Home / Romansa / Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO / Bab 7. Cinta yang Tersisa

Share

Bab 7. Cinta yang Tersisa

Author: Ucing Ucay
last update Last Updated: 2025-07-11 09:01:06

Malam telah jatuh saat Hannan memutar kunci pintu apartemennya. Bunyi klik sederhana seperti gema yang menyayat kesunyian—yang sudah menetap di dalam.

Bangunan megah itu tampak sunyi, terlalu sunyi untuk seorang laki-laki yang dulu pernah tertawa di bawah atap yang sama bersama perempuan yang dicintainya.

Jam dinding berdetak lirih, suara yang justru membuat dada Hannan terasa semakin sesak. Dia melangkah masuk tanpa benar-benar tahu ke mana tujuannya. Sejak kepergian Kesha, rumah kehilangan arah—seperti dirinya.

Mata tajam Hannan bergerak mengikuti sesuatu tepat kala dia berdiri di ruang tamu. Bukan, bukan sesuatu—melainkan seseorang. Hannan bersumpah melihat sosok Kesha berjalan perlahan menuju ruangan kecil di samping kamar—ruangan yang dulu dengan penuh cinta disiapkan untuk buah hati mereka.

Ruangan itu kini selalu terkunci, tak pernah dibuka sejak hari Kesha pergi.

Namun malam ini, pintunya terbuka sedikit.

Dengan langkah pelan, seperti takut membangunkan kenangan yang sudah terlalu rapuh, Hannan menghampiri.

Cahaya lampu temaram dari langit-langit ruangan menyinari bayangan seorang perempuan berselendang putih yang tengah berdiri memunggunginya. Menggunakan gaun yang Hannan tau persis selalu dikenakan di hari-hari istimewa. Sosok samar itu menyentuh dinding, di mana ada stiker binatang-binatang kecil yang dulu mereka pasang bersama.

"Kesha?" bisik Hannan, seperti gumaman yang patah. "Itu kamu, Sayang?"

Perempuan yang dipanggil namanya itu perlahan menoleh. Wajahnya tenang, namun sorot matanya pilu. Terlukis senyuman tipis—namun bukan senyum bahagia. Itu senyum yang membawa tanya.

"Mengapa kamu meninggalkannya, Hannan?" tanya sosok berparas malaikat tersebut. "Kamu bilang akan menjaganya. Meski aku tidak bisa, kamu janji padaku akan jadi segalanya—untuknya."

"Aku tak bisa," jawab Hannan bersamaan dengan tangisnya hampir pecah. "Maaf, tapi aku—aku tidak tahu harus bagaimana, Kesha. Dia yang merenggutmu dariku."

"Dia tidak bersalah." Kesha mendekat. Jemarinya terulur, nyaris menyentuh pipi Hannan. "Dia satu-satunya bagian dari kita yang tersisa, Mas. Dia adalah wujud cinta yang aku perjuangkan untuk kamu."

Hannan menunduk, seperti bocah kecil yang ketahuan berbuat salah. Mulutnya ingin menjawab, tapi lidahnya kelu.

"Yang membunuhku bukan bayi kita, tapi kesedihanmu yang tidak pernah kamu sembuhkan. Penolakanmu untuk menerima, itu yang menghancurkan kita."

Air mata Hannan jatuh. Meringkuk perlahan di kursi kecil di sudut ruangan—kursi yang dulu mereka beli bersama. Lelaki tangguh berhati baja itu menutup wajahnya. Hanya isakan tertahan yang mengisi keheningan.

Saat Hannan membuka mata, ruangan kembali kosong. Tidak ada Kesha, tidak ada suara. Tersisa wangi sabun bayi dan selimut kecil yang belum pernah dipakai.

Hannan menatap langit-langit kamar, san untuk pertama kali sejak pemakaman Kesha, dia mengucap satu nama.

"Maafkan ayah, Lingga."

***

Sejak malam itu ada sesuatu yang berubah dalam diri Hannan. Meski dia tidak menyebutnya dengan kata “penyesalan,” secara terang–terangan. Bukan berubah seketika, bukan melebur jadi air mata—dia terlalu keras untuk itu.

