Kondisi ayah Lintang sudah stabil, sudah menempati kamar rawat juga. Lintang dan Adjie berjalan menuju ke meja suster karena harus ada yang dibicarakan.
"Lo balik aja, Jie, ke resto, kasian Mami sama Papi lo pasti nyariin. Gue nggak apa-apa kok."
"Yaudah, nanti Mami juga mau ke sini katanya, sekalian bawain makanan buat lo sama Ibu."
"Ok. Hati-hati, ya." Lintang berdiri di depan meja suster. Adjie memeluk Lintang lalu berjalan menuju lift.
Lintang berdiri bersama suster yang menjelaskan beberapa hal, Lintang manggut-manggut mengerti. Hingga ia melakukan proses penandatanganan sebagai tanda ia setuju dengan prosedur yang akan dokter lakukan.
Ia menunduk, memegang pangkal hidungnya sambil berjalan pelan. Kembali, suara tangis Bre terdengar. Lintang berjalan kembali ke meja suster.
"Sus, apa dilantai ini ada pasien anak-anak juga?" tanya Lintang
"Ada, Bu. Di bangsal sebelah kiri, pintu kaca itu," tunjuk suster.
"Apa ada pasien anak atas nama Breyana?" tanya Lintang lagi. Suster mengangguk.
"Baru masuk ya, Bu, dikamar V.113."
"Ok. Saya ke sana ya."
"Silakan, Bu, kebetulan hanya bersama Ayahnya aja di kamar rawat."
"Iya, makasih ya, Sus," ucap Lintang. Lintang berjalan ke arah kamar V.113 itu, ia membuka pelan pintu. Terlihat Bre yang menangis karena infus di tangannya dan Galaksi yang coba menenangkan sambil membuatkan susu untuk Bre.
"Hai cantiknya Tante Lintanggg…." Raut wajah ceria Lintang langsung disambut tangisan kencang oleh Breyana. Tangannya terangkat ke atas. Lintang yang masih menggunakan seragam kerjanya melepas blazer dan menggulung lengan kemeja sampai ke siku lalu menggendong Bre.
"Sayang …." Lintang memejamkan mata sambil menggendong dan memeluk anak kecil itu. Breyana sesenggukan. Lintang menepuk-nepuk punggung Breyana pelan.
"Buruan susunya Papah, lama yaaa …," ucap Lintang penuh penekanannya sambil melotot. Galaksi terkekeh. Ia lalu berjalan sambil mengocok botol susu dan diberikan ke Lintang.
"Nih, Bre, pelan-pelan ya minumnya, sini Tante Lintang pangku." Lintang duduk di tepi tempat tidur dan memangku Bre yang tenang meminum susunya.
Galaksi duduk di sofa yang ada di kamar rawat itu sambil mengusap kasar wajahnya.
"Biasa aja kali, Lak. Anak kecil sakit gini kan emang wajar, udah ditangani dokter ini. Hasil lab udah keluar belum?" tanya Lintang sambil menepuk-nepuk bokong Breyana pelan.
"Belum, sejam lagi katanya. Lo kok bisa kesini, Ayah sama Ibu lo nggak ada yang temenin."
"Gue denger suara Bre nangis, gue tanya suster trus langsung ke sini."
"Oh."
Lalu pintu kamar rawat terbuka. Tampak kedua orang tua Galaksi yang datang dan terlihat khawatir.
"Bre—yana," ucap ibu Galaksi yang nampak terkejut karena melihat Breyana yang sedang dipangku Lintang. Lintang perlahan bangun dan menyapa kedua orang tua Galaksi.
"Saya Lintang, Tante, Om, temennya Galaksi," sapa Lintang sopan.
"Lintang? Kok kayak nggak asing?" ucap ibunda Galaksi yang langsung disenggol suaminya.
"Mantan gebetannya Galaksi yang pas kuliah dulu, Mah, masa lupa," bisik ayah Galaksi. Ibunda Galaksi menutup mulutnya dengan tangan.
"Ya ampunnnnn, jadi kamu Lintang-Lintang itu?!"
