Home / Romansa / Ibu Kost yang menggoda / Malam Pertama yang Gelisah

Share

Malam Pertama yang Gelisah

last update Last Updated: 2025-08-08 12:50:53

Malam itu hujan turun rintik-rintik, semakin lama semakin deras. Suara tetesannya menimpa genteng dan dedaunan, berpadu dengan aroma tanah basah yang menyelinap masuk lewat jendela kecil kamar Arven. Lampu teras rumah kos memantulkan cahaya kekuningan di permukaan lantai yang basah, menciptakan bayangan bergerak setiap kali air menetes dari atap.

Arven duduk di depan meja belajarnya. Buku terbuka di hadapannya, namun matanya hanya menatap kosong pada halaman yang sama. Kata-kata Ravika di pagi hari terus berputar dalam kepalanya—tatapannya, senyumnya, dan kalimat samar yang seolah penuh rahasia.

Ia mendesah pelan. “Kenapa bayangan seorang wanita bisa bikin aku nggak bisa tenang gini?” gumamnya lirih.

Di luar, suara langkah kaki terdengar pelan di lorong lantai atas. Langkah itu teratur, nyaris tak terburu-buru, tapi cukup untuk membuat jantung Arven ikut menyesuaikan iramanya. Ia menoleh ke arah pintu, menajamkan pendengaran.

Tok… tok… tok…

“Arven?” suara itu terdengar pelan, namun jelas di tengah derasnya hujan. Suara Ravika.

Arven bangkit, membuka pintu. Ravika berdiri di sana, mengenakan cardigan tipis di luar daster biru muda yang sedikit transparan, kainnya menempel karena lembap udara malam. Rambutnya terurai berantakan, sebagian menutupi wajah cantiknya yang basah oleh percikan air hujan dari jendela yang terbuka di lorong.

“Maaf ganggu malam-malam gini,” ucapnya sambil tersenyum tipis. “Tapi… kamu punya senter atau lilin nggak? Lampu di lorong atas mati.”

Arven mengangguk cepat. “Tunggu sebentar.” Ia membuka laci meja, mengambil senter, lalu menyerahkannya.

Namun Ravika tidak langsung pergi. Tatapan matanya justru menyapu isi kamar Arven—ranjang yang rapi, meja belajar tertata, bahkan buku-buku tersusun sejajar di rak kecil dekat dinding.

“Kamu rapih sekali ya. Jarang ada anak kos yang kamarnya bisa kayak gini,” ucap Ravika, nada suaranya antara kagum dan menggoda.

Arven tersenyum tipis. “Kalau aku bilang aku suka mengamati orang, berarti aku juga suka menjaga tempatku tetap bersih. Susah kalau kepala pengen tenang tapi ruangan berantakan.”

Ravika mengangguk pelan, lalu menyalakan senter. Cahaya putih menyorot wajahnya, menonjolkan garis rahang dan bibirnya yang tampak lembap.

“Kamu biasanya tidur jam berapa, Ven?” tanyanya, nada suaranya ringan tapi seolah menyimpan sesuatu.

Arven tersenyum samar. “Tergantung… siapa yang ngajak aku ngobrol.”

Ravika menahan senyum, matanya menyipit. “Hati-hati kalau bicara gitu. Apalagi ke ibu kos. Bisa bikin salah paham loh.”

“Bisa jadi… memang itu tujuannya,” balas Arven, sengaja menatap lebih lama dari biasanya.

Sejenak, keheningan kembali mengambil alih ruangan kecil itu. Suara hujan terdengar lebih jelas, ritmenya seperti detak jantung yang memburu.

Akhirnya Ravika berbalik, berjalan beberapa langkah menuju lorong. Namun setelah beberapa detik, ia berhenti, menoleh kembali ke arah Arven. Bibirnya tersenyum samar, tapi tatapannya dalam.

“Kalau kamu merasa kedinginan… atau kesepian… pintu kamarku nggak terkunci malam ini.”

Kata-kata itu terucap ringan, tapi menusuk dalam kepala Arven. Ia terdiam, hanya mampu menatap punggung Ravika yang perlahan menghilang di ujung lorong.

Arven menutup pintunya perlahan. Namun buku di mejanya kini semakin tak berarti. Kepalanya penuh dengan imajinasi—membayangkan Ravika sendirian di kamar, mungkin duduk sambil menyeruput teh, atau sekadar berbaring dengan tatapan kosong menatap jendela.

Jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam. Hujan makin deras. Arven berdiri, berjalan mondar-mandir di kamar sempit itu. Setiap langkahnya seperti membawa beban pertanyaan: harus diam atau melangkah?

“Kalau aku keluar… itu artinya aku siap masuk ke dunianya. Dan aku nggak tahu apa yang menunggu di balik sana,” batinnya.

Namun rasa penasaran terlalu besar. Akhirnya, perlahan, ia membuka pintu. Lorong tampak gelap, hanya diterangi cahaya samar dari senter yang tergantung di gagang pintu kamar Ravika. Udara lembap bercampur wangi samar parfum yang tadi ia kenali—aroma khas Ravika.

