Hannan datang seperti biasa, dalam senyap. Langkah sepatunya bergema pelan di koridor rumah sakit yang mulai sepi di sore hari, kemudian berhenti tepat di depan ruang NICU. Tidak masuk, hanya berdiri dari kejauhan, mengamati bayi kecil di dalam inkubator melalui kaca.
Bayi itu—Lingga—masih begitu mungil, rapuh, dan tak berdosa. Sama sekali tak tahu bahwa ayah kandungnya tengah memeluk dilema paling menyakitkan dalam diam.
Seorang perawat muda menghampiri ayah kandung Lingga seraya tersenyum sopan. "Pak Hannan?"
Yang ditegur menoleh sekilas, kemudian membalas dengan menunduk sopan.
"Maaf sebelumnya, tapi kami rasa Bapak perlu tahu sesuatu." Perawat yang menyapa Hannan lebih dulu itu terdiam sejenak, lalu berkata pelan, "Lingga, tidak akan tinggal di sini lebih lama. Ada pasangan yang datang mengajukan diri sebagai orang tua angkat. Mereka siap menjemputnya dalam waktu dekat."
Hannan terdiam. Tidak langsung bereaksi, hanya mengangkat alis sedikit. "Begitu cepat?" tanyanya datar.
Perawat itu tampak ragu, tapi menjawab, "Lingga, sudah terlalu lama sendiri, Pak. Dan kami tidak bisa menolak jika sudah ada yang bersedia mengurusnya secara legal. Lagipula, Bapak sendiri—"
"Tidak mengakuinya," potong Hannan pelan.
Perawat mengangguk canggung. "Maaf, saya hanya menyampaikan."
Hannan mengangguk singkat, lalu berjalan menjauh. Berita yang baru didengarnya tadi membawanya menuju ruang konsultasi. Niat awal hanya untuk memastikan proses dilakukan secara sah. Tapi saat hendak membuka pintu, langkah Hannan terhenti. Dari balik daun pintu yang sedikit terbuka, dia mendengar suara yang membuat darahnya mendidih.
"Kami bersedia mengurus bayi itu asal tidak terlalu sering diminta datang ke rumah sakit. Juga kalau bisa, kami ingin mengganti namanya. ‘Lingga’ terlalu kuno, terdengar kampungan."
"Kalau ada alergi ini—itu, kami butuh kompensasi atau support khusus. Toh kami hanya membantu menyelamatkan satu nyawa—mestinya ada bantuan dari pemerintah juga."
Pintu ruangan terbuka lebar dengan hentakan keras. Semua yang ada di dalam serempak menoleh.
Hannan berdiri tegak di ambang pintu. Dasi hitamnya rapi, jam tangannya memantulkan kilau mahal di bawah cahaya putih lampu. Wajahnya kaku, tatapannya tajam seperti pedang.
Pasangan suami istri yang lantang bicara tadi kini memasang senyum sopan dan berubah kikuk saat melihat sosok pria berdiri dengan aura tak main-main.
"Kalian pikir anak saya barang diskon?"
"Pak Hannan?" ujar dokter, waspada.
Tapi pria itu tidak menggubris sapaan. Dia melangkah masuk pelan-pelan, setiap langkahnya berat tapi pasti. Lalu berhenti tepat di depan pasangan adopsi.
"Atau apa kalian pikir anak saya barang lelang?" tanyanya dengan nada rendah namun beracun. "Bisa diganti namanya semaumu? Diberi syarat macam-macam seperti membeli paket data begitu?!"
Pasangan itu tercekat.
"Kami, kami cuma—"
"Diam."
Satu kata. Tajam. Membungkam.
Hannan mencondongkan tubuh sedikit, suaranya masih rendah tapi kini mengandung bara panas. "Saya bisa beli tiga rumah seperti yang kalian tinggali sekarang hanya dengan uang tips makan siang saya."
"Saya bisa gaji satu rumah sakit ini kalau saya mau. Tapi saya tidak akan pernah—menyerahkan darah daging saya pada orang yang bahkan tidak tahu cara berbicara dengan hormat tentang anak kecil."
Hannan mendekat lagi. "Lingga bukan eksperimen. Bukan proyek amal. Bukan mainan. Dia—anak—saya. Dan kalian tidak layak bahkan menyebut namanya!"
