Suasana pagi di rumah kos Ravika terasa seperti dunia yang berjalan pelan. Udara sejuk masih menggantung, menyelusup lewat jendela yang dibiarkan terbuka. Cahaya matahari yang lembut menembus tirai tipis, memantulkan warna kekuningan di dinding ruang tengah. Aroma teh manis dan wangi sabun cuci piring samar-samar tercium dari arah dapur.
Arven duduk sendirian di kursi kayu ruang tengah, kedua tangannya menopang cangkir kosong yang belum terisi. Matanya menatap kosong ke halaman kecil di luar jendela—halaman yang dipenuhi tanaman hias dalam pot plastik, sebagian daun masih basah oleh embun pagi. Baru semalam ia pindah, namun entah mengapa, rumah ini memiliki suasana yang sulit dijelaskan. Tenang… tapi seperti menyembunyikan sesuatu. Langkah kaki pelan terdengar mendekat dari arah dapur. Suara sandal Ravika beradu dengan lantai keramik, ritmenya santai namun pasti. Tak lama, ia muncul di ambang pintu, membawa nampan berisi dua cangkir teh manis hangat. Uapnya mengepul, menyebarkan aroma yang membuat udara pagi terasa lebih damai. Hari ini Ravika mengenakan daster tipis berwarna ungu muda, dengan pita kecil di bagian dada dan potongan leher yang cukup terbuka untuk menampilkan sedikit kulitnya. Rambutnya digulung santai ke atas, beberapa helai terlepas dan jatuh di tengkuk, membuatnya terlihat tak terlalu formal… namun tetap memesona. "Ini tehnya. Masih hangat," ucap Ravika sambil meletakkan cangkir di depan Arven. Suaranya lembut, tapi setiap kata terasa terukur. Ia duduk di kursi seberang, menyilangkan kaki perlahan. Gerakannya anggun, tapi di mata Arven ada sesuatu yang… lain. "Terima kasih, Bu—eh, Ravika," ucap Arven cepat-cepat, mengoreksi sebutannya. Ravika tersenyum tipis, matanya sedikit menyipit. "Cepat belajar, ya. Nggak banyak anak kos yang langsung akrab sama aku." "Karena kamu juga nggak seperti ibu kos kebanyakan," jawab Arven sambil memutar cangkirnya di tangan. "Kesan pertama… nggak seperti yang saya bayangkan." Ravika memiringkan kepala sedikit, menatapnya. "Bagus atau buruk menurutmu?" "Menarik… cantik… dan menggoda," jawab Arven tanpa ragu. Alis Ravika terangkat tipis. Ia tertawa kecil, suaranya seperti bisikan yang nyaris tak terdengar. "Kamu suka memperhatikan aku ya, diam-diam?" "Saya terbiasa membaca orang," jawab Arven tenang. "Gerak-gerik, cara bicara… dan tatapan mata." "Berbahaya, tuh." Tatapan Ravika berubah, sedikit lebih tajam. "Kalau kamu memang bisa membaca isi kepala orang lain, kamu mungkin akan tahu hal-hal yang seharusnya tetap rahasia." "Kadang justru yang tersembunyi itu yang paling menarik untuk digali," balas Arven. Keheningan singkat jatuh di antara mereka. Burung-burung berkicau di luar, dan detak jam dinding terdengar jelas. Seolah waktu memberi jeda untuk napas mereka. "Aku tebak," kata Arven akhirnya, "kamu seseorang yang menyimpan banyak hal… yang lebih baik nggak diketahui orang lain." "Apa kamu membaca itu dari cara aku duduk? Atau dari cara aku bicara?" tanya Ravika sambil menyilangkan tangan di dada. "Bukan," jawab Arven sambil menatap langsung ke matanya. "Dari matamu. Ada sesuatu di sana yang nggak semua orang bisa lihat." Ravika terdiam sejenak, menoleh ke jendela. "Mungkin kamu benar. Ada hal-hal yang lebih baik disimpan sendiri." "Termasuk alasan kamu jadi janda muda?" Arven mengucapkannya seperti sekadar tebakan, tapi matanya tetap mengunci tatapan Ravika. Senyum samar muncul di bibir wanita itu, namun jelas bukan senyum biasa. "Kamu cepat sekali menembus batas orang, Arven." "Kadang perlu, kalau mau tahu siapa lawan bicara