Suara langkah anggun bergema di lorong kantor polisi. Alicia Moore berjalan dengan langkah tergesa namun tetap menjaga posturnya.
Atasan putihnya dipadukan dengan rok kotak-kotak selutut, membingkai sosoknya yang sempurna dengan tinggi 180 centimeter.
Penampilannya sederhana namun elegan, jenis yang mampu menarik perhatian tanpa perlu berusaha.
Di balik wajah cantiknya yang nyaris sempurna, hampir tidak ada emosi yang terbaca.
Yang tampak hanyalah kesan dingin dan tak acuh, meski ada secercah kecemasan yang tersembunyi di balik topeng es itu.
"Nona Alicia, Anda sudah tiba!" dua orang polisi menyambut dengan antusias.
"Di mana putriku?" tanyanya langsung, mengabaikan sambutan mereka. Matanya menyapu area sekitar dengan tak sabar.
Yuri yang baru keluar dari ruang interogasi segera menghampiri. "Nona Alicia," sapanya menenangkan, "jangan khawatir. Putri Anda baik-baik saja, tidak terluka sedikitpun."
"Tolong antarkan saya ke tempat putri saya sekarang," Alicia meminta, nada suaranya tegas meski kecemasannya mulai tampak di permukaan.
Di ruang interogasi, Ryan bisa mendengar setiap langkah dan percakapan itu dengan jelas.
Suara yang telah dia rindukan selama ribuan tahun akhirnya terdengar lagi, membuat jantungnya berdetak lebih kencang.
Namun, setelah mengalami begitu banyak badai kehidupan di Alam Kultivasi, dia berhasil mempertahankan ketenangannya.
'Dia masih hidup dan sehat,' Ryan menenangkan dirinya. 'Kami pasti akan bertemu lagi. Tidak perlu terburu-buru.'
Di ruang tunggu, pemandangan mengharukan terjadi ketika Alicia akhirnya bertemu dengan putrinya.
Topeng es yang selama ini dia kenakan langsung mencair. Dia berlari, memeluk putrinya erat-erat, seolah takut gadis kecil itu akan menghilang jika pelukannya mengendur.
"Mama..." bisik si gadis kecil. "Mama jangan menangis..."
"Mama tidak menangis, sayang," Alicia berbohong, meski air mata mengalir di pipinya. "Mama hanya sangat bahagia kamu selamat."
Seorang wanita berambut panjang dengan setelan denim berdiri di belakang mereka, diam mengamati.
Sejak memasuki kantor polisi, dia belum mengucapkan sepatah kata pun.
"Alicia," akhirnya wanita itu angkat bicara, "Lena pasti lelah. Sebaiknya kita bawa dia pulang dulu untuk beristirahat."
Alicia mengangguk, mengusap air matanya. Namun sebelum mereka beranjak, putrinya berbicara dengan suara kecil.
"Mama, boleh tidak... paman yang menyelamatkanku ikut pulang dengan kita?"
Alicia tertegun. Dari cerita singkat yang dia dengar, seseorang telah menyelamatkan putrinya dari para penculik. Tapi dia belum tahu detail kejadiannya—atau siapa penyelamat misterius ini.
"Sherly," Alicia memanggil wanita berambut panjang itu, "tolong jaga Lena sebentar."
"Baik Nona," Sherly mengangguk, menggenggam tangan gadis kecil itu dengan lembut. "Ayo Lena, kita duduk di sana sambil menunggu mamamu."
Setelah memastikan putrinya dalam pengawasan yang aman, Alicia berpaling pada Yuri. Matanya yang semula lembut kembali menampakkan kesan dingin.
"Nona Yuri," panggilnya tenang, "bisa ceritakan apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang menyelamatkan Lena?"
Yuri tampak ragu sejenak. Bayangan tatapan dingin Ryan masih membayanginya. "Seorang pria... dia mengalahkan semua penculik sendirian. Tapi..."
"Tapi?"
"Ada beberapa hal yang mencurigakan. Identitasnya tidak jelas, dan ada kekosongan informasi selama enam tahun terakhir."
Mendengar angka "enam tahun", Alicia merasakan jantungnya seperti berhenti berdetak sejenak. Namun dia berhasil mempertahankan ekspresi dinginnya.
"Saya ingin bertemu dengannya," ujar Alicia tegas. "Bagaimanapun, dia telah menyelamatkan putri saya. Saya yakin dia bukan orang jahat."
Yuri mengangguk setelah beberapa saat ragu. "Baiklah, ikuti saya."