Wajah sang wanita pucat, pria di sampingnya menarik-narik tangan istrinya, canggung.
"Kalian bisa pergi sebelum saya buat kalian masuk daftar hitam di seluruh lembaga adopsi di kota ini."
Tak perlu dikatakan dua kali. Mereka langsung angkat kaki, hampir tersandung sendiri saat berjalan mundur keluar ruangan.
Hannan berdiri kaku, masih menahan amarahnya yang nyaris meluap-luap. Napasnya berat. Dada naik turun.
Dokter hanya menatapnya, lalu angkat bicara perlahan, "Pak Hannan, apa ini artinya Bapak mengakui Lingga?"
Lama Hannan diam. Pandangannya masih kosong. Tapi akhirnya dia menjawab, suara itu lebih dalam dari biasanya. "Saya tidak tahu bagaimana caranya menjadi ayah. Tapi saya tahu satu hal—"
Hannnan menarik napas panjang, kemudian berkata tegas, "Saya tidak akan biarkan anak saya tumbuh dalam ketidakhormatan."
Lelaki berpunggung lebar itu berbalik, meninggalkan ruangan. Tapi langkahnya berbeda kali ini. Tidak lagi seperti pria yang lari dari luka, tapi seseorang yang akhirnya berani menengok masa depannya—yang kini bernama Lingga.
***
Andini berdiri kaku di ambang pintu. Langkahnya tertahan, napasnya tercekat.
Di dalam ruangan, Hannan berdiri membelakangi cahaya sore yang menembus tirai tipis. Tubuh jangkungnya membentuk siluet tajam—dan di lengannya, tergolek bayi mungil yang sangat Andini kenal. Lingga.
Andini tak pernah menyangka akan melihat laki-laki itu memeluk anaknya—sehangat dan sepenuh kasih itu.
Dulu, Hannan hanya nama yang disertai penolakan dan kemarahan. Tapi kini, lelaki itu tampak seperti ayah. Meski wajahnya tetap tanpa senyum, tetap membatu, namun ada kelembutan di caranya mengayun tubuh kecil tersebut.
Andini menggenggam erat ujung lengan jaketnya. Dia ingin mundur, ingin pergi diam-diam. Namun lantai berdecit pelan di bawah sepatunya.
Hannan menoleh.
Untuk beberapa detik, hanya mata yang bicara. Hening yang menggantung di antara mereka terlalu rapuh untuk dipatahkan oleh suara.
Andini cepat-cepat menunduk. Dia tak berani menatap lebih lama. Yang dia ingat hanya bentakan, pandangan tajam. Penolakan dingin dari seorang ayah yang menolak mengakui darahnya sendiri.
Lalu kemudian, suara itu terdengar. Berat, datar, dan mengejutkannya karena tak ada kemarahan di sana.
"Mau apa?"
Andini menelan ludah. "Saya, cuma mau pamit. Hari ini saya dibolehkan pulang."
Tak ada balasan.
Andini kembali menunduk. "Kalau boleh saya ingin pamit sama Lingga. Untuk terakhir kali."
Sekali lagi, hening.
Hannan akhirnya bergerak. Ayah muda itu memandang bayinya sejenak, lalu perlahan melangkah lebih dekat, berhenti di hadapan Andini. Tak begitu dekat. Tapi cukup untuk membuat Andini bisa melihat dengan jelas gurat kelelahan dan luka di mata laki-laki itu.
"Suster bilang, kamu yang menyusuinya?" tanya Hannan tiba-tiba.
Andini mengangguk pelan.
"Kenapa?"
Pertanyaan itu terdengar sederhana, tapi terasa menohok.
Andini menggigit bibir. "Karena dia tidak punya siapa-siapa, dan saya—saya juga tidak punya siapa-siapa."
Untuk pertama kalinya, wajah Hannan berubah. Ada sesuatu yang bergerak di balik tatapannya. Bukan simpati, bukan juga iba. Mungkin semacam pengakuan diam-diam bahwa kalimat perempuan itu lebih mengiris daripada semua tudingan yang pernah dia dengar.
"Saya, saya bukan ibu kandungnya. Tapi saya ingin dia tahu, setidaknya pernah ada satu pelukan di dunia ini yang ingin menjaganya."
