Share

Penghormatan Terakhir

Author: Nooraya
last update Last Updated: 2024-04-22 21:17:41

“AAA ...!”

Teriakan Jin Hao memenuhi hutan. Bai Jia bingung harus berbuat apa, dia tidak bisa melepaskan pedangnya dari genggaman tangan Jin Hao yang kini mengucurkan darah.

Langit bergemuruh di atas sana membuat Bai Jia semakin panik—“Guru!”

Tidak lama kemudian, sesuatu seperti tengah merasuki Jin Hao. Dia merampas Pedang Surga dari Bai Jia dan menghunuskannya ke perutnya sendiri.

“Guru!”

Bai Jia membeku di tempatnya. Dia syok melihat apa yang terjadi di depan matanya saat ini.

Jin Hao jatuh berlutut di hadapan Bai Jia. Perlahan kesadarannya kembali dan meraih tangan Bai Jia.

“Ba-i Ji-a!”

Jin Hao kesakitan, rasanya seperti terbakar. Namun, dia tidak dapat menarik pedang itu sendiri Pedang tersebut menolaknya.

Bai Jia yang melihat derita sang guru lantas dengan segera menarik pedangnya. Namun, bertepatan dengan itu ....

“GURU!”

Terdengar suara teriakan histeris. Bukan dari Bai Jia ataupun Jin Hao, melainkan dari seorang gadis yang saat ini menghampiri mereka. Yue Er, dia terkejut bahwa apa yang ia takutkan ternyata sungguh terjadi.

TSRING!

Rouku mengeluarkan pedangnya dan mengarahkannya tepat ke leher Bai Jia. “Apa yang kau lakukan pada Guru Hao, Bai Jia? kau ingin membunuhnya?” tanya Rouku dengan sedikit berteriak.

Bai Jia yang masih syok pun berkata, “A-a-ku ... tidak tahu.”

“Brengsek!”

Rouku sudah akan menebas leher Bai Jia, akan tetapi tindakannya segera dicegah oleh Yue Er. “Hentikan! ... Kak Rouku, kita lanjutkan perjalanan ke utara malam ini, Guru Hao membutuhkan pertolongan.”

Mendengar permintaan itu, Rouku mau tidak mau menyimpan kembali pedangnya dan kemudian membantu Yue Er mengangkat Jin Hao. Bai Jia sudah akan bergerak untuk ikut membantu. Namun, niatnya ditolak oleh Yue Er.

“Diam di tempatmu!” perintah Yue Er ke Bai Jia.

“Adik Yue—”

“Aku sangat mempercayaimu, Kak,” kata Yue Er penuh kepiluan, “tapi sepertinya apa yang dikatakan Kak Rouku kini mulai terbukti kebenarannya.”

“Tidak, Yue, tolong dengark—”

“Jangan ikuti kami!” perintah Yue Er, “sampai kamu bisa membuktikan bahwa kamu sama sekali tidak ada hubungan dengan Negeri Diyu, jangan pernah menunjukkan wajahmu dihadapanku, terlebih sebagai bagian dari Perguruan Lotus Putih!”

Putusan final itu berhasil membuat Bai Jia kembali mematung. Dia pandangi tiga punggung yang kini menjauh darinya dan perlahan menghilang dari pandangan.

Di dunia ini, Bai Jia hanya mengenal Lotus Putih. Harus bagaimana dia setelah tidak lagi dengan Lotus Putih? Bai Jia bingung, dia pandangi pedang di tangannya. Darah sang guru masih ada di sana.

“HAAA ...!”—Bai Jia melempar pedangnya hingga tertancap di tanah.

Langit yang sejak tadi hanya bergemuruh kini mulai menurunkan airnya. Bai Jia menjatuhkan diri dan menjadikan lututnya sebagai tumpuan.

“Ah, kenapa hidupku seperti ini?”—Bai Jia mengepalkan kedua tangannya.

-

-

-

Setelah kejadian penusukan Jin Hao, Yue Er dan rombongan Lotus Putih bergegas melanjutkan perjalanan ke utara malam itu juga. Mereka berpacu dengan waktu karena kondisi Jin Hao yang semakin buruk.

