Beranda / Romansa / Ibu Kost yang menggoda / Pagi yang Menyimpan Rahasia

Share

Pagi yang Menyimpan Rahasia

last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-07 21:49:43

Suasana pagi di rumah kos Ravika terasa seperti dunia yang berjalan pelan. Udara sejuk masih menggantung, menyelusup lewat jendela yang dibiarkan terbuka. Cahaya matahari yang lembut menembus tirai tipis, memantulkan warna kekuningan di dinding ruang tengah. Aroma teh manis dan wangi sabun cuci piring samar-samar tercium dari arah dapur.

Arven duduk sendirian di kursi kayu ruang tengah, kedua tangannya menopang cangkir kosong yang belum terisi. Matanya menatap kosong ke halaman kecil di luar jendela—halaman yang dipenuhi tanaman hias dalam pot plastik, sebagian daun masih basah oleh embun pagi. Baru semalam ia pindah, namun entah mengapa, rumah ini memiliki suasana yang sulit dijelaskan. Tenang… tapi seperti menyembunyikan sesuatu.

Langkah kaki pelan terdengar mendekat dari arah dapur. Suara sandal Ravika beradu dengan lantai keramik, ritmenya santai namun pasti. Tak lama, ia muncul di ambang pintu, membawa nampan berisi dua cangkir teh manis hangat. Uapnya mengepul, menyebarkan aroma yang membuat udara pagi terasa lebih damai.

Hari ini Ravika mengenakan daster tipis berwarna ungu muda, dengan pita kecil di bagian dada dan potongan leher yang cukup terbuka untuk menampilkan sedikit kulitnya. Rambutnya digulung santai ke atas, beberapa helai terlepas dan jatuh di tengkuk, membuatnya terlihat tak terlalu formal… namun tetap memesona.

"Ini tehnya. Masih hangat," ucap Ravika sambil meletakkan cangkir di depan Arven. Suaranya lembut, tapi setiap kata terasa terukur. Ia duduk di kursi seberang, menyilangkan kaki perlahan. Gerakannya anggun, tapi di mata Arven ada sesuatu yang… lain.

"Terima kasih, Bu—eh, Ravika," ucap Arven cepat-cepat, mengoreksi sebutannya.

Ravika tersenyum tipis, matanya sedikit menyipit. "Cepat belajar, ya. Nggak banyak anak kos yang langsung akrab sama aku."

"Karena kamu juga nggak seperti ibu kos kebanyakan," jawab Arven sambil memutar cangkirnya di tangan. "Kesan pertama… nggak seperti yang saya bayangkan."

Ravika memiringkan kepala sedikit, menatapnya. "Bagus atau buruk menurutmu?"

"Menarik… cantik… dan menggoda," jawab Arven tanpa ragu.

Alis Ravika terangkat tipis. Ia tertawa kecil, suaranya seperti bisikan yang nyaris tak terdengar. "Kamu suka memperhatikan aku ya, diam-diam?"

"Saya terbiasa membaca orang," jawab Arven tenang. "Gerak-gerik, cara bicara… dan tatapan mata."

"Berbahaya, tuh." Tatapan Ravika berubah, sedikit lebih tajam. "Kalau kamu memang bisa membaca isi kepala orang lain, kamu mungkin akan tahu hal-hal yang seharusnya tetap rahasia."

"Kadang justru yang tersembunyi itu yang paling menarik untuk digali," balas Arven.

Keheningan singkat jatuh di antara mereka. Burung-burung berkicau di luar, dan detak jam dinding terdengar jelas. Seolah waktu memberi jeda untuk napas mereka.

"Aku tebak," kata Arven akhirnya, "kamu seseorang yang menyimpan banyak hal… yang lebih baik nggak diketahui orang lain."

"Apa kamu membaca itu dari cara aku duduk? Atau dari cara aku bicara?" tanya Ravika sambil menyilangkan tangan di dada.

"Bukan," jawab Arven sambil menatap langsung ke matanya. "Dari matamu. Ada sesuatu di sana yang nggak semua orang bisa lihat."

Ravika terdiam sejenak, menoleh ke jendela. "Mungkin kamu benar. Ada hal-hal yang lebih baik disimpan sendiri."

"Termasuk alasan kamu jadi janda muda?" Arven mengucapkannya seperti sekadar tebakan, tapi matanya tetap mengunci tatapan Ravika.

Senyum samar muncul di bibir wanita itu, namun jelas bukan senyum biasa. "Kamu cepat sekali menembus batas orang, Arven."

"Kadang perlu, kalau mau tahu siapa lawan bicara kita."

