Share

BAB 5

Author: Fredy_
last update Last Updated: 2025-06-15 11:51:05

"Baiklah, sepertinya aku harus pamit dulu," ujar Adrian sambil melirik jam tangannya. "Masih ada jadwal praktik, dan operasi caesar ... oh ya, perawat ini juga harus balik jaga ke ruang NICU." Adrian memberi kode kepada perawat, lalu menepuk pelan bahu Leo. "Kalau ada apa-apa segera hubungi aku, ya."

"Thanks, Dri ..." balas Leo, pandangannya tetap tertuju ke dalam box bayi dengan wajah murah.

"Aku juga harus pergi, Leo." Arlene menghela napas berat. "Papih minta aku dateng ke kantor. Besok mau ada peresmian hotel baru di Bali." Ia tersenyum kecil. "By the way, papih masih suka nanyain kamu, lho. Kapan-kapan kita dinner bareng, ya?"

Leo menoleh, lalu mengangguk singkat. “Salam buat papih, Lene.”

Saat mereka hampir mencapai pintu, Adrian berbalik. "Oh ya, Leo. Sudah ada nama bayi? Perawat harus mencatatnya di buku kesehatan."

Leo menunduk sebentar, menatap wajah mungil yang seputih kapas. Jujur saja, sejak ia menginjakkan kaki kembali di Jakarta dan mendengar kabar bahwa Zoya telah tiada, tak sedetik pun ia sempat berpikir soal nama bayi.

"Dia ... nama dia ..." Leo menelan ludah, ada gejolak aneh yang muncul dari dada ke tenggorokannya. "Matteo ... Matteo Utama."

Adrian tersenyum kecil, matanya turut menatap box bayi. "Nice name. Dia memang pemberian dari Tuhan untukmu."

Begitu pintu kamar tertutup, Leo merasa sunyi menyergap dari segala penjuru. Ruangan itu terasa lebih besar dari sebelumnya… dan lebih dingin.

Leo memindahkan sebuah kursi kecil ke dekat box bayi, duduk dan menghembuskan napas panjang.

***

Sehari yang lalu,

Leo sedang bersiap untuk rapat besar bersama investor dari Berlin. Jasnya sudah rapi, dasinya terikat sempurna, dan asistennya berdiri di ambang pintu, memeluk laptop yang memuat data penting. Tiket emas bagi ekspansi perusahaannya. Segalanya sudah diatur dengan sempurna.

Namun, semua itu buyar saat ponselnya menyala dan nama Zoya muncul di layar. Leo mengangkat telepon. “Sayang, aku—”

Tapi suaranya terpotong oleh suara gemetar di ujung sana. "Sayang… perut aku sakit banget. Aku mau melahirkan ..."

Darah Leo seolah berhenti mengalir. “Zoya? Kamu di rumah, kan?!" risaunya.

"Aku... udah di rumah sakit. Supir yang nganter. Leo..." suaranya tercekat, "...aku takut."

Leo tak butuh waktu untuk berpikir. Ia segera meraih tas kerjanya.

"Aku pulang sekarang!" tegasnya, lalu menutup telepon tanpa menunggu jawaban.

Ia segera meninggalkan gedung, membatalkan rapat yang sudah dinantikan selama berbulan-bulan. Asistennya mengejar, kebingungan, tetapi Leo hanya menjawab pendek. "Istriku mau melahirkan."

Beberapa menit kemudian, ia sudah berada di bandara. Ponsel di tangannya tak lepas dari genggaman, namun tidak ada kabar susulan dari Zoya. Ia terus berjalan bolak-balik di ruang tunggu, dadanya sesak. Hingga sebuah pengumuman sukses melucuti segenap kesabarannya.

"Penerbangan ke Jakarta mengalami keterlambatan karena cuaca buruk. Kami mohon maaf atas ketidaknyamanannya."

Leo mengumpat keras, lalu berjalan menghampiri meja informasi dengan langkah panjang dan penuh amarah.

