Home / Romansa / Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO / Bab 8. Ucapkan Lagi, Jika Kau Berani

Share

Bab 8. Ucapkan Lagi, Jika Kau Berani

Author: Ucing Ucay
last update Last Updated: 2025-07-12 08:58:46

Hannan datang seperti biasa, dalam senyap. Langkah sepatunya bergema pelan di koridor rumah sakit yang mulai sepi di sore hari, kemudian berhenti tepat di depan ruang NICU. Tidak masuk, hanya berdiri dari kejauhan, mengamati bayi kecil di dalam inkubator melalui kaca.

Bayi itu—Lingga—masih begitu mungil, rapuh, dan tak berdosa. Sama sekali tak tahu bahwa ayah kandungnya tengah memeluk dilema paling menyakitkan dalam diam.

Seorang perawat muda menghampiri ayah kandung Lingga seraya tersenyum sopan. "Pak Hannan?"

Yang ditegur menoleh sekilas, kemudian membalas dengan menunduk sopan.

"Maaf sebelumnya, tapi kami rasa Bapak perlu tahu sesuatu." Perawat yang menyapa Hannan lebih dulu itu terdiam sejenak, lalu berkata pelan, "Lingga, tidak akan tinggal di sini lebih lama. Ada pasangan yang datang mengajukan diri sebagai orang tua angkat. Mereka siap menjemputnya dalam waktu dekat."

Hannan terdiam. Tidak langsung bereaksi, hanya mengangkat alis sedikit. "Begitu cepat?" tanyanya datar.

Perawat itu tampak ragu, tapi menjawab, "Lingga, sudah terlalu lama sendiri, Pak. Dan kami tidak bisa menolak jika sudah ada yang bersedia mengurusnya secara legal. Lagipula, Bapak sendiri—"

"Tidak mengakuinya," potong Hannan pelan.

Perawat mengangguk canggung. "Maaf, saya hanya menyampaikan."

Hannan mengangguk singkat, lalu berjalan menjauh. Berita yang baru didengarnya tadi membawanya menuju ruang konsultasi. Niat awal hanya untuk memastikan proses dilakukan secara sah. Tapi saat hendak membuka pintu, langkah Hannan terhenti. Dari balik daun pintu yang sedikit terbuka, dia mendengar suara yang membuat darahnya mendidih.

"Kami bersedia mengurus bayi itu asal tidak terlalu sering diminta datang ke rumah sakit. Juga kalau bisa, kami ingin mengganti namanya. ‘Lingga’ terlalu kuno, terdengar kampungan."

"Kalau ada alergi ini—itu, kami butuh kompensasi atau support khusus. Toh kami hanya membantu menyelamatkan satu nyawa—mestinya ada bantuan dari pemerintah juga."

Pintu ruangan terbuka lebar dengan hentakan keras. Semua yang ada di dalam serempak menoleh.

Hannan berdiri tegak di ambang pintu. Dasi hitamnya rapi, jam tangannya memantulkan kilau mahal di bawah cahaya putih lampu. Wajahnya kaku, tatapannya tajam seperti pedang.

Pasangan suami istri yang lantang bicara tadi kini memasang senyum sopan dan berubah kikuk saat melihat sosok pria berdiri dengan aura tak main-main.

"Kalian pikir anak saya barang diskon?"

"Pak Hannan?" ujar dokter, waspada.

Tapi pria itu tidak menggubris sapaan. Dia melangkah masuk pelan-pelan, setiap langkahnya berat tapi pasti. Lalu berhenti tepat di depan pasangan adopsi.

"Atau apa kalian pikir anak saya barang lelang?" tanyanya dengan nada rendah namun beracun. "Bisa diganti namanya semaumu? Diberi syarat macam-macam seperti membeli paket data begitu?!"

Pasangan itu tercekat.

"Kami, kami cuma—"

"Diam."

Satu kata. Tajam. Membungkam.

Hannan mencondongkan tubuh sedikit, suaranya masih rendah tapi kini mengandung bara panas. "Saya bisa beli tiga rumah seperti yang kalian tinggali sekarang hanya dengan uang tips makan siang saya."

"Saya bisa gaji satu rumah sakit ini kalau saya mau. Tapi saya tidak akan pernah—menyerahkan darah daging saya pada orang yang bahkan tidak tahu cara berbicara dengan hormat tentang anak kecil."

