“Si Tua sengaja melakukan itu, Morgan,” ucap Jerry dengan tatapan menusuk. “Jika kau sadar, beberapa anak yang tumbuh bersamamu di Keluarga Draxus merupakan darah dagingnya, dari beberapa wanita berbeda.” Morgan mematung. Urat di pelipisnya menegang. Pria itu menyipitkan mata dan bertanya lantang, “Apa?!” “Ini rencana jangka panjang Si Tua.” Jerry melanjutkan dengan lirih sekaligus tajam. “Tapi mereka semua gugur. Tidak satu pun mencapai standar minimum Keluarga Draxus. Mereka berakhir di pemakaman yang ada di belakang rumah Si Tua.” Jerry menyeringai penuh kegetiran yang mulai merayap ke dadanya setiap dia membahas Si Tua. “Hanya kau yang bertahan. Bahkan saat aku datang dan berusaha menjadi murid terbaiknya, dia bilang aku tetap tidak bisa melampauimu.” Jerry sedikit memiringkan kepalanya. “Sialan! Si Tua memang pantas mati!” Morgan berdiri tiba-tiba dan melangkah menjauh beberapa langkah. Suasana ruangan itu mendadak sesak meski udara dingin terus dipompa dari ventilasi. Mo
“Aku tidak percaya seorang Morgan Draxus akan melontarkan pertanyaan yang begitu … emosional!” tukas Jerry menyindir. Jerry tertawa keras, begitu nyaring dan jahat hingga menggema di seluruh ruangan sempit itu. Tawa Jerry seperti beling yang digerus, menyayat dan menyakitkan. Jerry sedikit menunduk, menyembunyikan wajahnya yang merah, seolah Morgan baru saja melemparkan lelucon kelas dunia. Morgan tidak bersuara. Tidak satu pun otot wajahnya bergerak. Pria itu hanya duduk diam di seberang meja, tetapi sorot matanya menusuk tajam seperti peluru yang sudah dikokang. Jerry menghirup kasar udara di hidungnya, lalu mendongak. “Aku pikir … kau akan bertanya soal Echelon Vanguard,” ujar Jerry dengan senyum puas. “Atau … bagaimana caraku menemukan Ghina Zahlee?” Nada suara Jerry mengejek dan penuh cibiran. Lalu Jerry menambahkan, “Atau … apakah aku perlu membuat Fred Zahlee kembali juga? Aku tahu di mana dia berada.” Jerry bersandar santai, bibirnya terangkat miring. Darah Morgan t
Sydney menarik napas sambil menggeleng pelan. Wanita itu perlahan duduk di salah satu kursi makan, sementara matanya memandangi si kembar yang sudah selesai makan dan tengah sibuk memainkan potongan roti menjadi puzzle. Morgan ikut duduk di kursi paling ujung meja makan. Sendok dan garpu di tangannya bergerak rapi, sementara mulutnya diam. Beberapa menit berlalu hanya dengan suara gelas yang bersentuhan dan piring yang bergesekan. “Hari ini kau akan pergi ke mana, Darling?” tanya Morgan akhirnya, memecah keheningan. Sydney meletakkan cangkir tehnya, lalu menjawab, “Tidak ke mana-mana. Aku sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama anak-anak. Lagipula, Zya sudah kembali bekerja di kantor.” Morgan mengangguk. “Kalau begitu, aku bisa langsung pergi ke tujuanku.” Sydney hanya mengangguk sambil tersenyum tipis dan kembali menatap si kembar yang kini saling berseru karena berebut potongan selai terakhir. Setelah sarapan usai, Morgan mencium kening anak-anaknya dan Sydney, lalu kelu
“Benar, Tuan. Jika dilihat sekilas, mungkin luka bakarnya sudah lebih dari 70 persen.” Anak buah Morgan menjawab. “Bahkan kemungkinan hidupnya kecil.”Morgan terdiam sejenak. Bibirnya terangkat membentuk senyuman miring yang membuat udara sore di halaman itu kian mencekam.Pria itu menyisir rambutnya ke belakang dengan satu gerakan pelan, lalu tertawa renyah mengerikan.“Bagus,” komentar Morgan singkat.Setelah tawanya mereda, Morgan menatap anak buahnya lurus-lurus. “Kalau begitu ... carikan rumah sakit dan dokter terbaik yang bisa menangani luka bakar.”Anak buah Morgan tampak terkejut. Matanya membelalak sepersekian detik sebelum buru-buru kembali tertunduk.“Buat dia tetap hidup …” lanjut Morgan dingin. “Menderita dengan luka bakar itu.”Seolah menyadari bahwa tidak ada ruang untuk menawar, anak buah itu hanya mengangguk pelan.Morgan menarik napas panjang.“Katakan juga padanya,” kata Morgan lagi. “Bibi harus tetap hidup jika tidak ingin Jerry celaka. Bagaimanapun, Jerry juga men
“U-usul saya?” ulang Debby dengan suara pecah, nyaris seperti bisikan yang tercekat di kerongkongan.Tubuhnya gemetar hebat. Jemarinya saling meremas seolah berusaha menahan rasa dingin yang mendadak menjalar sampai ke tulang.Morgan menoleh pelan. Tatapan tajamnya menukik langsung ke mata Debby yang membelalak.Tanpa menjawab, pria itu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, sebuah korek api logam.Morgan mulai memainkan korek apinya dengan gerakan dramatis.“Ya,” sahut Morgan kemudian. “Bibi ingin mengelak? Aku tidak akan mempermasalahkannya.”Debby refleks ingin menggeleng, tetapi tubuhnya menegang begitu mengingat nama Jerry.Tidak ingin terjebak dua kali pada pertanyaan Morgan, Debby memikirkan jawabannya matang-matang.Kematian palsu Jerry bukan ide Debby.Namun, Debby memang terlibat dalam rencana pria itu.“Ya,” jawab Debby akhirnya setelah susah payah menelan ludah. “Itu usul saya.”Dijawab jujur atau bohong, Debby yakin dia akan tetap mendapat hukuman dari Morgan.Namun ji
Debby muncul beberapa menit kemudian saat Morgan sedang duduk dengan santai di salah satu kursi teras.“Berani sekali Bibi membuatku menunggu.” Suara Morgan terdengar dingin dan pelan, tetapi tajam seperti pisau.Pria itu bahkan tidak menoleh saat berbicara.Duduk santai di kursi teras yang menghadap taman gersang, Morgan menyilangkan kaki sambil memainkan kancing jasnya.Hampir setengah jam sudah Morgan berada di sana.Ditemani hanya oleh secangkir teh yang dingin dan udara kaku dari sore yang mendung.Begitu mengetahui Morgan datang, Debby langsung membersihkan diri dan mencari pakaian yang paling mewah.Tidak lupa, Debby memakai banyak perhiasan emas di tubuhnya.Perhiasan yang sempat Debby bawa dari kediaman lamanya.Gelang berlapis di kedua pergelangan tangan, kalung mencolok, serta cincin besar di dua jari.Debby mencoba terlihat berwibawa.Namun, rona kemerahan di pipinya dan dada yang naik-turun menunjukkan emosi Debby yang belum stabil.Sebelum tiba di tempat ini, Debby punya