Malam jatuh dengan diam yang menyesakkan saat Hannan memutar kunci pintu apartemennya. Bunyi klik sederhana itu terdengar lebih keras daripada biasanya, menggema di lorong panjang yang sepi. Begitu pintu terbuka, udara dingin menyambutnya, bercampur dengan aroma lembut kayu tua dan debu yang sudah lama tidak terusik.
Apartemen itu megah, luas, tetapi kosong. Kosong dalam arti sesungguhnya—tidak ada kehidupan di dalamnya selain bayangan masa lalu. Hannan berdiri sebentar di ambang pintu, menatap ruang tamu yang gelap, lalu masuk perlahan, seolah melangkah ke dalam sebuah makam kenangan.
Setiap sudut menyimpan potongan cerita. Sofa panjang di mana Kesha dulu biasa duduk sambil menonton drama favoritnya, meja makan yang pernah penuh dengan tawa, bahkan vas bunga di sudut ruangan masih terisi bunga kering yang tak pernah ia buang. Semua itu seperti menertawakannya dengan sepi.
Hannan menjatuhkan tubuh ke sofa, melepas jasnya begitu saja. Kepala terhempas ke sandaran, mata menatap kosong ke langit-langit. Napasnya panjang, berat. Sejak Kesha pergi, rumah ini kehilangan jiwa. Sama seperti dirinya.
Entah berapa lama ia duduk begitu. Lelah menelannya, kesepian memagutnya. Kelopak matanya berat, tubuhnya lunglai. Dia terlelap—meski tidak benar-benar menginginkannya.
Dalam mimpinya, Hannan mendapati dirinya berdiri di lorong apartemen yang sama, tapi berbeda. Lampu-lampu menyala redup, ada kehangatan samar yang terasa asing tapi sekaligus akrab. Di hadapannya, pintu kecil kamar bayi terbuka sedikit. Pintu itu, yang dalam kenyataan selalu terkunci rapat sejak Kesha meninggal.
Hannan melangkah pelan, setiap detak jantung terdengar di telinganya. Ia mendorong pintu perlahan, dan seberkas cahaya kuning temaram mengalir keluar, menyinari wajahnya.
Di dalam kamar, dia melihat sosok seorang perempuan. Rambut panjangnya jatuh ke bahu, gaun putihnya sederhana, tetapi bercahaya lembut. Perempuan itu membelakangi Hannan, jemarinya menyentuh dinding yang penuh stiker binatang kecil yang dulu mereka tempel bersama.
“Kesha ….” Suara Hannan tercekat. Matanya basah seketika.
Sosok itu berbalik. Wajah Kesha tenang, namun ada luka di balik ketenangan itu. Senyum tipisnya tidak membawa bahagia, melainkan getir.
“Mengapa kamu meninggalkannya, Hannan?” suaranya lirih, namun menusuk hati. “Kamu berjanji padaku. Kamu bilang akan menjaganya ketika aku tidak bisa. Tapi kamu justru lari.”
Tubuh Hannan bergetar. “Aku … aku tidak sanggup, Kesha. Setiap kali aku melihat bayi itu, aku merasa seperti kembali ke hari terakhir bersamamu. Dia—dia yang merenggutmu dariku.”
Kesha menggeleng pelan. “Dia tidak bersalah. Dia adalah bagian dari kita. Satu-satunya cinta yang tersisa. Jika kamu menolak dia, berarti kamu menolak aku.”
Air mata Hannan menetes tanpa bisa ditahan. “Aku takut … aku benar-benar takut kehilangan lagi. Aku tidak tahu harus bagaimana ….”
Kesha mendekat, jemarinya nyaris menyentuh pipinya. “Yang membunuhku bukan bayi itu, Hannan. Tapi kesedihanmu. Ketakutanmu. Jika kamu terus begini, kamu juga akan kehilangan dia. Dan kali ini, tidak ada yang bisa mengembalikanmu.”
