Share

BAB 104

Author: Fredy_
last update Last Updated: 2025-09-24 13:18:23
Suara deru mesin mobil Leo berpacu dengan detak jantungnya. Dua motor besar yang sedari tadi membuntuti makin liar, jaraknya semakin rapat. Dari kaca spion, Leo seperti bisa menangkap tatapan tajam mata elang pengendara di balik helm hitam.

Leo bergegas menekan tombol handsfree di layar mobil, menelepon Putra.

“Halo, Pak Boss?” suara Putra terdengar riang, seolah dunia baik-baik saja.

“Put, kamu masih di hotel?” tanya Leo, berusaha terdengar tenang meski telapak tangannya sudah berkeringat menggenggam setir.

“Masih, Boss. Lagi siap-siap turun. Jadi kita makan di mana, nih?”

“Kamu duluan aja ya, ke Warung—” ucapan Leo terpotong ketika salah satu motor tiba-tiba menyalip dari kanan, menutup jalurnya. Refleks Leo berbelok tajam dan mengumpat, “Bajingan!”

Putra terperanjat. “Warung Bajingan? Di mana tuh, Boss?”

“Bukan! Bukan bajingan!” Leo mendengus, menekan gas lagi.

“Oh… bukan bajingan. Bujangan? Bapak mau makan bakso apa bebek?" tanya Putra.

“Warung di Jalan Riau… Warung—” suar
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (5)
goodnovel comment avatar
De Edward
pinjam? cuih
goodnovel comment avatar
Momo Land
yeeeyyy udah bisa tengkurep hihihi
goodnovel comment avatar
Apri Yani
enak aja mau minjem...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 177

    Cahaya pagi menyusup lembut lewat celah tirai, jatuh tepat di wajah Nayla yang masih tertelungkup di atas bantal. Namun bukan sinar matahari yang membangunkannya—melainkan sesuatu yang berat di atas punggungnya.Ia mengerjap pelan. Kelopak matanya berat, perih, dan bengkak karena semalaman menangis. Butuh beberapa detik sebelum kesadarannya benar-benar pulih... sebelum ia sadar bahwa ada lengan kokoh melingkari tubuhnya dari belakang.Ada seseorang yang memeluknya.Leo.Jantung Nayla berdegup. Sejak kapan pria itu masuk kamar?Ia menahan napas, tubuhnya seketika kaku. Tapi pelukan itu—bukannya menakutkan—malah menghadirkan kehangatan yang menenangkan. Ada denyut halus dari dada Leo yang menempel di sisinya dengan irama yang tenang. Setiap detaknya seperti menyapu sisa sakit hati dan kenyataan pahit di dadanya.Dan tanpa sadar, kelopak matanya bergetar. Tangis yang semalam telah kering, tiba-tiba nyaris pecah lagi—bukan karena sedih, melainkan karena lega. Karena meski dunia seolah sel

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 176

    BRUK! Nayla menjatuhkan diri ke ranjang, wajahnya terbenam di bantal. Tangis yang sejak tadi ia tahan meledak juga. Isakannya terputus-putus, menggetarkan tubuhnya yang menggigil. Semua suara di luar lenyap. Yang tersisa hanya suara tangis dan deru napasnya yang tak teratur. “Kenapa sih…?!” suaranya parau, dan jengkel luar biasa, tenggelam di kain bantal yang kini basah oleh air mata. “Kenapa aku harus lahir, kalau orang-orang jahatin aku semua. Nggak... nggak semua, tapi banyak... banyak yang jahatin aku. Huu..." Nayla tersedu hebat. Mungkin dia sudah pernah menjadi ibu, sudah pernah menyusui, dan tahu melayani suami. Tapi tetap saja jiwanya baru dua puluh tahun, dan baru keluar kampung. Dia masih lugu, masih polos. Dan, fakta yang baru saja diungkapkan Tommy benar-benar membuatnya sakit dari hati, kepala sampai sebadan-badan. Nayla melihat hidupnya seperti siklus penderitaan yang tak pernah berhenti. Baru saja ia belajar mempercayai seseorang—membuka hatinya sedikit saja—semesta