Tubuh Jin Hao dingin, mengeras, dan darahnya menghitam. Yue Er tidak mengerti, dia baru kali ini melihat hal seperti itu.

Dia hanya berpikir bahwa mungkin ada racun di pedang Bai Jia. Sungguh sakit hati Yue Er memikirkannya.

“Y-yue—Er!” panggil Jin Hao terbata di sela perjalanan mereka.

“Bertahanlah, Guru! sore nanti kita akan tiba di Mudan. Guru tahu, ‘kan, kalau di Mudan banyak tabib hebat, mereka pasti bisa menyembuhkan Guru. Guru pasti akan baik-baik saja.”

Jin Hao meminta berhenti untuk beristirahat. Pada awalnya Yue Er menolak tapi pada akhirnya dia menuruti permintaan sang guru.

Begitu mereka berhenti, Jin Hao menggenggam erat tangan Yue Er. “Yue—Er, perha—tikan mereka yang mengi—kutimu!” pinta Jin Hao.

Yue Er tidak terlalu paham, akan tetapi dia segera menatap saudara-saudara seperguruannya. Benar, ternyata kondisi mereka tidak lebih baik dari gurunya.

“Oh tidak, apakah aku sudah melakukan kesalahan-kesalahan?” batin Yue Er.

“Yue Er, seorang pemimpin ... harus bisa melihat ... dan memikirkan orang-orangnya. Tekan egomu! itulah yang pernah ketua perguruan ... atau ayahmu katakan padaku ... saat aku memaksa para murid ... untuk berlatih siang malam demi kompetisi di istana.”

“Guru ....”

“Yue—Er, waktuku tidak banyak, sudah saatnya Lotus Putih memiliki seorang pemimpin muda sepertimu.”

“Tidak, bertahanlah sedikit lagi, Guru!”—Yue Er meneteskan air matanya—“Yue Er masih membutuhkan bimbingan dari Guru.”

“Yue—Er, jangan ... membenci ... Bai Jia! dia ....”

Belum selesai Jin Hao berucap, jantungnya sudah berhenti. Jin Hao, dia menghembuskan napas terakhirnya.

“Guru!” panggil Yue Er panik, “tidak, Guru, jangan pergi! Guru ...!”

Perjalanan menuju utara itupun terhenti sementara. Di sebuah bukit di hutan tersebut Yue Er dan para murid Lotus Putih mengadakan upacara penghormatan terakhir untuk Jin Hao.

Kedukaan tiada akhir, mungkin itu yang bisa menggambarkan kondisi Yue Er saat ini. Di usianya yang masih muda, Yue Er harus menjadi seorang ketua perguruan setelah kehilangan banyak orang yang dicintainya dan juga perguruannya.

Tangan Yue Er mengepal kuat—“Bai Jia ... iblis Diyu, Lou Yin,” gumamnya.

-

-

-

Sementara Yue Er dan rombongannya tengah memakamkan Jin Hao, saat ini di tempat lain yang berjarak ratusan mil dari sana, Bai Jia berjalan seorang diri menuju sebuah negeri bernama Wuxia.

Setelah mendengar permintaan Yue Er semalam, Bai Jia mau tidak mau memisahkan diri dari rombongan Lotus Putih. Dia tidak lagi menuju Perguruan Mudan di utara dan tidak juga menuju pusat kota Shengren. Bai Jia, dia memilih untuk ke Wuxia.

Kepergian Bai Jia ke Wuxia bukan tanpa tujuan. Dia membawa pedangnya ke sana dengan tujuan untuk menemui seorang ahli pedang yang terkenal hebat.

Tidak hanya hebat dalam ilmu pedang, seseorang itu juga memiliki pengetahuan yang luas mengenai pedang. Oleh karena pengetahuannya yang luas itulah sang pendekar disebut sebagai dewa pedang maha tahu.

Hanya sayangnya, tidak ada satu pun orang yang tahu dengan pasti di mana dewa pedang maha tahu tinggal. Banyak orang berkata bahwa keberuntungan lah yang akan menentukan bisa atau tidaknya seseorang bertemu dengannya.

