Share

Bertanya-tanya

"Apakah Ibu ke sekolah?" tanyaku pada ibu mertua yang tengah fokus memotong wortel.

"Kamu ini lucu, kan seharian ibu sama kamu."

Lalu saat suamiku pulang, aku segera menanyakan hal yang sama dengan yang kutanyakan pada ibu mertua.

"Apa Mas ke sekolah?"

"Hah? Buat apa ke sekolah, memangnya ada apa?"

Aku lupa, kalau suamiku tidak tahu tentang apa yang menimpa anak-anak, karena ibu mertua melarangnya, bahkan ibu mertua juga melarangku mengatakan tentang antingnya yang kujual.

"Enggak, Mas, lupakan saja."

"Oh, iya, tadi mas beli nasi Padang, tapi mas cuma bisa beli tiga bungkus, ini uang pendapatan hari ini, kamu harus sisihkan sebagian untuk bayar kontrakan dan biaya sekolah."

"Iya, Mas."

Setelah itu aku memanggil mertua juga anak-anak untuk makan.

"Ini untuk Ibu."

Aku memberikan sebungkus nasi Padang untuk ibu mertua, lalu duanya lagi aku berikan kepada empat anakku, kusuruh mereka makan satu bungkus berdua.

"Kalian tidak makan?"

"Aku sudah, Bu," ucap suamiku.

"Aku juga masih kenyang." Aku menyahut.

Setelah itu ibu mertua membuka nasi bungkus miliknya.

"Ibu gak suka rendang," ujarnya tiba-tiba.

"Ibu sukanya apa? Biar Mas Andre belikan."

"Sebenarnya ibu gak suka nasi Padang," ujarnya. "Kamu habiskan, Melati, ini hasil keringat Andre, jangan dibuat mubazir."

"Tapi, Bu, Melati masih kenyang."

"Habiskan!" bentaknya.

"Lalu Ibu mau makan apa? Biar Melati masakin?"

"Ibu mau bikin telur ceplok aja," ujarnya lalu bergegas menuju dapur.

"Melati bikinin ya?"

"Sudahlah, Melati, kamu makan aja, telur ceplok buatan kamu selalu asin," ujarnya sembari mengambil sebutir telur.

"Mas, ayo kita makan satu bungkus berdua."

Ia mengangguk lalu menyuapiku. Meski kulihat bibirnya tersenyum, tapi aku melihat matanya menahan kepedihan.

Setelah semuanya selesai makan, aku langsung mencuci piring, lalu setelah itu segera ke kamar.

"Mas, kenapa? Sejak makan nasi Padang tadi kulihat mata Mas berkaca-kaca."

"Sebenarnya nasi Padang itu makanan kesukaan Ibu, sejak kami masih kaya, mas sering menemani Ibu pergi ke restoran Padang."

"Benarkah? Termasuk rendang?"

"Semua masakan Padang, dari mulai rendang, ayam balado, gulai nangka, cumi-cumi isi telur, ikan asam padeh, semuanya Ibu suka."

"Bodoh sekali aku, Mas, kenapa aku yang malah menghabiskan makanan tadi, aku menyesal karena Ibu mengalah padaku."

"Mas yang bodoh, karena tidak bisa membeli 7 bungkus nasi Padang."

Aku langsung mengusap air matanya lalu memeluknya dengan erat.

"Semoga suatu hari Mas bisa membawa Ibu ke tempat makan yang mewah lalu memesan apapun yang Ibu sukai."

"Aamiin," sahutnya.

"Semoga kehidupan kita lebih baik lagi dari sekarang."

"Melati, kamu nyesel gak, menikah sama Mas?"

"Enggak, justru aku bangga punya suami yang ganteng, setia, perhatian dan pengertian."

"Hahahaha, kamu kok jadi pinter gombal gini," ujarnya sembari mencubit hidungku.

"Aurora ngantuk," ujar anak bungsuku sembari memeluk ayahnya.

Dia memang selalu cemburu saat melihatku dan suamiku bermesraan, sungguh sangat menggemaskan.

Malam semakin larut, suasana terasa sangat hening. Kulihat suami juga anak bungsuku telah terlelap. Gegas aku berjalan menuju kamar satu lagi, kulihat ibu mertua telah terlelap bersama ketiga anakku di kasur busa tanpa dipan.

"Bu, terimakasih karena sudah sangat baik padaku. Aku janji akan selalu memberikan apa yang Ibu mau," ujarku sembari mengecup keningnya.

"Saya mau cucu," gumamnya dengan mata yang masih terpejam.

"Astaghfirullah, aku sudah sangat pusing dengan empat orang anak, jadi aku mohon, Ibu jangan lagi minta cucu."

"Melati, sebenarnya ibu memiliki rahasia yang sangat besar." Ia masih terus bergumam dengan mata terpejam.

"Rahasia apa, Bu?"

"Sebenarnya ibu ini keturunan Putri Duyung."

"Astaghfirullah!" Seketika aku langsung terhenyak.

"Bercanda! Sudah sana pergi, ngapain ganggu orang tidur," ujarnya sembari membuka mata lalu melempar bantal ke arahku.

"Ibu beneran Putri Duyung?" tanyaku.

"Kalau iya memangnya kenapa?"

"Nangis dong, Bu, siapa tahu jadi mutiara."

"Menantu kampret," umpatnya hingga membuatku tertawa, lalu bergegas meninggalkannya.