"Ehhh?" Lintang menatap galaksi bingung.
"Lintang, tante minta maaf yaaaa, coba kalo wak—"
"Mah. Udah. Nggak usah dibahas," tegur Galaksi sambil beranjak dan berjalan ke arah kedua orang tuanya.
Ibundanya mengangguk. Tapi menunjukan wajah tak enak hati dengan Lintang.
"Cucu oma kenapaaaa, sini sayanggg." Bre mengangkat kedua tangannya, minta digendong ibunda Galaksi. Lintang menghampiri ayah Galaksi dan mencium punggung tangannya.
"Kalau gitu saya permisi, mau ke kamar Ayah saya, permisi Om, Tante, Galak—si." Lintang berjalan pelan. Lalu suara teriakan terdengar.
"MAH!!"
Keempat pasang mata orang dewasa itu menoleh bersamaan dan menatap Breyana yang mulai menunjukan raut wajah sedih saat melihat lintang hendak keluar kamar.
***
2 hari selanjutnya.
"Nggak bisa, Bu, Ayah saya nggak ada yang jagain dan rawat, Ibu saya nggak kuat kalau sendirian, apa nggak ada jatah cuti saya Bu? Saya kan jarang izin-izin atau cuti, kecuali waktu suami saya meninggal," ujar Lintang yang sedang bicara ditelepon. Ia mondar mandir di dekat lift sambil menelpon bossnya.
"Maaf, Tang, udah kebijakan dari atas, saya bisa apa. Ini sudah dua hari kamu nggak masuk kan, yang kemarin izin, sekarang mau nggak mau potong gaji."
"Ya ampun, Bu. Saya nggak mungkin ninggalin Ayah saya, masih banyak yang harus saya pantau." Lintang duduk dan menunduk. Ia dan bossnya sama-sama diam.
"Gini deh, Bu. Kalau memang tidak ada kebijakan dari perusahaan, saya resign, kesehatan Ayah saya yang utama, saya anak satu-satunya, Bu, nggak mungkin saya repotin keluarga lainnya yang diluar kota, saudara saya disini juga sibuk. Ini tanggung jawab saya. Surat resign saya, saya siapin siang ini juga, Bu," ucap Lintang sambil terus menunduk.
"Tapi kamu nggak dapet apa-apa, Tang, karena baru tiga tahun itu juga masih kontrak."
"Yang saya dapat apa, Bu?"
"Gaji bulan ini aja."
Lintang diam, tapi niatnya sudah bulat. Ia tidak mau mementingkan pekerjaan daripada kesehatan ayahnya yang butuh perhatian ekstra.
"Baik, Bu. Nggak apa-apa, besok pagi saya antar surat resign saya ya, Bu, terima kasih."
"Maafkan saya ya, Lintang."
"Iya, Bu, nggak apa-apa."
Lalu telfon terputus. Lintang mengetuk-ngetuk kening dengan ponselnya berulang kali. Ia kesal dengan tempat ia bekerja, tetapi ia tidak mau membiarkan ibunya seorang diri merawat ayahnya yang sakit.
"Keluarga pasien Bapak Dahlan," panggil suster. Lintang beranjak.
"Ya saya, Sus."
"Ke meja saya sebentar yuk, Bu," ucap suster. Lintang mengangguk.
Lintang kembali dijelaskan suster perihal pengobatan ayahnya. Lintang mengangguk dan menyanggupi. Setelah kembali menandatangani persetujuan, ia melihat Galaksi yang baru datang dari kantor, karena Galaksi masih mengenakan kemeja kerjanya.
"Lho, kok lo baru kesini, Bre sama siapa lak?" tanya Lintang.
"Mama dan Papa, ini mau gantian, gue setengah hari kerjanya."
"Semalam yang nginep disini Mama sama Papa?" tanya Lintang lagi. Galaksi mengangguk.
"Ya ampun, kasian Om sama Tante."
"Ayah gimana, Tang?"
Galaksi balik bertanya.
"Much better, ni mau dikasih obat lainnya, tunggu visit dokter sekalian."
