Share

Kecemburuan Ana

“Berhenti!”

Kedua pria itu terlibat perkelahian sengit. Anisa yang melihat bagaimana Leo yang memiliki tubuh lebih besar dari Raka memukuli suaminya bertubi-tubi pun sontak bergidik ngeri.

Ucapannya tidak dihiraukan, membuat Anisa tidak punya pilihan lain selain melerainya. “Tuan, saya mohon hentikan, suami saya bisa mati."

Dia meraih lengan Leo dan menariknya sekuat tenaga. Saat itulah, Leo menghentikan gerakannya.

"Jika bukan istrimu yang meminta padaku, aku tidak akan melepaskanmu, bajingan!" Tangan Leo mendorong tubuh Raka dengan kuat sehingga pria itu terjatuh di tanah.

Dengan deraian air mata, Anisa mencoba mendekati sang suami. Namun Leo melarang wanita itu dengan memegang lengannya, "Jangan mendekat Anisa! Pria seperti itu tidak pantas kamu tolong!"

“T-tapi, Tuan…” Anisa serba bingung harus bagaimana, di sisi lain dia tidak tega melihat Raka yang tengah meringis kesakitan, tapi di sisi lain ucapan itu adalah titah dari majikannya yang harus dia turuti.

“Aku akan panggil satpam untuk mengantarnya pulang,” ucap Leo lagi.

Anisa menatap Leo dan Raka bergantian. Dia sendiri, dengan kondisi hamil tidak mungkin diizinkan mengantar suaminya.

Jadi, meski berat hati … dia akhirnya menuruti perkataan Leo. Setidaknya, Raka masih ada yang menemani, dan memastikan keselamatannya sampai rumah.

Seorang satpam kemudian datang, Leo segera memerintahkannya untuk menyeret Raka keluar. Kedua lengan Raka terlihat ditarik kasar, membuat suami Anisa itu mau tidak mau berdiri di tengah rasa sakitnya.

"Sekali lagi aku melihat kamu menginjakkan kaki di rumahku, kupastikan kamu habis di tanganku!" Setelah itu, Leo masuk ke dalam rumah.

Sementara Leo masuk ke dalam rumah, Anisa buru-buru menghampiri sang suami. Bagaimana pun, dia masih sah menjadi istrinya. Ada perasaan kasihan melihat sang suami babak belur seperti saat ini.

"Kamu nggak apa-apa, Mas?” Anisa mencoba meneliti tubuh sang suami. Namun, tangannya yang terulur justru disentak oleh Raka dengan kasar.

“Nggak apa-apa gimana?” sahutnya sewot. “Kamu mau aku mati digebukin majikanmu itu, ya?!”

Di hadapannya, Anisa tergugu. Dia wanita, diajak berbicara keras, terlebih usai mengalami keadaan shock, air mata pun tidak terbendung lagi.

“Lagian, kamu ngapain ke sini sih, Mas?” Anisa berbicara dengan suaranya yang bergetar karena tangis. “Kan sudah aku bilang dari tadi, mending Mas pulang.”

"Kalau nggak mau aku datang ke sini lagi, Makanya beri aku uang!” Raka kembali mengangsurkan tangan, memberi gestur meminta.

Anisa mengembuskan napas panjang. “Kalau mau uang, kerja, Mas.” Dia menatap suaminya dengan sisa-sisa air mata. “Selama aku di sini, cobalah cari pekerjaan.”

Raka menatap Anisa dengan tajam. “Mau kerja apa? Lagian cari kerja pun juga butuh modal buat ongkosnya, makannya."

Wanita itu hanya bisa geleng-geleng kepala. “Upayakan sendiri, Mas. Aku tidak bisa membantu.”

Setelah itu, Anisa mencoba membalikkan badan. Rasanya percuma meladeni suaminya yang pemalas. Mau diberi nasihat sebanyak apa pun, mungkin Raka tidak akan tergerak untuk berusaha sendiri.

Terbiasa semua kebutuhan dipenuhi oleh Anisa, membuat pria itu keenakan sehingga masih mengandalkan istrinya yang padahal sedang menjalani hukuman atas kelalaiannya.

“Kamu memang istri yang durhaka, Anisa!” Raka mengucap sumpah serapah, tidak ketinggalan mengutuk janin yang dikandung sang istri. “Aku sumpahin, anak yang dikandungmu itu cacat!”

Hati Anisa langsung terasa diiris pisau mendengar Raka berujar demikian. Air matanya kembali bergenang. Sayang, ketika dia ingin melawan balik cibiran itu, Raka sudah lebih dulu menghilang.

Wanita itu menghapus air mata yang jatuh di pipinya. Dia kemudian refleks menyentuh perutnya, “Jangan dengarkan dia ya, Nak. Pokoknya, kamu harus tumbuh sehat dan sempurna.”

Setelah itu, Anisa menetralkan perasaannya sebelum akhirnya masuk ke rumah. Namun, baru dia melangkah masuk, suara bariton Leo terdengar, "Suamimu hampir saja membahayakan calon anakku!"

