Galaksi menatap foto putri kecilnya yang dijadikan wallpaper ponselnya. Ia tersenyum. Galaksi mendapat kekuatan setiap harinya hanya dengan memikirkan kebahagiaan putri kecilnya. Betapa lucunya Breyana walau diusianya saat ini belum bisa berjalan lancar. Masih terjatuh-jatuh. Efek terlalu sering digendong kemana-mana, jadi motorik Bre juga lambat.Mobil Galaksi mengarah ke restaurant, sesuai janji Lintang waktu itu, kalau ia mau sesekali menemui Bre. Ia juga paham anak Galaksi itu mudah ceria jika bersamanya."Hai calon Mamanya Bre, gimana kerjanya?" Galaksi sudah berdiri di samping mobilnya sambil bersedekap. Kemeja kerjanya, seperti biasa, sudah tidak rapi jika pulang kantor. Ia cengengesan sendiri."Masih halu banget sumpah." Jawab Lintang sewot. Adjie yang baru datang dengan motornya dari kampus menatap heran sambil meletakan helm di motornya."Mau kemana?" Adjie menunjuk ke Lintang dan Galaksi."KUA!" jawab Galaksi asal. Ia mendapat pukulan di bahunya dari Lintang."Enak aja, ma
Playground yang dipilih Lintang tak begitu ramai, mungkin karena malam hari juga dan hanya Breyana juga dua anak kecil lainnya yang bermain. Lintang duduk di atas matras yang memang dijadikan alas supaya anak-anak tidak terasa dingin jika bersentuhan dengan lantai dan lebih aman.“Breyana umurnya berapa, sih, udah dua tahun atau belum?” Lintang bersuara tapi kepalanya terus menuju ke arah Breyana yang merangkak mengejar mainan.“Pas dua tahun, tiga bulan lalu,” jawab Galaksi yang duduk bersila disebelah Lintang. Kedua masih memakai pakaian kerja, Galaksi sesekali mengulum senyum saat menatap Lintang. “Kenapa nanyain? Mau beli kado? Beli, dong, buat calon anak sambung,” celetuk lelaki berperawakan tinggi dengan rambut cepak.“Iya lah, gue mau beli kado. Sebagai Tantenya,” tegas Lintang.“Calon Mama,” sanggah Galaksi.“Dih! PD banget lo. Udeh, Lak … jangan mancing gue ngamuk!” ancan juga pelotot Lintang. Ia lalu beranjak, ingin menghampiri Breyana namun sebelumnya Lintang menguncir ting
Ulah Galaksi ada-ada aja, hari itu ia sengaja datang ke rumah orang tua Lintang sejak pukul setengah empat pagi, bahkan marbot masjid saja belum ancang-ancang hendak pergi ke masjid terdekat. Galaksi membuat ayah Lintang terpaksa bangun lalu membuka pagar.“Lho, ada apa, Galaksi?” tanya ayah sembari membuka pagar.“Maaf, Om, datang jam segini. Tadinya mau dari tengah malam, tapi nanti disangka maling.” Galaksi berjalan dibelakang ayah yang sudah kembali menutup pagar.“Kamu memang maling?” celoteh ayah.“Nggak, Om, saya bukan maling. Berani sumpah, saya, Om.”Ayah Lintang menoleh setelah menghentikan langkah kakinya. Menatap lekat Galaksi.“Maling hati anak saya, ‘kan,” ujarnya lalu kembali berjalan. Galaksi menahan tawa. Bisa aja calon mertua. Padahal boro-boro Lintang memberi respon OK. Galaksi duduk di ruang tamu, sendirian, yaiyalah, ngapain juga ayah Lintang temani lelaki yang niatnya tak jelas datang jam segitu. Lintang keluar kamar, dengan wajah bantal, ia duduk di sofa berjara
Galaksi dan Lintang selesai jogging, mereka kini berjalan kaki mengarah pada area tempat acara kampus diadakan. Lintang sengaja menolak terlalu dekat lokasi, ia tak ingin bertemu tatap dengan beberapa dosennya dahulu. Rasanya malas disaat ia bertemu mereka tapi sedang bersama Galaksi.“Gue tunggu di sana,” tunjuk Lintang pada stand kecil penjual minuman dingin.“Kenapa nggak mau ke sana?” Galaksi berkacak pinggang, napasnya terengah karena lelah setelah jogging tadi.“Nggak papa. Lo aja sana,” usir Lintang.“Oke.” Galaksi pergi ke arah kerumuman para mahasiswa, dosen dan ada juga beberapa teman yang datang. Lintang beranjak, ia takut Galaksi mendadak memanggil lalu memaksanya ke sana. Ia berjalan menjauh, memilih duduk bersembunyi di stan penjual burger. Lintang hanya memantau dari kejauhan.“Beef burger dan salad sayurnya satu, ya,” pesan Lintang.“Oke, ditunggu, ya,” kata penjual. Lintang masih terus menatap, lalu menghela napas panjang karena Galaksi tampak celingukan mencarinya. I
