Malam itu hujan masih turun, meski tidak sederas sebelumnya. Rintiknya jatuh pelan di atap rumah kos, menghasilkan irama monoton yang membuat suasana semakin hening. Di kamar Ravika, cahaya lampu temaram menambah nuansa hangat sekaligus penuh misteri. Arven duduk di kursi dekat meja kecil, sementara Ravika bersandar di ranjang dengan segelas teh hangat di tangannya.
Tak banyak kata yang terucap di antara keduanya. Namun tatapan mereka berbicara lebih dari ribuan kalimat. Ada semacam permainan tersembunyi, tarik-ulur yang sama-sama mereka sadari, tapi tak ada yang mau mengakuinya. Ravika perlahan menyesap tehnya, uapnya naik membalut wajahnya yang lembut. Jemari lentiknya memegang cangkir itu erat, seakan mencari kehangatan dari benda kecil tersebut. “Aku jarang mengundang anak kos masuk ke kamarku,” ucapnya tiba-tiba, suaranya pelan namun jelas. “Dan kamu orang pertama yang pernah aku biarkan masuk.” Arven mengangkat alis, terkejut dengan pengakuan itu. “Kenapa aku? Kenapa bukan orang lain?” Sebuah senyum samar melintas di bibir Ravika. Ia menaruh cangkirnya di meja kecil di samping ranjang, lalu menatap Arven dalam-dalam. “Mungkin karena kamu berbeda. Cara kamu bicara… itu cukup berbahaya. Ada sesuatu dalam dirimu yang membuatku ingin tahu lebih banyak.” Arven tidak langsung membalas. Ia hanya sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap balik seakan mencoba membaca isi hati wanita di hadapannya. “Atau… mungkin karena kamu butuh teman bicara malam ini. Seseorang untuk mendengarkan, agar kamu tidak merasa sendiri.” Tatapan Ravika berubah. Ada kilatan samar di matanya—campuran antara nostalgia, luka, dan kewaspadaan. Ia menarik napas panjang sebelum berkata, “Pernahkah kamu kehilangan seseorang, Arven? Bukan karena kematian… tapi karena pengkhianatan?” Pertanyaan itu membuat Arven terdiam beberapa detik. Kenangan masa lalunya sekilas muncul, sesuatu yang tak ingin ia buka terlalu jauh. “Aku juga pernah,” jawabnya singkat. “Dan rasanya… lebih menyakitkan dari kematian.” Ravika mengangguk pelan, matanya kembali tertuju pada jendela yang berembun. Dengan ujung jarinya, ia menggambar garis samar di kaca, lalu berkata dengan suara bergetar namun ditahan, “Mantan suamiku… dia bukan pria yang orang-orang kira. Senyumnya palsu, sikapnya manis hanya topeng. Di balik itu, ada kebohongan yang ia simpan—kebohongan yang hampir menghancurkan hidupku.” Arven terdiam, memperhatikan. Wajah Ravika tampak begitu rapuh malam itu. Namun ada juga kekuatan dalam cara ia menahan emosinya. Ia tampak seperti wanita yang hancur, tapi juga berusaha tetap berdiri dengan sisa-sisa harga dirinya. “Aku tidak perlu tahu semuanya sekarang,” ucap Arven dengan suara lembut. “Tapi aku ingin mengenal siapa Ravika yang sebenarnya. Bukan hanya ibu kos yang semua orang lihat di luar sana.” Tatapan Ravika kembali padanya. Matanya yang indah kini terasa lebih dalam, penuh rahasia yang belum terungkap. “Berhati-hatilah, Arven,” katanya dengan nada tegas namun getir. “Kalau kamu tahu terlalu banyak tentang aku… kamu mungkin tidak bisa keluar dari sini lagi.” Kata-kata itu seperti peringatan, namun sekaligus juga seperti undangan. Arven bisa merasakan bulu kuduknya meremang. Ia tidak tahu apakah harus mundur… atau semakin maju. Dan saat keheningan itu menggantung, tiba-tiba terdengar suara ketukan keras di pintu utama rumah kos. Tok! Tok! Tok! Suaranya begitu mendadak hingga Ravika tersentak. Matanya membesar, wajahnya langsung tegang. “Siapa yang datang malam-malam begini?” gumamnya, hampir tidak terdengar. Arven bangkit dari kursi. “Biar aku yang lihat—” Namun Ravika cepat menahan lengannya. Sentuhan jemarinya dingin meski ruangan cukup hangat. “Jangan. Biar aku yang urus.” Nadanya tegas, penuh kewaspadaan. Ia segera berjalan keluar kamar, langkahnya cepat dan nyaris tak bersuara di lantai kayu. Namun rasa penasaran Arven terlalu besar. Ia tetap mengikuti dari belakang, menjaga jarak agar tidak ketahuan. Keduanya akhirnya tiba di ruang tamu. Lampu gantung berayun pelan terkena angin