Home / Romansa / Ibu Kost yang menggoda / Rahasia di Balik Senyum

Share

Rahasia di Balik Senyum

last update Huling Na-update: 2025-08-08 19:19:21

Malam itu hujan masih turun, meski tidak sederas sebelumnya. Rintiknya jatuh pelan di atap rumah kos, menghasilkan irama monoton yang membuat suasana semakin hening. Di kamar Ravika, cahaya lampu temaram menambah nuansa hangat sekaligus penuh misteri. Arven duduk di kursi dekat meja kecil, sementara Ravika bersandar di ranjang dengan segelas teh hangat di tangannya.

Tak banyak kata yang terucap di antara keduanya. Namun tatapan mereka berbicara lebih dari ribuan kalimat. Ada semacam permainan tersembunyi, tarik-ulur yang sama-sama mereka sadari, tapi tak ada yang mau mengakuinya.

Ravika perlahan menyesap tehnya, uapnya naik membalut wajahnya yang lembut. Jemari lentiknya memegang cangkir itu erat, seakan mencari kehangatan dari benda kecil tersebut. “Aku jarang mengundang anak kos masuk ke kamarku,” ucapnya tiba-tiba, suaranya pelan namun jelas. “Dan kamu orang pertama yang pernah aku biarkan masuk.”

Arven mengangkat alis, terkejut dengan pengakuan itu. “Kenapa aku? Kenapa bukan orang lain?”

Sebuah senyum samar melintas di bibir Ravika. Ia menaruh cangkirnya di meja kecil di samping ranjang, lalu menatap Arven dalam-dalam. “Mungkin karena kamu berbeda. Cara kamu bicara… itu cukup berbahaya. Ada sesuatu dalam dirimu yang membuatku ingin tahu lebih banyak.”

Arven tidak langsung membalas. Ia hanya sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap balik seakan mencoba membaca isi hati wanita di hadapannya. “Atau… mungkin karena kamu butuh teman bicara malam ini. Seseorang untuk mendengarkan, agar kamu tidak merasa sendiri.”

Tatapan Ravika berubah. Ada kilatan samar di matanya—campuran antara nostalgia, luka, dan kewaspadaan. Ia menarik napas panjang sebelum berkata, “Pernahkah kamu kehilangan seseorang, Arven? Bukan karena kematian… tapi karena pengkhianatan?”

Pertanyaan itu membuat Arven terdiam beberapa detik. Kenangan masa lalunya sekilas muncul, sesuatu yang tak ingin ia buka terlalu jauh. “Aku juga pernah,” jawabnya singkat. “Dan rasanya… lebih menyakitkan dari kematian.”

Ravika mengangguk pelan, matanya kembali tertuju pada jendela yang berembun. Dengan ujung jarinya, ia menggambar garis samar di kaca, lalu berkata dengan suara bergetar namun ditahan, “Mantan suamiku… dia bukan pria yang orang-orang kira. Senyumnya palsu, sikapnya manis hanya topeng. Di balik itu, ada kebohongan yang ia simpan—kebohongan yang hampir menghancurkan hidupku.”

Arven terdiam, memperhatikan. Wajah Ravika tampak begitu rapuh malam itu. Namun ada juga kekuatan dalam cara ia menahan emosinya. Ia tampak seperti wanita yang hancur, tapi juga berusaha tetap berdiri dengan sisa-sisa harga dirinya.

“Aku tidak perlu tahu semuanya sekarang,” ucap Arven dengan suara lembut. “Tapi aku ingin mengenal siapa Ravika yang sebenarnya. Bukan hanya ibu kos yang semua orang lihat di luar sana.”

Tatapan Ravika kembali padanya. Matanya yang indah kini terasa lebih dalam, penuh rahasia yang belum terungkap. “Berhati-hatilah, Arven,” katanya dengan nada tegas namun getir. “Kalau kamu tahu terlalu banyak tentang aku… kamu mungkin tidak bisa keluar dari sini lagi.”