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 175

    Kepala Nayla berdenyut hebat. Dunia di sekitarnya seakan berputar—lampu ruang tengah terasa terlalu terang, napasnya terlalu pendek, dan detak jantungnya menggema seperti palu di dada. Ia menatap nanar foto di tangannya, tapi pandangannya kabur, nyaris gelap. Kata-kata Tommy tadi terus menggema di telinganya, satu per satu seperti jarum menusuk. Ia ingin menangis, tapi air matanya membeku. Leo masih duduk di sampingnya, wajahnya tegang, pikirannya berputar oleh semua yang baru saja diungkapkan Tommy. Ia tak menyangka—pria tua di hadapannya itulah ternyata yang paling berdosa atas semua luka Nayla selama ini. Luka yang kini, di depan matanya, mulai menganga lagi. Tommy menunduk dalam, wajah tuanya penuh keriput penyesalan. Setiap helaan napas terdengar berat, seperti pengakuan dosa yang datang terlambat. Ketika Leo akhirnya bersuara—mungkin dengan maksud menenangkan—ia malah memecahkan pertahanan Nayla. “Nay… kamu nggak pengin tahu, sekarang ibu kamu di mana?” Seketika Nayla berdi

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 174

    Sementara itu, di pelataran yang jauh dari hiruk-pikuk kota, seorang bayi mungil berambut hitam berkilau, berlari kecil sambil tertawa renyah, jatuh-bangun di atas hamparan rumput hijau yang masih berembun.“Eh… pelan, Nay… pelan,” suara lembut seorang wanita terdengar menembus sejuknya udara pagi. Sumiarti—wanita berusia tiga puluhan dengan daster batik yang mulai pudar warnanya—bergegas menghampiri, lalu mengangkat bayi itu ke pangkuannya.“Wah, anak pintar. Jatuh tapi nggak nangis, ya?” ujarnya sambil mengusap lutut mungil yang sedikit kotor tanah.Bayi itu menatapnya dengan mata cokelat bening—warna yang jarang sekali ia lihat di kampung kecil itu. Tatapan polos itu seolah menembus hati Sumiarti, menghangatkan ruang kosong di hidupnya yang lama sunyi.“Nayla…” gumamnya lirih, menatap wajah mungil itu penuh kasih.Hanya nama itu yang tersisa dari ibu kandung bayi itu—nama yang kini memenuhi rumah dan hatinya dengan tawa kecil setiap pagi. Ia tahu, cepat atau lambat akan ada seseora

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 173

    Beberapa minggu kemudian, ia mengajak Lucienne ke Indonesia, ke vila barunya di pelosok desa yang sejuk dan tenang. Lucienne tampak bahagia di sana, menatap hijaunya pepohonan dan mencium wangi tubuh bayinya yang baru lahir.Suatu sore di teras vila yang diterpa angin lembut dari dedaunan, Tommy duduk di samping putrinya. Senja berwarna keemasan membalut wajah mereka, memantulkan cahaya lembut di mata Lucienne yang tengah memangku bayinya.“Lucienne,” suara Tommy terdengar lebih lembut dari biasanya. “Papa ingin kamu melanjutkan sekolahmu. Hidupmu belum berakhir, Sayang. Kamu mau?”Lucienne mengangkat wajah, menatap ayahnya dengan mata yang berbinar penuh harap. “Pa… tentu saja aku mau. Aku belum melupakan cita-citaku jadi dokter.”Senyumnya merekah, polos, seperti anak kecil yang baru saja diampuni setelah berbuat salah.Tommy mengangguk pelan, menatap jauh ke arah sawah. “Papa hanya ingin masa depanmu lebih baik, Luci. Kau gadis pintar, Papa tahu itu.”Lucienne tersenyum lega—hingga

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 172

    "S-saya… saya…” Nayla menoleh ke arah Leo, matanya penuh kebingungan dan gugup. Matilda yang duduk di seberang mereka tersadar akan ketegangan di meja maka, dan segera memecahkan ketegangan dengan menepuk tangannya. “Eh, sudah makan dulu. Nanti baru kita ngobrol-ngobrol setelahnya.” Ia menoleh ke arah ruang tengah, tempat Surti yang lebih memilih menikmati makan malam sambil menjaga Matteo. “Tiii… Surti! Kita punya buah apa di kulkas?” “Iya, Bu!” sahut Surti dari kejauhan, buru-buru menandaskan sendok terakhirnya. “Kita punya anggur sama semangka, Bu. Udah dipotong juga!” “Bagus, nanti tolong bawa ke ruang tengah, ya,” kata Matilda, mencoba menahan senyum canggung sebelum melanjutkan suapannya. Beberapa belas menit kemudian, suasana sudah mencair. Mereka berpindah ke ruang tengah. Surti datang dengan nampan berisi mangkuk buah potong dan salad buah, lalu duduk di kursi dekat Matteo yang sudah mulai menggeliat. Matilda langsung menyambar cucunya, mengangkat Matteo tinggi-tinggi sam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status