serta rambut sebahu yang digerai. Tak lupa parfum kusemprot ke baju dan tangan, hingga wangi parfum menguar segar.

Cantik. Wangi lagi.

Aku tersenyum geli sendiri, sambil mengamati bayangan diri yang terpampang di cermin.

Lantas setelah meminta izin pergi pada Oma, aku pun duduk di sofa teras rumah, menunggu Dion menjemputku. Tak sulit mendapat izin wanitaku itu. Sebab selama ini aku selalu berusaha menjaga kepercayaan Oma. Tidak pulang terlambat dan juga tak pernah macam-macam.

Tampak vixion merah berhenti di luar pagar rumah. Dengan semringah aku beranjak membuka pagar, keluar menemui lelaki kesayangan. Tak lupa sebelumnya menutup pintu besi itu kembali.

"Kamu cantik," puji Dion yang sontak membuatku tersenyum. Terasa ada bunga-bunga yang bermekaran di dalam dada ini.

"Berangkat sekarang?" Aku mengulum senyum.

"Ayo."

Dengan senang hati aku pun duduk menaiki motor. Lalu kuda besi pun melaju dengan kecepatan sedang. Terlihat banyak lampu yang menerangi kegelapan malam hari. Bintang pun bertaburan berkelap-kelip, seakan mendukung keindahan malam minggu ini.

"Kamu nggak bawain aku helm?" tanyaku sambil merapikan rambut yang melambai tertiup angin.

"Maaf. Aku lupa, Sayang."

Lalu motor pun berhenti, karena lampu merah. Saat menoleh ke samping kanan, aku terperanjat saat melihat mobil Mas Ivan yang sekarang sama-sama berhenti di sini.

Lebih ambyarnya lagi saat aku menoleh bertepatan dengan kaca mobil yang diturunkan. Sepertinya aku memang sudah diperhatikan sepupuku itu sejak tadi.

"Ke mana?" tanya Mas Ivan dengan tampang galaknya.

Aku menggigit bibir sebelum menjawab, "Mau nonton, Mas."

"Turun!"

Oh astaga!

Apaan lagi ini?

Kan, jadi nggak enak sama Dion.

"Gimana nih, Yang. Masku kayaknya nggak bolehin."

Dion mendesah kesal. "Yaudah ketemuannya besok aja, deh. Nurut sama masmu aja."

"Maaf, ya," kataku tulus karena merasa bersalah.

"Yaudah, nggak papa. Sana gih, ntar masnya tambah marah lagi."

Aku menghela napas, disertai turun dari motor Dion. Dilanjutkan dengan naik ke mobil Mas Ivan. Aku duduk di depan, di samping ia yang mengemudi.

"Is, kecentilan!" katanya yang membuat aku makin memberengut kesal.

"Jadi kita ke mana, Mas?" tanyaku lirih. Takut sebenarnya.

"Ya, pulanglah. Kamu pikir kita mau ke mana?"

**

Kan ngenes banget akhirnya!

Bukan hanya aku, bahkan Alisa pun pernah diperingatkan dengan tegas oleh Mas Ivan. Karena sudah larut malam sepupu perempuanku itu baru diantar pulang kekasihnya. Apesnya lagi, saat itu Mas Ivan sedang berada di rumah Oma.

Yah, begitulah saudara kami yang satu itu. Dia memang protektif dalam menjaga kami --saudara perempuannya. Sudah sejak dulu. Mungkin karena dia saudara laki-laki yang paling tua kalau dari jalur Oma. Hingga dia merasa bertanggung jawab menjaga kami, mungkin.

Siapa yang menyangka kalau protektifnya Mas Ivan itu malah seakan menjaga jodoh sendiri? Haha. Nyatanya jodoh memang sedekat itu!

**

"Kok, tumben ikannya nggak segar? Biasanya Mama cerewet banget milih ikan." Telunjukku menekan badan ikan tongkol yang terletak di meja. Kulit perutnya terasa lembek, ciri ikan yang sudah berkurang kesegarannya. Saat ini aku sedang membantu Mama menyiapkan sarapan di dapur.

"Huum. Bukan Mama yang belanja tapi Mbak Jum. Nggak kuat keluar, Nda. Asam lambung Mama langsung naik," jawab Mama yang sedang mengaduk teh panas. "Ikannya bersihin aja, terus langsung dimasak semuanya."