"Syukurlah kalo gitu. Terus, lo nggak kerja? Cuti?" lanjut Galaksi. Lintang mengangguk cepat sambil tersenyum.
"Ok, gue ke kamar, Bre, ya, Mama sama Papa mau pulang."
"Oke, bye."
Lintang berjalan menuju ke kamar ayahnya. Saat ia membuka pintu kamar, terlihat ibunya yang tertidur di sofa. Ia tidak tega. Ayahnya juga sedang tertidur. Lintang menyelimuti tubuh ibunya lalu ia berjalan keluar kamar menuju ke kamar Bre. Ia sudah berganti baju, semalam Adjie yang membawa pakaian gantinya.
"Permisi," ucap Lintang saat masuk ke kamar Bre. Semua tampak sibuk saat Bre kembali buang-buang air. Galaksi mengambil pampers, kedua orang tua Galaksi sibuk menenangkan Bre. Perutnya masih suka sakit, membuat Bre tidak nyaman.
"Breeee …" sapa Lintang. Ketiganya sontak menoleh ke Lintang.
"Tante, sini saya bantu gantiin pampers Bre." Lintang menawarkan dirinya mebmantu. Ibunda Galaksi terlihat lega. Sudah bukan usianya lagi memang untuk mengurus bre. Galaksi kekeh tidak mau pakai baby sitter karena takut anaknya di apa-apakan.
"Kenapa Bre, sakit perutnya ya. Kita ke kamar mandi yok, pake air anget bersih-bersihnya, yok Tante gendong." Lintang menggendong Bre dan membawa pampers di tangannya. Galaksi mencopot infus dari tiang lalu ikut berjalan ke dalam kamar mandi.
Tidak lama terdengar suara Bre tertawa karena Lintang memandikan dengan air hangat dan sambil bercanda.
"Pa, apa kita nikahin aja mereka, ya? Galaksi masih sayang sama Lintang kayaknya. Mamah mau nebus kesalahan mamah beberapa tahun lalu?" Ibunda Galaksi menatap ke suaminya.
"Tanya Galaksi dan Lintang, jangan kita yang atur lagi, mereka sudah dewasa, Ma." Papanya merangkul bahu istrinya sambil duduk di sofa. Mereka tampak lelah.
"Iya, ya, Pa."
Sebulan berlalu. Lintang sedang berada di rumah kedua orang tuanya. Ia menyiapkan sarapan dan obat untuk ayahnya. Rutinitas yang ia jalankan sejak ayahnya pulang dari rumah sakit.Ia duduk di depan meja komputer yang ada di rumah kedua orang tuanya. Berselancar untuk mencari lowongan pekerjaan baru untuknya.'Asisten pribadi? Boleh juga.' Pikir Lintang sambil mencatat email perusahaan tempat ia akan melamar pekerjaan. Beberapa perusahaan sudah ia catat. Tidak ada lowongan aspri, tetapi lowongan customer service,marketing, hingga posisi secretaris."Mudah-mudahan cepet dapet kerjaan baru ya, Tang," ujar ibunya seraya meletakan pisang goreng di dekat Lintang."Makasih, Bu," jawab Lintang sambil tersenyum. Dengan santai ia mulai memakan pisang goreng dengan kaki diangkat satu.Ponselnya berbunyi, nama Adjie muncul."What's up broooo …." Jawab Lintang seraya menempelkan ponsel ke telinganya."Dipanggil Mami, Tang, suruh ke resto.""Resto yang mana?""Pusat.""Suruh ngapain?""Ngelapin kac
Galaksi menatap foto putri kecilnya yang dijadikan wallpaper ponselnya. Ia tersenyum. Galaksi mendapat kekuatan setiap harinya hanya dengan memikirkan kebahagiaan putri kecilnya. Betapa lucunya Breyana walau diusianya saat ini belum bisa berjalan lancar. Masih terjatuh-jatuh. Efek terlalu sering digendong kemana-mana, jadi motorik Bre juga lambat.Mobil Galaksi mengarah ke restaurant, sesuai janji Lintang waktu itu, kalau ia mau sesekali menemui Bre. Ia juga paham anak Galaksi itu mudah ceria jika bersamanya."Hai calon Mamanya Bre, gimana kerjanya?" Galaksi sudah berdiri di samping mobilnya sambil bersedekap. Kemeja kerjanya, seperti biasa, sudah tidak rapi jika pulang kantor. Ia cengengesan sendiri."Masih halu banget sumpah." Jawab Lintang sewot. Adjie yang baru datang dengan motornya dari kampus menatap heran sambil meletakan helm di motornya."Mau kemana?" Adjie menunjuk ke Lintang dan Galaksi."KUA!" jawab Galaksi asal. Ia mendapat pukulan di bahunya dari Lintang."Enak aja, ma