"Delay?! Sampai kapan?!" bentaknya pada petugas maskapai. "Saya harus terbang sekarang. Istri saya akan melahirkan! Dia sendirian di sana!”

Leo memukul meja dengan kepalan tangan. Penyesalan menghimpit dadanya. Andai saja ia tidak bersikeras terbang ke luar negeri demi proyek barunya. Andai saja ia lebih memilih menemani Zoya dalam suka maupun duka, seperti janjinya di depan altar dulu.

Andai saja ...

"Aarrggh! Sialan!" Leo menjambak rambutnya, frustasi. Nafasnya memburu, dadanya naik turun, dan semua penantian ini terasa seperti hukuman paling kejam dalam hidupnya.

Hampir tengah malam saat roda pesawat menyentuh landasan Bandara Soekarno-Hatta. Langit Jakarta gelap dan gerimis tipis membasahi kaca jendela. Leo segera berlari kecil menyusuri lorong kedatangan, detak jantungnya berkejaran dengan waktu.

Ia meraih ponsel. Puluhan notifikasi berdesakan di layar ponsel. Belasan panggilan tak terjawab. Beberapa pesan dari Adrian tertera di antaranya. Leo membuka pesan yang muncul paling atas.

"Leo, selamat! Kamu sudah jadi ayah. Tapi, bisa nggak kamu pulang sekarang? Zoya ... maafkan aku ... Zoya tidak tertolong."

Langkah Leo terhenti. Jantungnya seolah diremas dari dalam. Dunia mendadak hening di

tengah hiruk-pikuk bandara. Ia memejamkan mata. Bahunya gemetar. Satu tetes air mata bergulir dari sudut matanya, jatuh ke ujung sepatunya.

Dalam benaknya, potongan demi potongan kenangan menyerbu tanpa ampun.

Saat Zoya tertawa bahagia begitu mengetahui jenis kelamin bayi mereka. Ia memeluk erat Leo sambil berseru, "Aku akan punya dua manusia tampan dalam hidupku!". Zoya yang setiap malam memeluk perutnya sambil menggumamkan lullaby song ciptaannya sendiri—katanya agar si kecil mengenali suara ibunya sejak dalam kandungan. 

Dan Leo… Ia malah memilih bercumbu dengan angka-angka di layar dan ruangan rapat berlapis marmer.

Leo tenggelam dalam penyesalan terburuk yang pernah ia rasakan seumur hidup.

Namun, lamunan itu buyar oleh tangisan nyaring yang memekakkan telinga. Ia terkesiap. Jantungnya melonjak panik.

Langit dari balik jendela sudah gelap. Ia rupanya tertidur cukup lama, hingga si kecil menjerit memanggil. Bayi mungil itu pasti lapar lagi. Leo mengusap wajahnya, lalu bangkit cepat, menunduk ke dalam box bayi. 

"Matteo ... Sayang ... shhh, Papa di sini ..." bisiknya lembut untuk menenangkan si bayi.

Namun Matteo terus menjerit histeris. Wajahnya memerah, tangan-tangan kecilnya berhasil menyembul keluar dari bedongan, mengoyak udara dengan napas memburu.

Dalam kepanikannya, ia coba mengingat yang sempat diajarkan perawat—tentang cara menggendong bayi. Dengan hati-hati, ia menyelipkan satu tangan di belakang kepala Matteo, satu lagi menyangga punggung dan bokongnya. Ia mengangkat bayi itu perlahan ke pelukannya.

"Pelan-pelan, pelan-pelan ... Papa nggak akan jatuhin kamu," lirihnya, lebih kepada dirinya sendiri.

Matteo masih menangis sejadi-jadinya.

Leo bergegas mengambil botol susu dari atas nakas, membuka salah satunya secara acak, dan menyodorkannya ke mulut si kecil. Tapi bayi itu menggeleng, menepis dengan gerakan resah. Tangisannya tak berhenti, bahkan semakin menjadi-jadi.

Leo terduduk di tepi ranjang, memeluk Matteo yang terus meraung. Suaranya pecah.

