Tok! Tok! Tok! Aksi Morgan harus terhenti kala pintu ruang utama vila diketuk. Morgan dan Sydney menoleh. Seorang anak buah Morgan berdiri di depan pintu. Di belakangnya, ada dua orang asing yang memakai pakaian formal. “Psikolog dan dokter spesialis anak yang Tuan minta sudah tiba,” lapor pria berbadan besar itu. Morgan melirik arlojinya yang menunjukkan pukul delapan malam. “Silakan masuk,” sahut Morgan tanpa perlu repot-repot berdiri untuk menyambut tamunya. Sydney mengamati kedua tamu Morgan yang sedang melangkah masuk. Psikolog, seorang wanita berusia sekitar empat puluhan dengan kacamata berbingkai tipis, tersenyum sopan sebelum memperkenalkan dirinya. “Saya Adriana Gills.” Dokter spesialis anak, pria paruh baya dengan raut tegas, mengangguk singkat. “Saya dokter Hansel.” Sydney menelan ludah. Napas Sydney sedikit tersendat saat Morgan menoleh padanya. “Kau akan diperiksa lebih dulu,” ujar Morgan. Bukan pertanyaan, bukan saran. Itu perintah. Sydney menatap pria itu d
“Sejak lulus sebagai Sarjana Hukum aku selalu ingin bekerja di Monarch Legal Group.” Sydney mengetik di layar ponsel, lalu menyodorkannya ke hadapan Morgan. “Tapi sekarang aku tidak bisa. Setidaknya aku bisa memiliki sahamnya.” Morgan membaca pesan itu dengan tatapan tajam. Sydney mengetik lagi, “Lagipula, aku punya utang besar yang harus segera dibayar. Aku bisa mendapat pemasukan tambahan dari sana.” Morgan terkekeh pelan. “Jadi, yang kau inginkan adalah uang?” “Tuan bilang kalau ini hadiah, berarti harus yang sedang sangat aku inginkan,” ketik Sydney lagi sambil menatap Morgan. Morgan melangkah mendekat, jemarinya menyusuri garis rahang Sydney dengan lembut, membelainya. “Baiklah,” sahut Morgan pelan. “Aku akan memberikannya padamu.” Sydney terkejut sesaat. Dia sudah menyiapkan diri dengan berbagai argumen jika Morgan menolak, tetapi ternyata pria itu menyetujuinya tanpa banyak bertanya. “Kenapa?” Sydney mengetik buru-buru. “Tuan bahkan tidak bertanya lebih jauh.”
“Kau menanam duri, maka karma akan datang menusukmu, Vienna. Nirina memandang tulisan itu, lalu ekspresinya berubah drastis. Wajah yang semula ramah itu kini tampak dingin dan tidak senang. Semua mata tertuju pada Vienna, yang masih terpaku di tempatnya. “Apa maksudnya ini, Vienna?” Nirina bertanya tajam, pandangannya menusuk lurus ke arah Vienna. Bisikan dari para tamu mulai terdengar di telinga Vienna. "Astaga, siapa yang mengirimi pesan seperti itu?" Keringat dingin pun mengalir di punggung Vienna. ‘Ini tidak mungkin!’ Vienna menyangkal ini dalam hati. Tidak mungkin seseorang mengirimkan sesuatu seperti ini ke acara pentingnya. Vienna bisa merasakan pandangan para wanita menusuk kulitnya, seolah dia adalah tontonan utama dalam sebuah drama memalukan. Salah satu wanita yang duduk di seberangnya tersenyum miring, mencondongkan tubuh sedikit ke arah Nirina. "Nona Nirina, kau harus lebih berhati-hati. Siapa tahu kau akan menjadi korban berikutnya?" Tawa kecil yan