Namun langkahnya yang biasanya tegas dan dingin kini menyimpan arah baru. Diam-diam Hannan jadi sering datang ke rumah sakit. Dia tidak masuk melalui pintu utama, dia tahu bagaimana menyembunyikan dirinya dari sorot mata.

Hannan berdiri dari jauh—di balik kaca bening ruang perawatan bayi. Matanya mengikuti setiap gerak bayi mungil yang belum pernah sekalipun dia pangku—putra yang belum pernah dia akui.

Lingga.

Hannan tidak membawa peluk, tidak pula mengucap sapa. Tapi setiap kali dia datang, ada bingkisan yang ditinggalkannya. Botol susu impor, selimut berbulu halus dari luar negeri, hingga mainan musik dengan denting yang menenangkan. Semuanya dibungkus rapi dengan label tanpa nama. Para perawat tahu, hanya ada satu orang yang selalu berdiri diam di lorong saat semua itu muncul—Hannan.

Andini, yang hampir setiap hari berada di ruangan yang sama, mulai bertanya. Suatu pagi, saat salah satu perawat menyusun bingkisan baru ke rak steril, dia bertanya dengan nada pelan, nyaris seperti bergumam.

"Dari siapa semua itu, Sus?"

Perawat hanya tersenyum, seolah menyimpan rahasia kecil yang hangat. "Dari ayahnya Lingga," katanya pelan. "Pak Hannan. Dia yang selalu datang dan membawa ini semua, diam-diam."

Andini tercekat. Hati kecilnya seperti digenggam erat dan dipeluk dalam diam. Bayi yang selama ini dia susui, dia dekap saat malam menggigil sendirian—ternyata tak benar-benar sendirian. Ada cinta yang malu-malu mengintip dari balik dinding-dinding diam. Cinta yang belum menemukan bentuknya, tapi tak pernah benar-benar pergi begitu saja.

Di ruang sunyi itu, Andini memandang Lingga lebih lama dari biasanya. "Mungkin kamu lebih dicintai dari yang kamu kira, Nak," bisiknya pelan, sembari menyeka air susu yang menetes perlahan dari dadanya, dan hati yang mulai merapuh—kembali ditenun harapan.

Selesai menyusui Lingga, Andini kembali ke ruang rawatnya. Dia duduk di pinggir ranjang dengan pandangan kosong. Dalam dadanya, keraguan dan rasa sayang bersitegang hebat.

"Kalau aku pergi, siapa yang akan menyusuinya nanti?"

Pertanyaan itu keluar begitu lirih, nyaris tidak terdengar oleh siapa pun di ruangan itu—kecuali oleh dirinya sendiri.

Tangan Andini perlahan mengusap perutnya, yang masih terasa kosong. Dulu di situ ada nyawa yang dia tunggu, meski takdir berkata lain. Kini, bayi yang dia susui dengan sisa kasihnya justru bukan miliknya.

Ketukan pelan di pintu membuat Andini tersentak.

Perawat masuk, tersenyum lembut padanya. "Ibu Andini, perlu kami bantu berkemas?"

Andini diam. Wajahnya nyaris tak berekspresi, tapi matanya penuh tanda tanya yang tak bisa dia ucapkan.

"Lingga hari ini tidur pulas sekali,” ujar sang perawat, mencoba mencairkan suasana. "Bayi kecil itu tidak pernah rewel dan menyulitkan siapapun. Semua orang menyukainya, dia menjadi idola dalam sekejap."

Andini hanya mengangguk, lantas memberanikan diri bertanya. "Setelah saya pergi, siapa yang akan menyusui Lingga, Sus?"

Perawat tampak tertegun. "Kami sedang mencoba mencari donor ASI lain. Tapi, kami tidak tahu, apakah Lingga bisa cocok. Dia sangat peka. Mungkin karena sejak awal sudah terbiasa dengan ibu Andini."

Andini mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Dada kirinya terasa berat—bukan karena luka pasca operasi, tapi karena perasaan yang menjerat.

Perawat melanjutkan dengan berkata lirih, seperti rahasia kecil yang ingin dibagi, "Kadang, mungkin bayi memilih ibunya sendiri, Bu. Entah dari darah, atau dari hati."

