“Kakek Guru, apa yang terjadi?”—Bai Jia panik.
Terdengar suara seperti orang mendengkur. Cukup lirih dan samar sampai Bai Jia harus diam untuk memastikannya.“Kakek?”Ternyata, setelah orang-orang Diyu meninggalkannya, Tao Jin dengan sisa tenaga dalamnya membekukan jantungnya agar tidak cepat berhenti berdetak. Dia berharap ada orang baik yang menemukannya sebelum ia benar-benar mati.Setelah semalaman bertahan hidup, pada akhirnya sungguh ada yang datang. Beruntunglah orang yang datang ialah seseorang yang Tao Jin kenal, yaitu murid istimewanya, Bai Jia.“Siapa yang melakukan ini, Kek?” tanya Bai Jia.Bai Jia mendekatkan telinganya ke mulut Tao Jin yang seperti ingin bicara. “Ta—n—shen,” ucap Tao Jin susah payah.Sunyi, tidak ada lagi suara yang keluar dari mulut Tao Jin. Bai Jia mencoba memeriksa kakek gurunya itu. Namun, rupanya sudah tidak ada lagi jantung yang berdetak. Sekarang Tao Jin sudah benar-benar meninggalkan dunia.“Tidak, jangan pergi! ... aku mohon, Kakek Guru, jangan pergi!”—tangis Bai Jia pecah—“Kakek Guru, bangunlah! masih ada banyak hal yang ingin kutanyakan, Kek~”Pikiran Bai Jia kalut, emosinya berantakan. Namun, tiba-tiba dia berhenti menangis ketika mengingat ucapan terakhir kakek gurunya tadi.“Pegunungan Tanshen, ada apa di Pegunungan Tanshen?” batin Bai Jia.Bai Jia bangkit dan berkeliling lokasi perguruan. Setelah beberapa saat, akhirnya dia sadar bahwa ternyata tidak ada satu pun jasad saudara-saudara seperguruannya di sana. Ada harapan bahwa saat ini Yue Er dan saudara-saudara seperguruannya yang lain masih hidup.“Pegunungan Tanshen,” gumam Bai Jia sembari mengepalkan kedua tangannya.Bai Jia segera bergerak menuju Pegunungan Tanshen yang letaknya di sisi utara Perguruan Lotus Putih. Dia pernah mendengar bahwa Lotus Putih memiliki lorong rahasia bawah tanah untuk melarikan diri yang posisinya hanya diketahui oleh para guru.Di saat Bai Jia masih dalam perjalanan .... Saat ini di Pegunungan Tanshen, pasukan Diyu berhasil mengejar rombongan Yue Er.Tidak ada celah untuk orang-orang Lotus Putih melarikan diri. Sehingga, mau tidak mau mereka harus melawan orang-orang Diyu tersebut.“Rouku, lindungi Yue Er!” perintah Jin Hao.“Baik, Guru.”Denting pedang milik pasukan Diyu dan orang-orang Lotus Putih yang tengah bertarung bergema di antara pepohonan. Kekuatan yang tidak seimbang membuat banyak korban berjatuhan dari pihak Lotus Putih.Di tengah riuh peperangan dan pemandangan jasad saudara-saudara seperguruannya, tiba-tiba Yue Er terdiam. Dia lantas berkonsentrasi sambil menatap telapak tangannya.Tidak lama, sebuah seruling muncul di atas tangan Yue Er. Seruling itu merupakan pusaka turun temurun milik Perguruan Lotus Putih yang telah diwariskan pada Yue Er sejak orang tuanya meninggal.Pusaka itu disebut sebagai Seruling Laba-laba Pembunuh. Dinamai demikian karena ketika seruling dimainkan, gelombang suara yang dihasilkan akan berubah menjadi benang tipis mirip seperti jaring laba-laba. Namun, berbeda dari jaring laba-laba, benang itu sangatlah tajam dan dapat membunuh lawan.Yue Er sadar dirinya belum terlalu menguasai Seruling Laba-laba Pembunuh, akan tetapi keadaan saat ini memaksanya untuk mencoba menyerang dengan menggunakan seruling tersebut.Jin Hao yang melihat Yue Er mengeluarkan seruling pun memerintahkan murid lainnya untuk berkumpul dan membuat dinding pelindung khusus agar tidak menjadi sasaran serang seruling laba-laba Pembunuh.Adegan itu membuat pemimpin pasukan Diyu paham bahwa seruling yang saat ini dipegang Yue Er ialah pusaka yang sedang ia cari.