LOGINPintu menutup, dan dunia tidak berubah karenanya.Itu hal pertama yang Ravika sadari.Tidak ada transisi lembut. Tidak ada sensasi “mulai sekarang semuanya beda.” Udara di luar tetap berat oleh sisa hujan semalam. Aspal masih menyimpan bau besi dan tanah. Langkah orang-orang terburu-buru, masing-masing membawa kepentingan yang tidak ada hubungannya dengan dia.Dan justru di situlah ada sesuatu yang bergeser.Ia berjalan tanpa memeriksa jam. Biasanya, itu pelanggaran kecil yang langsung memicu koreksi internal. Sekarang—tidak. Ada impuls untuk tahu waktu, tentu. Tapi impuls itu tidak langsung diberi kuasa. Ia membiarkannya lewat, seperti mobil yang melaju tanpa perlu diikuti.Langkahnya tidak cepat. Tidak lambat. Ritme yang belum bernama.Manajer tidak memberi update apa pun selama dua blok pertama. Tidak ada analisis gait. Tidak ada peringatan postur. Hanya kehadiran samar, seperti bayangan yang tidak selalu menempel.Ravika berhenti di lampu merah. Menunggu. Menatap garis putih yang
Ravika akhirnya bangun bukan karena siap—tapi karena dunia memang tidak pernah menunggu kesiapan siapa pun.Kaki menyentuh lantai. Dingin. Sedikit berdebu. Nyata dengan cara yang tidak puitis. Ia berdiri terlalu lama, menatap cermin tanpa benar-benar mencari apa pun. Bukan refleksi yang ia nilai, melainkan sensasi: tubuh yang masih berat, pikiran yang belum rapi, napas yang kadang terlalu dangkal.Wajah yang sama.Mata yang… tidak sepenuhnya sama.Ada jeda kecil di sana. Bukan kepercayaan diri. Lebih seperti ruang kosong yang dulu selalu diisi Manajer dengan instruksi cepat. Sekarang, ruang itu dibiarkan bernapas.Manajer hadir, tapi bukan di depan. Bukan di belakang.Lebih seperti suara di samping—kadang terdengar, kadang tidak.> Postur tubuhmu menegang. Bahu naik 12% dari baseline, katanya, netral.“Gue tau,” jawab Ravika pelan. “Kasih gue semenit.”Biasanya, Manajer akan memaksa koreksi. Tarik napas sekian detik. Relaksasi otot. Optimasi mikroskopik. Sekarang, ia diam. Dan Ravika
Transisi itu tidak dramatis.Tidak ada cahaya menyilaukan. Tidak ada countdown. Tidak ada suara system reboot yang norak.Yang ada hanya rasa… sisa.Seperti habis menangis lama, lalu duduk sendirian di kamar yang masih berantakan. Udara terasa beda, meski furniturnya sama.Ravika berdiri di ambang realitas yang baru mengeras itu. Lantai di bawah kakinya bukan lagi putih absolut—ada tekstur tipis, hampir seperti beton yang terlalu sering diinjak. Tidak cantik. Tapi nyata.Spiral di dadanya stabil. Tidak berdenyut. Tidak memanggil perhatian.Ia ada. Dan itu cukup.Manajer masih di sana.Bukan sebagai bayangan. Bukan sebagai ancaman laten. Tapi juga belum sepenuhnya… nyaman dengan posisinya yang baru.Ia menatap tangannya sendiri, lalu sekeliling, seperti orang yang baru sadar meja kerjanya sekarang ada jendela.“Ini… tidak efisien,” katanya akhirnya.Ravika melirik. “Bilang aja lo panik.”Manajer menghela napas. Gestur itu baru. Dulu, ia tidak pernah membuang napas tanpa tujuan.“Aku ti
Putih yang tadinya transparan kini seperti kaca berlapis embun. Bukan menutup—lebih ke menunda. Realitas di baliknya jelas lebih padat, lebih tua. Seperti server legacy yang masih jalan karena tidak ada yang cukup berani mematikannya.Ravika berdiri diam. Napasnya sudah kembali normal, tapi tubuhnya belum sepenuhnya percaya bahwa ini aman. Spiral di dadanya tetap idle, tapi kini terasa… mendengar. Bukan alat. Bukan ancaman. Lebih seperti saksi.Versi dewasa dirinya—si Manajer—berdiri sedikit ke samping. Tidak lagi di depan. Itu perubahan kecil, tapi signifikan. Ia masih tenang, tapi ketenangannya kini defensif.“Kau tidak seharusnya memanggilnya,” kata Manajer itu. Nada suaranya turun setengah oktaf, seperti orang yang akhirnya bicara jujur setelah rapat ditutup.Ravika meliriknya. “Gue nggak manggil. Gue berhenti nutupin.”“Efeknya sama.”Lapisan transparan itu bergetar, lalu terbelah. Bukan robek—terbuka seperti pintu otomatis yang mengenali kartu akses lama.Dan dari sana, ia muncu
Ravika bangun sambil terbatuk—bukan karena debu, tapi karena realitas baru ini rasanya terlalu jujur buat paru-parunya.Arena ini luas. Terlalu luas. Bukan kosong, tapi telanjang. Lantai putih tanpa tekstur, langit putih tanpa arah. Horizon patah-patah seperti data korup. Tidak ada atas. Tidak ada bawah. Semua berdiri karena disepakati berdiri.Spiral di dadanya tenang sekarang. Bukan mati. Lebih ke idle mode. Mesin yang sudah berhenti berteriak, tapi masih panas.“Jadi ini level berikutnya?” gumamnya. “Minimalis amat. Kayak presentasi investor jam lima sore.”Langkah kaki terdengar.Bukan gema. Bukan pantulan. Langkah itu punya bobot—dan maksud.Sosok itu muncul tanpa efek dramatis. Tidak turun dari langit. Tidak keluar dari portal. Ia hanya… ada. Seperti fakta yang selama ini sengaja dihindari.Ravika berhenti bernapas sesaat.Sosok itu adalah dirinya.Bukan versi kecil. Bukan versi rusak. Bukan bayangan trauma.Versi dewasa. Rapi. Bersih. Mata tenang. Senyum tipis yang sering dipak
Ravika mendarat keras di sesuatu yang terasa kayak lantai… tapi juga bukan lantai. Teksturnya lembut kayak lumut, tapi bergerak—berdenyut—seolah napasnya sendiri. Udara di sini dingin, basah, dan nyangkut di tenggorokan kayak rahasia yang males diucap.Ia bangkit perlahan, kepala masih muter, spiral di dada makin terasa seperti mesin yang dipaksa jalan dengan bensin oplosan.“Gue di mana lagi, ini…” gumamnya.Jawabannya datang bukan dari Bayang—karena Bayang nggak ada. Ia benar-benar sendirian.Ruangan tempat ia jatuh kini berubah jadi… halaman rumah kecil. Ada ayunan tua. Ada ember cat yang udah mengering. Ada sepatu kecil yang tertinggal di tangga. Semua tampak nyata, tapi warnanya kayak dicuci pakai soft filter—suram, pastel, dan murung.Di ayunan itu, anak tadi duduk.Ia mengayun pelan, tanpa senyum, tanpa ekspresi. Angin nggak ada, tapi ayunannya bergerak terus, kayak realitas sengaja ngedorongnya.“Akhirnya,” katanya. “Kau datang.”Ravika maju satu langkah. “Gue nggak datang bua







