INICIAR SESIÓN"Kami pulang, ya! Selamat bersenang-senang kalian! Ingat, Leo! Mama mau cucu cewek!" seru Matilda, kembali menurunkan kaca sebelum mobil melaju meninggalkan area lobi hotel. "Siap, Ma!" sahut Leo, memeluk pinggang Nayla, mengusapnya gemas. “Surti… persediaan ASI aku cukup, kan, buat Matteo?” seru Nayla, mengulang pertanyaan yang sudah selusin kali ia tanyakan. Surti memiringkan kepalanya ke arah jendela dengan wajah gemas, setengah frustasi. “Cukup, Nay! ASI kamu derasnya udah kayak air mancur. Pasti cukup!" Nayla mengangguk singkat, tapi beberapa detik kemudian kecemasannya naik lagi. “Tapi… biasanya kalau malam Matteo nyusu sama aku dulu biar tidurnya pules…” Surti menepuk jidat sendiri. "Tenang! Matteo aku tidurin di ketek, Nay, biar pules." "Itu sih bukan pules, Ti. Pingsan!" sahut Nayla makin gelisah. Leo, yang sejak tadi berdiri di samping istrinya, hanya mengamati wajah Nayla yang cemas setengah hidup itu. Lalu ia menunduk sedikit, mendekat ke telinganya, dan berbisik pe
Nayla menarik napas panjang, mencoba menenangkan debar yang masih tersisa di rongga dadanya. Dunianya seolah pecah lagi barusan—setelah Emily datang seperti peri kecil yang wangi dan ceria, mengguncang seluruh ruang batinnya.Untung saja, Leo selalu berada di sisinya. Menjadi jangkar yang menahannya agar tidak goyah. Bahkan sedari tadi, tangan suaminya itu tidak pernah lepas dari pinggangnya. Sentuhannya membuat Nayla merasa… dicintai.Tadi pun Nayla sempat menggendong Matteo meski hanya sebentar, sebelum acara kembali berlanjut. Ia menyelipkan wajah di leher mungil Matteo, menghirup aroma bayi yang menenangkan. Seolah tahu ibunya sedang rapuh, bayi itu memegang pipi Nayla dengan kedua tangan mungilnya—gestur kecil tapi cukup untuk mengembalikan senyum di bibir Nayla.Kini, saat acara resepsi hampir mencapai puncaknya, Nayla merasa ia bisa berdiri tegak lagi di pelaminan. Ia menata gaunnya, berdiri sedikit lebih mantap di samping Leo.“Baik, hadirin sekalian!” suara MC menggema meriah
Makanan penutup belum habis, tapi meja bundar tempat Nayla, Leo, Tommy, dan Matilda duduk sudah dipenuhi suasana hangat yang menyenangkan. Lilin-lilin kecil di tengah meja memantulkan cahaya lembut, membuat wajah Nayla tampak berpendar, terlebih saat ia menyendok kecil panna cotta, dan mengangkatnya ke arah bibir Leo.Leo menatap Nayla tanpa berkedip, sudut bibirnya terangkat nakal. “Gitu, dong. Sering-sering suapin aku," bisiknya sangat pelan.Nayla mendengus kecil. “Manja..." protesnya.Namun, ia tetap menyambut suapan itu, bahkan sedikit terlalu dekat hingga hidung mereka hampir bersentuhan. Leo sengaja menahan gerakan, membiarkan jarak itu menggantung manis sebelum akhirnya menerkam panna cotta dari sendok Nayla.“Hmm…” Leo menutup mata sebentar, menikmati. “Enak, ya. Kamu pinter pilih menu, Nay.""Itu... Mama yang pilihin sih," sahut Nayla, menggulung senyum. “YA AMPUN!” Matilda tertawa-tawa. “Kalian ini manis banget, sih? Semua makanan jadi berasa kelebihan gula kalau makan bar
Melihat Arlene yang mematung di tempat, petugas keamanan turun tangan kembali mengarahkan Arlene untuk segera keluar dari ballroom. Dengan tubuh yang semakin limbung, tetapi tetap meronta-ronta melawan petugas.“LEPASIN! Aku belum selesai! Kalian ngapain sih ikut campur?"Teriakan Arlene menggantung di udara. Gaun mahalnya yang pasti rancangan desainer terkenal, terseret menyapu lantai, tumit tingginya mengetuk-ketuk kesal. Beberapa tamu masih menatap ke arahnya, sedang yang lain lebih penasaran dengan pria tua tadi yang tampak sangat berkharisma.Pintu ballroom terbuka lebar.Petugas mendorong tubuh Arlene keluar, dan sebelum wanita itu sempat melanjutkan sumpah serapahnya, pintu berat itu menutup di belakang mereka. Gema benturan pintu merayap di seluruh ruangan, meninggalkan keheningan rapuh yang membuat semua orang seakan menahan napas detik yang sama.Seluruh tamu terdiam. Musik berhenti. Pelayan hotel saling melirik tegang. Melihat suasana yang semakin tak enak, Matilda langsung
Teriakan itu meledak begitu keras, memantul ke setiap dinding ballroom seperti suara gong yang dipukul tepat di tengah acara sakral.“CHEEERSS! Untuk wanita murahan! Pembantu nggak tahu malu!”Semua kepala serempak menoleh.Suara musik saxophone mendadak terdengar sumbang. Lampu-lampu kristal di langit-langit seolah meredup. Detak jantung Nayla berhenti sepersekian detik sebelum menghantam keras di dadanya.Di barisan tamu paling belakang, Arlene berdiri memegang gelas champagne yang sudah kosong, ia melangkah limbung, dan matanya merah penuh amarah. Wanita itu sepertinya sudah mabuk dari sebelum tiba di tempat itu. Dan, alkohol sukses membuat lidahnya bergerak lebih cepat dari otaknya.“Kalian lihat, tuh!” Arlene berteriak sambil menunjuk Nayla dengan gelas kosong yang bergetar di tangan. “PENGANTIN BARU KITA! Wanita TIDAK TAHU DIRI! Pembantu… menggoda majikan! Bener-bener MURAHAN!”Beberapa tamu menutup mulut, beberapa lain serempak memandang Nayla yang wajahnya sudah pucat seputih
Lantunan saxophone memenuhi ballroom seperti kabut tipis yang hangat, mengalun lembut menembus percakapan para tamu dan gemerlap lampu gantung raksasa di langit-langit. Nada-nada romantis itu memeluk seluruh ruangan, membuat siapa pun yang mendengarnya otomatis melambatkan napas.Dari pintu utama, Nayla dan Leo muncul—berjalan pelan di atas karpet seputih mutiara. Lampu sorot mengikuti langkah mereka, menciptakan cahaya gemerlap yang menari di gaun Nayla. Di sebelahnya, Leo berdiri tegap dengan raut yang nyaris tak bisa menyembunyikan kekaguman.Kamera para fotografer profesional bergerak cepat seperti sedang memburu berita panas. Beberapa tamu ikut mengangkat ponsel, mengabadikan momen itu dengan ekspresi haru. Tidak ada yang ingin melewatkan pemandangan dua manusia yang terikat dengan begitu manis—dari ASI turun ke hati—dan malam itu akhirnya disatukan di hadapan semua orang.Sementara itu, di sisi sebelah kiri, Surti buru-buru mengarahkan Putra yang masih mendorong stroller Matteo.