kita." Ravika menyandarkan punggungnya ke kursi. "Dan kamu anggap aku lawan bicara… atau lawan main?" Arven hanya mengangkat alis, tidak menjawab. Ia memilih menyesap tehnya perlahan, membiarkan kehangatannya menyusup ke tenggorokan. Ravika berdiri, cangkirnya di tangan. Daster tipisnya bergoyang mengikuti langkahnya menuju dapur. Arven tak bisa menahan matanya untuk mengikuti setiap gerakannya—bukan hanya karena penampilannya, tapi karena ada misteri yang mengitarinya. Wanita itu kembali berdiri di ambang dapur. "Kalau kamu butuh apa pun, kamar saya paling ujung di lantai atas." "Malam pun boleh kalau aku butuh, cantik?" tanya Arven setengah menggoda. Ravika tersenyum, tapi matanya menatap tajam. "Kalau kamu cukup berani, datang saja." Arven berdiri, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Saya akan ingat kata-kata itu. Jangan sampai bohong." "Kamu sepertinya bukan anak kos biasa, ya." "Kamu juga bukan ibu kos biasa. Kamu ini… luar biasa." Mereka saling menatap. Tak ada yang berkata apa-apa lagi. Namun udara di antara mereka seperti tegang, tipis, tapi penuh arus listrik yang tak terlihat—siap meledak kapan saja. ---Langkah mereka semakin cepat, sementara sorot lampu senter makin mendekat. Nafas Ravika tersengal, tapi genggaman Arven di tangannya membuatnya bertahan.Di depan, Jendra menunjuk ke arah aliran sungai yang bergemuruh. “Lewat sana! Kalau kita ikuti arus, mereka bakal kehilangan jejak kita!”Ravika berhenti sejenak, menatap derasnya air sungai. Gelap, deras, penuh dengan batu-batu besar itu bukan jalan yang aman. Tapi karena waktu mereka sudah habis ahirnya dengan terpaksa mereka mengambil jalur sungai yang deras itu.“Vi…” Arven menatapnya ragu, matanya bergetar. “Kita harus lompat, kan?”Ravika menggenggam wajahnya, meski tangannya sendiri gemetar. “Aku tahu ini memang terlihat gila. Tapi ini satu-satunya cara untuk kita kabur dan menjauh dari sini dulu. Kamu percaya kan sama aku?”Arven menatap dalam-dalam, lalu mengangguk mantap. “Aku Selalu percaya sama kamu vi.”---Teriakan polisi terdengar makin dekat. “Mereka segera bergegas ke arah sungai! Cepat kita tak punya banyak waktu la
Malam kian larut, tapi mata Ravika tak benar-benar bisa terpejam. Setiap kali ia menutup mata, suara tembakan, ledakan, dan bayangan wajah Bayu kembali menghantui. Ia menggenggam tangan Arven lebih erat, seakan itu satu-satunya jangkar yang membuatnya bertahan. Arven, meski kelelahan, masih terjaga. Ia menatap Ravika yang terlihat rapuh untuk pertama kalinya. “Vi,” bisiknya pelan, “kamu nggak harus kuat terus di depan aku. Aku tahu klo kamu capek.” Ravika menoleh, matanya berkaca-kaca. “Kalau aku nggak kuat, kita berdua udah habis, Ven.” Arven menggeleng, wajahnya serius. “Kalau kamu jatuh, biar aku yang jadi sandaranmu. Aku nggak mau cuma kamu yang selalu lindungi aku. Aku juga mau jagain kamu.” Kata-kata itu membuat dada Ravika terasa hangat sekaligus sakit. Ia tak bisa membayangkan kehilangan anak muda yang kini duduk di sampingnya itu. --- Suara ranting patah terdengar dari luar. Refleks, Jendra yang berjaga langsung mengangkat pistol, tubuhnya tegang. “Diam jangan sampai
