Bayi itu memiringkan kepala pelan, merespon kehadiran Nayla. Matanya belum benar-benar terbuka, tapi bibirnya... terus mengecap, mengarah ke tangan Nayla yang gemetar di tepi keranjang. Seolah tahu, kalau sosok yang ditunggu akhirnya datang.
Di sisi lain ruangan, perawat masih sibuk menelepon. Dunia Nayla terasa berhenti. Tak ada suara lain yang masuk selain detak jantungnya sendiri yang berpacu cepat. Lalu, dengan gerakan perlahan, Nayla menyelipkan kedua tangannya ke bawah tubuh mungil itu. Ia mengangkat bayi itu ke pelukannya. Begitu hangat. Begitu rapuh. Ringan... tapi terasa berat di dada.
Bayi itu meringkuk, seakan langsung mengenal aroma tubuh Nayla. Tangannya yang kecil mencengkeram udara. Dia tidak menangis. Tidak gelisah. Hanya... keheningan yang begitu damai di antara mereka.
Naluri keibuan mengambil alih seluruh tubuh Nayla. Ia membawa bayi itu duduk di tepi ranjang, dan membuka kancing atas blus-nya perlahan, serta memeluk bayi itu ke dadanya. Tanpa ragu, ia menuruti naluri untuk memberikan yang dibutuhkan si bayi.
Ajaib. Bayi itu mulai menyusu.
Nayla memejamkan mata. Air matanya jatuh lagi. Tapi kali ini… bukan sedih. Entah bagaimana, perasaan itu berubah menjadi sebuah perasaan yang terasa utuh.
Dan tepat saat itulah…
Suara berat terdengar dari ambang pintu. "Siapa kamu?"
Nayla tersentak membuka mata. Matanya melebar. Dan tatapannya bertemu dengan mata tajam seorang pria penuh duka, namun ... sangat tampan.
Leonard Prakasa Utama.
Pria itu menatap lurus ke arah dada Nayla, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seorang wanita asing tertangkap basah sedang menyusui bayinya.
"Siapa kamu?"
Leo berdiri tegap di ambang pintu, tatapannya menusuk ke arah perempuan asing yang lancang menyusui anaknya.
Perawat yang masih menempelkan ponsel di telinga tersentak, buru-buru memutus sambungan. "Ma-maaf, Pak! Saya... saya perawat ... barusan saya telpon dokter ..." sahutnya, terbata.
Namun, begitu matanya mengikuti arah pandangan Leo, ia pun terbelalak menatap Nayla duduk di tepi ranjang, menggendong dan menyusui bayi yang tadi membuatnya putus asa.
Perawat itu terkejut, suaranya spontan meninggi, "Eh, kamu siapa?! Hei! Ngapain pegang-pegang bayi itu?!" Ia tergesa mendekati Nayla, tetapi terhenti ketika melihat di bayi ... menyusu tenang di dada Nayla. Nafasnya teratur, bahkan terdengar suara kecil seperti dengkuran halus dari mulut mungilnya.
"Ba-bayinya ... nyusu ..." bisik sang perawat tak percaya.
Rahang Leo mengeras. Matanya menusuk Nayla seperti ingin menguliti alasan di balik keberaniannya.
"Saya tidak pernah mengizinkan siapa pun menyentuh anak saya selain dokter dan perawat. Kenapa Anda lancang?" ucapnya tajam.
Perawat yang baru menyadari kesalahan besar itu buru-buru meraih si kecil. "Maaf, Pak! Ini kelalaian saya ..." Tangannya terulur mengambil bayi itu dari pelukan Nayla. "Saya ambil dulu bayinya, ya, Bu... Maaf! Ibu sih, main gendong-gendong anak orang saja—" ucapnya tergagap, mencoba terlihat tegas meski gugup.
Begitu berpindah tangan, tangis bayi itu pecah lagi, nyaring dan menyayat—seperti sebelumnya. Nayla spontan berdiri, raut cemas tak bisa ditutupi dari wajahnya.
"Jangan! Jangan dibawa dulu! Itu ... bayinya belum selesai menyusu... dia masih lapar!" seru Nayla.
Leo melotot, wajahnya memerah, emosinya meledak. "Dan siapa yang bilang Anda boleh menyusui bayi saya?!"
Nayla menggigit bibir, tetapi sorot matanya tak goyah. "Dia lapar! Dia butuh ASI! Bukan cuma digendong, digoyang-goyang doang. Masa gitu aja nggak paham?!"
Leo melangkah maju, sepatu kulit mahalnya menghentak lantai. Rahangnya mengeras.