Hannan meringkuk di kursi kecil di sudut kamar bayi itu—kursi yang dulu mereka beli bersama. Tangisnya pecah, wajahnya tenggelam dalam kedua tangannya.
Ketika ia kembali menoleh, sosok Kesha sudah hilang. Yang tersisa hanyalah aroma samar sabun bayi, selimut kecil terlipat rapi, dan kesepian yang menyesakkan dada.
Hannan terlonjak bangun. Nafasnya terengah, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa itu hanyalah mimpi. Namun bagi hatinya, mimpi itu lebih nyata daripada apa pun.
Ia menatap ke sekeliling ruang tamu. Sunyi. Gelap. Tapi di dalam dirinya, suara Kesha masih bergema.
Dengan suara serak, ia akhirnya mengucap nama yang selama ini ia abaikan. “Maafkan Ayah, Lingga ….”
Seketika, dadanya terasa sesak—tapi juga sedikit lega. Untuk pertama kalinya, ia berani menyebut putranya.
***
Hari-hari berikutnya tidak serta-merta mengubah Hannan menjadi lelaki penuh kasih. Ia tetap dingin, tetap keras. Namun ada sesuatu yang perlahan mencair di dalam dirinya.
Diam-diam, ia mulai datang ke rumah sakit. Tidak lewat pintu utama—ia tidak mau terlihat. Dia memilih lorong sepi, berdiri di balik kaca ruang perawatan bayi. Dari sana, ia menatap sosok mungil dalam inkubator: Lingga.
Setiap kali menatap bayi itu, dadanya dihantam rasa bersalah sekaligus rindu. Ia tidak berani menyentuh, bahkan sekadar menyapa. Tapi ia meninggalkan tanda: bingkisan yang selalu datang bersama kehadirannya.
Botol susu impor, selimut berbulu halus, mainan musik yang berdenting lembut. Semua dibungkus rapi tanpa nama. Namun para perawat tahu. Hanya ada satu lelaki yang selalu berdiri diam di lorong itu.
“Dari siapa ini, Sus?” tanya Andini suatu pagi, melihat perawat menyusun hadiah baru.
Perawat tersenyum samar. “Dari ayahnya Lingga. Pak Hannan.”
Andini tertegun. Hatinya seperti diremas pelan. Bayi yang selama ini ia susui, ia dekap, ternyata tidak sepenuhnya sendiri. Ada cinta yang bersembunyi, meski belum berani menampakkan wajahnya.
Malam itu, setelah menyusui Lingga, Andini duduk termenung di ranjang. Tangannya mengusap perutnya sendiri yang kosong. Dahulu, di sana ada kehidupan yang ia tunggu, tapi takdir mengambilnya. Kini, bayi yang ia susui justru bukan darah dagingnya.
Air matanya menetes. “Kalau aku pergi … siapa yang akan menjaganya?” bisiknya.
Seorang perawat masuk, menanyakan apakah ia siap berkemas. Andini hanya diam, sebelum akhirnya bertanya, “Setelah saya pergi, siapa yang akan menyusui Lingga?”
Perawat tertegun. “Kami akan mencari donor lain. Tapi … Lingga sangat peka. Entah kenapa, dia seperti sudah memilih Ibu sejak awal.”
Kata-kata itu menusuk. Andini terdiam lama. Hatinya berat.
Akhirnya ia meminta izin untuk sekali lagi melihat Lingga sebelum pergi.
Andini melangkah ke ruang bayi. Di sana, Lingga tertidur pulas, wajah mungilnya damai. Ia menatap lama, lalu berbisik, “Nak … seandainya kamu bisa memilih, apa kamu ingin aku tinggal?”
Air mata jatuh membasahi pipinya.
Dan seolah menjawab, Lingga menggeliat pelan, jemari mungilnya bergerak seperti ingin menggenggam sesuatu.
Andini tersenyum getir. Dalam dadanya, sebuah pertarungan baru lahir. Pergi atau bertahan? Melepaskan atau menggenggam?