malam, karena pintu utama ternyata sudah terbuka sedikit. Dan di ambang pintu berdiri seorang pria berjaket kulit hitam. Topi hitam menutupi sebagian wajahnya, namun sorot matanya jelas: tajam, menusuk, penuh ancaman. Ia menatap Ravika dengan ekspresi datar yang justru lebih menakutkan. “Kita perlu bicara. Sekarang juga,” ucapnya dengan suara berat. Ravika menggenggam erat pintu. “Ini bukan waktu yang tepat.” Pria itu tersenyum tipis, namun tatapannya dingin. “Kalau begitu, aku akan membuat waktunya menjadi tepat sekarang.” Ia langsung melangkah masuk tanpa meminta izin. Arven mengepalkan tangan, naluri ingin maju melindungi Ravika. Namun Ravika segera menoleh padanya dengan tatapan tajam—tatapan yang seakan berkata: jangan ikut campur. Arven pun menahan diri, meski dadanya berdegup kencang. Pria itu akhirnya menyadari kehadiran Arven. Matanya melirik sekilas. “Anak kos baru, ya?” Nada bicaranya merendahkan, seolah penuh ancaman terselubung. “Dia tidak ada urusan dengan kita,” Ravika memotong cepat, suaranya penuh tekanan. “Kita bicara di luar.” Tanpa menunggu jawaban, ia mendorong dada pria itu agar keluar dari rumah kos. Setelah sempat menatap Arven sekilas, pria itu akhirnya menurut, membiarkan Ravika menutup pintu dengan keras. Arven berdiri sendirian di ruang tamu. Jantungnya masih berdegup kencang, pikirannya dipenuhi pertanyaan. Siapa pria itu? Kenapa Ravika begitu takut padanya? Dan rahasia apa yang sebenarnya disembunyikan ibu kosnya? Perlahan, Arven melangkah ke jendela. Dari celah tirai, ia bisa melihat bayangan Ravika dan pria itu di teras. Hujan kembali turun deras, menyelimuti percakapan mereka. Arven tidak bisa mendengar jelas, tapi ada satu kalimat yang berhasil sampai ke telinganya, diucapkan pria itu dengan nada dingin: “Kamu tidak bisa lari selamanya, Ravika.” Arven merasakan hawa dingin menjalari punggungnya. Kata-kata itu menusuk seperti pisau. Malam itu ia sadar: hubungan ini bukan lagi sekadar rasa penasaran atau permainan perasaan. Ia sudah melangkah masuk ke dalam pusaran masalah yang jauh lebih dalam—dan mungkin berbahaya. ---Malam kembali menutup langit dengan tirai gelap. Sejak insiden pria asing yang datang membawa pesan dari Bayu, Ravika nyaris tak bisa tidur. Di kamarnya, ia duduk bersandar di kursi dengan pistol kecil tergeletak di meja. Setiap suara dari luar, bahkan sekecil ranting jatuh, membuatnya tersentak.Tiga hari. Itulah tenggat yang ditulis Bayu di balik foto tua itu. Dan malam ini, satu hari sudah berlalu. Dua hari tersisa sebelum pria itu datang sendiri.Ravika memijat pelipisnya. Sejak ia melarikan diri tujuh tahun lalu, Bayu tak pernah berhenti menghantui pikirannya. Ia tahu, jika Bayu benar-benar muncul, itu bukan sekadar pertemuan lama. Itu adalah hukuman.---Arven mengetuk pintu kamar, kali ini lebih pelan dibanding sebelumnya. “Bu Ravika? Boleh saya masuk sebentar?”Ravika menoleh, menimbang apakah sebaiknya ia menolak. Tapi akhirnya ia mengangguk, membuka pintu. Arven masuk dengan wajah masih pucat, meski luka di pelipisnya sudah ia tutup dengan plester.“Bagaimana kabarmu?” tanya
Langkah-langkah kecil bergema di trotoar basah pagi itu. Udara dingin sisa hujan semalam masih menusuk kulit. Ravika berjalan cepat dengan hood jaket menutupi kepalanya, sementara Arven setengah berlari di belakang, membawa ransel kecil yang tampak terlalu ringan untuk perjalanan yang bisa jadi berbahaya.“Bu, kita yakin ini jalannya?” tanya Arven sambil menyesuaikan langkah.“Tidak ada jalan lain,” jawab Ravika singkat, matanya lurus ke depan. “Kalau kita cuma menunggu, Bayu akan menemukan kita. Kita harus mendahului.”Mereka menuju terminal kecil di pinggir kota. Tujuannya bukan lari jauh, tapi mencari seseorang—Rendra Prakoso. Nama itu muncul di kepingan ingatan Ravika semalam. Rendra dulu adalah tangan kanan Bayu, tapi konon ia sempat berselisih dan menghilang setelah penggerebekan gudang bertahun lalu.Jika ada orang yang tahu kelemahan Bayu, Rendra adalah kunci itu.---Bus ekonomi tua akhirnya membawa mereka ke kota sebelah. Jalanan lengang, hanya sesekali klakson mobil terdeng