Bisa dilihatnya, saat ini Leo masih dikuasai amarah.

Anisa jadi takut jikalau Leo sempat mendengar sumpah serapah Raka tadi.

"Maafkan saya dan suami saya Tuan," sahut Anisa sambil menunduk.

Pria itu mengembuskan napas gusar. "Ini bukan salah kamu Anisa."

Anisa menggeleng, "Saya adalah istri Mas Raka, Tuan jadi saya merasa ikut tanggung jawab atas apa yang dia lakukan.”

Kedua bola mata pria itu menatap Anisa yang masih saja menunduk. Dia kemudian kembali mengembuskan napas, sebelum melangkah mendekati si ibu pengganti.

“Sudahlah, tidak perlu dibahas lagi.” Anisa menaikkan pandangannya. Leo sudah berada tepat di hadapannya, dengan pandangan yang jauh lebih lembut, "Ayo aku antar istirahat."

"S-saya bisa sendiri Tuan."

Tatapan mata Leo kembali menajam. Pria itu seolah tidak suka penolakan Anisa.

Dan yang terjadi selanjutnya adalah … Leo tetap memaksakan kehendaknya, bahkan dengan mendorong lembut Anisa melalui bahunya.

Baru saja mereka berjalan beberapa langkah, Ana masuk ke dalam rumah, pemandangan di depannya membuat wanita itu mematung, hatinya merasa sakit melihat sang suami dengan ibu pengganti anaknya begitu dekat.

"Apa yang kamu lakukan Anisa!" Teriaknya sambil melepas kaca mata hitam miliknya.

Leo dan Anisa menoleh, "Nyonya." Anisa segera menjauhkan tubuhnya dari Leo hingga tangan Leo terurai dengan sendirinya.

"Sayang, kamu sudah pulang?" Leo berjalan mendekati sang istri.

"Sudah Mas." Ana memeluk Leo dengan erat bahkan dia sengaja mengecup bibir Leo dengan panas.

Semua dia lakukan bukan tanpa sebab, dia ingin menunjukkan kepada Anisa jika Leo adalah miliknya.

"Ayo kita ke kamar Mas."

CEO itu mengangguk, meski keberangkatan Ana waktu itu tanpa ijinnya tapi dia sudah melupakan hal itu dan sekarang dirinya sangat senang karena sang istri sudah pulang.

"Anisa kamu bisa kan naik tangga sendiri?" tanya Leo yang berhenti di depan Anisa.

"Saya bisa Tuan." Anisa menjawab dengan menunduk, dia begitu takut dengan tatapan tajam Ana padanya.

Meski Ana tidak berbicara apa-apa tapi Anisa cukup tahu jika Ana marah padanya.

Setelah Leo dan Ana hilang dari hadapannya barulah Anisa pergi ke kamar, dia merasa takut dengan Ana, dia yakin jika Ana akan membuat perhitungan dengannya.

Apa yang dia takutkan terjadi juga, beberapa waktu kemudian Ana masuk ke dalam kamarnya dengan tatapan elang yang siap memangsanya hidup-hidup.

"Jangan macam-macam denganku Anisa!"

Dengan kuat Ana mencengkeram lengan Anisa, sedangkan Anisa yang kesakitan berusaha melepaskan tangan Ana.

"Sakit Nyonya." Rintihnya.

"Aku bisa melakukan hal yang lebih dari ini jika kamu berani menggoda Mas Leo lagi!"

Anisa menggeleng, dia tidak pernah menggoda siapapun terlebih Leo yang merupakan majikannya sendiri.

"Memangnya kamu siapa Anisa!" Dia melepas cengkeraman tangannya dengan kuat sehingga tubuh Anisa terdorong ke belakang.

"Saya tidak pernah menggoda Tuan Leo Nyonya."

"Leo cinta mati padaku, dia tidak pernah tergoda dengan wanita manapun tapi tadi dia memapah tubuh kamu, jika kamu tidak menggodanya mana mungkin dia melakukan hal itu!"

Air mata yang tertahan akhirnya jatuh juga, tuduhan Ana benar-benar menyakitinya, dia tidak meminta Leo untuk memapahnya, semua Leo lakukan atas inisiatif sendiri.

"Demi nama Tuhan Nyonya, saya tidak pernah menggoda Tuan Leo."

Meski sudah menggunakan nama Tuhan, Ana tetap tidak percaya, dia masih bersikeras jika Anisa telah menggoda suaminya.

"Simpan air mata buaya kamu Anisa! aku ingatkan lagi, jangan karena kamu mengandung anak kami lantas kamu bisa menggoda dan memanfaatkan suamiku!"

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Libra Girl
Dasar ana salah mu sendiri
goodnovel comment avatar
Three EL
ini udah mulai Bucin sama ibunya apa khawatir dengan anaknya
goodnovel comment avatar
Mega
ga papa Leo kan cuma pasar doang
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status