Kata-kata itu seperti peringatan, namun sekaligus juga seperti undangan. Arven bisa merasakan bulu kuduknya meremang. Ia tidak tahu apakah harus mundur… atau semakin maju.

Dan saat keheningan itu menggantung, tiba-tiba terdengar suara ketukan keras di pintu utama rumah kos. Tok! Tok! Tok! Suaranya begitu mendadak hingga Ravika tersentak. Matanya membesar, wajahnya langsung tegang.

“Siapa yang datang malam-malam begini?” gumamnya, hampir tidak terdengar.

Arven bangkit dari kursi. “Biar aku yang lihat—”

Namun Ravika cepat menahan lengannya. Sentuhan jemarinya dingin meski ruangan cukup hangat. “Jangan. Biar aku yang urus.” Nadanya tegas, penuh kewaspadaan.

Ia segera berjalan keluar kamar, langkahnya cepat dan nyaris tak bersuara di lantai kayu. Namun rasa penasaran Arven terlalu besar. Ia tetap mengikuti dari belakang, menjaga jarak agar tidak ketahuan. Keduanya akhirnya tiba di ruang tamu. Lampu gantung berayun pelan terkena angin malam, karena pintu utama ternyata sudah terbuka sedikit.

Dan di ambang pintu berdiri seorang pria berjaket kulit hitam. Topi hitam menutupi sebagian wajahnya, namun sorot matanya jelas: tajam, menusuk, penuh ancaman. Ia menatap Ravika dengan ekspresi datar yang justru lebih menakutkan.

“Kita perlu bicara. Sekarang juga,” ucapnya dengan suara berat.

Ravika menggenggam erat pintu. “Ini bukan waktu yang tepat.”

Pria itu tersenyum tipis, namun tatapannya dingin. “Kalau begitu, aku akan membuat waktunya menjadi tepat sekarang.” Ia langsung melangkah masuk tanpa meminta izin.

Arven mengepalkan tangan, naluri ingin maju melindungi Ravika. Namun Ravika segera menoleh padanya dengan tatapan tajam—tatapan yang seakan berkata: jangan ikut campur. Arven pun menahan diri, meski dadanya berdegup kencang.

Pria itu akhirnya menyadari kehadiran Arven. Matanya melirik sekilas. “Anak kos baru, ya?” Nada bicaranya merendahkan, seolah penuh ancaman terselubung.

“Dia tidak ada urusan dengan kita,” Ravika memotong cepat, suaranya penuh tekanan. “Kita bicara di luar.”

Tanpa menunggu jawaban, ia mendorong dada pria itu agar keluar dari rumah kos. Setelah sempat menatap Arven sekilas, pria itu akhirnya menurut, membiarkan Ravika menutup pintu dengan keras.

Arven berdiri sendirian di ruang tamu. Jantungnya masih berdegup kencang, pikirannya dipenuhi pertanyaan. Siapa pria itu? Kenapa Ravika begitu takut padanya? Dan rahasia apa yang sebenarnya disembunyikan ibu kosnya?

Perlahan, Arven melangkah ke jendela. Dari celah tirai, ia bisa melihat bayangan Ravika dan pria itu di teras. Hujan kembali turun deras, menyelimuti percakapan mereka. Arven tidak bisa mendengar jelas, tapi ada satu kalimat yang berhasil sampai ke telinganya, diucapkan pria itu dengan nada dingin:

“Kamu tidak bisa lari selamanya, Ravika.”

Arven merasakan hawa dingin menjalari punggungnya. Kata-kata itu menusuk seperti pisau. Malam itu ia sadar: hubungan ini bukan lagi sekadar rasa penasaran atau permainan perasaan. Ia sudah melangkah masuk ke dalam pusaran masalah yang jauh lebih dalam—dan mungkin berbahaya.