Ravika menyandarkan punggungnya ke kursi. "Dan kamu anggap aku lawan bicara… atau lawan main?"

Arven hanya mengangkat alis, tidak menjawab. Ia memilih menyesap tehnya perlahan, membiarkan kehangatannya menyusup ke tenggorokan.

Ravika berdiri, cangkirnya di tangan. Daster tipisnya bergoyang mengikuti langkahnya menuju dapur. Arven tak bisa menahan matanya untuk mengikuti setiap gerakannya—bukan hanya karena penampilannya, tapi karena ada misteri yang mengitarinya.

Wanita itu kembali berdiri di ambang dapur. "Kalau kamu butuh apa pun, kamar saya paling ujung di lantai atas."

"Malam pun boleh kalau aku butuh, cantik?" tanya Arven setengah menggoda.

Ravika tersenyum, tapi matanya menatap tajam. "Kalau kamu cukup berani, datang saja."

Arven berdiri, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Saya akan ingat kata-kata itu. Jangan sampai bohong."

"Kamu sepertinya bukan anak kos biasa, ya."

"Kamu juga bukan ibu kos biasa. Kamu ini… luar biasa."

Mereka saling menatap. Tak ada yang berkata apa-apa lagi. Namun udara di antara mereka seperti tegang, tipis, tapi penuh arus listrik yang tak terlihat—siap meledak kapan saja.

---

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ibu Kost yang menggoda   Bayangan yang Mendekat

    Malam kembali menutup langit dengan tirai gelap. Sejak insiden pria asing yang datang membawa pesan dari Bayu, Ravika nyaris tak bisa tidur. Di kamarnya, ia duduk bersandar di kursi dengan pistol kecil tergeletak di meja. Setiap suara dari luar, bahkan sekecil ranting jatuh, membuatnya tersentak.Tiga hari. Itulah tenggat yang ditulis Bayu di balik foto tua itu. Dan malam ini, satu hari sudah berlalu. Dua hari tersisa sebelum pria itu datang sendiri.Ravika memijat pelipisnya. Sejak ia melarikan diri tujuh tahun lalu, Bayu tak pernah berhenti menghantui pikirannya. Ia tahu, jika Bayu benar-benar muncul, itu bukan sekadar pertemuan lama. Itu adalah hukuman.---Arven mengetuk pintu kamar, kali ini lebih pelan dibanding sebelumnya. “Bu Ravika? Boleh saya masuk sebentar?”Ravika menoleh, menimbang apakah sebaiknya ia menolak. Tapi akhirnya ia mengangguk, membuka pintu. Arven masuk dengan wajah masih pucat, meski luka di pelipisnya sudah ia tutup dengan plester.“Bagaimana kabarmu?” tanya

  • Ibu Kost yang menggoda   Jejak yang Tertinggal

    Langkah-langkah kecil bergema di trotoar basah pagi itu. Udara dingin sisa hujan semalam masih menusuk kulit. Ravika berjalan cepat dengan hood jaket menutupi kepalanya, sementara Arven setengah berlari di belakang, membawa ransel kecil yang tampak terlalu ringan untuk perjalanan yang bisa jadi berbahaya.“Bu, kita yakin ini jalannya?” tanya Arven sambil menyesuaikan langkah.“Tidak ada jalan lain,” jawab Ravika singkat, matanya lurus ke depan. “Kalau kita cuma menunggu, Bayu akan menemukan kita. Kita harus mendahului.”Mereka menuju terminal kecil di pinggir kota. Tujuannya bukan lari jauh, tapi mencari seseorang—Rendra Prakoso. Nama itu muncul di kepingan ingatan Ravika semalam. Rendra dulu adalah tangan kanan Bayu, tapi konon ia sempat berselisih dan menghilang setelah penggerebekan gudang bertahun lalu.Jika ada orang yang tahu kelemahan Bayu, Rendra adalah kunci itu.---Bus ekonomi tua akhirnya membawa mereka ke kota sebelah. Jalanan lengang, hanya sesekali klakson mobil terdeng