"Anda bilang saya nggak paham? Justru anda yang tidak paham aturan! Ini rumah saya, dan anda masuk seenaknya ke kamar saya!" bentak Leo dingin. "Bayi saya lapar, kenyang, nangis, atau ketawa—itu bukan urusan anda! Sekarang keluar dari rumah saya!"
Nayla tercekat. Tangannya refleks memeluk tubuhnya sendiri. Gemetar. Matanya berkaca-kaca, tapi tak sepatah kata pun sanggup meluncur dari bibirnya. Suasana di ruangan itu terasa membeku. Namun sebelum keheningan semakin menyesakkan, langkah tergesa terdengar dari arah lorong.
"Leo, sorry banget—operasi darurat,” suara bariton Dokter Adrian—sepupu Leo, memecah ketegangan. Lalu, pria itu menunjuk wanita yang bersamanya. "Oh ya, aku datang bareng Arlene.”
Di belakangnya, Arlene menyusul dengan langkah penuh gaya. Sepatu hak tingginya berderak pelan menyentuh lantai. Rambutnya tersisir rapi, riasan sempurna, dan lipstick merah menyala. Penampilan ala artis itu begitu kontras dengan sosok Nayla yang hanya mengenakan blus longgar berwarna pudar.
Begitu melihat Leo, tanpa sungkan, Arlene merengkuh Leo dan mengecup pipinya kanan‑kiri. "Sayang, aku turut berduka. Zoya pasti tenang sekarang. Kalau butuh teman curhat, call me aja, ya—kayak dulu."
Leo tak membalas ciuman itu, tak juga menanggapi ucapan Arlene. Matanya masih terkunci ke satu titik—kepada Nayla. Perempuan asing yang masih berdiri kaku di dekat ranjang dengan kancing atas blus yang belum sempat dirapikan.
Sepanjang perjalanan, Nayla nyaris tak bersuara. Ia duduk di kursi penumpang dengan tatapan yang lebih sering mengarah keluar jendela. Kaos lengan pendek warna putih dan celana jeans yang ia kenakan membuatnya tampak seperti remaja SMP yang dibawa ayahnya keluar malam. Tas selempang kecil menggantung di sisi tubuhnya, berisi tissue basah, sisir, dan dompet yang ia ambil terburu-buru. Di kursi kemudi, Leo masih mengenakan kemeja navy blue yang tergulung rapi di pergelangan tangan dan celana kantor. Kontras sekali dengan gaya santai Nayla. Meski lelah terlukis jelas di wajahnya, tetapi itu justru menambah daya tarik Leo. Dia seperti pria pekerja keras yang membuat dada setiap gadis berdegup kencang. Begitu mobil berhenti, Leo turun lebih dulu. Ia berjalan memutari kap mobil, lalu membukakan pintu penumpang. "Ayo, turun," ucapnya. Nayla patuh, meski di matanya tersirat kebingungan. Dan saat pandangannya jatuh pada bangunan megah dengan dinding kaca menjulang di depannya, ia spontan be
Nayla turun dari boncengan Pak Dirman tanpa sepatah kata pun. Langkahnya lurus menuju pintu, tak menoleh sama sekali. Dari kamera CCTV teras, wajah cemberutnya sudah cukup untuk membuat Leo di seberang layar menyesal. Begitu masuk, Nayla membuka pintu sedikit keras. Ia menaiki tangga menuju kamar Matteo, lalu menutup pintu rapat-rapat. Masih menggendong bayi yang sudah ia pakaikan topi agar tidak kepanasan itu, Nayla duduk di tepi ranjang. “Bu Nayla! Disuruh pulang sama Pak Leo! Pak Leo ngeliat dari kamera CCTV!” Nayla menirukan ucapan Pak Dirman dengan suara setengah kesal. "Astaga, malu banget! Udah kayak anak kecil kabur dari rumah, terus diteriakin suruh pulang." Nayla mendengus sendiri. “Uuuhhh…” sahut Matteo, seperti ikut membela ibu susunya. “Jadi ada berapa kamera CCTV di rumah ini, Teo?” Nayla memandang berkeliling, matanya langsung menangkap satu kamera kecil di sudut kamar. “Tuh! Ada satu. Papa lihat kita dari situ, tuh,” ujarnya, sengaja menunjuk ke arah kamera. “