Pagi di kos Ravika terasa lebih berat dari biasanya. Matahari memang sudah naik, tapi hawa dingin dari hujan semalam masih tertinggal. Ravika duduk di ruang tamu, menatap kosong ke cangkir teh yang sudah dingin. Di meja, amplop berisi foto masa lalunya tergeletak, seakan menjadi pengingat bahwa waktu mereka sedang dihitung mundur.Arven datang dari arah kamar, wajahnya pucat dengan perban kecil di pelipis. Luka akibat benturan semalam masih terlihat jelas, tapi sorot matanya penuh tekad.“Bu, kita nggak bisa nunggu. Tiga hari itu bukan waktu lama,” katanya sambil menarik kursi dan duduk berhadapan.Ravika menghela napas panjang. “Arven, kau bahkan belum pulih. Luka kecil bisa menjerumuskanmu pada masalah besar kalau kita gegabah. Bayu bukan musuh biasa. Orang-orang yang dia kirimkan semalam saja sudah cukup menunjukkan siapa yang kita hadapi.”Arven mengepalkan tangan di atas meja. “Justru karena itu kita harus bergerak. Kalau kita diem aja, mereka yang bakal datang nyerang duluan. Sa
Hujan sudah reda, meninggalkan aroma tanah basah yang masih menggantung di udara. Lorong kos sepi, hanya suara tetesan air dari atap seng yang pecah. Namun Ravika masih duduk di kegelapan kamarnya, jari-jarinya menggenggam pistol kecil itu erat-erat, seolah benda itu satu-satunya yang bisa melindunginya dari bayangan masa lalu. Lalu, suara langkah kaki terdengar. Pelan, mantap, tidak terburu-buru—seolah pemiliknya tahu persis kemana ia akan menuju. Setiap langkah membuat jantung Ravika berdegup lebih kencang. Ketukan pertama terdengar. Tok… tok… tok… Suara itu menembus kesunyian malam, membuat dada Ravika terasa sesak. “Bu Ravika?” suara berat dan dalam terdengar dari balik pintu. Bukan Bayu. Bukan juga Arven. Orang asing. Ravika terdiam, menahan napas. Ia tahu betul trik semacam ini—menggunakan suara orang lain untuk memancingnya membuka pintu. “Bu… saya diminta menitipkan paket. Katanya penting,” suara itu melanjutkan, terdengar tenang tapi terlalu dingin untuk seorang kurir
Malam di kos itu begitu sunyi. Hanya suara tetesan air dari talang yang pecah terdengar, jatuh berulang kali ke tanah becek, memecah kesenyapan. Lampu jalan redup di luar memantulkan bayangan samar di dinding kamar. Ravika duduk bersandar pada tembok dingin, lutut tertekuk, tubuhnya terbalut selimut tipis. Matanya kosong, menatap jauh, tapi pikirannya terus berputar.Wajah pria bertopeng itu muncul lagi di benaknya. Tatapan dingin itu—tajam, menghujam hingga ke dasar hatinya. Ia tahu persis siapa yang bersembunyi di balik topeng itu. Dan kesadaran itu membuat bulu kuduknya berdiri. Jika Bayu benar-benar sudah menemukannya, berarti waktunya hampir habis.Dengan tangan gemetar, Ravika meraih laci meja dan mengeluarkan sebuah foto lama. Pinggirannya sudah lusuh, warnanya mulai pudar. Di foto itu, ia masih remaja, belasan tahun, tersenyum kaku di samping seorang pria tinggi berwajah keras. Di belakang mereka berdiri sebuah gudang tua, berdinding besi berkarat. Pria itu adalah Bayu Adikara
Hujan sudah mereda, tapi langit masih bergelayut kelabu. Dari jendela kamarnya yang sempit, Arven memandangi jalan gang yang becek dan sepi. Genangan air memantulkan cahaya kuning lampu jalan, berkilau seperti serpihan kaca yang pecah. Udara malam begitu lembap, menusuk hingga ke tulang, membuatnya sulit bernapas lega.Seharusnya ia bisa tidur malam ini. Tubuhnya letih, tapi pikirannya berputar liar. Kata-kata Ravika terus terngiang, berulang-ulang, seperti gema yang menolak pergi:“Semakin kau tahu, semakin berbahaya semuanya.”Arven menghela napas berat. Ia tahu Ravika tak sembarangan mengucapkannya. Wanita itu pasti menyimpan sesuatu yang lebih gelap daripada sekadar bayangan masa lalu.Ia duduk di depan meja kecil, laptop terbuka. Cahaya layar biru pucat menjadi satu-satunya penerang di kamar itu, membuat bayangannya sendiri terlihat samar di dinding yang lembap. Dengan jari gemetar, ia mulai mengetik: Pemerasan, daerah asal Ravika, tujuh tahun lalu.Hasil pencarian bermunculan. P