Arven melangkah. Lantai kayu berderit halus di setiap injakan, seolah ikut memperingatkan. Jantungnya berdetak cepat, napasnya terasa pendek.

Sesampainya di depan pintu Ravika, ia melihat pintu itu sedikit terbuka. Dari celahnya, cahaya lampu temaram menyorot lantai, menciptakan bayangan lembut yang bergerak.

“Masuk saja, Ven. Nggak dikunci kok,” suara Ravika terdengar dari dalam, lembut namun tegas.

Arven menelan ludah, lalu mendorong pintu perlahan.

Di dalam, Ravika duduk di tepi ranjang, mengenakan daster panjang berwarna krem. Rambutnya terurai, sebagian menutupi pipinya yang lembut. Kakinya bersila, posturnya santai, tapi matanya tajam menatap Arven.

“Kenapa belum tidur?” tanya Arven pelan, mencoba terdengar tenang meski hatinya berdebar.

“Aku sengaja menunggu,” jawab Ravika singkat. “Entah menunggu lampu lorong menyala lagi… atau menunggu seseorang mengetuk pintu kamarku.”

Arven menutup pintu di belakangnya. Suara hujan menjadi latar yang meresap dalam. Tatapan mereka bertemu, seolah ada percakapan lain yang tak terucap dengan kata-kata.

Ravika lalu menepuk kursi kecil di dekat ranjang. “Duduklah. Nggak enak kalau tamu berdiri terus.”

Arven melangkah, duduk di kursi itu. Jarak mereka hanya sejengkal. Ia bisa mencium aroma lembut Ravika, bisa melihat kilau matanya yang berbaur antara tenang dan penuh rahasia.

Mereka tidak langsung berbicara. Hanya saling menatap, seakan mencoba menembus lapisan terluar masing-masing.

Akhirnya Ravika tersenyum samar. “Kamu tahu nggak, Ven… kadang kesepian itu jauh lebih berisik daripada hujan deras di luar sana.”

Arven terdiam. Kalimat itu menusuk, bukan hanya karena nadanya, tapi karena matanya ikut berbicara. Ada sesuatu yang disembunyikan Ravika—dan ia seperti sengaja memberi Arven kesempatan untuk mengetahuinya.

Dan malam itu, meski tidak ada kata lanjut, keduanya tahu ada sesuatu yang berubah. Batas yang mereka jaga sejak awal kini hanya tinggal garis samar—siap terhapus kapan saja.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Kost yang menggoda   Bayangan yang Mendekat

    Malam kembali menutup langit dengan tirai gelap. Sejak insiden pria asing yang datang membawa pesan dari Bayu, Ravika nyaris tak bisa tidur. Di kamarnya, ia duduk bersandar di kursi dengan pistol kecil tergeletak di meja. Setiap suara dari luar, bahkan sekecil ranting jatuh, membuatnya tersentak.Tiga hari. Itulah tenggat yang ditulis Bayu di balik foto tua itu. Dan malam ini, satu hari sudah berlalu. Dua hari tersisa sebelum pria itu datang sendiri.Ravika memijat pelipisnya. Sejak ia melarikan diri tujuh tahun lalu, Bayu tak pernah berhenti menghantui pikirannya. Ia tahu, jika Bayu benar-benar muncul, itu bukan sekadar pertemuan lama. Itu adalah hukuman.---Arven mengetuk pintu kamar, kali ini lebih pelan dibanding sebelumnya. “Bu Ravika? Boleh saya masuk sebentar?”Ravika menoleh, menimbang apakah sebaiknya ia menolak. Tapi akhirnya ia mengangguk, membuka pintu. Arven masuk dengan wajah masih pucat, meski luka di pelipisnya sudah ia tutup dengan plester.“Bagaimana kabarmu?” tanya

  • Ibu Kost yang menggoda   Jejak yang Tertinggal

    Langkah-langkah kecil bergema di trotoar basah pagi itu. Udara dingin sisa hujan semalam masih menusuk kulit. Ravika berjalan cepat dengan hood jaket menutupi kepalanya, sementara Arven setengah berlari di belakang, membawa ransel kecil yang tampak terlalu ringan untuk perjalanan yang bisa jadi berbahaya.“Bu, kita yakin ini jalannya?” tanya Arven sambil menyesuaikan langkah.“Tidak ada jalan lain,” jawab Ravika singkat, matanya lurus ke depan. “Kalau kita cuma menunggu, Bayu akan menemukan kita. Kita harus mendahului.”Mereka menuju terminal kecil di pinggir kota. Tujuannya bukan lari jauh, tapi mencari seseorang—Rendra Prakoso. Nama itu muncul di kepingan ingatan Ravika semalam. Rendra dulu adalah tangan kanan Bayu, tapi konon ia sempat berselisih dan menghilang setelah penggerebekan gudang bertahun lalu.Jika ada orang yang tahu kelemahan Bayu, Rendra adalah kunci itu.---Bus ekonomi tua akhirnya membawa mereka ke kota sebelah. Jalanan lengang, hanya sesekali klakson mobil terdeng