Andini menoleh perlahan, menatap sang perawat. Dia mengangguk pelan, lalu berdiri sambil merapikan bajunya. "Kalau begitu," ucapnya, menahan napas sejenak, "izinkan saya pamit dulu ke Lingga."

Perawat terdiam sejenak, lalu tersenyum haru. "Silakan, Bu. Kami tahu dia akan sangat merindukan Ibu."

Dengan langkah yang ringan tapi hati yang berat, Andini menuju ruang perawatan bayi. Dia tidak tahu apa yang akan dia katakan ketika sampai di sana. Lingga mungkin juga tidak akan mengerti maksud dari perpisahan mereka. Tetapi yang pasti, ada sepotong jiwa yang tak ingin dia tinggalkan sendiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 35. Caraku Menemanimu

    Hari itu, selepas sidang yang menguras emosi, Andini duduk diam di dalam mobil. Salah satu tangannya masih menggenggam erat jemari mungil Lingga yang tertidur di pangkuan. Jemarinya dingin, bukan hanya karena suhu ruangan sidang terlalu sejuk, melainkan karena kata–kata pedas Dirga yang masih menempel seperti duri di kulitnya.Hannan duduk di samping sopir, diam sejak mereka keluar dari ruang sidang. Lena dan Ira duduk di belakang, masing-masing juga memilih diam. Mobil melaju perlahan, seolah tak ingin memaksa waktu untuk berjalan terlalu cepat.Setelah beberapa menit yang panjang, suara Hannan akhirnya terdengar."Mau makan dulu atau langsung pulang?"Andini menoleh pelan, matanya sembap namun pandangannya tenang. "Pulang saja. Lingga juga butuh istirahat."Hannan hanya mengangguk, tapi matanya tak luput memperhatikan Andini lewat kaca spion dalam mobil. Ada sesuatu di wajah perempuan itu yang membuat dada Hannan sesak. Bukan karena kasihan, melainkan marah. Marah karena dunia perna

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 34. Keberpihakan Hannan Alfaruq

    Hannan Alfaruq.Dia tidak berkata apa pun. Tidak mempercepat langkah, tidak melayangkan tatapan tajam yang biasa dia berikan kepada lawan bisnisnya.Hannan hanya berdiri.Namun cukup untuk membuat Dirga secara naluriah melangkah mundur setengah tapak. Bahunya menegang, dan matanya—yang sebelumnya penuh kesombongan—seketika meredup, seolah tubuhnya tahu, dia sedang berdiri di hadapan seseorang yang jauh lebih besar daripada dirinya.Hannan masih tak berkata sepatah kata pun.Andini pun hanya menggeser posisi bayinya, melindungi Lingga dari arah tatapan Dirga.Keheningan itulah yang membunuh dengan paling tajam.Lorong menuju ruang sidang siang itu terasa jauh lebih panjang dari biasanya. Udaranya terasa berat, tidak karena suhu, melainkan karena kehadiran dua lelaki yang berdiri dalam garis tak terlihat—satu di sisi angkuh, satu lagi di sisi dingin yang menggetarkan.Hannan berdiri tegak, diam. Di sebelahnya, Lena menjaga jarak. Tatapannya lurus, tajam, seperti pedang yang belum disaru

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 33. Medan Pertempuran

    "Aku juga tidak berkomentar apa–apa, Pak," goda Andini seraya tersenyum kecil. Perasaan hangat menjalar di dadanya.Hannan tidak pernah ingin dipandang seperti malaikat. Lelaki berwajah dingin itu justru lebih suka bila orang lain salah paham dengannya."Penilaianku terhadap Anda, biar aku yang simpulkan. Yang satu ini tidak masalah, 'kan?""Terserah padamu."Tak berselang lama dari percakapan singkat di kamar, keduanya memutuskan segera turun. Lingga sudah bersama perawat. Lena, dengan setelan navy dan tas kecil di tangan—sudah berdiri di dekat pintu. Ira berdiri di belakang, mengenakan blazer formal.Mobil mewah telah menunggu. Mereka berangkat bersama. Sepanjang perjalanan, tak banyak percakapan. Tetapi kehadiran mereka—semua orang yang kini mengelilingi Andini—cukup membuat dadanya hangat.Sesampainya di pengadilan, Andini menggenggam jemarinya sendiri dengan gugup. Mereka masuk melalui jalur pribadi, dipandu pengacara yang telah disiapkan Hannan. Gedung dingin itu terasa sedikit