Sungguh, Bai Jia sama sekali tidak peduli. Entah dia memiliki keberuntungan atau tidak, dia akan berusaha menemukan dewa pedang maha tahu itu.

“Aku tidak peduli, akan kubuat dia keluar dengan sendirinya untuk menemuiku!” tekat kuat Bai Jia.

-

-

-

Setelah tiga hari berjalan kaki, pada akhirnya Bai Jia sampai di Wuxia, negerinya para pendekar pedang. Di sana ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Iblis Suci Pemilik Pedang Surga    Mini Story-15 Semoga Hidup Baik

    Begitu masuk ke dalam air, Wen Lai tidak melihat Li Jun bersamanya. Dia tidak menemukan Li Jun ikut masuk ke dalam air.Mengetahui hal itu, Wen Lai pun langsung naik ke permukaan untuk mencarinya. Namun, begitu sampai di permukaan, dia justru terkejut karena yang ada di sekelilingnya kini sudah bukan lagi taman atau bangunan-bangunan di Sungai Jingsan. Sisi kanan dan kiri sungai sekarang ialah hutan-hutan lebat. “Ini ... di mana?”—Wen Lai bingung.“Pangeran!” Panggilan itu mengejutkan Wen Lai hingga membuatnya seketika menoleh ke sumber suara. Ternyata, orang-orang yang memanggilnya tadi adalah orang selatan yang merupakan pengikut keluarganya.“Pangeran! itu pangeran Wen Lai! cepat bantu pangeran naik!”“Aku tidak sedang bermimpi, aku sadar sepenuhnya, aku ... aku ada di Diyu?”Setelah kurang lebih dua minggu berada di dunia lain, pada akhirnya Wen Lai dapat kembali ke Diyu. Dia akhirnya dapat bernapas lega mengetahui ayah, anggota keluarganya, dan para pengikut setia mereka selama

  • Iblis Suci Pemilik Pedang Surga    Kembali dengan Takdir Masing-masing

    Setelah kematian kakeknya, Li Jun beraktivitas sebagaimana biasanya. Pergi bekerja dan sekolah seperti sebelum-sebelumnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Wen Lai. Dia kembali bekerja di kedai nenek An yang baru saja selesai direnovasi. Hanya saja, meskipun demikian Wen Lai tetap dapat melihat kesedihan yang begitu dalam di sorot mata Li Jun. Wen Lai tahu bahwa pemuda itu sebenarnya hanya sedang berusaha tegar di depannya. “Terima kasih untuk hari ini, Wen Lai!” ucap nenek An.“Aku juga berterima kasih, Nenek! ... kalau begitu, aku pulang dulu.”“Iya, hati-hati!”Hari pertama kedai mie nenek An buka, pelanggan sudah langsung banyak yang datang. Sehingga, sebelum matahari terbenam, mie mereka sudah habis dan Wen Lai bisa pulang lebih awal. Wen Lai senang melihat perubahan yang terjadi pada kedai nenek An. Kedai itu kini sudah jauh lebih bagus dan ramai dari pertama kali ia ke sana. Wen Lai bersyukur untuk itu.Karena pulang lebih awal, Wen Lai lantas memutuskan untuk pulang jalan

  • Iblis Suci Pemilik Pedang Surga    Mini Story-13 Melewatkan Kesempatan (Lagi)

    Setelah puas mencoba berbagai macam wahana permainan, akhirnya sebagai penutup liburan mereka, Li Jun membawa Wen Lai ke pantai. “Ini!”—Li Jun memberikan minuman kaleng kepada Wen Lai. Dia kemudian ikut duduk di atas pasir di samping Wen Lai. Mereka menikmati pemandangan matahari terbenam dalam diam.“Terima kasih, Li Jun!” ucap Wen Lai mengusir hening di antara keduanya. “Hem?”“Terima kasih sudah mengajakku berlibur! aku ... untuk sejenak merasa bebanku hilang,” jelas Wen Lai, “dunia tanpa perang dan perebutan tahta ternyata sangat menenangkan dan menyenangkan.”Li Jun tertawa kecil. “Sebenarnya, kesenangan yang baru kau rasakan hari ini hanyalah sebagian kecil dari kehidupan utuh di dunia. Tidak selamanya perang itu berwujud saling serang di medan perang dengan menggunakan pedang. Asal kau tahu, Wen Lai, sebenarnya peperangan di sini jauh lebih kejam dan kotor.”Wen Lai menatap Li Jun bingung. Dia mas