Playground yang dipilih Lintang tak begitu ramai, mungkin karena malam hari juga dan hanya Breyana juga dua anak kecil lainnya yang bermain. Lintang duduk di atas matras yang memang dijadikan alas supaya anak-anak tidak terasa dingin jika bersentuhan dengan lantai dan lebih aman.“Breyana umurnya berapa, sih, udah dua tahun atau belum?” Lintang bersuara tapi kepalanya terus menuju ke arah Breyana yang merangkak mengejar mainan.“Pas dua tahun, tiga bulan lalu,” jawab Galaksi yang duduk bersila disebelah Lintang. Kedua masih memakai pakaian kerja, Galaksi sesekali mengulum senyum saat menatap Lintang. “Kenapa nanyain? Mau beli kado? Beli, dong, buat calon anak sambung,” celetuk lelaki berperawakan tinggi dengan rambut cepak.“Iya lah, gue mau beli kado. Sebagai Tantenya,” tegas Lintang.“Calon Mama,” sanggah Galaksi.“Dih! PD banget lo. Udeh, Lak … jangan mancing gue ngamuk!” ancan juga pelotot Lintang. Ia lalu beranjak, ingin menghampiri Breyana namun sebelumnya Lintang menguncir ting
Ulah Galaksi ada-ada aja, hari itu ia sengaja datang ke rumah orang tua Lintang sejak pukul setengah empat pagi, bahkan marbot masjid saja belum ancang-ancang hendak pergi ke masjid terdekat. Galaksi membuat ayah Lintang terpaksa bangun lalu membuka pagar.“Lho, ada apa, Galaksi?” tanya ayah sembari membuka pagar.“Maaf, Om, datang jam segini. Tadinya mau dari tengah malam, tapi nanti disangka maling.” Galaksi berjalan dibelakang ayah yang sudah kembali menutup pagar.“Kamu memang maling?” celoteh ayah.“Nggak, Om, saya bukan maling. Berani sumpah, saya, Om.”Ayah Lintang menoleh setelah menghentikan langkah kakinya. Menatap lekat Galaksi.“Maling hati anak saya, ‘kan,” ujarnya lalu kembali berjalan. Galaksi menahan tawa. Bisa aja calon mertua. Padahal boro-boro Lintang memberi respon OK. Galaksi duduk di ruang tamu, sendirian, yaiyalah, ngapain juga ayah Lintang temani lelaki yang niatnya tak jelas datang jam segitu. Lintang keluar kamar, dengan wajah bantal, ia duduk di sofa berjara
Galaksi dan Lintang selesai jogging, mereka kini berjalan kaki mengarah pada area tempat acara kampus diadakan. Lintang sengaja menolak terlalu dekat lokasi, ia tak ingin bertemu tatap dengan beberapa dosennya dahulu. Rasanya malas disaat ia bertemu mereka tapi sedang bersama Galaksi.“Gue tunggu di sana,” tunjuk Lintang pada stand kecil penjual minuman dingin.“Kenapa nggak mau ke sana?” Galaksi berkacak pinggang, napasnya terengah karena lelah setelah jogging tadi.“Nggak papa. Lo aja sana,” usir Lintang.“Oke.” Galaksi pergi ke arah kerumuman para mahasiswa, dosen dan ada juga beberapa teman yang datang. Lintang beranjak, ia takut Galaksi mendadak memanggil lalu memaksanya ke sana. Ia berjalan menjauh, memilih duduk bersembunyi di stan penjual burger. Lintang hanya memantau dari kejauhan.“Beef burger dan salad sayurnya satu, ya,” pesan Lintang.“Oke, ditunggu, ya,” kata penjual. Lintang masih terus menatap, lalu menghela napas panjang karena Galaksi tampak celingukan mencarinya. I