---

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Ibu Kost yang menggoda   Arus yang Membawa Rahasia

    Langkah mereka semakin cepat, sementara sorot lampu senter makin mendekat. Nafas Ravika tersengal, tapi genggaman Arven di tangannya membuatnya bertahan.Di depan, Jendra menunjuk ke arah aliran sungai yang bergemuruh. “Lewat sana! Kalau kita ikuti arus, mereka bakal kehilangan jejak kita!”Ravika berhenti sejenak, menatap derasnya air sungai. Gelap, deras, penuh dengan batu-batu besar itu bukan jalan yang aman. Tapi karena waktu mereka sudah habis ahirnya dengan terpaksa mereka mengambil jalur sungai yang deras itu.“Vi…” Arven menatapnya ragu, matanya bergetar. “Kita harus lompat, kan?”Ravika menggenggam wajahnya, meski tangannya sendiri gemetar. “Aku tahu ini memang terlihat gila. Tapi ini satu-satunya cara untuk kita kabur dan menjauh dari sini dulu. Kamu percaya kan sama aku?”Arven menatap dalam-dalam, lalu mengangguk mantap. “Aku Selalu percaya sama kamu vi.”---Teriakan polisi terdengar makin dekat. “Mereka segera bergegas ke arah sungai! Cepat kita tak punya banyak waktu la

  • Ibu Kost yang menggoda   Jejak yang Terendus

    Malam kian larut, tapi mata Ravika tak benar-benar bisa terpejam. Setiap kali ia menutup mata, suara tembakan, ledakan, dan bayangan wajah Bayu kembali menghantui. Ia menggenggam tangan Arven lebih erat, seakan itu satu-satunya jangkar yang membuatnya bertahan. Arven, meski kelelahan, masih terjaga. Ia menatap Ravika yang terlihat rapuh untuk pertama kalinya. “Vi,” bisiknya pelan, “kamu nggak harus kuat terus di depan aku. Aku tahu klo kamu capek.” Ravika menoleh, matanya berkaca-kaca. “Kalau aku nggak kuat, kita berdua udah habis, Ven.” Arven menggeleng, wajahnya serius. “Kalau kamu jatuh, biar aku yang jadi sandaranmu. Aku nggak mau cuma kamu yang selalu lindungi aku. Aku juga mau jagain kamu.” Kata-kata itu membuat dada Ravika terasa hangat sekaligus sakit. Ia tak bisa membayangkan kehilangan anak muda yang kini duduk di sampingnya itu. --- Suara ranting patah terdengar dari luar. Refleks, Jendra yang berjaga langsung mengangkat pistol, tubuhnya tegang. “Diam jangan sampai

  • Ibu Kost yang menggoda   Perlindungan Dalam Bayangan

    Langkah mereka semakin berat setelah melewati hutan dan sungai. Matahari mulai condong ke barat, meninggalkan cahaya oranye di sela pepohonan. Udara lembap menempel di kulit, membuat tubuh semakin lelah.“Sebentar lagi kita sampai,” ujar Jendra dengan suara serak. “Ada pondok perburuan lama di sini. Jarang dipakai orang.”Ravika hanya mengangguk, memapah Arven yang tetap menggenggam tangannya. Meski Arven terlihat lebih bugar, ia tahu kelelahan dan ketegangan sudah merobek ketahanan siapa pun.Tak lama kemudian, mereka tiba di pondok kayu kecil, dindingnya rapuh, pintu setengah patah. Tapi bagi mereka, tempat itu adalah satu-satunya pelindung malam ini.---Begitu masuk, Ravika langsung duduk di lantai, punggungnya menempel ke dinding. Nafasnya terengah, tubuhnya masih dingin karena basah. Arven buru-buru melepas jaket tipis yang ia kenakan, lalu menyelimutkannya ke tubuh Ravika.“Pakai ini. Kamu menggigil, Vi.”Ravika menatapnya, tersentuh. “Kamu juga butuh itu. Tubuhmu basah sama ka