"Aku tidak mengenalnya." Sydney mengetik kalimat itu dengan cepat di layar ponselnya, menyembunyikan kepanikan yang mulai menyelinap di dada. Morgan tidak langsung bereaksi. Pria itu hanya duduk di sofa, tatapannya gelap dan tajam, seolah sedang menimbang sesuatu. Sydney menggigit bibirnya, lalu mengetik kalimat tambahan. "Apa Tuan mengenal semua orang yang seumuran dengan Tuan?" Sindiran halus itu seharusnya cukup untuk mengalihkan perhatiannya. Namun bukannya terprovokasi, Morgan justru mendengkus pelan, lalu tertawa—suaranya bergema di ruangan. Sydney terpaku. Morgan tertawa? Pelayan yang ada di sekitar mereka ikut terkejut, saling melirik dengan ekspresi tak percaya. Seorang pelayan bahkan hampir menjatuhkan nampan yang dipegangnya. "Tuan tertawa? Apa Tuan sehat?" bisik salah satu dari mereka. "Sejak kapan terakhir kali Tuan tertawa seperti itu?" "Tidak pernah," sahut yang lain, matanya tak lepas dari sosok pria yang kini masih menyunggingkan senyum tipis. "Dan kau sad
“Akan ada berita baik tentangku beberapa minggu lagi. Dan saat kau mendengarnya, kau tidak akan bangun lagi, Jalang!” Suara Vienna terdengar tajam di ujung telepon, penuh dengan kebencian dan kepuasan yang menjijikkan. Tanpa menunggu respons, wanita itu langsung menutup panggilan dengan kasar. Seolah baru saja menjatuhkan vonis mati bagi Sydney. Tuut. Tuut. Sydney menatap layar ponselnya yang kini gelap. Dulu, kata-kata semacam itu bisa menghancurkan Sydney. Dulu, ancaman Vienna akan membuatnya bersembunyi di sudut kamar dengan tubuh gemetar, dan kepala yang penuh pikiran karena ketakutan. Namun, sekarang? Semua luka itu bukan lagi rantai yang mengikat Sydney. Sebaliknya, luka itu justru menjadi bahan bakar yang mengobarkan sesuatu yang jauh lebih besar. Dendam. Sydney menarik sudut bibirnya, membentuk senyum samar—bukan karena takut—tetapi karena merasa lucu. ‘Kau ingin aku mati?’ batin Sydney. Lelucon macam apa itu? Vienna pikir Sydney masih wanita yang sama seperti dulu
‘Kau benar-benar nekat, Sydney Zahlee!’ batin Sydney, bicara pada dirinya sendiri. Sydney menahan napas, meredam degup jantungnya yang berdebar kencang. Tatapannya tertuju pada komputer di hadapannya, layar yang tadinya gelap kini bersinar terang, menampilkan sesuatu yang tidak dia duga sebelumnya. Sydney mengepalkan tangan di sisi meja. Ini bukan informasi biasa, dokumen-dokumen yang terpampang jelas di layar adalah sesuatu yang bisa menghancurkan Lucas. Sydney menarik napas dalam, berusaha menjaga ketenangannya. Beberapa saat lalu, setelah memastikan mansion dalam kondisi aman, Sydney melepas gelang kaki berloncengnya—benda sialan yang membuatnya selalu ketahuan ke mana pun dia pergi—dan masuk ke ruang kerja Morgan yang, anehnya, tidak terkunci. Sydney tidak menyangka betapa mudahnya dia bisa masuk ke ruangan pria itu. Suara Vienna yang mengatakan tentang kabar baik masih terngiang di telinga Sydney. Walaupun tidak lagi merasa takut, Sydney sangat tahu kalau itu bukan sekadar
"Beraninya kau menyentuh barang-barangku, Sydney?!” seru Morgan dengan suara baritonnya. Tidak pernah ada orang yang terdengar begitu menyeramkan saat menyebut nama lengkap Sydney, selain Morgan. Sydney seharusnya merasa takut. Dia tahu Morgan bukan pria yang bisa dia tantang, apalagi setelah masuk ke ruangan pribadinya tanpa izin. Namun, saat ini, bukan ketakutan yang menguasai dirinya, melainkan kemarahan yang membakar dari dalam. Sydney bergeming, meski tubuhnya terasa beku. Dia mengangkat undangan pernikahan Vienna dan Lucas dengan tangan yang sedikit gemetar, menantang Morgan untuk menjelaskan. Morgan mendekat dengan langkah besar. Sekali renggutan, undangan itu berpindah ke tangannya. Jemarinya yang besar dan kuat meremas kertas itu hingga tak berbentuk. Sydney menatapnya lekat, matanya dipenuhi pertanyaan yang tak bisa dia ucapkan. Morgan melirik ke pintu lain di dalam kamarnya yang kini terbuka. Pria itu membeku sesaat, lalu tatapannya kembali ke Sydney, kali ini le