Mereka berjalan menuju ruang interogasi. Setiap langkah terasa semakin berat bagi Alicia. Ada firasat aneh yang mengganggunya—sesuatu yang familiar namun dia tidak berani memastikan.
"Dia ada di dalam," Yuri membuka pintu ruang interogasi.
Alicia melangkah masuk, dan seketika itu juga, dunianya seolah berhenti berputar.
Di sana, duduk dengan tenang di kursi interogasi, adalah sosok yang selama enam tahun ini dia coba lupakan.
Ryan Drake—pria yang pernah mengisi seluruh ruang di hatinya, yang kemudian menghancurkan kepercayaannya.
Ryan menatapnya dengan senyum lembut yang begitu dia kenal. Senyum yang dulu selalu membuatnya merasa aman dan dicintai.
Senyum yang sama yang muncul dalam mimpi-mimpi buruknya selama bertahun-tahun.
Ruang interogasi mendadak terasa terlalu sempit, terlalu pengap. Alicia bisa merasakan tatapan bingung Yuri yang berdiri di ambang pintu, tapi dia tidak peduli.
Ribuan kenangan membanjiri benaknya—hari-hari bahagia mereka bersama, rencana-rencana masa depan yang mereka susun, dan kemudian... kehampaan saat Ryan menghilang tepat ketika dia paling membutuhkannya.
"Cia..." Ryan memanggilnya dengan nama kesayangan yang dulu sering dia gunakan.
Suara itu membangunkan Alicia dari lamunannya. Wajahnya yang sempat melembut kembali mengeras, matanya berkilat dingin. Tubuhnya terhuyung, nyaris kehilangan keseimbangan.
Dulu, dia telah mempertaruhkan segalanya demi pria ini.
Meninggalkan keluarganya yang kaya di Kota York, memilih hidup sederhana di Crockhark yang dingin.
Tapi apa balasannya? Ryan menghilang begitu saja saat dia hamil. Dan yang ia dengar dari ibunya, Ryan telah mengambil sejumlah uang dari ayahnya sebelum menghilang.
Air mata menggenang di pelupuk matanya saat mengingat masa-masa sulit itu—berjuang sendirian membesarkan Lena sambil membangun bisnisnya dari nol.
Perjuangan yang mengajarinya bahwa cinta seringkali tak bertahan menghadapi ujian uang dan realita.
"Ternyata apa yang mereka katakan itu benar. Ternyata kamu benar-benar masih hidup." Alicia mengangkat wajahnya, menatap langit-langit ruangan, tersenyum getir sementara air matanya mengalir tanpa bisa ditahan.
"Tapi..."Yuri Snyder masih ingin membantah, namun Alicia melangkah maju dengan tegas, menghentikan kata-kata polisi wanita itu sebelum sempat terucap sepenuhnya."Di dunia ini, tidak ada cinta tanpa alasan, tidak ada kebencian tanpa alasan," ujar Alicia dengan nada dingin yang menusuk. "Tolong, jangan memaksakan kehendak Anda pada orang lain."Ryan berdiri tenang, mengamati Alicia yang dengan berani membela keputusannya. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman tipis. Meskipun dia mampu mengatasi situasi ini sendiri, melihat Alicia yang begitu protektif terhadapnya membawa kehangatan tersendiri dalam hatinya.Setelah menyampaikan peringatannya, Alicia meraih lengan Ryan, sementara pria itu menggenggam tangan mungil Lena. Bersama-sama, keluarga kecil itu berjalan melewati Yuri yang masih terpaku di tempatnya.Yuri hanya bisa berdiri diam, menatap kepergian mereka dengan tatapan penuh kekecewaan. Tangannya terkepal erat, wajah cantiknya menampakkan campuran amarah dan frustrasi.
