Share

BAB 3

Author: Fredy_
last update Last Updated: 2025-04-29 08:09:53

Bayi itu memiringkan kepala pelan, merespon kehadiran Nayla. Matanya belum benar-benar terbuka, tapi bibirnya... terus mengecap, mengarah ke tangan Nayla yang gemetar di tepi keranjang. Seolah tahu, kalau sosok yang ditunggu akhirnya datang.

Di sisi lain ruangan, perawat masih sibuk menelepon. Dunia Nayla terasa berhenti. Tak ada suara lain yang masuk selain detak jantungnya sendiri yang berpacu cepat. Lalu, dengan gerakan perlahan, Nayla menyelipkan kedua tangannya ke bawah tubuh mungil itu. Ia mengangkat bayi itu ke pelukannya. Begitu hangat. Begitu rapuh. Ringan... tapi terasa berat di dada.

Bayi itu meringkuk, seakan langsung mengenal aroma tubuh Nayla. Tangannya yang kecil mencengkeram udara. Dia tidak menangis. Tidak gelisah. Hanya... keheningan yang begitu damai di antara mereka.

Naluri keibuan mengambil alih seluruh tubuh Nayla. Ia membawa bayi itu duduk di tepi ranjang, dan membuka kancing atas blus-nya perlahan, serta memeluk bayi itu ke dadanya. Tanpa ragu, ia menuruti naluri untuk memberikan yang dibutuhkan si bayi. 

Ajaib. Bayi itu mulai menyusu.

Nayla memejamkan mata. Air matanya jatuh lagi. Tapi kali ini… bukan sedih. Entah bagaimana, perasaan itu berubah menjadi sebuah perasaan yang terasa utuh.

Dan tepat saat itulah…

Suara berat terdengar dari ambang pintu. "Siapa kamu?"

Nayla tersentak membuka mata. Matanya melebar. Dan tatapannya bertemu dengan mata tajam seorang pria penuh duka, namun ... sangat tampan.

Leonard Prakasa Utama.

Pria itu menatap lurus ke arah dada Nayla, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seorang wanita asing tertangkap basah sedang menyusui bayinya.

"Siapa kamu?"

Leo berdiri tegap di ambang pintu, tatapannya menusuk ke arah perempuan asing yang lancang menyusui anaknya.

Perawat yang masih menempelkan ponsel di telinga tersentak, buru-buru memutus sambungan. "Ma-maaf, Pak! Saya... saya perawat ... barusan saya telpon dokter ..." sahutnya, terbata.

Namun, begitu matanya mengikuti arah pandangan Leo, ia pun terbelalak menatap Nayla duduk di tepi ranjang, menggendong dan menyusui bayi yang tadi membuatnya putus asa.

Perawat itu terkejut, suaranya spontan meninggi, "Eh, kamu siapa?! Hei! Ngapain pegang-pegang bayi itu?!" Ia tergesa mendekati Nayla, tetapi terhenti ketika melihat di bayi ... menyusu tenang di dada Nayla. Nafasnya teratur, bahkan terdengar suara kecil seperti dengkuran halus dari mulut mungilnya.

"Ba-bayinya ... nyusu ..." bisik sang perawat tak percaya.

Rahang Leo mengeras. Matanya menusuk Nayla seperti ingin menguliti alasan di balik keberaniannya.

"Saya tidak pernah mengizinkan siapa pun menyentuh anak saya selain dokter dan perawat. Kenapa Anda lancang?" ucapnya tajam.

Perawat yang baru menyadari kesalahan besar itu buru-buru meraih si kecil. "Maaf, Pak! Ini kelalaian saya ..." Tangannya terulur mengambil bayi itu dari pelukan Nayla. "Saya ambil dulu bayinya, ya, Bu... Maaf! Ibu sih, main gendong-gendong anak orang saja—" ucapnya tergagap, mencoba terlihat tegas meski gugup.

Begitu berpindah tangan, tangis bayi itu pecah lagi, nyaring dan menyayat—seperti sebelumnya. Nayla spontan berdiri, raut cemas tak bisa ditutupi dari wajahnya.

"Jangan! Jangan dibawa dulu! Itu ... bayinya belum selesai menyusu... dia masih lapar!" seru Nayla.

Leo melotot, wajahnya memerah, emosinya meledak. "Dan siapa yang bilang Anda boleh menyusui bayi saya?!"

Nayla menggigit bibir, tetapi sorot matanya tak goyah. "Dia lapar! Dia butuh ASI! Bukan cuma digendong, digoyang-goyang doang. Masa gitu aja nggak paham?!"

Leo melangkah maju, sepatu kulit mahalnya menghentak lantai. Rahangnya mengeras.