Di balik kaca lorong, Hannan berdiri diam. Dia menyaksikan Andini menunduk pada bayi itu dengan tatapan penuh kasih. Ada rasa asing yang menjalar di dadanya—cemburu, takut, sekaligus lega.
Saat itu, tiga hati terikat dalam sunyi: seorang ayah yang menyesali, seorang bayi yang menunggu, dan seorang perempuan yang bimbang antara pergi atau bertahan.
Malam ini berakhir bukan dengan jawaban, melainkan dengan pertanyaan besar yang menggantung di udara: apakah Hannan berani benar-benar datang mendekat, atau akan terus bersembunyi di balik kaca?
Hannan tidak berniat membawa Lingga sejauh itu. Awalnya, hanya berniat mengajak sang putra sulung menepi dari keramaian kantor dan rutinitas sekolah yang perlahan menjebak mereka dalam pola yang sama: sibuk, formal, dan nyaris kehilangan makna. Galeri seni telah cukup membuat Hannan melihat kilasan lain dari diri Lingga—seorang remaja yang sedang belajar menjadi laki-laki dewasa, tenang, penuh kontrol, tetapi menyimpan riuh di balik diamnya.Namun sebelum kembali ke mobil, Hannan sempat berhenti. Entah dorongan apa yang membuatnya memberi perintah pada sopir untuk mengubah arah perjalanan. Mata Lingga yang sejak tadi diam-diam memperhatikan sang ayah, kini menatap tanpa bertanya."Kita akan ke tempat lain," ujar Hannan singkat, tetapi dalam.Mobil meluncur sunyi. Jalanan sore yang mulai lengang menyisakan deru pelan mesin dan siluet pepohonan. Hannan menyentuh ponsel, namun tak jadi menekan layar. Dia menggenggamnya kuat, seakan sedang menahan sesuatu. Sesekali menoleh ke arah Lingga,
Di rumah keluarga Alfaruq, yang kini sudah menjadi simbol keharmonisan dan kekuatan, tumbuh satu sosok pemuda yang perlahan–lahan mencuri perhatian. Lingga Alfaruq. Putra sulung Hannan dan Andini itu tumbuh menjadi anak lelaki yang tidak banyak bicara, tidak juga gemar tampil. Namun, satu hal yang tak bisa disangkal: dia adalah replika hidup dari ayahnya.Wajah, garis rahang, cara memandang, bahkan nada suara yang tenang—semua mengingatkan siapa pun pada sosok Hannan Alfaruq di usia muda. Berbeda dengan remaja lain seusianya, Lingga membawa dirinya dengan cara yang nyaris terlalu matang. Tak ada kegaduhan, tak ada keluh. Remaja dengan segelintir fans di sekolah itu memilih untuk mengamati sebelum bertindak, berpikir sebelum menjawab. Bahkan Andini, ibunya sendiri, kadang merasa seperti sedang berbicara dengan seorang pria dewasa saat mengobrol dengan putranya."Lingga, kamu bilang ada kerja kelompok hari ini. Kenapa enggak jadi pergi?" tanya Andini suatu ketika, saat tengah menyiram t
Launa Hanggini Alfaruq tumbuh seperti bunga mahal yang dirawat dengan penuh ketelatenan di dalam rumah kaca terbaik negeri ini. Dalam segala hal, dia dimanja—meski tidak berlebihan. Seluruh isi rumah tahu siapa yang paling berkuasa setelah Hannan: Launa. Gadis kecil yang kini telah berusia enam tahun itu tengah bersiap–siap masuk sekolah.Pagi itu, ruang makan keluarga Alfaruq riuh dalam kesenyapan elegan yang khas. Lingga duduk rapi dengan seragam sekolah internasionalnya—rambut disisir klimis oleh Andini, sementara Launa—si gadis kecil yang baru masuk Taman Kanak-Kanak—masih sibuk memilih pita rambut yang cocok dengan gaunnya hari ini."Bunda, yang ini cocok?" tanya Launa seraya memamerkan pita merah muda dengan aksen renda kecil pada sang Ibu.Andini menoleh, senyumnya mengembang. Garis wajah mereka benar–benar bak pinang dibelah dua. "Launa selalu cocok dengan apa pun, tapi kalau hari ini kamu ingin tampil seperti tuan putri, pita itu pilihan yang pas."Launa tersipu, lalu melirik
