LOGINLeo tak bergerak, masih mengeraskan rahangnya.
"Ah, well ... kamu temenin Leo dulu, Len. Aku mau urus bayinya," ucap Adrian, segera mendekati perawat yang sedang menenangkan bayi. "Kenapa dia nangis terus? Suhu tubuhnya udah dicek? Udah minum susu? Saya periksa dulu." Perawat mengangguk, menyerahkan bayi itu hati-hati. "Suhu tubuh normal, Dok. Tapi dia nolak semua susu formula. Tadi sih dia sempat tenang ...setelah disusui oleh ibu itu." Ia menunjuk Nayla di pojok ruangan. "Ibu? Ibu itu? Dia siapa?" tanya Adrian. Nayla berdiri canggung, wajahnya tegang. Ia seolah ingin menghilang ke lubang kelinci. "YA AMPUN, NAYLA!!!" teriak Surti, menyibak tubuh Arlene dan Leo yang berdiri di ambang pintu. Ia menyerbu masuk dengan wajah merah padam. "Udah aku bilang tunggu di halaman belakang. Kenapa masuk ke sini? Kamu bikin aku malu, Nay! Malu!" bisiknya penuh tekanan. Arlene mendengus, mengangkat alis tinggi. "Leo, mereka siapa? Pembantu baru?" Surti menundu-nunduk. "Maaf ... Saya mohon maaf, Pak Leo, Dokter ... Ibu ... semua. Teman saya dari kampung, belum tahu aturan kerja di kota. Maafkan kami ..." Surti menyenggol lengan Nayla, memberi isyarat. "Minta maaf kamu, Nay." Nayla menggigit bibir. "M-maaf..." ucapnya pelan, hampir tak terdengar. "Kalau gitu, kami keluar sekarang. Sekali lagi, mohon maaf." Surti menarik tangan Nayla. "Ayo, Nay. Malu ..." Mereka berjalan tergesa. Namun, saat melintas di samping Leo, langkah Nayla melambat, dan mata mereka bertaut—dua orang asing yang sama‑sama terluka, saling mengukur dalam diam. Arlene berdecih. "Dasar! Pembantu zaman sekarang nggak tahu etika." Ucapan ringan itu menusuk telinga dan hati Nayla sekaligus. Surti tetap mencengkeram tangan Nayla, mulutnya tak henti mengomel di sepanjang lorong. "Kamu tuh bandel! Udah dibilang tunggu! Untung aja bayinya nggak lecet, bisa-bisa dijemput polisi kamu, Nay!" Pantulan terik matahari Jakarta menyambut mereka di luar. Nayla menyipitkan mata, menahan silau yang terasa lebih panas dari ketika mereka baru datang tadi. "Lho, Mbak Surti? Kok buru‑buru?" tanya Pak Dirman, satpam yang tadi menyambut mereka. "Nanti siapa yang bantuin saya beresin rumah? Saya nggak sanggup beresin rumah segede gini sendirian." "Maaf, Pak. Teman saya keburu bikin malu. Mending kami pamit saja," tukas Surti. "Kalian pulang ke mana?" "Sekarang sih mau ke rumah Bu Lilis dulu, Pak. Barangkali ada kerjaan di tempat lain," jawab Surti menarik tangan Nayla. "Kami pamit ya, Pak." Pak Dirman mengangguk. "Ya udah, hati-hati di jalan!" *** Di kamar bayi, Adrian meletakkan stetoskop, menepuk lembut punggung si kecil. Tangisnya sempat reda, tapi jelas hanya sementara. "Secara medis dia sehat. Berat badannya cukup, suhu tubuh normal, detak jantung dan pernapasan stabil. Tapi ..." Adrian menarik napas pelan, "dia udah nolak tiga merk susu formula premium." Leo berdiri kaku di sisi ranjang, matanya masih menatap pintu yang baru saja tertutup. Arlene melipat tangan di dada. "Plis, Dri! Kamu kan dokter anak yang pernah dapet penghargaan di Amerika. Masa nggak bisa nyari susu formula lain buat bayinya Leo? Uang bukan masalah buat Leo, Dri!" "Bukan soal uang, Lene. Aku perlu melakukan observasi lagi. Mungkin pencernaannya sensitif, atau memang ada kondisi medis