Mall terlihat tidak begitu ramai, mungkin karena masih tanggal tua,tapi justru membuat Lintang nyaman. Ia dengan telaten mengajarkan Bre memakan makanannya sendiri. Finger food istilahnya. Biar Bre belajar mandiri dan tahu apa yang bisa ia lakukan supaya motoriknya terasah. Tidak melulu disuapin atau apa-apa dibantu orang lain. Sejak sedini mungkin seorang anak juga harus mulai diajarkan untuk mandiri supaya tidak malas."Bre, ini ayam, ini wortel, ini buncis, ini kentang." Lintang menunjuk ke potongan-potongan kecil bagian dari menu steak ayam yang ia pesan untuk Breyana. Ia meletakan di piring kecil. Bre menatap ke Lintang. “Nih, lihat Tnte Lintang makan, ya."Lintang memasukan makanan ke dalam mulutnya lalu mengunyahnya. Bre mulai memegang walau awalnya tampak risih dan takut, tapi Lintang terus menyemangati. Hingga beberapa menit berlalu, Bre mulai memakan makanannya sendiri."Enakkk?" tanya Lintang. Bre terus makan dan manggut-manggut. Galaksi sibuk memideokan Bre dan dikirim ke
Suara para karyawan bagian dapur restoran tempat Lintang bekerja terdengar riuh, jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Saatnya restaurant bersih-bersih karena sudah waktunya tutup.Lintang membantu merapikan kimchi yang akan disediakan untuk para pelanggan esok hari ke dalam kulkas. Bima yang sudah memakai pakaian koki berwarna putih sibuk memisahkan bahan makanan untuk besok ke dalam ruangan pendingin khusus."Tang, balik bareng?" tanya Bima. "Adjie, ‘kan nggak ke sini hari ini," lanjutnya. "Tenang, ada ojol. Lo kejauhan kalo anterin gue, Bim.""Nggak kok. Eh lagian kita ‘kan mau ke tempat Bang Igo dulu. Lo nggak baca grup keluarga ya?"Lintang mengernyitkan keningnya. Ia lalu membuka ponsel dan membaca chat yang sudah banyak."Ehhh, kumpul semua?""Harus dateng pokoknya. Meta sama Aldo aja dateng. Udah sampe malah. Kapanlagi sepupu-sepupu kumpul.” Bima menepuk bahu Lintang."Oke deh, gue telepon Ayah dulu, kasih tau anaknya pulang telat.""Yaudah. Gue ganti baju, gue tunggu di
Semenjak kejadian mentraktir sepupu Lintang malam itu, Galaksi semakin yakin dan pantang mundur untuk mendapatkan wanita pujaannya. Walau ia belum tahu perasaan Lintang seperti apa kepadanya karena Lintang tidak pernah memperlihatkan dan mengutarakan.Lintang bekerja sebagai manager restaurant. Tidak lagi dipembukuan karena om Kim lebih melihat Lintang cocok dalam menyambut tamu dan mengatur karyawan yang bekerja. Walau Lintang ngotot kalau mau membantu apa saja. Ia tidak bisa diam memang, jadi omnya pun menyetujui."Lintang, sini sebentar," panggil om Kim."Ne samchon" (ya paman), jawab Lintang dengan bahasa korea yang malah direspon kekehan dari omnya yang asli orang korea tapi sudah menjadi WNI itu."Lintang, i need your help.""Ne," jawab Lintang sambil terkekeh juga."Gini, Tang, besok itu katanya ada yang mau booking untuk dua puluh orang dari perusahaan apa gitu ya, Om, lupa. Tolong konfirmasi ke sekretarisnya. Namanya Jingga, ini nomor kontaknya. Buat mastiin aja jadi kita jug