“Seruling Laba-laba Pembunuh, akhirnya aku menemukannya,” kata Lou Yin.Suara seruling mulai mengalun nyaring dan indah. Namun, keindahan suaranya berbanding terbalik dengan efeknya.CRING! ARGH! ... CRING! HUK!Diam, cepat, tidak terlihat, tapi tiba-tiba bagian-bagian tubuh seperti tergores mata pedang. Seperti itulah efek seruling indah itu jika dimainkan dengan jurus.Lou Yin berusaha menghindar dari benang-benang tajam yang menyerangnya sambil terus bergerak mendekati Yue Er. Setelah jarak mereka cukup dekat, Yue Er menghentikan permainan serulingnya dan melawan pemimpin Diyu itu secara langsung.Jurus bela diri Yue Er tidaklah sebanding dengan keturunan iblis berpangkat jenderal tersebut. Sehingga, Yue Er dapat dengan mudah dijatuhkan dan dirampas serulingnya.Jin Hao, Rouku, dan beberapa murid tingkat tinggi lainnya bersiap menyerang untuk menyelamatkan Yue Er. Namun, leher Yue Er kini berada di ujung pedang sang jenderal pasukan Diyu.“Diam di tempat kalian atau kuputus jalan napas gadis ini!”Jin Hao dan lainnya menghentikan langkah. “Jangan sakiti dia!” pinta Jin Hao.Pemimpin Diyu itu menatap Yue Er yang masih tergeletak di tanah. “Apa istimewanya gadis lemah sepertimu sampai orang-orang ini tidak mau kau mati?” tanyanya, “kau yang tidak bisa mempertahankan seruling pembunuh, sama sekali tidak pantas memilikinya. Jadi, mati saja!”Lou Yin mengayunkan pedangnya. Ketika pedang itu hampir menggores leher Yue Er, tiba-tiba seseorang datang menggagalkannya. Dengan tenaga dalam yang kuat pedang pemimpin pasukan Diyu terhempas ke tanah.Energi negatif mulai menyelimuti arena pertempuran. Aura gelap yang tiba-tiba muncul itu berasal dari seorang pemuda dengan pakaian putih berhiaskan ukiran khas Perguruan Lotus Putih.“Siapa kau bocah ingusan? beraninya menggangguku!"--Lou Yin kesal.“Kakak Jia?”/ “Bai Jia?”Sang jenderal pun memicingkan mata—“Kau salah satu dari mereka?”Lou Yin bingung melihat Bai Jia. Dia tidak menduga jika energi gelap yang begitu pekat itu berasal dari seorang pemuda Perguruan Lotus Putih.“Orang yang tidak bisa mempertahankan pedangnya, dia tidak pantas memilikinya,” balas Bai Jia atas penghinaan yang tadi diberikan kepada Yue Er, “jadi, musnah saja!” teriaknya yang lantas menyerang pasukan Diyu.Bai Jia melawan pasukan iblis Diyu seorang diri. Jin Hao, Yue Er, dan lainnya hanya bisa melihat saja. Mereka masih cukup terkejut mendapati Bai Jia yang memiliki tenaga dalam sebesar itu.“Guru, apa yang terjadi pada Bai Jia? bagaimana bisa ada energi iblis yang begitu pekat di dirinya?” tanya Rouku pada Jin Hao.Jin Hao tidak bisa menjawabnya. Dia sama tidak tahunya seperti Rouku.Hanya dalam hitungan menit, pasukan Diyu yang menyerang Bai Jia itupun terkapar di tanah."Keparat!” umpat Lou Yin. “Hiya!”—Lou Yin maju menyerang Bai Jia.Begitu masuk ke dalam air, Wen Lai tidak melihat Li Jun bersamanya. Dia tidak menemukan Li Jun ikut masuk ke dalam air.Mengetahui hal itu, Wen Lai pun langsung naik ke permukaan untuk mencarinya. Namun, begitu sampai di permukaan, dia justru terkejut karena yang ada di sekelilingnya kini sudah bukan lagi taman atau bangunan-bangunan di Sungai Jingsan. Sisi kanan dan kiri sungai sekarang ialah hutan-hutan lebat. “Ini ... di mana?”—Wen Lai bingung.“Pangeran!” Panggilan itu mengejutkan Wen Lai hingga membuatnya seketika menoleh ke sumber suara. Ternyata, orang-orang yang memanggilnya tadi adalah orang selatan yang merupakan pengikut keluarganya.“Pangeran! itu pangeran Wen Lai! cepat bantu pangeran naik!”“Aku tidak sedang bermimpi, aku sadar sepenuhnya, aku ... aku ada di Diyu?”Setelah kurang lebih dua minggu berada di dunia lain, pada akhirnya Wen Lai dapat kembali ke Diyu. Dia akhirnya dapat bernapas lega mengetahui ayah, anggota keluarganya, dan para pengikut setia mereka selama