tertentu—aku belum bisa pastikan sekarang." "Tapi tadi bayinya bisa minum ASI, Dok," sahut perawat. Adrian mengangguk pelan. "Ya, kalau memang hanya ASI yang dia bisa dia terima, berarti kita butuh donor ASI." Adrian melirik Leo. "Atau solusi tercepat ... coba panggil wanita tadi lagi." "Hah? Serius, Dri?! Kamu suruh Leo panggil lagi perempuan yang nggak jelas asal-usulnya itu?" Arlene menatap sinis, dan Adrian hanya mengedikkan bahu. "Udah kucel, lepek, nggak punya etika, main masuk kamar majikan. Nama dia aja kita nggak tahu!" "Nayla ..." sahut perawat pelan. "Tadi temennya manggil dia Nayla." Arlene berdecak, menggulung lengannya di dada. "Whatever! Mau Nayla, mau Nadya, nggak penting. Yang jelas dia nggak pantas jadi ibu susu bayinya Leo. Lagian ya, dia bisa nyusuin berarti dia punya bayi juga, kan? Masa nanti anak dia sama anak Leo jadi saudara sepersusuan, sih? Iyuh, big no, Adrian! Bad idea!" Adrian mendesah, melirik bayi yang mulai menggeliat gelisah.. "Ya, semua terserah Leo. Aku cuma bisa ngasih saran ... as a profesional doctor. Aku bisa cari donor ASI resmi dari bank ASI, tapi prosesnya agak lama. Bisa berhari-hari. Bahkan, berminggu-minggu. Dan bayi ini... nggak mungkin puasa seminggu." Leo menunduk sesaat, menarik napas pelan. "Arlene ada benarnya. Kita nggak tahu siapa dia. Aku juga nggak bisa ambil resiko gila ... setelah kehilangan Zoya, aku nggak sanggup kehilangan bayi kami juga," ujarnya tersendat. Mendengar itu, Arlene segera mengambil kesempatan menyentuh dada Leo, dan berbisik, "I feel you, Leo. Lagian, perempuan itu pasti punya suami. Gimana kalau suaminya nggak setuju istrinya menyusui anak orang?" Ia lalu menempel lebih dekat, setengah memeluk Leo. "Aku bakal bantu cari donor ASI yang terpercaya. Kalau nggak ada, aku kontak temenku di luar negeri buat cari susu formula premium. Kita usahakan yang terbaik buat bayi kamu, ya?" Leo mengangguk pelan, menatap ke dalam mata Arlene. Dia lelah, matanya sayu, letih sekali atas kesibukan seharian itu mulai dari rumah sakit sampai pemakaman. "Lene ... thanks, ya ..." ujarnya pelan. Arlene menarik napas, lalu berbisik. "Leo ... aku ... aku memang nggak bisa menyusui bayi itu. Tapi ... aku bisa kok jadi ibu buat dia," ucapnya, membuat Leo seketika menahan napasAdrian melesat di lorong rumah sakit seperti bayangan yang dikejar suara sendiri. Langkahnya cepat, nyaris berlari, kepala menunduk, napasnya tak beraturan. Setiap detik terasa terlalu panjang, setiap lampu lorong seperti mata yang mengawasi.Begitu pintu darurat tertutup di belakangnya, udara malam menghantam wajahnya. Ia menyambar helm, menyalakan motor besar itu tanpa ragu. Suara mesin menggeram rendah—lalu melengking—seolah ikut memuntahkan amarah yang ia pendam. Adrian melaju, membelah malam, meninggalkan rumah sakit.Dadanya berdebar kencang. Iri. Dengki. Dua perasaan itu bergantian menghantam, menutup ruang bagi sepercik rasa bersalah. Wajah Matilda sempat melintas, tapi cepat ia tepis. Ia malah memilih mengingat hal yang lain. Nama Leo. CEO Graha Utama. Sepupu yang ia anggap terlalu beruntung.Namun suara Matilda kembali bergulung di telinganya, makin lama makin jelas.“Apa nggak kepikiran buka praktik sendiri, Dri?”“Aunty punya tanah di Surabaya…”Adrian menggertakkan gigi.