Keesokan paginya, kulihat suamiku tengah menjemur pakaian bersama ibu mertua. Suamiku memang sangat pengertian, ia selalu membantuku mencuci pakaian lalu menjemurnya sebelum berangkat narik angkot. Ia sangat mengerti bahwa aku memiliki pekerjaan yang tak ada habisnya, makanya ia tak segan-segan untuk membantu jika ada waktu.

"Ibu senang melihat kamu perhatian sama istrimu. Ibu benar-benar bangga karena kamu berhasil menjadi suami yang baik untuk istrimu juga ayah yang baik untuk anak-anakmu."

"Tapi aku belum bisa menjadi anak yang berbakti pada Ibu."

"Kamu sudah membuat ibu bangga dan bahagia, itu saja sudah cukup buat ibu. Sekarang ibu tak ragu lagi untuk meninggalkan kalian semua."

"Astaghfirullah, Ibu ngomong apa, sih?" tanya suamiku yang tampak terhenyak saat mendengar penuturan ibu mertua.

Tak hanya suamiku, aku juga yang menguping obrolan mereka seketika langsung terhenyak saat mendengar ibu mertua mengatakan bahwa dirinya akan pergi.

"Andre, mungkin sudah saatnya kamu tahu rahasia besar yang disembunyikan ibu. Kamu harus menerima kalau suatu hari ibu akan pergi meninggalkan kalian semua."

Degh! Aku langsung terhenyak saat mendengar ucapan ibu mertua. Apa yang ia maksud hingga berkata seperti itu?

"Ibu ngomong apa, sih? Kalau ngomong itu jangan sembarangan," ujar suamiku.

"Andre, kamu harus tahu, rahasia yang selama ini ibu sembunyikan. Sebenarnya..."

"Sebenarnya apa, Bu? Jangan membuat Andre khawatir."

"Sebenarnya ibu ini Catwoman, jadi Ibu harus pergi untuk membela kebenaran."

"Astaghfirullah, Ibu!"

Seketika ibu mertua langsung tertawa terpingkal-pingkal setelah berhasil mengerjai putranya, sementara aku bergegas membuat nasi goreng setelah menyiapkan seragam kedua anakku. Aku mengiris bawang sambil sesekali tertawa saat mengingat kekonyolan ibu mertuaku itu. Berulang kali kuucapkan rasa syukur karena memiliki suami juga mertua yang sangat baik.

Beberapa saat kemudian, aku menghidangkan nasi goreng untuk kami sarapan.

"Bu, Mas, ayo kita makan!"

Mereka langsung menoleh lalu bergegas menuju meja makan.

"Ayo, Bu, silahkan makan." Aku menyendokkan nasi ke piringnya.

"Kenapa wajahmu terlihat sendu gitu?" tanyanya tiba-tiba.

"Aku cuma sedih saat teringat nasi Padang semalam, bisa-bisanya Ibu mengalah demi aku."

"Udahlah, ngapain bahas itu, cuma satu bungkus nasi Padang aja, cetek banget. Sama restorannya sekalian, ibu mampu beli," ujarnya hingga membuat kami semua seketika berhenti mengunyah lalu menatap ibu mertua dengan tatapan tak percaya.

"Hahahahhahaha nenek kalian lagi bercanda," ujar suamiku yang membuat keempat anakku tertawa.

Namun, wajah ibu mertua tampak masih datar dan tak tertawa sedikit pun seolah apa yang ia katakan barusan adalah serius.

"Ibu bercanda, kan?" tanya suamiku.

"Iya, lah, bercanda, masa serius." Kali ini hanya ibu mertua yang tertawa seorang diri, sementara yang lainnya hanya diam dan saling bertatapan.

"Sebenarnya semalam Aldi bermimpi kita semua tiba-tiba jadi orang kaya."

"Gak enak jadi orang kaya, enakan kayak gini." Ibu mertua menyahut.

"Bukankah kalau kita punya banyak uang, kita bisa melakukan apapun yang kita mau?"

"Dulu nenek pernah kaya raya, tapi nenek tidak bahagia."

"Kenapa gitu, Nek?"

"Karena saat itu nenek selalu kesepian, makan sendiri, tidur sendiri, semuanya serba sendiri."

"Loh, lalu dimana Kakek dan semua orang?"

"Kakek kalian selalu sibuk bekerja, lalu semua anak nenek selalu sibuk dengan urusan masing-masing dan jarang di rumah."

"Termasuk Mas Andre?"

"Iya."

"Maafkan Andre ya, Bu."

"Sudahlah, lupakan yang telah lalu, yang penting ibu sudah bahagia dengan kehidupan kita yang sekarang."

"Oh, ya, Bu. Jadi kapan Elsa sekolah TK?" Tiba-tiba kami semua terdiam saat mendengar pertanyaan anakku yang nomor 3.

Jangankan untuk mendaftar ke TK, untuk makan, bayar kontrakan, biaya sekolah Aldi dan Arka dan kebutuhan lainnya saja aku sering merasa sakit kepala.

"Doakan ayah biar dapat rejeki lebih biar bisa menyekolahkan Elsa," ujar suamiku.

"Aamiin," sahutku.

Setelah itu suamiku pamit berangkat narik angkot sembari mengantar anak-anak ke sekolah.

"Bu, tolong izinkan aku untuk membantu Mas Andre kerja, ya, sudah saatnya aku ikut berjuang agar Elsa bisa sekolah."

"Kamu daftarkan saja Elsa ke TK, soal biaya biar ibu yang urus."

"Hah? Ibu punya uang dari mana?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status