Share

Rahasia

Ibu Mertua Melarangku Ber-KB

Bab 4

Penulis : Widya Yasmin

"Tunggu sebentar, ya," ujarnya lalu bergegas menuju kamar.

Tidak berapa lama kemudian, Ibu mertua membawa sebuah celengan ayam jago.

"Aku gak tahu kalau ibu punya celengan, padahal selama ini Mas Andre jarang memberi ibu uang."

"Sebenarnya dia suka ngasih, ya meski tak seberapa, tapi setiap dia ngasih selalu ibu masukan ke celengan ini."

"Jangan, deh, Bu. Aku akan merasa berdosa kalau Ibu memberikan celengan itu untuk biaya sekolah Elsa."

"Kita bongkar, semoga saja cukup," ujarnya lalu memecahkan celengan berbahan gerabah itu.

Seketika air mataku langsung mengalir saat melihat lembaran berwarna ungu dan hijau yang memenuhi celengan itu. Aku sadar, suamiku tak pernah memberi banyak pada ibu mertua, tapi pada akhirnya uang yang tidak seberapa itu malah dikumpulkan lalu dikembalikan kepadaku.

"Jangan diam saja, ayo hitung," ujarnya.

Aku mengangguk dan langsung mengusap bulir bening yang membasahi pipi, lalu mulai menghitungnya.

"Ada satu juta," ujarnya setelah mengumpulkan semua uang berwarna hijau.

"Ini juga satu juta, Bu," ujarku setelah menghitung lembaran berwarna ungu.

Setelah itu tinggal lembaran dua ribuan dan koin 500 rupiah yang belum dihitung,

"Semoga saja cukup untuk biaya pendaftaran anak kamu ke TK," ujarnya.

"Bu, aku mau kerja ya, aku gak bisa diem terus di rumah. Uang dua juta itu mungkin cukup untuk pendaftaran, tapi masih banyak biaya lain yang harus aku pikirkan.

"Memangnya kamu mau kerja apa?"

"Nyuci nyetrika di rumah tetangga, jualan kue, atau apapun."

"Nanti orang-orang nyinyir itu semakin menjadi-jadi menghinamu."

"Gak apa-apa, Bu, mulai sekarang aku akan berusaha untuk kuat dan gak akan dengerin omongan orang."

"Ya sudah terserah kamu aja."

Setelah itu ibu mertua bersedia mendaftarkan anakku ke TK, bahkan setiap hari ibu mertua mengantar jemput anakku ke TK sembari membawa anak bungsu yang berusia 3 tahun. Sedih rasanya harus terus menerus merepotkannya, padahal di usianya yang sudah tak muda lagi ia pantas untuk bersantai ria di rumah.

Sementara itu aku mendatangi rumah para tetangga untuk meminta pekerjaan.

"Duh, kasihan banget yang hidupnya kismin tapi banyak anak, kerasa kan sekarang harus ikut cari nafkah karena biaya hidup semakin banyak," cibir Bu Ratna.

Aku tak menanggapi ucapannya, lalu langsung pergi meninggalkannya.

"Hei Melati! Kamu mau kemana? Bukankah kamu lagi nyari kerja?" Bu Ratna kembali memanggil.

"Iya, memangnya Bu Ratna mau ngasih kerjaan? Kalau cuma nyinyirin, saya gak ada waktu."

"Kebetulan pembantu saya udah berhenti, jadi kamu bisa mengerjakan semua pekerjaan di rumah saya."

"Ibu mau bayar saya berapa?"

"Nih, saya kasih seratus ribu, tapi kerjakan semua pekerjaan hingga selesai," ujarnya sembari memberikan selembar berwarna merah.

Aku langsung meraih uang tersebut, lalu bergegas mengikutinya. Setibanya di dapur, aku langsung terhenyak saat melihat cucian piring yang menggunung tinggi, bahkan wajan dan panci kotor berserakan di sekitaran meja kompor.

Tanpa berlama-lama aku langsung membersihkan semuanya, lalu setelah selesai, Bu Ratna mengajakku menuju mesin cuci.