Rumah sudah tenang ketika Nayla dan Leo akhirnya berbaring. Lampu kamar diredupkan, menyisakan cahaya hangat dari lampu tidur di sisi ranjang. Leo menghela napas panjang, seperti baru saja menurunkan batu tak kasatmata dari kepalanya—seharian rapat yang berlapis-lapis membuat pelipisnya berdenyut.Ia meraih Nayla, mendekat tanpa kata. Bibirnya menyentuh leher Nayla, mencium pelan aroma sabun mewah yang masih tertinggal di kulit istrinya. Hangat, akrab, dan sangat menenangkan. Nayla memejamkan mata, membiarkan Leo berlama-lama di sana.Tangan Leo menyusup ke balik kain lingerie hitam Nayla. Merayapi pinggang wanitanya yang ramping, dan merambat naik menyusuri rusuknya sebelum meremas lembut dadanya. Nayla menahan napas. Sentuhan-sentuhan Leo selalu memabukkan dirinya.Namun ketika Leo mengangkat wajahnya dan bibir mereka hampir bertemu, Nayla mendadak menegang.“Aku mual, Leo…” ucapnya lirih.Leo segera menarik wajahnya, alisnya berkerut. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan, meng
Jarum suntik telah menembus selang infus. Tekanan kecil sudah diberikan—nyaris tak terlihat—saat cairan bening itu mulai bergerak, bercampur perlahan dengan aliran yang seharusnya menyelamatkan. Lalu suara itu terdengar. “Adrian…” Gumaman pelan, serak, seperti nama yang tak sadar terseret keluar dari mimpi. Tangan pria itu membeku. Jarinya refleks melepas tekanan. Napasnya tersangkut di tenggorokan, dadanya naik turun satu kali. Ia menurunkan tangan perlahan, seolah takut suara sekecil apa pun bisa merobek keadaan. Di ranjang, kelopak mata Matilda bergerak. Tak sepenuhnya terbuka, tapi cukup hidup untuk mengenali. “Adrian, kan?” suara itu lirih, namun pasti. “Kamu mau jenguk Aunty, ya?” Tak ada jawaban. Matilda tersenyum tipis, senyum orang tua yang mengenali anaknya bahkan dalam gelap. “Kok diam? Malu ya jenguk nenek-nenek,” katanya pelan. “Biar kamu nggak pakai seragam dokter, muka ditutup masker, jaket gede... Aunty bisa tahu itu kamu... bukan demit." Ia menelan ludah, na
Sore itu, lantai praktik dokter anak terasa lebih riuh dari biasanya. Kursi tunggu penuh, nomor antrean terus bertambah, dan suara panggilan pasien bersahut-sahutan dari balik pintu-pintu ruang periksa lain.“Dokter Adrian sudah datang?” tanya seorang perawat sambil menenteng papan jadwal.Perawat lain menggeleng. “Belum. Jam praktiknya sudah lewat lima belas menit nih."Mereka berpencar. Satu mengecek ruang dokter, satu lagi ke ruang istirahat, sementara yang lain menyusuri lorong menuju nurse station. Nama Adrian disebut berulang, namun jawabannya selalu sama—tidak ada yang lihat.“Aneh,” gumam perawat senior. “Tadi aku sempet lihat dia masih jalan-jalan di lobi. Malah kayaknya sempat ngobrol sebentar sama Ners Dede di dekat lift.”“Terus?” Perawat itu mengernyit. “Dia ke mana sekarang? Masa pulang?"Belum sempat kebingungan itu berujung kepanikan, seorang perawat lain datang tergesa. “Maaf lupa info, aku ketemu Dokter Adrian setengah jam lalu,” katanya cepat. “Dia bilang harus pula
Menjelang sore, langkah kaki Leo terdengar tergesa di lorong rumah sakit. Setibanya di depan kamar perawatan VVIP, ia berhenti sejenak—menarik napas dalam, mengatur ekspresi."Kata Nayla nggak boleh kelihatan panik… tarik napas… buang napas…" gumamnya dalam hati, sebelum akhirnya mendorong pintu dengan senyum selebar harapan orang tua.“Mama…” sapa Leo sambil menenteng dua bungkusan besar di kedua tangannya.Matilda yang sejak tadi sebenarnya sudah terjaga—namun memilih pura-pura tidur karena masih menyimpan kekesalan kecil—membuka satu mata, lalu menutupnya lagi dengan dengusan halus.“Mama… mama…” tirunya. “Senyum kamu lebar banget. Senang, ya, lihat mama rebahan di ranjang rumah sakit?”Leo terkekeh hambar. “Baru datang sudah kena omel. Leo senang kalau mama sehat, Ma.”“Mama itu selalu sehat,” sahut Matilda cepat. “Kalian saja yang berlebihan.”Senyum di wajah Leo perlahan surut. Bahunya mengendur sedikit. Ada rasa bersalah yang tak sempat ia sembunyikan—karena telalu keras melara
Tirai krem terpasang rapi, sofa empuk berjajar di sisi dinding, dan jendela besar memperlihatkan langit siang yang pucat. Matilda duduk setengah bersandar di ranjang kamar perawatan rumah sakit, punggungnya disangga bantal tebal. Bibirnya manyun, alisnya berkerut—ekspresi merasa dipenjara tanpa alasan jelas.“Aduh… pelan-pelan dong, Sus,” protesnya saat perawat mulai memasang infus di lengannya. “Orang saya nggak sakit, kok, pakai diinfus segala.” Ia melirik tajam ke arah Nayla. “Nayla, cepat telepon Leo. Mama pengen marahin dia banget.”Di sudut ruangan, Nayla berdiri dengan ponsel di tangan. Ia melirik layar, lalu menekan nomor Leo sekali lagi. Nada sambung terdengar—sekali, dua kali, tiga kali—namun tak kunjung diangkat. Nayla menghela napas pelan, memaksa dirinya tetap tenang. Leo sudah bilang tadi pagi kalau hari ini ia penuh jadwal rapat, berpindah dari satu ruang meeting ke ruang lainnya.Perawat itu tersenyum sabar. “Tarik napas panjang ya, Bu. Biar infusnya cepat masuk.”Mati