  • Ibu Kost yang menggoda   Jejak yang Terbuka

    Langkah-langkah mereka terdengar tergesa di jalan tanah. Matahari sudah naik, menyinari dedaunan basah yang berkilau oleh embun. Ravika terus menoleh ke belakang, seolah bayangan Bayu bisa muncul kapan saja.Jendra berjalan di depan, menuntun arah. Bahunya masih terbalut kain, tapi ekspresinya tegas. “Kalau kita tetap pakai jalur biasa, kita pasti ketemu patroli. Kita harus lewat hutan.”Ravika menelan ludah. Jalur hutan berarti lebih panjang, lebih berat. Tapi itu juga satu-satunya pilihan.Arven yang berada di sampingnya menepuk tangan Ravika pelan. “Tenang aja, Vi. Aku nggak bakal ninggalin kamu kok.”Ravika menoleh, menatap matanya. Dalam kekacauan ini, hanya Arven yang jadi jangkar emosinya. Ia mengangguk tipis, lalu mempercepat langkahnya.---Mereka menyusuri jalan setapak yang makin sempit, akar-akar pohon menjulur seperti sebuah perangkap. Daun kering berderak di bawah langkah kaki mereka.Tiba-tiba Jendra mengangkat tangan, memberi isyarat tanda berhenti. Ia jongkok, kemudia

  • Ibu Kost yang menggoda   Bayangan yang Masih Hidup

    Matahari baru merayap di balik pepohonan ketika Ravika keluar dari gubuk. Udara pagi dingin menusuk kulit, embun masih melekat di dedaunan. Ia berdiri diam cukup lama, menatap jalan tanah yang sepi.Seharusnya ini jadi awal yang tenang setelah malam panjang. Tapi batinnya tahu: ketenangan semacam ini jarang bertahan lama.Di belakangnya, suara langkah ringan mendekat. Arven muncul, rambutnya masih berantakan, wajahnya tampak lelah tapi senyum hangat terukir.“Kamu udah bangun dari subuh?” tanyanya, menguap kecil.Ravika menoleh, bibirnya melengkung samar. “Aku nggak bisa tidur lagi.”Arven berdiri di sampingnya, ikut menatap ke arah jalan tanah. “Aku ngerti. Rasanya kayak… kita cuma punya waktu sebentar sebelum sesuatu buruk datang lagi.”---Ravika menghela napas, lalu menoleh ke wajah Arven. Cahaya pagi jatuh di mata pemuda itu, membuatnya terlihat begitu muda dan jujur. Ada rasa bersalah menyeruak di dada Ravika—pemuda ini seharusnya tidak terseret ke dalam hidupnya yang penuh luka

  • Ibu Kost yang menggoda   Janji di Tengah Gelap

    Fajar belum benar-benar datang ketika Ravika terbangun dari tidurnya. Gubuk reyot itu masih terlihat gelap, hanya ada cahaya samar dari celah dinding yang menandakan pagi hampir saja tiba.Ia mendapati dirinya masih duduk bersandar di dinding, sementara kepala Arven tergeletak di bahunya. Pemuda itu tertidur dengan pulas, wajahnya terlihat tenang meski ada sisa lelah di sana.Untuk sesaat, Ravika hanya memandanginya. Ada perasaan aneh menyelinap ke dadanya—campuran rasa lega, takut, sekaligus rasa hangat.“Arven…” bisiknya lirih, meski tahu pemuda itu tak akan mendengar. “Kau sudah terlalu jauh terseret dalam hidupku.”---Suara langkah membuatnya menoleh. Jendra sudah bangun, berdiri di pintu gubuk dengan bahu yang masih terbalut kain.“Dia tidur nyenyak sekali,” gumam Jendra. “Kamu harus biarkan dia tetap begitu. Anak itu sudah melalui terlalu banyak hal untuk usianya.”Ravika mengangguk pelan. “Aku tahu. Tapi justru itu yang membuatku merasa sangat bersalah kepadanya. Seharusnya di

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status