“Aku tidak akan mengulanginya, Sydney. Pergi dan lakukan tugasmu.” Suara Morgan terdengar dingin, nyaris tanpa emosi. Sydney memejamkan mata erat. Seakan dengan begitu, dunia yang sedang menghimpitnya bisa menghilang. Namun, kenyataannya udara di sekitar Sydney masih sesak, napasnya masih terasa berat, dan pria di depannya masih berdiri dengan mata tajam seperti belati yang siap menikamnya kapan saja. Tanpa berkata apa-apa, Sydney bangkit dari ranjang dengan tubuh yang masih gemetar. Wanita itu merapikan bajunya yang kusut, lalu berjalan tertatih menuju kamar si kembar. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari bibirnya, tetapi isakan kecil yang tertahan masih terdengar di ruangan itu. Morgan hanya menatap Sydney dengan wajah datar tidak peduli. Tangisan bayi masih terdengar dari pengeras suara. Sydney mengikuti suara itu dengan langkah limbung, menuju kamar si kembar. Sydney mendorong pintu kamar si kembar dan mendapati dua bayi mungil itu terbaring di dalam boks mereka. Jade m
“Aku tidak bisa bernapas. Serius, Morgan … kau itu seperti berusaha menanamkan dirimu ke dalam paru-paruku,” keluh Sydney terdengar menggemaskan di telinga Morgan. “Aku menanamkan diriku ke tempat lain di tubuhmu,” sahut Morgan sambil mengangkat tubuhnya dari tubuh Sydney. Sydney menepuk pelan dada pria itu sambil terengah. Rambut Sydney menjadi kusut dan bibirnya masih sedikit bengkak. Morgan tertawa pendek, lalu merapikan kancing bajunya sebelum membuka pintu mobil. “Maafkan aku, kau yang membuatku kehilangan kendali,” tambah Morgan santai. Lalu pria itu melingkarkan lengannya di bahu Sydney saat mereka keluar dari mobil hitam mengilap itu. Langit di atas Zahlee Entertainment tampak cerah, tetapi pipi Sydney justru terasa panas. Belum sempat Sydney melangkah masuk ke gedung, Morgan meraih pergelangan tangannya. “Orang akan segera tahu aku menciummu dengan brutal, jika kita tidak membersihkan ini,” ujar Morgan sambil mengelap bibir bawah Sydney yang terkena noda lipstik. Syd
“Lain kali, jika ingin pergi jangan mendadak seperti ini,” tukas Sydney sedikit kesal sambil menuruni anak tangga teras mansion. Morgan yang tengah bersandar di mobil hitam mengilap itu langsung mendongak. Tatapan matanya membeku sejenak, terpaku pada sosok wanita yang berjalan mendekat. Rambut Sydney dibiarkan tergerai rapi, sebagian tersampir ke bahu, sebagian lain mengikuti gerak langkah anggun pemiliknya. Blazer putih yang membingkai tubuhnya dipadukan dengan rok mini berwarna senada, menghadirkan kesan elegan sekaligus memikat. Riasan wanita itu tampak segar dan tidak berlebihan. Hanya sentuhan lipstik nude dan sedikit shimmer di kelopak mata. Morgan tersenyum, menyambut wanita itu dengan tangan terulur. “Maafkan aku, Darling. Kau cantik sekali!” puji Sydney sambil menggenggam tangan wanita itu. Sydney sempat memasang raut kesal, tetapi senyum Morgan yang tulus membuat perasaan itu melebur begitu saja. Dia ikut ters