  • Ibu Kost yang menggoda   Tiga Hari Menuju Bayangan

    Pagi di kos Ravika terasa lebih berat dari biasanya. Matahari memang sudah naik, tapi hawa dingin dari hujan semalam masih tertinggal. Ravika duduk di ruang tamu, menatap kosong ke cangkir teh yang sudah dingin. Di meja, amplop berisi foto masa lalunya tergeletak, seakan menjadi pengingat bahwa waktu mereka sedang dihitung mundur.Arven datang dari arah kamar, wajahnya pucat dengan perban kecil di pelipis. Luka akibat benturan semalam masih terlihat jelas, tapi sorot matanya penuh tekad.“Bu, kita nggak bisa nunggu. Tiga hari itu bukan waktu lama,” katanya sambil menarik kursi dan duduk berhadapan.Ravika menghela napas panjang. “Arven, kau bahkan belum pulih. Luka kecil bisa menjerumuskanmu pada masalah besar kalau kita gegabah. Bayu bukan musuh biasa. Orang-orang yang dia kirimkan semalam saja sudah cukup menunjukkan siapa yang kita hadapi.”Arven mengepalkan tangan di atas meja. “Justru karena itu kita harus bergerak. Kalau kita diem aja, mereka yang bakal datang nyerang duluan. Sa

  • Ibu Kost yang menggoda   Ketukan di Tengah Malam

    Hujan sudah reda, meninggalkan aroma tanah basah yang masih menggantung di udara. Lorong kos sepi, hanya suara tetesan air dari atap seng yang pecah. Namun Ravika masih duduk di kegelapan kamarnya, jari-jarinya menggenggam pistol kecil itu erat-erat, seolah benda itu satu-satunya yang bisa melindunginya dari bayangan masa lalu. Lalu, suara langkah kaki terdengar. Pelan, mantap, tidak terburu-buru—seolah pemiliknya tahu persis kemana ia akan menuju. Setiap langkah membuat jantung Ravika berdegup lebih kencang. Ketukan pertama terdengar. Tok… tok… tok… Suara itu menembus kesunyian malam, membuat dada Ravika terasa sesak. “Bu Ravika?” suara berat dan dalam terdengar dari balik pintu. Bukan Bayu. Bukan juga Arven. Orang asing. Ravika terdiam, menahan napas. Ia tahu betul trik semacam ini—menggunakan suara orang lain untuk memancingnya membuka pintu. “Bu… saya diminta menitipkan paket. Katanya penting,” suara itu melanjutkan, terdengar tenang tapi terlalu dingin untuk seorang kurir

  • Ibu Kost yang menggoda   Bayangan yang Tak Pernah Pergi

    Malam di kos itu begitu sunyi. Hanya suara tetesan air dari talang yang pecah terdengar, jatuh berulang kali ke tanah becek, memecah kesenyapan. Lampu jalan redup di luar memantulkan bayangan samar di dinding kamar. Ravika duduk bersandar pada tembok dingin, lutut tertekuk, tubuhnya terbalut selimut tipis. Matanya kosong, menatap jauh, tapi pikirannya terus berputar.Wajah pria bertopeng itu muncul lagi di benaknya. Tatapan dingin itu—tajam, menghujam hingga ke dasar hatinya. Ia tahu persis siapa yang bersembunyi di balik topeng itu. Dan kesadaran itu membuat bulu kuduknya berdiri. Jika Bayu benar-benar sudah menemukannya, berarti waktunya hampir habis.Dengan tangan gemetar, Ravika meraih laci meja dan mengeluarkan sebuah foto lama. Pinggirannya sudah lusuh, warnanya mulai pudar. Di foto itu, ia masih remaja, belasan tahun, tersenyum kaku di samping seorang pria tinggi berwajah keras. Di belakang mereka berdiri sebuah gudang tua, berdinding besi berkarat. Pria itu adalah Bayu Adikara

  • Ibu Kost yang menggoda   Jejak yang Terkubur

    Hujan sudah mereda, tapi langit masih bergelayut kelabu. Dari jendela kamarnya yang sempit, Arven memandangi jalan gang yang becek dan sepi. Genangan air memantulkan cahaya kuning lampu jalan, berkilau seperti serpihan kaca yang pecah. Udara malam begitu lembap, menusuk hingga ke tulang, membuatnya sulit bernapas lega.Seharusnya ia bisa tidur malam ini. Tubuhnya letih, tapi pikirannya berputar liar. Kata-kata Ravika terus terngiang, berulang-ulang, seperti gema yang menolak pergi:“Semakin kau tahu, semakin berbahaya semuanya.”Arven menghela napas berat. Ia tahu Ravika tak sembarangan mengucapkannya. Wanita itu pasti menyimpan sesuatu yang lebih gelap daripada sekadar bayangan masa lalu.Ia duduk di depan meja kecil, laptop terbuka. Cahaya layar biru pucat menjadi satu-satunya penerang di kamar itu, membuat bayangannya sendiri terlihat samar di dinding yang lembap. Dengan jari gemetar, ia mulai mengetik: Pemerasan, daerah asal Ravika, tujuh tahun lalu.Hasil pencarian bermunculan. P

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status