Menyadari perubahan raut wajah Pak Boss-nya itu, Putra menyipitkan mata ke arah Leo. "Ada apa, Pak?" tanyanya, sedikit khawatir masih berhubungan dengan rapat tadi. Leo menggeleng singkat. “Chat nyasar. Nomor tak dikenal.” “Oh..." sahut Putra lega. "Sekarang sering tuh begitu. Ujung-ujungnya penipuan. Biarin aja, Pak. Jangan dibales.” Leo menatap asistennya datar. “Nggak usah ngajarin saya, Put. Saya nggak bego.” Putra meringis keki. “Iya, iya deh, Pak…” Tawa Pak Eman semakin menjadi-jadi. Dengan kesal Putra melontarkan karet gelang ke arah office boy yang sering menggodanya itu. "Sana, huss! Cucian gelas numpuk tuh di pantry," usir Putra. Pak Eman tertawa-tawa keluar ruangan sambil menepuk-nepuk nampan seperti membunyikan rebana. Leo menghela napas tipis, lalu melanjutkan makan siangnya. Tapi rasa gurih soto Betawi itu tak mampu meredakan keresahan yang merayap di dadanya. Karena… meski pesan itu datang dari nomor tak dikenal, ia nyaris tak perlu menebak dua kali siapa pengirimn
Kemeja slim fit navy blue sudah terpasang rapi di tubuh, dasi terikat sempurna, dan aroma parfum woody menguar samar setiap kali Leo bergerak. Sepatu kulitnya mengilap. Ia berdiri sejenak di depan pintu kamar, menatap pemandangan yang—mau tak mau—sudah mulai menjadi bagian dari rutinitas paginya, Lampu kamar menyala terang. Nayla duduk bersandar di sandaran tempat tidur, rambutnya jatuh sedikit berantakan di bahu. Matteo tertidur pulas di lengannya, masih tekun menyusu di dadanya. Tangan bayi itu usil menarik-narik rambut Nayla hingga wanita itu tertawa-tawa kecil. Masih bayi saja sudah pintar cari perhatian. Leo menelan ludah. Astaga! Sepertinya dia juga sudah harus mulai terbiasa melihat pemandangan itu. Dan, kalau yang duduk di sana itu Zoya... ia mungkin sudah mendekat, memeluk dari belakang, lalu mengecup bahu terbuka yang menggoda itu. Tapi... ini Nayla. Dan, sialnya, mereka terlanjur mencatatkan banyak perjanjian di depan notaris yang tak boleh dilanggar. Leo menghela napa
Di dalam kamar, di lantai bawah, lampu redup menyinari wajah Desti - sang baby sitter yang tampak sedang menempelkan ponsel ke telinga. Suaranya diredam, tapi nadanya penuh semangat, seolah tengah melaporkan misi penting. "Aduh, Bu Arlene... saya berhasil! Saya nggak dipecat sama Pak Leo. Sumpah ya, saya tuh sampai bilang saya nyesel, terus nangis dikit-dikit gitu kayak yang diajarin Bu Arlene. Saya bilang kasih saya kesempatan... saya bisa masak, bisa ngelakuin pekerjaan lain, asal jangan pecat saya." "Bagus!" sahut Arlene di ujung sana. "Sekarang Leo ada di mana? Pengasuh bayi itu juga ikut ke rumah?" "Betul, Bu. Nayla ikut ke rumah, gayanya tuh ... udah kayak nyonya rumah banget. Huh!" Desti mendesis sambil mencibir ke arah pintu yang tertutup rapat. "Terus ya, bu ... tadi saya liat ada bapak-bapak datang, nungguin Pak Leo di depan pintu rumah. Saya ngintip dari sela tirai, mereka kayak bawa map tebel gitu, Bu." Arlene mengernyit. "Map apa? Urusan bisnis atau apa?" "Saya nggak
Kasihan juga, pikir Nayla, memindai baby sitter yang nyaris diusir Leo. Mata wanita itu merah, dan jari-jarinya sibuk mengusap sudut matanya berkali-kali. Nayla bisa merasakan getir itu—perasaan ditolak, perasaan tak diinginkan, diusir dengan penghinaan. Ia tahu persis, bahkan luka itu masih mengusik mimpinya. Makan, begitu Leo sudah mulai melangkah lagi mendorong stroller, Nayla buru-buru menoleh. Dengan nada sehalus mungkin, ia berkata, “Pak Leo… kayaknya setiap pagi saya bakal sibuk ganti popok dan menyusui Matteo deh. Saya nggak yakin bisa sempat masak buat sarapan. Mungkin… mungkin Bude bisa bantu buatkan sarapan?” Leo menghentikan langkahnya, menoleh setengah, ekspresinya tetap datar. “Saya jarang sarapan. Minum teh saja cukup, dan saya bisa bikin sendiri.” Nayla tidak langsung menyerah. Ia berdiri menjajari Leo. "Tapi kan saya butuh sarapan, Pak. Supaya kuat jaga Matteo seharian," ujarnya. Leo memutar tubuh, berhadapan dengan Nayla, dan menghela napas. "Kamu bisa pesan Fudgo