“Dan mereka akan langsung pergi ke luar negeri selama beberapa bulan, untuk meredakan media yang masih menyoroti kasus mereka,” tambah Morgan sambil mendengkus pelan. Sydney menghela napas panjang. Udara di ruangan itu mendadak terasa lebih panas, atau mungkin itu hanya pikiran Sydney yang penuh pertanyaan. “Jadi,” sahut Sydney sambil menatap Morgan. “Apa rencana selanjutnya?” Rencana pembebasan Vienna dan Lucas sudah diketahui oleh Sydney. Selama beberapa minggu kedua pasangan itu dikabarkan terus bertengkar, bahkan teriakan mereka sangat mengganggu penghuni sel. Sydney tahu itu dari Morgan. Kini setelah Sydney mengenal Morgan secara utuh, pria itu tidak menutupi apa pun lagi darinya. Morgan akhirnya melangkah masuk dan mendekat. Dia duduk di sebelah Sydney, lalu menoleh. “Kau ingat tentang pertanyaanmu beberapa waktu lalu, mengapa dan di mana aku bisa bertemu dengan Bella sampai Ghina melihatnya?” tanya Morgan perlahan.
Sydney dan Morgan tiba di mansion Ravenfell saat jam makan siang, disambut oleh si kembar serta pelayan dan para anak buah. “Mami!” Teriakan kembar identik itu menggema begitu Morgan dan Sydney menginjakkan kaki di halaman depan. Jade ada dalam gendongan Celia, sementara Jane bersama Miran. “Mami!” seru mereka lagi sambil mengangkat tangan ke udara, berebut untuk digendong. Sydney terkejut setengah mati. Bahkan napasnya tertahan sesaat melihat antusias si kembar yang melonjak begitu melihatnya. Wanita itu baru saja merentangkan tangan untuk menyambut mereka, tetapi Morgan sudah lebih dulu bergerak. “Papi!” seru Jade, tidak terima Morgan menggendongnya. Bayi laki-laki itu mencubit kecil pipi ayahnya sambil merengut. Morgan tertawa geli sambil mengangkat Jane dan Jade secara bergantian ke dalam pelukannya. “Mami kalian masih butuh istirahat. Biar Papi yang menggendong dulu,” ujar Morgan sambil menenangkan mereka. Sydney tertawa pelan melihat adegan itu. Namun, tawa itu cukup k
Keesokan harinya. Gelas air putih di tangan Vienna bergetar hebat. Tatapan wanita itu menyala penuh amarah. Lucas duduk di seberangnya. Pria itu mengenakan setelan jas lengkap. Bukan lagi seragam narapidana yang membungkus tubuhnya. Byar! Tanpa peringatan, Vienna menyiramkan isi gelas itu ke wajah Lucas. Cipratan air mengenai dagu, leher, dan sebagian dadanya. “Bajingan!” teriak Vienna, suaranya menggema di ruang kunjungan bersekat kaca itu. Lucas tersentak. Tubuhnya mundur satu inci, tetapi sudah sangat terlambat untuk menghindar. “Vienna!” bentak Lucas marah. Namun, Vienna tidak gentar. Wanita itu bangkit berdiri dengan kedua tangan mengepal. “Kenapa kau bisa bebas, sementara aku masih di sini, hah?! Kau mau meninggalkanku, Lucas?!” teriak Vienna lagi dengan mata memerah. Dia tidak tahu lagi bagaimana caranya menahan rasa dikhianati
