Spoiler(jangan dibaca kalau gak suka spoiler ya :)) Sabar, gais. Teman-teman kalau baca deskripsi bukuku/blurb yang di depan dan di bawah cover, itu kan ada percakapan antara Lucas dan Morgan. Nah, aku mau masuk ke situ. Jadi Sydney dan Lucas memang harus bertemu dulu. Klik suka dan komen, kalau kamu pengen ini jadi pertemuan terakhir mereka! ;)
“Entah berapa kali aku mencoba melukai diri dengan pecahan kaca karena kau membunuh putraku,” ujar Sydney dengan suara gemetar dan mata membara. “Aku baru sadar bahwa seharusnya, aku menggunakan pecahan kaca itu untuk membunuhmu, Lucas!”Kenangan saat Sydney berkali-kali mencoba mengakhiri hidup berputar di benaknya.Saat itu Sydney merasa tindakannya tepat. Namun setelah Sydney kembali bahagia, rasanya hal seperti itu adalah keputusan bodoh.Sydney masih memegang pisau, tetapi tubuhnya mulai berguncang karena adrenalin dan rasa takut yang tidak tertahankan.Darah Lucas tercecer di lantai, tetapi pria itu masih bergerak.Tiba-tiba, dengan gerakan kasar dan penuh kebencian, Lucas mencabut sendiri pecahan botol dari dadanya.Suara sobekan daging membuat Sydney bergidik.Srrk!Pecahan kaca itu lepas dan darah langsung menyembur dari dada Lucas.Lucas terbatuk keras hingga muntah darah. Cairan merah pekat i
“Apa kau melihat titik merah ini?” tanya Morgan serak sekaligus tajam saat menunjukkan layar ponselnya pada sopir di kursi depan.Napas pria itu masih terasa berat dan tubuhnya penuh luka, tetapi mata Morgan menyala tajam bagai binatang buas yang mencium aroma darah.“Ya, Tuan.” Sopir itu mengangguk cepat.Morgan membenamkan tubuhnya ke jok belakang. Pria itu masih bertelanjang dada dengan keringat dan darah mengering di kulitnya.Namun Morgan tidak kunjung berhenti menelusuri peta GPS yang terhubung ke gelang kaki Sydney.“Ke arah Highvale, Tuan?” tanya si sopir lagi, lirih.“Ya,” jawab Morgan tajam. “Kecepatan penuh!”“Baik, Tuan,” sahut sang sopir langsung menancapkan gas.Mobil melesat. Deru mesinnya menggema di sepanjang jalan pelabuhan. Suara gesekan ban terdengar setiap kali mereka berbelok tajam.Namun Morgan tidak peduli. Tatapan pria itu terpaku pada layar, membaca setiap detil pergerakan titik merah itu.Dan akhirnya, titik itu berhenti. Morgan menautkan kedua alisnya.“Rum
“Aku harap kalian tidak terlalu rapuh,” cibir Morgan sambil memutar lehernya pelan, terdengar suara retakan ringan dari ruas-ruas tulangnya. “Karena aku sedang tidak ingin berlama-lama.”Belum selesai gema ucapannya menghilang di udara laut, salah satu dari lima pria yang mengelilinginya langsung melesat ke depan.Tinju diarahkan lurus ke rahang Morgan, cepat dan kuat. Morgan segera sedikit memiringkan kepala ke kiri, menghindar dengan presisi yang tepat.Dan dalam satu gerakan refleks, siku Morgan menghantam perut lawannya dengan kekuatan brutal.Pria muda itu sedikit terangkat dari lantai dek, sebelum terhuyung mundur, lalu ambruk menghantam lantai dengan dentuman keras.“Arggh!” teriaknya kesakitan.“Tubuhmu besar.” Morgan menyeringai penuh ejekan. “Tapi daya tahanmu buruk!”Si Tua yang sedari tadi duduk angkuh di kursinya, kini menatap datar. Ada bayangan cemas yang nyaris tidak terlihat di balik kerutan wajahnya.
Morgan menghentikan langkah begitu melihat pemandangan di depannya. Di dek utama kapal favorit yang biasa Morgan gunakan saat butuh tempat sunyi itu, beberapa anak buahnya tergeletak tidak sadarkan diri. Dua di antaranya bahkan masih menggenggam senjata, dengan wajah lebam dan darah menetes dari pelipis. Di ujung dek, seorang pria tua duduk angkuh di kursi hitam berlapis kulit yang juga menjadi kesayangan Morgan. Kaki pria itu disilangkan santai, satu tangannya menopang dagu, sementara tangan lainnya menggenggam cerutu yang belum dinyalakan. Tidak salah lagi, dia adalah Si Tua. “Aku dengar kau sudah menikah. Kenapa aku tidak diundang? Aku ini masih Keluarga Draxus, bukan?” tanya Si Tua sambil menyeringai sangat lebar seperti baru saja memenangkan sesuatu. Morgan menatap tajam ke arah pria itu. Tanpa terburu-buru, dia memasukkan kedua tangan ke saku celananya dan melangkah mendeka
“Tanda pengenalmu?” Salah satu penjaga di depan ruang VIP itu mengulurkan tangan. Dia menatap lawan bicaranya dengan tajam penuh kecurigaan. Pria bertubuh tegap yang baru datang itu tidak berkata sepatah kata pun. Dia segera merogoh saku jas hitamnya, lalu mengeluarkan kartu identitas berbahan metalik. Dia menyodorkan kartu identitasnya tanpa keraguan. Di atasnya tertera logo La Lancia Nera dan kode keamanan yang hanya dikenal orang-orang dalam lingkaran Morgan. “Kau biasanya bertugas di Duskvale. Apa Nyonya Sydney akan dibawa ke sana?” Penjaga itu menatap identitas tersebut sekilas, lalu menatap pria itu lebih lama. Pria itu mengambil kembali kartu identitasnya. “Aku tidak bisa menjawabnya,” ucapnya pelan dan penuh penekanan. “Ini tempat umum.” “Benar juga.” Penjaga itu mengangguk pelan. Tidak ingin membuang waktu, keduanya bergerak ke pintu VIP. Salah satu penjaga mendorong daun pintu kayu gelap itu sambil berkata, “Nyonya Sydney, jemputan untuk Anda sudah da—” Su
Ken tetap ingin membawa Sydney lebih dulu. Namun Ken sadar, saat ini dia tidak akan menang mendebat Sydney. Sebagai anak yang masih memiliki seorang Ibu, Ken tahu persis bahwa sang ibu pun akan melakukan hal yang sama dengan Sydney jika berada di situasi serupa. Semua Ibu akan selalu mendahulukun keselamatan sang anak dibanding dirinya sendiri. Daripada gagal membawa salah satu dari mereka, Ken terpaksa mengalah dan mengikuti kemauan Sydney. Ken sudah tidak peduli jika nanti dia mendapat hukuman dari Morgan karena menyalahi perintahnya. Yang penting Ken bisa menyelamatkan seseorang. Sydney perlahan berdiri sambil memegang perutnya dan menatap Ken tajam. Walaupun tubuhnya tampak rapuh, Sydney menjawab dengan sangat tegas saat bicara pada pengasuh anaknya, “Celia, Miran. Bawa Jade dan Jane pergi bersama Ken. Aku titipkan mereka pada kalian.” Celia langsung menggeleng sambil menang