"Anda bilang saya nggak paham? Justru anda yang tidak paham aturan! Ini rumah saya, dan anda masuk seenaknya ke kamar saya!" bentak Leo dingin. "Bayi saya lapar, kenyang, nangis, atau ketawa—itu bukan urusan anda! Sekarang keluar dari rumah saya!"

Nayla tercekat. Tangannya refleks memeluk tubuhnya sendiri. Gemetar. Matanya berkaca-kaca, tapi tak sepatah kata pun sanggup meluncur dari bibirnya. Suasana di ruangan itu terasa membeku. Namun sebelum keheningan semakin menyesakkan, langkah tergesa terdengar dari arah lorong.

"Leo, sorry banget—operasi darurat,” suara bariton Dokter Adrian—sepupu Leo, memecah ketegangan. Lalu, pria itu menunjuk wanita yang bersamanya. "Oh ya, aku datang bareng Arlene.”

Di belakangnya, Arlene menyusul dengan langkah penuh gaya. Sepatu hak tingginya berderak pelan menyentuh lantai. Rambutnya tersisir rapi, riasan sempurna, dan lipstick merah menyala. Penampilan ala artis itu begitu kontras dengan sosok Nayla yang hanya mengenakan blus longgar berwarna pudar.

Begitu melihat Leo, tanpa sungkan, Arlene merengkuh Leo dan mengecup pipinya kanan‑kiri. "Sayang, aku turut berduka. Zoya pasti tenang sekarang. Kalau butuh teman curhat, call me aja, ya—kayak dulu."

Leo tak membalas ciuman itu, tak juga menanggapi ucapan Arlene. Matanya masih terkunci ke satu titik—kepada Nayla. Perempuan asing yang masih berdiri kaku di dekat ranjang dengan kancing atas blus yang belum sempat dirapikan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (5)
goodnovel comment avatar
Azizah Khair
bikin penasaran pengen lanjut lagi
goodnovel comment avatar
Intan Azzura
hati seorang ibu terpanggil
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Ntar kalo bayinya di tinggal nangis kejer dong kalo nay nay di usir
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 176

    BRUK! Nayla menjatuhkan diri ke ranjang, wajahnya terbenam di bantal. Tangis yang sejak tadi ia tahan meledak juga. Isakannya terputus-putus, menggetarkan tubuhnya yang menggigil. Semua suara di luar lenyap. Yang tersisa hanya suara tangis dan deru napasnya yang tak teratur. “Kenapa sih…?!” suaranya parau, dan jengkel luar biasa, tenggelam di kain bantal yang kini basah oleh air mata. “Kenapa aku harus lahir, kalau orang-orang jahatin aku semua. Nggak... nggak semua, tapi banyak... banyak yang jahatin aku. Huu..." Nayla tersedu hebat. Mungkin dia sudah pernah menjadi ibu, sudah pernah menyusui, dan tahu melayani suami. Tapi tetap saja jiwanya baru dua puluh tahun, dan baru keluar kampung. Dia masih lugu, masih polos. Dan, fakta yang baru saja diungkapkan Tommy benar-benar membuatnya sakit dari hati, kepala sampai sebadan-badan. Nayla melihat hidupnya seperti siklus penderitaan yang tak pernah berhenti. Baru saja ia belajar mempercayai seseorang—membuka hatinya sedikit saja—semesta

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 175

    Kepala Nayla berdenyut hebat. Dunia di sekitarnya seakan berputar—lampu ruang tengah terasa terlalu terang, napasnya terlalu pendek, dan detak jantungnya menggema seperti palu di dada. Ia menatap nanar foto di tangannya, tapi pandangannya kabur, nyaris gelap. Kata-kata Tommy tadi terus menggema di telinganya, satu per satu seperti jarum menusuk. Ia ingin menangis, tapi air matanya membeku. Leo masih duduk di sampingnya, wajahnya tegang, pikirannya berputar oleh semua yang baru saja diungkapkan Tommy. Ia tak menyangka—pria tua di hadapannya itulah ternyata yang paling berdosa atas semua luka Nayla selama ini. Luka yang kini, di depan matanya, mulai menganga lagi. Tommy menunduk dalam, wajah tuanya penuh keriput penyesalan. Setiap helaan napas terdengar berat, seperti pengakuan dosa yang datang terlambat. Ketika Leo akhirnya bersuara—mungkin dengan maksud menenangkan—ia malah memecahkan pertahanan Nayla. “Nay… kamu nggak pengin tahu, sekarang ibu kamu di mana?” Seketika Nayla berdi