"Zoya … bayi ini butuh ASI …" ucapnya nyaris seperti rintihan. "Bagaimana dia bisa mendapatkannya … kalau kamu nggak ada lagi di dunia ini?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
eonnira
klo denger bayi nangis kejer gt tak tega sy pak Le
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Cepat panggil damkar eh naynay
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Kasihan Mateo haus itu ....piye Asine ??
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 230

    Adrian melesat di lorong rumah sakit seperti bayangan yang dikejar suara sendiri. Langkahnya cepat, nyaris berlari, kepala menunduk, napasnya tak beraturan. Setiap detik terasa terlalu panjang, setiap lampu lorong seperti mata yang mengawasi.Begitu pintu darurat tertutup di belakangnya, udara malam menghantam wajahnya. Ia menyambar helm, menyalakan motor besar itu tanpa ragu. Suara mesin menggeram rendah—lalu melengking—seolah ikut memuntahkan amarah yang ia pendam. Adrian melaju, membelah malam, meninggalkan rumah sakit.Dadanya berdebar kencang. Iri. Dengki. Dua perasaan itu bergantian menghantam, menutup ruang bagi sepercik rasa bersalah. Wajah Matilda sempat melintas, tapi cepat ia tepis. Ia malah memilih mengingat hal yang lain. Nama Leo. CEO Graha Utama. Sepupu yang ia anggap terlalu beruntung.Namun suara Matilda kembali bergulung di telinganya, makin lama makin jelas.“Apa nggak kepikiran buka praktik sendiri, Dri?”“Aunty punya tanah di Surabaya…”Adrian menggertakkan gigi.

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 229

    Rumah sudah tenang ketika Nayla dan Leo akhirnya berbaring. Lampu kamar diredupkan, menyisakan cahaya hangat dari lampu tidur di sisi ranjang. Leo menghela napas panjang, seperti baru saja menurunkan batu tak kasatmata dari kepalanya—seharian rapat yang berlapis-lapis membuat pelipisnya berdenyut.Ia meraih Nayla, mendekat tanpa kata. Bibirnya menyentuh leher Nayla, mencium pelan aroma sabun mewah yang masih tertinggal di kulit istrinya. Hangat, akrab, dan sangat menenangkan. Nayla memejamkan mata, membiarkan Leo berlama-lama di sana.Tangan Leo menyusup ke balik kain lingerie hitam Nayla. Merayapi pinggang wanitanya yang ramping, dan merambat naik menyusuri rusuknya sebelum meremas lembut dadanya. Nayla menahan napas. Sentuhan-sentuhan Leo selalu memabukkan dirinya.Namun ketika Leo mengangkat wajahnya dan bibir mereka hampir bertemu, Nayla mendadak menegang.“Aku mual, Leo…” ucapnya lirih.Leo segera menarik wajahnya, alisnya berkerut. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan, meng

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 228

    Jarum suntik telah menembus selang infus. Tekanan kecil sudah diberikan—nyaris tak terlihat—saat cairan bening itu mulai bergerak, bercampur perlahan dengan aliran yang seharusnya menyelamatkan. Lalu suara itu terdengar. “Adrian…” Gumaman pelan, serak, seperti nama yang tak sadar terseret keluar dari mimpi. Tangan pria itu membeku. Jarinya refleks melepas tekanan. Napasnya tersangkut di tenggorokan, dadanya naik turun satu kali. Ia menurunkan tangan perlahan, seolah takut suara sekecil apa pun bisa merobek keadaan. Di ranjang, kelopak mata Matilda bergerak. Tak sepenuhnya terbuka, tapi cukup hidup untuk mengenali. “Adrian, kan?” suara itu lirih, namun pasti. “Kamu mau jenguk Aunty, ya?” Tak ada jawaban. Matilda tersenyum tipis, senyum orang tua yang mengenali anaknya bahkan dalam gelap. “Kok diam? Malu ya jenguk nenek-nenek,” katanya pelan. “Biar kamu nggak pakai seragam dokter, muka ditutup masker, jaket gede... Aunty bisa tahu itu kamu... bukan demit." Ia menelan ludah, na