Melihat Yuri Snyder yang bersemangat, Ryan Drake terdiam beberapa saat. Sorot matanya tenang namun penuh perhitungan, mengamati polisi wanita itu dengan seksama. Sungguh, dia tidak mengerti mengapa wanita ini selalu memiliki reaksi berlebihan setiap kali berpapasan dengannya. Yuri Snyder berdiri diam, pandangannya bergantian antara Ryan dan Alicia yang masih berada dalam pelukan pria itu. Sejenak, ia tertegun. Ingatannya melayang pada pertemuan pertama mereka beberapa waktu lalu, saat Alicia masih begitu dingin dan defensif terhadap Ryan. Kini, pemandangan di hadapannya sungguh berbeda. 'Siapa sangka hubungan mereka bisa berubah sejauh ini,' pikirnya. Alicia Moore, wanita yang selama ini dikenal dengan julukan "Ratu Es" karena sikapnya yang dingin terhadap semua pria, kini begitu nyaman dalam dekapan Ryan. Bahkan tanpa sadar, satu tangannya bertumpu di dada pria itu, gestur intim yang hanya mungkin dilakukan oleh pasangan yang saling mencintai. Dengan Lena yang berdiri di
Dalam kegelapan, Ryan Drake menundukkan kepalanya, mencium kening halus itu, lalu memejamkan matanya. Ia merasakan kehangatan tubuh Alicia yang terlelap dalam pelukannya, mendengarkan napasnya yang teratur dan damai. Mungkin, tidur adalah hal yang membuang-buang waktu baginya, namun saat ia dapat memeluk wanita yang dicintainya hingga tertidur, ia tidak menganggap itu sebagai hal yang membuang-buang waktu. Bagi mantan Iblis Surgawi yang telah hidup ribuan tahun, momen-momen seperti ini justru yang paling berharga. Dalam sekejap mata, langit menjadi cerah. Cahaya pagi menembus tirai, menghangatkan ruangan dengan lembut. Setelah bangun, hal pertama yang dilakukan Alicia Moore adalah berlari ke kamar mandi untuk melihat ke cermin. Di pantulan kaca, wajah yang terpantul terlihat semakin lembut dan cerah. Jari-jarinya terulur menyentuh kulit wajahnya yang halus dan lembut, bagai sutra paling halus di dunia. Setelah memperhatikan dengan seksama, dia mengalihkan pandangannya dari
Melihat Kepala Pelayan tua itu yang bersedih, Ryan Drake mengangguk sedikit. Dia memahami kekhawatiran yang tercermin pada raut wajah sang kepala pelayan. Keadaan Meredith Moore memang mengkhawatirkan. Memiliki pembantu yang setia dan loyal seperti Sebastian merupakan keberuntungan bagi Alicia dan Lena Moore. Selama bertahun-tahun, pria tua itu telah menjaga dan melayani keluarga mereka dengan sepenuh hati, bahkan dalam masa-masa tersulit. Di dalam vila, Ryan Drake dan sang Kepala Pelayan tua saling berpandangan penuh makna. Demi mencegah Alicia Moore mengetahui kondisi ibunya yang memburuk, tidak seorang pun di antara mereka mengucapkan sepatah kata pun tentang hal itu. Setelah makan malam usai, keluarga kecil itu memilih untuk menikmati keteduhan di gazebo taman. Udara malam terasa sejuk dan menyegarkan, dengan langit yang dihiasi ribuan bintang berkilauan. Sebastian mengeluarkan buah-buahan segar yang telah disiapkan sebelumnya. Lena duduk di lantai gazebo dengan kaki te
Alicia Moore berdiri di sana, menyaksikan pemandangan ini, dan tidak dapat menahan diri untuk tidak menoleh untuk melihat pria di sampingnya. Perasaan hangat menjalar di dadanya, melihat bagaimana Ryan dengan tenang menangani situasi yang tadinya penuh ketegangan. Dulu, Lena selalu dirundung oleh anak laki-laki di kelas karena sifatnya yang tertutup. Alicia sering datang ke sekolah untuk berdebat dengan orang tua anak-anak yang menindas putrinya. Perdebatan itu selalu berakhir dengan kelelahan mental dan fisik baginya. Namun kini, situasinya telah berubah total. Lena Moore yang dulunya diganggu, justru menjadi pihak yang menghajar orang lain. Dan sekarang, Alicia menyaksikan bagaimana Ryan menangani masalah ini dengan begitu elegan. Ketika hal seperti itu terjadi, sebagai orangtua, wajar saja untuk meminta maaf. Tapi Ryan melakukannya dengan cara yang membuatnya tampak berwibawa, bukan lemah. "Dokter Ryan, bisakah Anda juga memeriksa anak saya? Dia selalu mengeluh kakin