Hannan mendekat lagi. "Lingga bukan eksperimen. Bukan proyek amal. Bukan mainan. Dia—anak—saya. Dan kalian tidak layak bahkan menyebut namanya!"

Wajah sang wanita pucat, pria di sampingnya menarik-narik tangan istrinya, canggung.

"Kalian bisa pergi sebelum saya buat kalian masuk daftar hitam di seluruh lembaga adopsi di kota ini."

Tak perlu dikatakan dua kali. Mereka langsung angkat kaki, hampir tersandung sendiri saat berjalan mundur keluar ruangan.

Hannan berdiri kaku, masih menahan amarahnya yang nyaris meluap-luap. Napasnya berat. Dada naik turun.

Dokter hanya menatapnya, lalu angkat bicara perlahan, "Pak Hannan, apa ini artinya Bapak mengakui Lingga?"

Lama Hannan diam. Pandangannya masih kosong. Tapi akhirnya dia menjawab, suara itu lebih dalam dari biasanya. "Saya tidak tahu bagaimana caranya menjadi ayah. Tapi saya tahu satu hal—"

Hannnan menarik napas panjang, kemudian berkata tegas, "Saya tidak akan biarkan anak saya tumbuh dalam ketidakhormatan."

Lelaki berpunggung lebar itu berbalik, meninggalkan ruangan. Tapi langkahnya berbeda kali ini. Tidak lagi seperti pria yang lari dari luka, tapi seseorang yang akhirnya berani menengok masa depannya—yang kini bernama Lingga.

***

Andini berdiri kaku di ambang pintu. Langkahnya tertahan, napasnya tercekat.

Di dalam ruangan, Hannan berdiri membelakangi cahaya sore yang menembus tirai tipis. Tubuh jangkungnya membentuk siluet tajam—dan di lengannya, tergolek bayi mungil yang sangat Andini kenal. Lingga.

Andini tak pernah menyangka akan melihat laki-laki itu memeluk anaknya—sehangat dan sepenuh kasih itu.

Dulu, Hannan hanya nama yang disertai penolakan dan kemarahan. Tapi kini, lelaki itu tampak seperti ayah. Meski wajahnya tetap tanpa senyum, tetap membatu, namun ada kelembutan di caranya mengayun tubuh kecil tersebut.

Andini menggenggam erat ujung lengan jaketnya. Dia ingin mundur, ingin pergi diam-diam. Namun lantai berdecit pelan di bawah sepatunya.

Hannan menoleh.

Untuk beberapa detik, hanya mata yang bicara. Hening yang menggantung di antara mereka terlalu rapuh untuk dipatahkan oleh suara.

Andini cepat-cepat menunduk. Dia tak berani menatap lebih lama. Yang dia ingat hanya bentakan, pandangan tajam. Penolakan dingin dari seorang ayah yang menolak mengakui darahnya sendiri.

Lalu kemudian, suara itu terdengar. Berat, datar, dan mengejutkannya karena tak ada kemarahan di sana.

"Mau apa?"

Andini menelan ludah. "Saya, cuma mau pamit. Hari ini saya dibolehkan pulang."

Tak ada balasan.

Andini kembali menunduk. "Kalau boleh saya ingin pamit sama Lingga. Untuk terakhir kali."

Sekali lagi, hening.

Hannan akhirnya bergerak. Ayah muda itu memandang bayinya sejenak, lalu perlahan melangkah lebih dekat, berhenti di hadapan Andini. Tak begitu dekat. Tapi cukup untuk membuat Andini bisa melihat dengan jelas gurat kelelahan dan luka di mata laki-laki itu.

"Suster bilang, kamu yang menyusuinya?" tanya Hannan tiba-tiba.

Andini mengangguk pelan.

"Kenapa?"

Pertanyaan itu terdengar sederhana, tapi terasa menohok.

Andini menggigit bibir. "Karena dia tidak punya siapa-siapa, dan saya—saya juga tidak punya siapa-siapa."

Untuk pertama kalinya, wajah Hannan berubah. Ada sesuatu yang bergerak di balik tatapannya. Bukan simpati, bukan juga iba. Mungkin semacam pengakuan diam-diam bahwa kalimat perempuan itu lebih mengiris daripada semua tudingan yang pernah dia dengar.

"Saya, saya bukan ibu kandungnya. Tapi saya ingin dia tahu, setidaknya pernah ada satu pelukan di dunia ini yang ingin menjaganya."