“Ya, aku yang memberikannya,” jawab Morgan tanpa ragu. Sydney menarik napas dalam. Dadanya naik turun tidak stabil, antara syok dan marah. Walaupun Zahlee Entertainment bukan lagi milik Sydney, perusahaan hiburan itu tetap berarti di hatinya. “Kau gila,” maki Sydney pelan, bahkan terlalu lembut. Anehnya Sydney tidak terbata-bata saat mengucapkan makian itu. Morgan tidak tersinggung. Dia terlihat tetap tenang. Pria itu justru merapikan selimut di dada Sydney saat melihat kulitnya meremang kedinginan. “Mungkin. Tapi aku juga realistis. Dunia ini tidak bisa dimenangkan dengan idealisme, Darling. Apalagi jika kau ingin menjatuhkan orang-orang seperti Vienna dan Lucas,” sahut Morgan sambil tersenyum tipis. “Jadi … semua ini … termasuk Zahlee Entertainment … semua bagian dari rencanamu?” desis Sydney kembali terbata-bata sambil menyipitkan mata. Morgan mengangguk. “Mulai
“Aku akan membawamu masuk,” ucap Morgan sambil membetulkan posisi gendongannya pada tubuh Sydney yang nyaris tidak sadarkan diri. Pria itu melangkah dengan tenang dan percaya diri saat menapaki anak tangga menuju pintu utama rumah. Ken mengikutinya dari belakang sambil menatap awas memindai sekeliling. Setiap anak buah Morgan yang mereka lewati langsung menundukkan kepala memberi salam. Tubuh-tubuh kekar bersenjata itu berdiri sigap di tiap sudut, tetapi tunduk penuh hormat pada Morgan. Morgan membuka pintu dan masuk ke dalam rumah. Interiornya mewah dengan nuansa gelap dan maskulin. Lampu gantung bergaya industrial menjuntai dari langit-langit tinggi, menyorot jalur yang dia lewati. Morgan terus berjalan sampai berhenti di depan sebuah pintu kayu gelap di lantai dua. Dibukanya pintu itu dengan bahu, lalu perlahan membaringkan Sydney ke atas ranjang berlapis linen abu-abu halus. “Kamu harus diobati dulu. Oke?
“Morgan,” panggil Sydney lirih sambil menyentuh tangan Morgan. Mobil yang mereka tumpangi sedang melaju, membelah jalanan dengan pengawalan sehingga tidak terkendala macet. Morgan agak tersentak karena belum terbiasa mendengar suara Sydney. Dia menoleh dengan cepat ke arah Sydney yang duduk bersandar lemah di sebelahnya. “Ya, Darling. Aku di sini.” Morgan langsung menggenggam tangan Sydney, lalu merengkuhnya dengan hati-hati. Morgan menyapu rambut kusut wanita itu dengan jemarinya sambil menatap wajah yang penuh lebam itu dengan getir. Kata-kata yang baru saja terucap dari bibir Sydney masih terngiang-ngiang di telinga Morgan. Pria itu belum sepenuhnya percaya bahwa Sydney benar-benar berbicara. Pelukan Morgan mengerat. Tubuhnya nyaris gemetar menahan emosi. Setelah sekian lama menunggu dan berharap, akhirnya Morgan dapat mendengar suara indah Sydney secara langsung.
Sydney menoleh dan melihat Morgan berdiri di sumber suara. Pria itu menutupi sebagian wajahnya dengan masker. “Sialan! Bagaimana kau bisa masuk, Bajingan?!” Edgar membentak penuh kepanikan begitu melihat sosok Morgan berdiri tegak di ambang pintu. Morgan tidak menjawab. Dia melangkah lebar seperti singa yang baru saja menemukan pencabik sang betina. Tanpa memberi ruang pada Edgar untuk melarikan diri, Morgan langsung mencengkeram kerah baju pria itu dan menariknya mendekat. Bugh! Sebuah tinju keras menghantam wajah Edgar, membuat pria itu tersungkur ke belakang. Berbeda dengan Edgar, Morgan tidak perlu bantuan senjata untuk membuat pria itu koyak. “Bangsat!” Edgar berteriak kesakitan, darah segar mengucur dari sudut bibirnya. Morgan menoleh. Pandangannya jatuh pada tubuh Sydney yang terkulai di atas alat pemenggal kepala dengan tubuh penuh luka, wajah bengkak, darah mengering di