Ryan Drake sambil berpikir mengangkat kepalanya. Tatapannya jatuh pada Alicia yang tampak aneh sejak beberapa menit terakhir. Wanita itu duduk di sampingnya, tapi matanya menerawang jauh, seolah jiwanya tidak berada di sana. "Alicia?" panggilnya pelan. Tidak ada respon. Wanita itu masih termenung, jemarinya sesekali memainkan ujung rambutnya—kebiasaan yang muncul saat pikirannya sedang berkelana. "Alicia," panggil Ryan sekali lagi, kali ini dengan suara lebih keras. Tetap tidak ada jawaban. Kening Ryan berkerut khawatir. Ia mengulurkan tangan dan dengan lembut membelai pipi Alicia. Sentuhan itu akhirnya berhasil mengembalikan kesadaran wanita tersebut. "Ada apa denganmu?" tanya Ryan lembut saat mata Alicia akhirnya fokus kembali. "Aku baik-baik saja," jawab Alicia cepat, menggelengkan kepala untuk menutupi rasa malunya. Semburat kemerahan muncul di pipinya, membuat Ryan semakin penasaran dengan apa yang sedang dipikirkannya. Ryan memilih untuk tidak bertanya lebih ja
Ketika kepala asisten rumah tangga tua itu keluar dan menghilang, Alicia Moore hanya mengalihkan pandangannya. Ada kecurigaan samar yang muncul dalam benaknya, namun setelah berpikir sejenak, ia tersenyum dan menggelengkan kepala sebelum masuk ke dalam vila. Di ruang tamu, Ryan Drake tampak terkejut melihat Alicia melangkah masuk. Tidak biasanya wanita itu pulang pada jam seperti ini—Alicia selalu disiplin dengan jadwal kerjanya dan hampir tidak pernah pulang lebih awal. "Mengapa kamu kembali sepagi ini?" tanya Ryan sambil meletakkan mangkuk teh yang sedang dipegangnya. Alicia tersenyum ringan. Ia melepas sepatu hak tingginya dan berjalan mendekat, lalu duduk di samping Ryan. Tanpa diminta, Ryan menuangkan teh untuknya dan menyodorkannya dengan gesture yang sudah terbiasa. Setelah menerima mangkuk teh itu, Alicia menyesapnya perlahan. Alisnya terangkat ketika sensasi berbeda menyentuh indera perasanya. "Teh ini rasanya berbeda dari yang biasa kamu seduh," komentar Alicia d
"Aku sangat senang kalian bisa berbaikan seperti sebelumnya." "Jika aku bisa melihat anak kedua kalian lahir, aku bisa memejamkan mata dan tersenyum puas." Ibu Alicia menatap Ryan Drake dan berkata dengan lembut. Wanita yang duduk di sebelahnya tertawa riang mendengar perkataan kakak kandungnya. "Kakak selalu saja begitu, masih terobsesi ingin menggendong cucu laki-laki," ujarnya sambil menggeleng geli. Ryan Drake duduk dengan tenang, mendengarkan pembicaraan kedua wanita berpengaruh itu dengan senyum tipis. Dalam hatinya, dia memahami betul tradisi keluarga besar yang sangat mementingkan garis keturunan. Keinginan untuk memiliki pewaris laki-laki memang sudah mendarah daging dalam budaya mereka. Meredith Moore menegakkan punggungnya, matanya yang mulai meredup karena sakit tetap memancarkan ketegasan. "Mungkin kalian menganggap pemikiranku kuno dan patriarkal, tapi beginilah cara aku dibesarkan. " "Cia sudah memilihmu, Ryan. Sudah sepantasnya dia memberimu keturunan untuk
Ketika Ryan Drake melangkah memasuki Vila Lacrosse di Grand Hyatt, matanya tertuju pada seorang wanita yang duduk di sofa empuk dekat jendela bergaya Eropa. Kelopak matanya berkedut beberapa kali saat mengenali sosok itu.Jika wanita yang ditemuinya kemarin memiliki sedikit kemiripan dengan Alicia Moore, maka wanita ini benar-benar terlihat seperti versi dewasa dari kekasihnya. Garis wajah dan mimik di antara alisnya begitu serupa, sampai-sampai jika bukan karena faktor usia, Ryan mungkin akan mengira dia berhadapan dengan saudara kembar Alicia.Melihat wanita ini, Ryan tidak perlu bertanya-tanya lagi tentang identitasnya. Dia berdiri dengan tenang, membungkuk, dan memberi hormat.Tak peduli seberapa tinggi status yang dimilikinya dulu sebagai Iblis Surgawi, wanita ini tetaplah ibu Alicia Moore—ibu mertuanya secara tidak resmi. Ketika Alicia memutuskan untuk mengikutinya ke Crocshark dulu, ayahnya sangat menentang keputusan itu, tetapi wanita ini tidak pernah melarangnya. Dan setela