Andini tersenyum pahit, lalu menunduk menatap Lingga yang terlelap. "Pamit, ya, Nak. Terima kasih sudah mau singgah sebentar di hati Ibu."

Tangannya hanya sempat menyentuh ujung selimut Lingga sebelum mundur. Sebelum Andini benar-benar pergi, suara berat itu kembali terdengar.

"Kalau kamu pergi, dia pasti akan mencarimu."

Langkah Andini terhenti. Matanya membesar. Perlahan dia menoleh, tapi tak berani bertanya—tak berani berharap.

Hannan menatap bayinya dalam diam. Jemarinya membetulkan posisi Lingga dengan hati-hati, lalu—untuk pertama kalinya—dia memandangi Andini. Wajah dinginnya sedikit lunak, tapi tetap tak mudah ditebak.

"Terima kasih," ucapnya lirih nan tegas.

Andini hanya diam. Lalu tersenyum kecil dengan mata yang basah, menyimpan ratusan kata yang tak bisa dia ucapkan. "Saya yang harus berterima kasih. Lingga membuat hari-hari saya lebih hidup. Dia yang menyelamatkan saya."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 35. Caraku Menemanimu

    Hari itu, selepas sidang yang menguras emosi, Andini duduk diam di dalam mobil. Salah satu tangannya masih menggenggam erat jemari mungil Lingga yang tertidur di pangkuan. Jemarinya dingin, bukan hanya karena suhu ruangan sidang terlalu sejuk, melainkan karena kata–kata pedas Dirga yang masih menempel seperti duri di kulitnya.Hannan duduk di samping sopir, diam sejak mereka keluar dari ruang sidang. Lena dan Ira duduk di belakang, masing-masing juga memilih diam. Mobil melaju perlahan, seolah tak ingin memaksa waktu untuk berjalan terlalu cepat.Setelah beberapa menit yang panjang, suara Hannan akhirnya terdengar."Mau makan dulu atau langsung pulang?"Andini menoleh pelan, matanya sembap namun pandangannya tenang. "Pulang saja. Lingga juga butuh istirahat."Hannan hanya mengangguk, tapi matanya tak luput memperhatikan Andini lewat kaca spion dalam mobil. Ada sesuatu di wajah perempuan itu yang membuat dada Hannan sesak. Bukan karena kasihan, melainkan marah. Marah karena dunia perna

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 34. Keberpihakan Hannan Alfaruq

    Hannan Alfaruq.Dia tidak berkata apa pun. Tidak mempercepat langkah, tidak melayangkan tatapan tajam yang biasa dia berikan kepada lawan bisnisnya.Hannan hanya berdiri.Namun cukup untuk membuat Dirga secara naluriah melangkah mundur setengah tapak. Bahunya menegang, dan matanya—yang sebelumnya penuh kesombongan—seketika meredup, seolah tubuhnya tahu, dia sedang berdiri di hadapan seseorang yang jauh lebih besar daripada dirinya.Hannan masih tak berkata sepatah kata pun.Andini pun hanya menggeser posisi bayinya, melindungi Lingga dari arah tatapan Dirga.Keheningan itulah yang membunuh dengan paling tajam.Lorong menuju ruang sidang siang itu terasa jauh lebih panjang dari biasanya. Udaranya terasa berat, tidak karena suhu, melainkan karena kehadiran dua lelaki yang berdiri dalam garis tak terlihat—satu di sisi angkuh, satu lagi di sisi dingin yang menggetarkan.Hannan berdiri tegak, diam. Di sebelahnya, Lena menjaga jarak. Tatapannya lurus, tajam, seperti pedang yang belum disaru

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 33. Medan Pertempuran

    "Aku juga tidak berkomentar apa–apa, Pak," goda Andini seraya tersenyum kecil. Perasaan hangat menjalar di dadanya.Hannan tidak pernah ingin dipandang seperti malaikat. Lelaki berwajah dingin itu justru lebih suka bila orang lain salah paham dengannya."Penilaianku terhadap Anda, biar aku yang simpulkan. Yang satu ini tidak masalah, 'kan?""Terserah padamu."Tak berselang lama dari percakapan singkat di kamar, keduanya memutuskan segera turun. Lingga sudah bersama perawat. Lena, dengan setelan navy dan tas kecil di tangan—sudah berdiri di dekat pintu. Ira berdiri di belakang, mengenakan blazer formal.Mobil mewah telah menunggu. Mereka berangkat bersama. Sepanjang perjalanan, tak banyak percakapan. Tetapi kehadiran mereka—semua orang yang kini mengelilingi Andini—cukup membuat dadanya hangat.Sesampainya di pengadilan, Andini menggenggam jemarinya sendiri dengan gugup. Mereka masuk melalui jalur pribadi, dipandu pengacara yang telah disiapkan Hannan. Gedung dingin itu terasa sedikit