Setelah kematian kakeknya, Li Jun beraktivitas sebagaimana biasanya. Pergi bekerja dan sekolah seperti sebelum-sebelumnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Wen Lai. Dia kembali bekerja di kedai nenek An yang baru saja selesai direnovasi. Hanya saja, meskipun demikian Wen Lai tetap dapat melihat kesedihan yang begitu dalam di sorot mata Li Jun. Wen Lai tahu bahwa pemuda itu sebenarnya hanya sedang berusaha tegar di depannya. “Terima kasih untuk hari ini, Wen Lai!” ucap nenek An.“Aku juga berterima kasih, Nenek! ... kalau begitu, aku pulang dulu.”“Iya, hati-hati!”Hari pertama kedai mie nenek An buka, pelanggan sudah langsung banyak yang datang. Sehingga, sebelum matahari terbenam, mie mereka sudah habis dan Wen Lai bisa pulang lebih awal. Wen Lai senang melihat perubahan yang terjadi pada kedai nenek An. Kedai itu kini sudah jauh lebih bagus dan ramai dari pertama kali ia ke sana. Wen Lai bersyukur untuk itu.Karena pulang lebih awal, Wen Lai lantas memutuskan untuk pulang jalan
Setelah puas mencoba berbagai macam wahana permainan, akhirnya sebagai penutup liburan mereka, Li Jun membawa Wen Lai ke pantai. “Ini!”—Li Jun memberikan minuman kaleng kepada Wen Lai. Dia kemudian ikut duduk di atas pasir di samping Wen Lai. Mereka menikmati pemandangan matahari terbenam dalam diam.“Terima kasih, Li Jun!” ucap Wen Lai mengusir hening di antara keduanya. “Hem?”“Terima kasih sudah mengajakku berlibur! aku ... untuk sejenak merasa bebanku hilang,” jelas Wen Lai, “dunia tanpa perang dan perebutan tahta ternyata sangat menenangkan dan menyenangkan.”Li Jun tertawa kecil. “Sebenarnya, kesenangan yang baru kau rasakan hari ini hanyalah sebagian kecil dari kehidupan utuh di dunia. Tidak selamanya perang itu berwujud saling serang di medan perang dengan menggunakan pedang. Asal kau tahu, Wen Lai, sebenarnya peperangan di sini jauh lebih kejam dan kotor.”Wen Lai menatap Li Jun bingung. Dia mas
Di sore ketika Li Jun masih mengantar makanan ke tempat pelanggan. Wen Lai tidak sengaja menjatuhkan gelas minuman bekas pelanggan.Hal itu mengejutkan semua orang yang ada di dalam kedai, tidak terkecuali nenek An. Sang nenek yang awalnya sibuk di tempat memasak, karena panik akhirnya menghampiri Wen Lai. “Wen Lai, ada apa? kau baik-baik saja?” tanya nenek An.Wen Lai yang awalnya mematung menatap arah sungai akhirnya memutus pandangannya ketika mengetahui nenek An membantunya membersihkan pecahan kaca gelas. “Nenek, jangan! biar aku saja, jangan sampai tangan nenek terluka!”“Kau baik-baik saja, Wen Lai?” tanya nenek An lagi.“Iya, Nek, aku baik-baik saja, tadi tanganku sedikit licin.”Wen Lai membuat alasan sebisanya. Dia lantas memungut pecahan gelas sambil kembali melihat ke arah sungai.Cahaya itu masih keluar dari dalam sungai. Cahaya yang tadi membuatnya terkejut sampai tidak sengaja me
“Jadi, uang yang kau gunakan untuk potong rambut adalah hasil dari kau bekerja di kedai mie?” tanya Li Jun yang kemudian diangguki oleh Wen Lai.“Kenapa?”“Apa?”“Potong rambut. Kenapa?”Pangeran Diyu itu menaikkan kedua bahunya—“Tidak ada alasan khusus, aku hanya ingin melakukannya,” jelasnya, “ternyata, ucapanmu tentang trend rambut pendek lebih bagus dan disukai itu benar, kata bibi di tempat potong rambut, aku semakin tampan dengan rambut pendek,” lanjut Wen Lai dengan senyuman senang penuh percaya diri.“Cih!” cibir Li Jun.Li Jun masih tidak percaya, hari ini Wen Lai cukup mengejutkannya. Di satu sisi dia senang Wen Lai tidak kesulitan berada di dunianya. Namun, di sisi lain, entah kenapa dia justru merasa khawatir.“Hah! kenapa aku jadi merasa menyesal sudah mengajarinya?” ucap Li Jun dalam hati.Li Jun mencoba abai pada perasaannya. Dia memakan mie yang dibawa oleh Wen Lai dari kedai Nenek An.Mata Li Jun melotot saat bumbu mie itu pertama kali menyapa lidahnya. “Woah!” seruny