"Banyak banget baju kotornya, Bu?" tanyaku saat melihat mesin cuci yang dipenuhi pakaian kotor, ditambah lagi satu keranjang pakaian yang juga kotor.

"Sudah, jangan banyak, omong. Cepat kerjakan saja."

Aku mengangguk, lalu mulai memasukan detergen dan menyalakan air, setelah itu menyalakan mesin cuci. Sambil menunggu, aku menyapu dan mengepel lantai. Rumah Bu Ratna tampak seperti kapal pecah, padahal ia hanya memiliki satu orang anak.

Lalu pakaian kotor yang menumpuk itu, entah bagaimana caranya bisa sebanyak itu, padahal di rumah ini hanya ada tiga orang.

Beberapa saat kemudian, seluruh lantai rumah sudah selesai disapu dan dipel. Rasanya badanku mulai pegal-pegal, tapi aku masih harus melanjutkan mencuci pakaian yang tadi kutinggalkan. Setelah beberapa saat kemudian, cucian pertama selesai, lalu aku lanjut mencuci lagi. Sambil menunggu, aku menjemur terlebih dahulu.

Satu jam berlalu, akhirnya aku selesai menjemur semua pakaian kotor satu mesin cuci penuh beserta satu keranjang penuh tadi.

"Sambil nunggu cucian kering, kamu masak dulu, ya, nanti setelah itu langsung nyetrika," ujarnya.

"Mau dimasakin apa, Bu?"

"Bikin opor ayam sama capcai, ya."

Aku mengangguk lalu segera menuju kulkas untuk melihat apakah bahan-bahan yang kubutuhkan tersedia atau tidak.

"Sekarang kamu sadar, kan, kalau ucapan saya selama ini benar?" tanyanya saat aku mengeluarkan bahan makanan dari kulkas.

"Tentang apa?"

"Tentang kesalahan kamu karena tidak berKB."

Aku tidak menanggapi ucapannya dan memilih untuk fokus memasak.

"Lihat saya, punya rumah yang luas, mobil pribadi, bahkan bisa menjadikan kamu sebagai pembantu saya." Ia tampak sangat puas setelah mengucapkannya.

Aku memilih diam dan tak membalas ucapannya, lagi pula jika aku menjawab, dia akan memiliki jawaban lain untuk terus menyudutkanku.

"Kenapa diam aja?" Ia kembali bertanya.

"Semua yang Bu Ratna ucapkan benar, kok, jadi saya tak perlu lagi menjawab."

"Kalau sudah tahu, kenapa gak pakai KB?"

"Sekarang saya sudah pakai IUD, Bu."

"Ya percuma, wong kamu sudah punya 4 anak."

Masih banyak nyinyiran yang ia lontarkan, tapi aku memilih diam. Rasanya percuma juga jika aku harus beradu argumen dengannya.

Beberapa saat kemudian, setelah selesai memasak, aku bergegas mengangkat jemuran lalu mulai menyetrika.

"Menurut saya, kamu adalah orang paling bodoh di dunia. Kamu membiarkan dirimu menderita hanya demi lelaki kere seperti Andre."

Aku memilih untuk fokus menyetrika dan tak lagi menanggapi ucapannya.

"Kenapa diam saja?"

"Ibu dari tadi nyerocos terus, ganggu saya kerja aja!"

"Saya ini lagi nasehatin kamu, kok malah ngambek sih?"

"Ya terus Bu Ratna mau saya minta cerai lalu kabur meninggalkan anak-anak saya?"

"Tepat sekali, kamu akan hidup bahagia tanpa Andre dan anak-anakmu."

"Bu Ratna mending diem, deh, saya jadi gak fokus kerja."

"Ya sudah, kamu bisa pikirkan semua ucapan saya. Asal kamu tahu, saya ini bukan julid, justru saya peduli sama kamu."

Aku menghela napas, lalu tiba-tiba terdengar suara adzan dzuhur. Aku segera mencabut kabel setrika lalu minta izin untuk shalat dzuhur terlebih dahulu.

"Kamu ternyata suka shalat juga?"

"Iyalah, Bu, kan kewajiban Muslim."