"Kenapa kamu masih turun ke dapur?" suara berat Hannan menyentak di pagi yang berbeda. Lelaki tampan nan mapan itu berdiri di ambang pintu dapur dengan setelan rumah yang rapi berlebihan. Sorot mata serius, menelusuri gerak-gerik istrinya yang sedang memotong wortel.Andini menoleh santai. "Karena kamu telat bangun, dan sup ayam favorit Lingga enggak akan masak sendiri.""Kamu bisa minta Ira, atau siapa pun. Bahkan saya bisa beli satu restoran ayam rebus kalau kamu mau.""Bukan itu yang aku mau, Mas. Ini soal rasa nyaman.""Rasa nyamanmu, adalah denyut nadi kecemasan saya," Hannan berkata pelan, tapi tegas. Dia mendekat, meraih pisau dari tangan istrinya, lalu mengarahkan Andini ke kursi bar di sudut dapur. "Duduk. Duduk sekarang."Andini mendesah. Bukan karena kesal, tapi karena geli. "Mas, aku baik-baik aja.""Saya yang nggak baik-baik aja," balas Hannan.Ira, yang baru datang dari arah pintu belakang, hampir menabrak tembok karena menahan tawa. Setelah hampir dua tahun mengabdi di
Sudah lewat tengah malam ketika Hannan baru pulang dari kantornya. Langkah pria berbahu lebar itu tak terburu-buru, tetapi raut wajah dengan kantung mata jelas menyiratkan kelelahan. Kemeja hitamnya masih rapi meski sudah dikenakan lebih dari sepuluh jam. Rambut sedikit acak, namun tetap elegan, seperti biasa. Seorang pemimpin yang selalu tahu cara membawa dirinya.Lampu ruang tamu sengaja dibiarkan menyala. Ada kehangatan yang menyambut di sana—dan aroma khas masakan Andini yang masih tercium samar dari dapur. Begitu membuka pintu, Hannan langsung melihat Andini duduk di sofa, menyilangkan kaki dengan santai, mengenakan gaun tidur satin berwarna lembut. Di tangan perempuan itu, sebuah kotak kecil dibungkus rapi dengan pita emas."Lembur lagi?" tanya Andini pelan, ucapan bak mantra yang menenangkan.Hannan mengangguk dan meletakkan jasnya di sandaran kursi. "Salah satu proyek luar negeri minta revisi malam ini.""Kasiannya suamiku. Pasti berat.""Enggak juga. Begitu lihat kamu di sini
Satu tahun berlalu sejak pesta pernikahan Hannan dan Andini digelar. Pasangan yang dikenal tidak hanya memesona secara visual, namun juga harmonis dalam kesederhanaan dan kekuatan batin.Lingga kini hampir dua tahun. Usia yang mulai menampakkan karakter dan kecerdasan. Bocah kecil itu tumbuh lincah, penuh rasa ingin tahu, dan tentu saja—manja dengan dua orang yang paling dia cintai di dunia ini: Ayah dan Ibunya.Pagi itu, langit Jakarta bersih, cahaya matahari menerobos masuk melalui jendela besar di sudut ruang keluarga. Hannan, pria dengan jam kerja yang biasanya dimulai lebih pagi dari matahari, hari ini menunda segala bentuk pekerjaan. Jas hitamnya tergantung rapi di lemari, digantikan kaus polo abu-abu dan celana santai berbahan chasmere. Paras yang dulu selalu terlihat tegang di balik layar komputer dan ruang rapat, kini memancarkan kehangatan lain saat dia duduk di atas karpet empuk dengan Lingga di pangkuan."Jangan gigit kuping Ayah, Nak," ucap Hannan sambil tertawa kecil ket