Mall terlihat tidak begitu ramai, mungkin karena masih tanggal tua,tapi justru membuat Lintang nyaman. Ia dengan telaten mengajarkan Bre memakan makanannya sendiri. Finger food istilahnya. Biar Bre belajar mandiri dan tahu apa yang bisa ia lakukan supaya motoriknya terasah. Tidak melulu disuapin atau apa-apa dibantu orang lain. Sejak sedini mungkin seorang anak juga harus mulai diajarkan untuk mandiri supaya tidak malas."Bre, ini ayam, ini wortel, ini buncis, ini kentang." Lintang menunjuk ke potongan-potongan kecil bagian dari menu steak ayam yang ia pesan untuk Breyana. Ia meletakan di piring kecil. Bre menatap ke Lintang. “Nih, lihat Tnte Lintang makan, ya."Lintang memasukan makanan ke dalam mulutnya lalu mengunyahnya. Bre mulai memegang walau awalnya tampak risih dan takut, tapi Lintang terus menyemangati. Hingga beberapa menit berlalu, Bre mulai memakan makanannya sendiri."Enakkk?" tanya Lintang. Bre terus makan dan manggut-manggut. Galaksi sibuk memideokan Bre dan dikirim ke
Suara para karyawan bagian dapur restoran tempat Lintang bekerja terdengar riuh, jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Saatnya restaurant bersih-bersih karena sudah waktunya tutup.Lintang membantu merapikan kimchi yang akan disediakan untuk para pelanggan esok hari ke dalam kulkas. Bima yang sudah memakai pakaian koki berwarna putih sibuk memisahkan bahan makanan untuk besok ke dalam ruangan pendingin khusus."Tang, balik bareng?" tanya Bima. "Adjie, ‘kan nggak ke sini hari ini," lanjutnya. "Tenang, ada ojol. Lo kejauhan kalo anterin gue, Bim.""Nggak kok. Eh lagian kita ‘kan mau ke tempat Bang Igo dulu. Lo nggak baca grup keluarga ya?"Lintang mengernyitkan keningnya. Ia lalu membuka ponsel dan membaca chat yang sudah banyak."Ehhh, kumpul semua?""Harus dateng pokoknya. Meta sama Aldo aja dateng. Udah sampe malah. Kapanlagi sepupu-sepupu kumpul.” Bima menepuk bahu Lintang."Oke deh, gue telepon Ayah dulu, kasih tau anaknya pulang telat.""Yaudah. Gue ganti baju, gue tunggu di
Semenjak kejadian mentraktir sepupu Lintang malam itu, Galaksi semakin yakin dan pantang mundur untuk mendapatkan wanita pujaannya. Walau ia belum tahu perasaan Lintang seperti apa kepadanya karena Lintang tidak pernah memperlihatkan dan mengutarakan.Lintang bekerja sebagai manager restaurant. Tidak lagi dipembukuan karena om Kim lebih melihat Lintang cocok dalam menyambut tamu dan mengatur karyawan yang bekerja. Walau Lintang ngotot kalau mau membantu apa saja. Ia tidak bisa diam memang, jadi omnya pun menyetujui."Lintang, sini sebentar," panggil om Kim."Ne samchon" (ya paman), jawab Lintang dengan bahasa korea yang malah direspon kekehan dari omnya yang asli orang korea tapi sudah menjadi WNI itu."Lintang, i need your help.""Ne," jawab Lintang sambil terkekeh juga."Gini, Tang, besok itu katanya ada yang mau booking untuk dua puluh orang dari perusahaan apa gitu ya, Om, lupa. Tolong konfirmasi ke sekretarisnya. Namanya Jingga, ini nomor kontaknya. Buat mastiin aja jadi kita jug
"Mbak Lintang, ini yang untuk booking jam sebelas, sudah siap. Kata Mr. Kim nanti Mbak Lintang yang handle?" ucap karyawan bagian kasir."Iya, udah dilebihkan dua puluh persen dari paket yang sudah di booking, 'kan?""Udah Mbak, kata bagian dapur tadi saya tanya.""Ok. Kamu balik aja ke meja kamu, saya yang handle dari sini" Lintang merapikan pakaian kerjanya. Kemeja berwarna abu-abu pres badan dan celana panjang hitam serta high heels membuat tubuhnya terlihat proporsional.Ia berdiri didekat pintu, sekedar mengecek alur keuangan kasir. Terlihat dari dalam pintu kaca besar itu rombongan lima mobil yang langsung terparkir rapih. Lintang bersiap-siap. Ia berdiri dan membuka pintu dibantu salah satu karyawannya."Selamat datang, terima kasih sudah memilih tempat kami untuk kegiatan anda, mari saya antar ke ruangan VIP nya." Lintang berjalan didepan, menuju ke lantai dua dan menggeser pintu kaca ruangan tersebut.Meja panjang dan kursi-kursi dengan alat panggangan sudah tersusun rapi."S