"Nanti minta doa sama Allah, biar kehidupan kamu lebih baik lagi."

Tanpa menanggapi ucapannya aku bergegas menuju kamar pembantu, lalu segera mengambil air wudhu dan shalat dzuhur.

"Ya Allah, andai saja aku kaya raya agar tidak ada yang menghinaku lagi." Aku berkata dalam hati seraya mengangkat kedua tanganku.

"Cepetan berdoanya, setrikaanmu masih banyak," celetuk Bu Ratna yang rupanya sejak tadi terus memperhatikan setiap gerak-gerikku.

Tanpa menanggapi ucapannya aku segera bergegas menuju ruang setrika untuk menyelesaikan pekerjaanku. Setelah beberapa saat berlalu, akhirnya semua pakaian yang menggunung tadi telah selesai kusetrika.

"Semua pekerjaan sudah selesai, saya mau pulang."

"Besok datang lagi, ya, saya kasih kamu gaji harian."

"Enggak, Bu, ini terakhir kali saya bekerja di rumah ini."

"Kismin kok sombong," cibirnya.

Aku tak menanggapi ucapannya lalu buru-buru pergi.

Setibanya di rumah, kulihat semua anakku telah terlelap. Kulihat rumah telah bersih dan rapi, lalu aku segera bergegas menuju ruang setrika. Kulihat ibu mertua tengah menyetrika sembari sesekali memegangi kepalanya.

"Biar Melati yang melanjutkan, Ibu istirahat aja."

"Gak apa-apa, kamu pasti capek. Biar ibu saja."

"Ibu sudah menjaga keempat anakku, pasti rasanya sangat luar biasa melelahkan. Jadi, Ibu istirahat saja, ya."

"Baiklah, Malati, terimakasih, ya," ujarnya lalu bergegas menuju kamar.

Sebenarnya, seluruh tubuhku sudah terasa sangat lelah untuk lanjut menyetrika, setelah tadi aku menyetrika pakaian yang begitu banyak di rumah Bu Ratna. Namun, aku harus kuat karena kasihan juga jika ibu mertuaku yang mengerjakannya.

Sembari menyetrika, aku terus memikirkan nyinyiran pedas dari Bu Ratna, setelah ini aku harus mencari pekerjaan di rumah lain karena tak mungkin aku terus bekerja sembari terus dihina.

"Kamu pasti menderita karena memiliki mertua yang egois seperti ibu," ujar ibu mertua yang tiba-tiba muncul saat aku tengah mengusap air mata.

Aku sangat terkejut karena kupikir ia telah beristirahat di kamarnya.

"Enggak, kok, Bu."

"Maaf, gara-gara ibu melarang kamu berKB, kamu jadi kerepotan."

"Sebenarnya bukan hanya aku yang repot, Bu. Tapi Ibu juga. Ibu harus repot mengantar Elsa ke sekolah, menunggunya sampai pulang sembari menjaga Aurora."

"Ibu gak kerepotan, ibu malah senang, kok."

"Masa?"

"Melati, sebenarnya..."

"Sebenarnya apa, Bu?"

Ia langsung menatapku lekat-lekat seolah ada hal penting yang ingin ia sampaikan.

"Sebenarnya ibu ini Catwoman yang menyamar jadi nenek-nenek, jadi gak akan merasa lelah."

"Hahahhahahaha!" Seketika aku langsung tertawa terpingkal-pingkal saat mendengar ucapannya, meski humornya itu sudah sering ia ucapkan, tapi entah mengapa aku masih saja tertawa saat mendengarnya.

"Ibu istirahat dulu, ya," ujarnya lalu bergegas ke kamar.

Aku mengangguk lalu melanjutkan pekerjaanku. Beberapa saat kemudian, aku telah selesai menyetrika, lalu aku berniat menyimpan pakaian anak-anak juga pakaian ibu mertua ke lemari mereka.

"Kamu harus tetap menjaga rahasia ini, karena belum saatnya semua ini diketahui oleh anak menantu saya."

Tiba-tiba aku terhenyak saat mendengar ucapan ibu mertua yang tampaknya tengah menelpon dengan seseorang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status