Andini tersenyum pahit, lalu menunduk menatap Lingga yang terlelap. "Pamit, ya, Nak. Terima kasih sudah mau singgah sebentar di hati Ibu."
Tangannya hanya sempat menyentuh ujung selimut Lingga sebelum mundur. Sebelum Andini benar-benar pergi, suara berat itu kembali terdengar.
"Kalau kamu pergi, dia pasti akan mencarimu."
Langkah Andini terhenti. Matanya membesar. Perlahan dia menoleh, tapi tak berani bertanya—tak berani berharap.
Hannan menatap bayinya dalam diam. Jemarinya membetulkan posisi Lingga dengan hati-hati, lalu—untuk pertama kalinya—dia memandangi Andini. Wajah dinginnya sedikit lunak, tapi tetap tak mudah ditebak.
"Terima kasih," ucapnya lirih nan tegas.
Andini hanya diam. Lalu tersenyum kecil dengan mata yang basah, menyimpan ratusan kata yang tak bisa dia ucapkan. "Saya yang harus berterima kasih. Lingga membuat hari-hari saya lebih hidup. Dia yang menyelamatkan saya."
Hannan tidak berniat membawa Lingga sejauh itu. Awalnya, hanya berniat mengajak sang putra sulung menepi dari keramaian kantor dan rutinitas sekolah yang perlahan menjebak mereka dalam pola yang sama: sibuk, formal, dan nyaris kehilangan makna. Galeri seni telah cukup membuat Hannan melihat kilasan lain dari diri Lingga—seorang remaja yang sedang belajar menjadi laki-laki dewasa, tenang, penuh kontrol, tetapi menyimpan riuh di balik diamnya.Namun sebelum kembali ke mobil, Hannan sempat berhenti. Entah dorongan apa yang membuatnya memberi perintah pada sopir untuk mengubah arah perjalanan. Mata Lingga yang sejak tadi diam-diam memperhatikan sang ayah, kini menatap tanpa bertanya."Kita akan ke tempat lain," ujar Hannan singkat, tetapi dalam.Mobil meluncur sunyi. Jalanan sore yang mulai lengang menyisakan deru pelan mesin dan siluet pepohonan. Hannan menyentuh ponsel, namun tak jadi menekan layar. Dia menggenggamnya kuat, seakan sedang menahan sesuatu. Sesekali menoleh ke arah Lingga,
Di rumah keluarga Alfaruq, yang kini sudah menjadi simbol keharmonisan dan kekuatan, tumbuh satu sosok pemuda yang perlahan–lahan mencuri perhatian. Lingga Alfaruq. Putra sulung Hannan dan Andini itu tumbuh menjadi anak lelaki yang tidak banyak bicara, tidak juga gemar tampil. Namun, satu hal yang tak bisa disangkal: dia adalah replika hidup dari ayahnya.Wajah, garis rahang, cara memandang, bahkan nada suara yang tenang—semua mengingatkan siapa pun pada sosok Hannan Alfaruq di usia muda. Berbeda dengan remaja lain seusianya, Lingga membawa dirinya dengan cara yang nyaris terlalu matang. Tak ada kegaduhan, tak ada keluh. Remaja dengan segelintir fans di sekolah itu memilih untuk mengamati sebelum bertindak, berpikir sebelum menjawab. Bahkan Andini, ibunya sendiri, kadang merasa seperti sedang berbicara dengan seorang pria dewasa saat mengobrol dengan putranya."Lingga, kamu bilang ada kerja kelompok hari ini. Kenapa enggak jadi pergi?" tanya Andini suatu ketika, saat tengah menyiram t
Launa Hanggini Alfaruq tumbuh seperti bunga mahal yang dirawat dengan penuh ketelatenan di dalam rumah kaca terbaik negeri ini. Dalam segala hal, dia dimanja—meski tidak berlebihan. Seluruh isi rumah tahu siapa yang paling berkuasa setelah Hannan: Launa. Gadis kecil yang kini telah berusia enam tahun itu tengah bersiap–siap masuk sekolah.Pagi itu, ruang makan keluarga Alfaruq riuh dalam kesenyapan elegan yang khas. Lingga duduk rapi dengan seragam sekolah internasionalnya—rambut disisir klimis oleh Andini, sementara Launa—si gadis kecil yang baru masuk Taman Kanak-Kanak—masih sibuk memilih pita rambut yang cocok dengan gaunnya hari ini."Bunda, yang ini cocok?" tanya Launa seraya memamerkan pita merah muda dengan aksen renda kecil pada sang Ibu.Andini menoleh, senyumnya mengembang. Garis wajah mereka benar–benar bak pinang dibelah dua. "Launa selalu cocok dengan apa pun, tapi kalau hari ini kamu ingin tampil seperti tuan putri, pita itu pilihan yang pas."Launa tersipu, lalu melirik