Melihat toko penyedia jasa potong rambut, Wen Lai jadi berpikir untuk memotong rambutnya. Namun, setelah mengingat ucapan Li Jun bahwa segala sesuatu di dunia ini membutuhkan uang dan saat ini dia tidak memilikinya, Wen Lai akhirnya tidak jadi masuk ke ‘barber shop’.Tidak apa jadi pusat perhatian banyak orang. Pikirnya, dia juga tidak akan selamanya berada di dunia ini. “Apa yang kalian lakukan? ... tolong!”Teriakan dari seorang perempuan tua menyapa pendengaran Wen Lai. Seorang nenek sedang dirampok di salah satu gang sepi.Wen Lai tentu saja tidak bisa membiarkan hal itu terjadi begitu saja di depan matanya. Merampok perempun tua adalah tindakan seorang pengecut. Jika ada orang yang hanya melihat dan membiarkan itu terjadi, maka dia lebih pengecut dari seorang pengecut. Wen Lai mengambil beberapa kerikil dari tepi jalan lalu melemparnya pada dua penjambret tersebut. Kerikil-kerikil itu mengenai kepala mereka dan membuat me
Setelah memastikan kakeknya sudah tidur, Li Jun naik ke lantai dua. Dia menghampiri Wen Lai yang saat ini duduk di depan kamar. “Kakek sudah tidur?” tanya Wen Lai saat pemuda itu mendudukkan diri di sampingnya.Li Jun menyahut, “Hem!” Dia kemudian memberi Wen Lai minuman kaleng yang dibelinya saat perjalanan pulang tadi. Mata Wen Lai menatap bingung kaleng tersebut. “Ini hanya sari buah, bukan alkohol.”Apapun itu, Wen Lai tidak paham. Dia hanya menerima dan mengikuti tindakan Li Jun, membuka dan minum sesuatu dari kaleng tersebut.Setelah sesaat merasa takjub dengan rasa minuman kaleng, Wen Lai pun kembali fokus pada Li Jun. Matanya bergerak gelisah—“Maaf!” ucap Wen Lai pada akhirnya.Satu sudut bibir Li Jun terangkat. “Sudahlah, lupakan saja! kau hanya tidak tahu.”“Apa kejadian seperti ini sebelumnya sering terjadi?” tanya Wen Lai setelahnya.“Iya, sangat sering, sebelum pikun ka
“Dasar anak-anak nakal! kalian tidak takut dapat tuah, ha? sana pergi!” usir penjaga museum istana.Cahaya yang menerangi wajah Li Jun dan Wen Lai beberapa waktu lalu ialah cahaya senter milik dua penjaga yang sedang berpatroli. Para penjaga memergoki mereka saat berada di depan pintu aula utama.“Terima kasih, Pak!” teriak Li Jun dengan tidak tahu diri. “Hah! beruntung kita ketahuan, jadi tidak perlu repot mengendap-endap dan melompat pagar,” terangnya, “sekarang ayo kita pulang, Wen Lai!” “Hem!” sahut Wen Lai seadanya. Dia masih penasaran dengan energi yang ia rasakan tadi. “Apa energi tadi yang disebut sebagai energi kutukan?” tebaknya dalam batin.KRUCUK~“Oho~ apa kau lapar, Pangeran?”—Li Jun merangkul Wen Lai—“tenang saja! setelah ini akan kumasakkan makan malam yang enak dan banyak untukmu, sebagai bentuk terima kasih karena tadi sudah membantuku.”Sejujurnya, Wen Lai malu mengakui dirinya kelaparan. Namun, perutnya sudah
“Wen Lai?” ucap Li Jun dalam hati. Dia terkejut melihat Wen Lai bisa ada di sana. Di saat Wen Lai akan maju menghadapi para berandal yang mengejarnya tadi, Li Jun segera menahan lengan sang pangeran Diyu. Pada awalnya dia ingin menahan Wen Lai agar tidak menghajar mereka. Namun, pada akhirnya .... “Santai saja! mereka hanya anak-anak biasa, jangan gunakan kekuatan iblismu!” Wen Lai memahaminya—“Baiklah!” “Kurang ajar! siapa, kau, brengsek?” “Minggirlah! jangan ikut campur!” “Aku?” sahut Wen Lai, “aku orang yang akan menghajar kalian.” Pernyataan Wen Lai itupun ditertawakan oleh anak-anak berandal. “Jangan bercanda, bocah aneh! yang ada, kau akan babak belur di tangan kami. Maju!” Tujuh orang maju menyerang Wen Lai. Dari posisi dan gerakan mereka, Wen Lai memprediksi siapa di antara mereka yang akan datang lebih cepat untuk mendekatinya.