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 174

    Sementara itu, di pelataran yang jauh dari hiruk-pikuk kota, seorang bayi mungil berambut hitam berkilau, berlari kecil sambil tertawa renyah, jatuh-bangun di atas hamparan rumput hijau yang masih berembun.“Eh… pelan, Nay… pelan,” suara lembut seorang wanita terdengar menembus sejuknya udara pagi. Sumiarti—wanita berusia tiga puluhan dengan daster batik yang mulai pudar warnanya—bergegas menghampiri, lalu mengangkat bayi itu ke pangkuannya.“Wah, anak pintar. Jatuh tapi nggak nangis, ya?” ujarnya sambil mengusap lutut mungil yang sedikit kotor tanah.Bayi itu menatapnya dengan mata cokelat bening—warna yang jarang sekali ia lihat di kampung kecil itu. Tatapan polos itu seolah menembus hati Sumiarti, menghangatkan ruang kosong di hidupnya yang lama sunyi.“Nayla…” gumamnya lirih, menatap wajah mungil itu penuh kasih.Hanya nama itu yang tersisa dari ibu kandung bayi itu—nama yang kini memenuhi rumah dan hatinya dengan tawa kecil setiap pagi. Ia tahu, cepat atau lambat akan ada seseora

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 173

    Beberapa minggu kemudian, ia mengajak Lucienne ke Indonesia, ke vila barunya di pelosok desa yang sejuk dan tenang. Lucienne tampak bahagia di sana, menatap hijaunya pepohonan dan mencium wangi tubuh bayinya yang baru lahir.Suatu sore di teras vila yang diterpa angin lembut dari dedaunan, Tommy duduk di samping putrinya. Senja berwarna keemasan membalut wajah mereka, memantulkan cahaya lembut di mata Lucienne yang tengah memangku bayinya.“Lucienne,” suara Tommy terdengar lebih lembut dari biasanya. “Papa ingin kamu melanjutkan sekolahmu. Hidupmu belum berakhir, Sayang. Kamu mau?”Lucienne mengangkat wajah, menatap ayahnya dengan mata yang berbinar penuh harap. “Pa… tentu saja aku mau. Aku belum melupakan cita-citaku jadi dokter.”Senyumnya merekah, polos, seperti anak kecil yang baru saja diampuni setelah berbuat salah.Tommy mengangguk pelan, menatap jauh ke arah sawah. “Papa hanya ingin masa depanmu lebih baik, Luci. Kau gadis pintar, Papa tahu itu.”Lucienne tersenyum lega—hingga

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 172

    "S-saya… saya…” Nayla menoleh ke arah Leo, matanya penuh kebingungan dan gugup. Matilda yang duduk di seberang mereka tersadar akan ketegangan di meja maka, dan segera memecahkan ketegangan dengan menepuk tangannya. “Eh, sudah makan dulu. Nanti baru kita ngobrol-ngobrol setelahnya.” Ia menoleh ke arah ruang tengah, tempat Surti yang lebih memilih menikmati makan malam sambil menjaga Matteo. “Tiii… Surti! Kita punya buah apa di kulkas?” “Iya, Bu!” sahut Surti dari kejauhan, buru-buru menandaskan sendok terakhirnya. “Kita punya anggur sama semangka, Bu. Udah dipotong juga!” “Bagus, nanti tolong bawa ke ruang tengah, ya,” kata Matilda, mencoba menahan senyum canggung sebelum melanjutkan suapannya. Beberapa belas menit kemudian, suasana sudah mencair. Mereka berpindah ke ruang tengah. Surti datang dengan nampan berisi mangkuk buah potong dan salad buah, lalu duduk di kursi dekat Matteo yang sudah mulai menggeliat. Matilda langsung menyambar cucunya, mengangkat Matteo tinggi-tinggi sam

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 171

    “Se-selamat malam, Mama Mat...” sapa Surti, menyambut Matilda sambil sedikit membungkuk.Matilda tersenyum hangat. "Formal banget, Ti. Nayla sama Matteo mana?" tanyanya."Oh, mereka masih siap-siap di kamar. Pak Leo juga sudah pulang, ada di kamar," sahut Surti, melirik pria beruban yang masih terlihat tampan di belakang Matilda."Dasar anak muda, kalau siap-siap pasti lama. Kami tunggu saja di..." Hidung Matilda seketika mengendus-endus, matanya menyipit. "Ini bau apa, Ti?""Bau? Bau apa?" Surti ikut mengendus-endus. "Astaga! Perkedel jagung gosong!" Ia sontak berlari lagi ke dapur."Ya ampun, Ti! Matiin kompor sekarang, mandi kamu! Bau bawang!" seru Matilda.Tommy tertawa kecil di belakang Matilda, suaranya berat tapi berwibawa. “Rumah kamu hangat ya, Matilda. Suasana yang aku rindukan."“Ya begitulah, Tom. Selalu ada-ada saja kelakuan mereka" ujar Matilda ikut tertawa. "Kita tunggu di sana saja, Tom."Matilda dan Tommy kemudian duduk di ruang tengah. Pria tua itu tersenyum seolah m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status