"Oh, iya, Ma." Aku pun membawa pelastik yang berisi ikan ke wastafel untuk dibersihkan.

"Tapi apa hubungannya belanja ke luar sama asam lambung naik?" Aku mengerutkan kening, heran.

"Nggak tahan dengarin apa kata orang di luar."

Aku terhenyak sesaat. "Memangnya seviral itu, ya? Terus gimana Mas Ivan yang mulai masuk kerja hari ini?"

Seketika aku khawatir, tentu saja aku menyayangi saudaraku itu.

"Kenapa sama Mas Ivan?" celetuk Mas Alfin yang baru saja masuk ke dapur. Adik bungsu suamiku itu langsung menyambar teh di meja yang sudah di aduk Mama.

"Mas Ivan mah santai. Nggak ambil pusing sama apa kata orang di luar sana. Nggak usah terlalu dipikirin, Ma," kata Mas Alfin yang kini sudah rapi dengan seragam kerjanya itu. Kini dia duduk sambil menyesap teh yang asapnya masih mengepul.

Mama menghela nafas panjang.

"Masa bodo apa kata mereka. Ntar juga berenti sendiri. Kita juga nggak minta beras sama mereka, jadi ya bodo amat," ungkap Mas Alfin lagi.

"Bener juga sih," jawab Mama.

"Nggak usah buka sosmed dulu, Nda. Biar nggak stress," sambung Mas Alfin lagi.

"Iya, Mas."

Sepertinya topik tentang keluarga kami, masih panas diperbincangkan. Sudah jadi hukum alam, akan ada manusia yang sampai hati menggunjing penderitaan makhluk lainnya. Di mana pun kita tinggal, netizen yang maha benar ini pasti selalu ada mewarnai kehidupan.

Walaupun begitu hidup akan terus berjalan. Seprti roda yang terus berotasi. Kadang akan berada di atas, bahkan seperti kami saat ini, sedang berada di titik terdasar.

Akan ada masa di mana gosip pun akan berganti dengan topik panas lainnya. Jadi harus sabar dalam menanti pergantian itu.

Sampai kapan?

Entahlah!

**

Saat aku masuk kamar, terdengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Sepupu sekaligus suamiku itu masih mandi rupanya.

Aku pun bergegas menyiapkan pakaian kerja Mas Ivan. Dari kemeja, dasi, hingga kaus kaki yang kemarin aku cuci dan lipat rapi ke lemari. Kalau saat seperti ini berasa jadi istri sungguhan. Oho.

Ketika aku merapikan seprai dan selimut, terdengar suara pintu kamar mandi yang terbuka. Tampak Mas Ivan keluar hanya dengan berbalut handuk di pinggangnya.

Sontak aku terperanjat melihat Mas Ivan yang bertelanjang dada dengan santai berjalan kemari. Tak ayal membuatku refleks menelan ludah. Perutnya memang tidak sebagus artis yang di TV, tapi lumayan berkotak-kotak.

Astaga!

Mataku ternoda!

"Ngiler?" tanyanya seolah tanpa dosa.

"Ya ampun, Mas Ivaaan!" pekikku diikuti dengan memejamkan mata seketika.

"Halah ... tadi juga nelan ludah!"

Duh!

Apa-apaan ini?

Cepat aku membalikkan badan, saking malunya. Degup jantungku terasa sangat cepat menggedor-gedor dada. Disertai rasa panas yang mengaliri pipi.

Sementara Mas Ivan tertawa geli, hingga memecah keheningan kamar ini.

"Pergi, nggak?" 

"Kamu nggak mau liat lagi? Mumpung Mas lagi baik." Shit! Dia masih menggodaku.

"Roti sobek bantet biar gratisan aku nggak suka."

Mas Ivan semakin terbahak. "Kamu suka model yang kek Papa? Ngembang kayak balon?"

"Mas Ivaan!" teriakku histeris.

Aku nyaris saja limbung saat bantal menimpuk kepalaku.

"Jangan teriak, Dol! Lebai banget."

"Nggak lucu, Mas! Rese' banget, sih!"

"Baru aja liat perut, udah nelen ludah." Mas Ivan masih mengekeh.

Astaga ... Mas Ivan.

Aku menggeleng kuat-kuat, menepis bayangan yang hadir. Tidak ingin munafik, aku memang terpesona tapi setelah itu ada rasa yang paling mendominasi.

Geli!

Rizky Chintya

Bab 5 post!

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status