"Kenapa kamu masih turun ke dapur?" suara berat Hannan menyentak di pagi yang berbeda. Lelaki tampan nan mapan itu berdiri di ambang pintu dapur dengan setelan rumah yang rapi berlebihan. Sorot mata serius, menelusuri gerak-gerik istrinya yang sedang memotong wortel.Andini menoleh santai. "Karena kamu telat bangun, dan sup ayam favorit Lingga enggak akan masak sendiri.""Kamu bisa minta Ira, atau siapa pun. Bahkan saya bisa beli satu restoran ayam rebus kalau kamu mau.""Bukan itu yang aku mau, Mas. Ini soal rasa nyaman.""Rasa nyamanmu, adalah denyut nadi kecemasan saya," Hannan berkata pelan, tapi tegas. Dia mendekat, meraih pisau dari tangan istrinya, lalu mengarahkan Andini ke kursi bar di sudut dapur. "Duduk. Duduk sekarang."Andini mendesah. Bukan karena kesal, tapi karena geli. "Mas, aku baik-baik aja.""Saya yang nggak baik-baik aja," balas Hannan.Ira, yang baru datang dari arah pintu belakang, hampir menabrak tembok karena menahan tawa. Setelah hampir dua tahun mengabdi di
Sudah lewat tengah malam ketika Hannan baru pulang dari kantornya. Langkah pria berbahu lebar itu tak terburu-buru, tetapi raut wajah dengan kantung mata jelas menyiratkan kelelahan. Kemeja hitamnya masih rapi meski sudah dikenakan lebih dari sepuluh jam. Rambut sedikit acak, namun tetap elegan, seperti biasa. Seorang pemimpin yang selalu tahu cara membawa dirinya.Lampu ruang tamu sengaja dibiarkan menyala. Ada kehangatan yang menyambut di sana—dan aroma khas masakan Andini yang masih tercium samar dari dapur. Begitu membuka pintu, Hannan langsung melihat Andini duduk di sofa, menyilangkan kaki dengan santai, mengenakan gaun tidur satin berwarna lembut. Di tangan perempuan itu, sebuah kotak kecil dibungkus rapi dengan pita emas."Lembur lagi?" tanya Andini pelan, ucapan bak mantra yang menenangkan.Hannan mengangguk dan meletakkan jasnya di sandaran kursi. "Salah satu proyek luar negeri minta revisi malam ini.""Kasiannya suamiku. Pasti berat.""Enggak juga. Begitu lihat kamu di sini
Satu tahun berlalu sejak pesta pernikahan Hannan dan Andini digelar. Pasangan yang dikenal tidak hanya memesona secara visual, namun juga harmonis dalam kesederhanaan dan kekuatan batin.Lingga kini hampir dua tahun. Usia yang mulai menampakkan karakter dan kecerdasan. Bocah kecil itu tumbuh lincah, penuh rasa ingin tahu, dan tentu saja—manja dengan dua orang yang paling dia cintai di dunia ini: Ayah dan Ibunya.Pagi itu, langit Jakarta bersih, cahaya matahari menerobos masuk melalui jendela besar di sudut ruang keluarga. Hannan, pria dengan jam kerja yang biasanya dimulai lebih pagi dari matahari, hari ini menunda segala bentuk pekerjaan. Jas hitamnya tergantung rapi di lemari, digantikan kaus polo abu-abu dan celana santai berbahan chasmere. Paras yang dulu selalu terlihat tegang di balik layar komputer dan ruang rapat, kini memancarkan kehangatan lain saat dia duduk di atas karpet empuk dengan Lingga di pangkuan."Jangan gigit kuping Ayah, Nak," ucap Hannan sambil tertawa kecil ket