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 32. Melangkah Beriringan

    Sejak percakapan lewat telepon dengan Dirga beberapa malam lalu, Andini merasa perutnya mual setiap kali mengingat suara pria itu. Nada bicara sinis, hinaan yang dilemparkan begitu saja, dan ancaman-ancaman yang terbungkus dalam ego yang terluka. Andini tahu hari itu akan datang—sidang perceraian mereka. Hanya saja dia tidak menyangka, bahkan setelah semua yang dia lalui, Dirga masih bisa menyakitinya.Terlepas dari segala kabar buruk dan kesulitan demi kesulitan itu, ada satu hal yang berbeda kini. Andini tidak lagi sendirian.Tuhan memberikan keluarga lain, menjadikan mereka alasan Andini bertahan. Tuhan tidak membiarkannya menghadapi ujian sendirian.Pagi itu, saat Andini sedang memandikan Lingga, Hannan mengetuk pintu dan masuk tanpa banyak bicara. Dia membawa beberapa map cokelat, menyerahkannya ke meja di samping ranjang."Untuk apa semua itu?""Yang kamu butuhkan saat sidang.""Yang aku butuhkan?"Hannan menghela nafas, meski begitu dia tetap menjelaskan secara perlahan. "Doku

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 31. Menjagamu dengan Caraku yang Kaku

    Andini sedang duduk di kamar, bersantai setelah menyusui Lingga. Jari–jemarinya menggulir layar ponsel dengan seksama, membaca pesan dari grup ibu menyusui yang rutin dia ikuti. Hatinya mulai sedikit ringan, apalagi setelah obrolan semalam dengan Hannan yang terasa sedikit lebih manusiawi.Namun, dunia seolah tidak membiarkannya beristirahat sebentar. Ponsel yang semula hening tiba-tiba bergetar. Sebuah nama muncul di layar—nama yang sudah lama tak dia lihat: Dirga, mantan suaminya.Andini terdiam cukup lama. Dia ragu untuk menjawab, pun menolak. Sialnya rasa penasaran dan ketegangan yang menumpuk akhirnya membuat ibu muda itu menekan tombol hijau."Halo?"Sesuai tebakan, suara di seberang terdengar kasar. Tidak ada sapaan hangat, tidak ada basa-basi. Hanya nada congkak dan hinaan."Akhirnya kamu punya waktu juga buat angkat telpon. Susah sekali menghubungimu, pembawa sial."Andini menghela napas. "Ada apa, Mas? Kenapa kamu menelponku?""Wah, hebat sekali cara bicaramu sekarang. Sudah

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 30. Bernasib Sama

    Rumah besar itu sudah nyaris sunyi ketika Andini terbangun dari tidur. Biasanya, dia sudah terlalu lelah untuk membuka mata setelah seharian menyusui Lingga, menjalani fisioterapi, dan menyesuaikan diri dengan ritme rumah yang sudah seperti sistem militer. Tetapi malam ini, tubuhnya terasa gelisah. Andini akhirnya memutuskan bangkit pelan-pelan, menyelimuti tubuh mungil Lingga, dan mengenakan cardigan tipis sebelum melangkah keluar kamar.Langkah kakinya tak berani menimbulkan suara, meski lantai kayu di bawah sudah dilapisi karpet mewah yang menghalau derit. Lampu-lampu gantung padam, digantikan sorot hangat dari lampu dinding. Suasana malam di rumah itu seperti museum—tenang, elegan, dan sedikit menyeramkan.Andini berjalan ke arah ruang tengah. Dari jauh, samar-samar tercium aroma alkohol, tidak terlalu menyengat, tetapi cukup untuk membuat hidungnya sadar. Di balik pilar besar dan deretan kursi panjang, dia melihat siluet tubuh yang duduk seorang diri.Punggung tegap itu bersandar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status