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 32. Melangkah Beriringan

    Sejak percakapan lewat telepon dengan Dirga beberapa malam lalu, Andini merasa perutnya mual setiap kali mengingat suara pria itu. Nada bicara sinis, hinaan yang dilemparkan begitu saja, dan ancaman-ancaman yang terbungkus dalam ego yang terluka. Andini tahu hari itu akan datang—sidang perceraian mereka. Hanya saja dia tidak menyangka, bahkan setelah semua yang dia lalui, Dirga masih bisa menyakitinya.Terlepas dari segala kabar buruk dan kesulitan demi kesulitan itu, ada satu hal yang berbeda kini. Andini tidak lagi sendirian.Tuhan memberikan keluarga lain, menjadikan mereka alasan Andini bertahan. Tuhan tidak membiarkannya menghadapi ujian sendirian.Pagi itu, saat Andini sedang memandikan Lingga, Hannan mengetuk pintu dan masuk tanpa banyak bicara. Dia membawa beberapa map cokelat, menyerahkannya ke meja di samping ranjang."Untuk apa semua itu?""Yang kamu butuhkan saat sidang.""Yang aku butuhkan?"Hannan menghela nafas, meski begitu dia tetap menjelaskan secara perlahan. "Doku

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 31. Menjagamu dengan Caraku yang Kaku

    Andini sedang duduk di kamar, bersantai setelah menyusui Lingga. Jari–jemarinya menggulir layar ponsel dengan seksama, membaca pesan dari grup ibu menyusui yang rutin dia ikuti. Hatinya mulai sedikit ringan, apalagi setelah obrolan semalam dengan Hannan yang terasa sedikit lebih manusiawi.Namun, dunia seolah tidak membiarkannya beristirahat sebentar. Ponsel yang semula hening tiba-tiba bergetar. Sebuah nama muncul di layar—nama yang sudah lama tak dia lihat: Dirga, mantan suaminya.Andini terdiam cukup lama. Dia ragu untuk menjawab, pun menolak. Sialnya rasa penasaran dan ketegangan yang menumpuk akhirnya membuat ibu muda itu menekan tombol hijau."Halo?"Sesuai tebakan, suara di seberang terdengar kasar. Tidak ada sapaan hangat, tidak ada basa-basi. Hanya nada congkak dan hinaan."Akhirnya kamu punya waktu juga buat angkat telpon. Susah sekali menghubungimu, pembawa sial."Andini menghela napas. "Ada apa, Mas? Kenapa kamu menelponku?""Wah, hebat sekali cara bicaramu sekarang. Sudah

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 30. Bernasib Sama

    Rumah besar itu sudah nyaris sunyi ketika Andini terbangun dari tidur. Biasanya, dia sudah terlalu lelah untuk membuka mata setelah seharian menyusui Lingga, menjalani fisioterapi, dan menyesuaikan diri dengan ritme rumah yang sudah seperti sistem militer. Tetapi malam ini, tubuhnya terasa gelisah. Andini akhirnya memutuskan bangkit pelan-pelan, menyelimuti tubuh mungil Lingga, dan mengenakan cardigan tipis sebelum melangkah keluar kamar.Langkah kakinya tak berani menimbulkan suara, meski lantai kayu di bawah sudah dilapisi karpet mewah yang menghalau derit. Lampu-lampu gantung padam, digantikan sorot hangat dari lampu dinding. Suasana malam di rumah itu seperti museum—tenang, elegan, dan sedikit menyeramkan.Andini berjalan ke arah ruang tengah. Dari jauh, samar-samar tercium aroma alkohol, tidak terlalu menyengat, tetapi cukup untuk membuat hidungnya sadar. Di balik pilar besar dan deretan kursi panjang, dia melihat siluet tubuh yang duduk seorang diri.Punggung tegap itu bersandar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status