  • Ibu Kost yang menggoda   Tiga Hari Menuju Bayangan

    Pagi di kos Ravika terasa lebih berat dari biasanya. Matahari memang sudah naik, tapi hawa dingin dari hujan semalam masih tertinggal. Ravika duduk di ruang tamu, menatap kosong ke cangkir teh yang sudah dingin. Di meja, amplop berisi foto masa lalunya tergeletak, seakan menjadi pengingat bahwa waktu mereka sedang dihitung mundur.Arven datang dari arah kamar, wajahnya pucat dengan perban kecil di pelipis. Luka akibat benturan semalam masih terlihat jelas, tapi sorot matanya penuh tekad.“Bu, kita nggak bisa nunggu. Tiga hari itu bukan waktu lama,” katanya sambil menarik kursi dan duduk berhadapan.Ravika menghela napas panjang. “Arven, kau bahkan belum pulih. Luka kecil bisa menjerumuskanmu pada masalah besar kalau kita gegabah. Bayu bukan musuh biasa. Orang-orang yang dia kirimkan semalam saja sudah cukup menunjukkan siapa yang kita hadapi.”Arven mengepalkan tangan di atas meja. “Justru karena itu kita harus bergerak. Kalau kita diem aja, mereka yang bakal datang nyerang duluan. Sa

  • Ibu Kost yang menggoda   Ketukan di Tengah Malam

    Hujan sudah reda, meninggalkan aroma tanah basah yang masih menggantung di udara. Lorong kos sepi, hanya suara tetesan air dari atap seng yang pecah. Namun Ravika masih duduk di kegelapan kamarnya, jari-jarinya menggenggam pistol kecil itu erat-erat, seolah benda itu satu-satunya yang bisa melindunginya dari bayangan masa lalu. Lalu, suara langkah kaki terdengar. Pelan, mantap, tidak terburu-buru—seolah pemiliknya tahu persis kemana ia akan menuju. Setiap langkah membuat jantung Ravika berdegup lebih kencang. Ketukan pertama terdengar. Tok… tok… tok… Suara itu menembus kesunyian malam, membuat dada Ravika terasa sesak. “Bu Ravika?” suara berat dan dalam terdengar dari balik pintu. Bukan Bayu. Bukan juga Arven. Orang asing. Ravika terdiam, menahan napas. Ia tahu betul trik semacam ini—menggunakan suara orang lain untuk memancingnya membuka pintu. “Bu… saya diminta menitipkan paket. Katanya penting,” suara itu melanjutkan, terdengar tenang tapi terlalu dingin untuk seorang kurir

  • Ibu Kost yang menggoda   Bayangan yang Tak Pernah Pergi

    Malam di kos itu begitu sunyi. Hanya suara tetesan air dari talang yang pecah terdengar, jatuh berulang kali ke tanah becek, memecah kesenyapan. Lampu jalan redup di luar memantulkan bayangan samar di dinding kamar. Ravika duduk bersandar pada tembok dingin, lutut tertekuk, tubuhnya terbalut selimut tipis. Matanya kosong, menatap jauh, tapi pikirannya terus berputar.Wajah pria bertopeng itu muncul lagi di benaknya. Tatapan dingin itu—tajam, menghujam hingga ke dasar hatinya. Ia tahu persis siapa yang bersembunyi di balik topeng itu. Dan kesadaran itu membuat bulu kuduknya berdiri. Jika Bayu benar-benar sudah menemukannya, berarti waktunya hampir habis.Dengan tangan gemetar, Ravika meraih laci meja dan mengeluarkan sebuah foto lama. Pinggirannya sudah lusuh, warnanya mulai pudar. Di foto itu, ia masih remaja, belasan tahun, tersenyum kaku di samping seorang pria tinggi berwajah keras. Di belakang mereka berdiri sebuah gudang tua, berdinding besi berkarat. Pria itu adalah Bayu Adikara

  • Ibu Kost yang menggoda   Jejak yang Terkubur

    Hujan sudah mereda, tapi langit masih bergelayut kelabu. Dari jendela kamarnya yang sempit, Arven memandangi jalan gang yang becek dan sepi. Genangan air memantulkan cahaya kuning lampu jalan, berkilau seperti serpihan kaca yang pecah. Udara malam begitu lembap, menusuk hingga ke tulang, membuatnya sulit bernapas lega.Seharusnya ia bisa tidur malam ini. Tubuhnya letih, tapi pikirannya berputar liar. Kata-kata Ravika terus terngiang, berulang-ulang, seperti gema yang menolak pergi:“Semakin kau tahu, semakin berbahaya semuanya.”Arven menghela napas berat. Ia tahu Ravika tak sembarangan mengucapkannya. Wanita itu pasti menyimpan sesuatu yang lebih gelap daripada sekadar bayangan masa lalu.Ia duduk di depan meja kecil, laptop terbuka. Cahaya layar biru pucat menjadi satu-satunya penerang di kamar itu, membuat bayangannya sendiri terlihat samar di dinding yang lembap. Dengan jari gemetar, ia mulai mengetik: Pemerasan, daerah asal Ravika, tujuh tahun lalu.Hasil pencarian bermunculan. P

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status