Langkah mereka semakin berat setelah melewati hutan dan sungai. Matahari mulai condong ke barat, meninggalkan cahaya oranye di sela pepohonan. Udara lembap menempel di kulit, membuat tubuh semakin lelah.“Sebentar lagi kita sampai,” ujar Jendra dengan suara serak. “Ada pondok perburuan lama di sini. Jarang dipakai orang.”Ravika hanya mengangguk, memapah Arven yang tetap menggenggam tangannya. Meski Arven terlihat lebih bugar, ia tahu kelelahan dan ketegangan sudah merobek ketahanan siapa pun.Tak lama kemudian, mereka tiba di pondok kayu kecil, dindingnya rapuh, pintu setengah patah. Tapi bagi mereka, tempat itu adalah satu-satunya pelindung malam ini.---Begitu masuk, Ravika langsung duduk di lantai, punggungnya menempel ke dinding. Nafasnya terengah, tubuhnya masih dingin karena basah. Arven buru-buru melepas jaket tipis yang ia kenakan, lalu menyelimutkannya ke tubuh Ravika.“Pakai ini. Kamu menggigil, Vi.”Ravika menatapnya, tersentuh. “Kamu juga butuh itu. Tubuhmu basah sama ka
Langkah-langkah mereka terdengar tergesa di jalan tanah. Matahari sudah naik, menyinari dedaunan basah yang berkilau oleh embun. Ravika terus menoleh ke belakang, seolah bayangan Bayu bisa muncul kapan saja.Jendra berjalan di depan, menuntun arah. Bahunya masih terbalut kain, tapi ekspresinya tegas. “Kalau kita tetap pakai jalur biasa, kita pasti ketemu patroli. Kita harus lewat hutan.”Ravika menelan ludah. Jalur hutan berarti lebih panjang, lebih berat. Tapi itu juga satu-satunya pilihan.Arven yang berada di sampingnya menepuk tangan Ravika pelan. “Tenang aja, Vi. Aku nggak bakal ninggalin kamu kok.”Ravika menoleh, menatap matanya. Dalam kekacauan ini, hanya Arven yang jadi jangkar emosinya. Ia mengangguk tipis, lalu mempercepat langkahnya.---Mereka menyusuri jalan setapak yang makin sempit, akar-akar pohon menjulur seperti sebuah perangkap. Daun kering berderak di bawah langkah kaki mereka.Tiba-tiba Jendra mengangkat tangan, memberi isyarat tanda berhenti. Ia jongkok, kemudia
Matahari baru merayap di balik pepohonan ketika Ravika keluar dari gubuk. Udara pagi dingin menusuk kulit, embun masih melekat di dedaunan. Ia berdiri diam cukup lama, menatap jalan tanah yang sepi.Seharusnya ini jadi awal yang tenang setelah malam panjang. Tapi batinnya tahu: ketenangan semacam ini jarang bertahan lama.Di belakangnya, suara langkah ringan mendekat. Arven muncul, rambutnya masih berantakan, wajahnya tampak lelah tapi senyum hangat terukir.“Kamu udah bangun dari subuh?” tanyanya, menguap kecil.Ravika menoleh, bibirnya melengkung samar. “Aku nggak bisa tidur lagi.”Arven berdiri di sampingnya, ikut menatap ke arah jalan tanah. “Aku ngerti. Rasanya kayak… kita cuma punya waktu sebentar sebelum sesuatu buruk datang lagi.”---Ravika menghela napas, lalu menoleh ke wajah Arven. Cahaya pagi jatuh di mata pemuda itu, membuatnya terlihat begitu muda dan jujur. Ada rasa bersalah menyeruak di dada Ravika—pemuda ini seharusnya tidak terseret ke dalam hidupnya yang penuh luka
Fajar belum benar-benar datang ketika Ravika terbangun dari tidurnya. Gubuk reyot itu masih terlihat gelap, hanya ada cahaya samar dari celah dinding yang menandakan pagi hampir saja tiba.Ia mendapati dirinya masih duduk bersandar di dinding, sementara kepala Arven tergeletak di bahunya. Pemuda itu tertidur dengan pulas, wajahnya terlihat tenang meski ada sisa lelah di sana.Untuk sesaat, Ravika hanya memandanginya. Ada perasaan aneh menyelinap ke dadanya—campuran rasa lega, takut, sekaligus rasa hangat.“Arven…” bisiknya lirih, meski tahu pemuda itu tak akan mendengar. “Kau sudah terlalu jauh terseret dalam hidupku.”---Suara langkah membuatnya menoleh. Jendra sudah bangun, berdiri di pintu gubuk dengan bahu yang masih terbalut kain.“Dia tidur nyenyak sekali,” gumam Jendra. “Kamu harus biarkan dia tetap begitu. Anak itu sudah melalui terlalu banyak hal untuk usianya.”Ravika mengangguk pelan. “Aku tahu. Tapi justru itu yang membuatku merasa sangat bersalah kepadanya. Seharusnya di