  • Iblis Suci Pemilik Pedang Surga    Mini Story-12 Mulai Nyaman

    Di sore ketika Li Jun masih mengantar makanan ke tempat pelanggan. Wen Lai tidak sengaja menjatuhkan gelas minuman bekas pelanggan.Hal itu mengejutkan semua orang yang ada di dalam kedai, tidak terkecuali nenek An. Sang nenek yang awalnya sibuk di tempat memasak, karena panik akhirnya menghampiri Wen Lai. “Wen Lai, ada apa? kau baik-baik saja?” tanya nenek An.Wen Lai yang awalnya mematung menatap arah sungai akhirnya memutus pandangannya ketika mengetahui nenek An membantunya membersihkan pecahan kaca gelas. “Nenek, jangan! biar aku saja, jangan sampai tangan nenek terluka!”“Kau baik-baik saja, Wen Lai?” tanya nenek An lagi.“Iya, Nek, aku baik-baik saja, tadi tanganku sedikit licin.”Wen Lai membuat alasan sebisanya. Dia lantas memungut pecahan gelas sambil kembali melihat ke arah sungai.Cahaya itu masih keluar dari dalam sungai. Cahaya yang tadi membuatnya terkejut sampai tidak sengaja me

  • Iblis Suci Pemilik Pedang Surga    Mini Story-11 Inovasi

    “Jadi, uang yang kau gunakan untuk potong rambut adalah hasil dari kau bekerja di kedai mie?” tanya Li Jun yang kemudian diangguki oleh Wen Lai.“Kenapa?”“Apa?”“Potong rambut. Kenapa?”Pangeran Diyu itu menaikkan kedua bahunya—“Tidak ada alasan khusus, aku hanya ingin melakukannya,” jelasnya, “ternyata, ucapanmu tentang trend rambut pendek lebih bagus dan disukai itu benar, kata bibi di tempat potong rambut, aku semakin tampan dengan rambut pendek,” lanjut Wen Lai dengan senyuman senang penuh percaya diri.“Cih!” cibir Li Jun.Li Jun masih tidak percaya, hari ini Wen Lai cukup mengejutkannya. Di satu sisi dia senang Wen Lai tidak kesulitan berada di dunianya. Namun, di sisi lain, entah kenapa dia justru merasa khawatir.“Hah! kenapa aku jadi merasa menyesal sudah mengajarinya?” ucap Li Jun dalam hati.Li Jun mencoba abai pada perasaannya. Dia memakan mie yang dibawa oleh Wen Lai dari kedai Nenek An.Mata Li Jun melotot saat bumbu mie itu pertama kali menyapa lidahnya. “Woah!” seruny

  • Iblis Suci Pemilik Pedang Surga    Mini Story-10 Penampilan Baru

    Melihat toko penyedia jasa potong rambut, Wen Lai jadi berpikir untuk memotong rambutnya. Namun, setelah mengingat ucapan Li Jun bahwa segala sesuatu di dunia ini membutuhkan uang dan saat ini dia tidak memilikinya, Wen Lai akhirnya tidak jadi masuk ke ‘barber shop’.Tidak apa jadi pusat perhatian banyak orang. Pikirnya, dia juga tidak akan selamanya berada di dunia ini. “Apa yang kalian lakukan? ... tolong!”Teriakan dari seorang perempuan tua menyapa pendengaran Wen Lai. Seorang nenek sedang dirampok di salah satu gang sepi.Wen Lai tentu saja tidak bisa membiarkan hal itu terjadi begitu saja di depan matanya. Merampok perempun tua adalah tindakan seorang pengecut. Jika ada orang yang hanya melihat dan membiarkan itu terjadi, maka dia lebih pengecut dari seorang pengecut. Wen Lai mengambil beberapa kerikil dari tepi jalan lalu melemparnya pada dua penjambret tersebut. Kerikil-kerikil itu mengenai kepala mereka dan membuat me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status