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 227

    Sore itu, lantai praktik dokter anak terasa lebih riuh dari biasanya. Kursi tunggu penuh, nomor antrean terus bertambah, dan suara panggilan pasien bersahut-sahutan dari balik pintu-pintu ruang periksa lain.“Dokter Adrian sudah datang?” tanya seorang perawat sambil menenteng papan jadwal.Perawat lain menggeleng. “Belum. Jam praktiknya sudah lewat lima belas menit nih."Mereka berpencar. Satu mengecek ruang dokter, satu lagi ke ruang istirahat, sementara yang lain menyusuri lorong menuju nurse station. Nama Adrian disebut berulang, namun jawabannya selalu sama—tidak ada yang lihat.“Aneh,” gumam perawat senior. “Tadi aku sempet lihat dia masih jalan-jalan di lobi. Malah kayaknya sempat ngobrol sebentar sama Ners Dede di dekat lift.”“Terus?” Perawat itu mengernyit. “Dia ke mana sekarang? Masa pulang?"Belum sempat kebingungan itu berujung kepanikan, seorang perawat lain datang tergesa. “Maaf lupa info, aku ketemu Dokter Adrian setengah jam lalu,” katanya cepat. “Dia bilang harus pula

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 226

    Menjelang sore, langkah kaki Leo terdengar tergesa di lorong rumah sakit. Setibanya di depan kamar perawatan VVIP, ia berhenti sejenak—menarik napas dalam, mengatur ekspresi."Kata Nayla nggak boleh kelihatan panik… tarik napas… buang napas…" gumamnya dalam hati, sebelum akhirnya mendorong pintu dengan senyum selebar harapan orang tua.“Mama…” sapa Leo sambil menenteng dua bungkusan besar di kedua tangannya.Matilda yang sejak tadi sebenarnya sudah terjaga—namun memilih pura-pura tidur karena masih menyimpan kekesalan kecil—membuka satu mata, lalu menutupnya lagi dengan dengusan halus.“Mama… mama…” tirunya. “Senyum kamu lebar banget. Senang, ya, lihat mama rebahan di ranjang rumah sakit?”Leo terkekeh hambar. “Baru datang sudah kena omel. Leo senang kalau mama sehat, Ma.”“Mama itu selalu sehat,” sahut Matilda cepat. “Kalian saja yang berlebihan.”Senyum di wajah Leo perlahan surut. Bahunya mengendur sedikit. Ada rasa bersalah yang tak sempat ia sembunyikan—karena telalu keras melara

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 225

    Tirai krem terpasang rapi, sofa empuk berjajar di sisi dinding, dan jendela besar memperlihatkan langit siang yang pucat. Matilda duduk setengah bersandar di ranjang kamar perawatan rumah sakit, punggungnya disangga bantal tebal. Bibirnya manyun, alisnya berkerut—ekspresi merasa dipenjara tanpa alasan jelas.“Aduh… pelan-pelan dong, Sus,” protesnya saat perawat mulai memasang infus di lengannya. “Orang saya nggak sakit, kok, pakai diinfus segala.” Ia melirik tajam ke arah Nayla. “Nayla, cepat telepon Leo. Mama pengen marahin dia banget.”Di sudut ruangan, Nayla berdiri dengan ponsel di tangan. Ia melirik layar, lalu menekan nomor Leo sekali lagi. Nada sambung terdengar—sekali, dua kali, tiga kali—namun tak kunjung diangkat. Nayla menghela napas pelan, memaksa dirinya tetap tenang. Leo sudah bilang tadi pagi kalau hari ini ia penuh jadwal rapat, berpindah dari satu ruang meeting ke ruang lainnya.Perawat itu tersenyum sabar. “Tarik napas panjang ya, Bu. Biar infusnya cepat masuk.”Mati

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status