LOGIN"Baiklah, sepertinya aku harus pamit dulu," ujar Adrian sambil melirik jam tangannya. "Masih ada jadwal praktik, dan operasi caesar ... oh ya, perawat ini juga harus balik jaga ke ruang NICU." Adrian memberi kode kepada perawat, lalu menepuk pelan bahu Leo. "Kalau ada apa-apa segera hubungi aku, ya."
"Thanks, Dri ..." balas Leo, pandangannya tetap tertuju ke dalam box bayi dengan wajah murah. "Aku juga harus pergi, Leo." Arlene menghela napas berat. "Papih minta aku dateng ke kantor. Besok mau ada peresmian hotel baru di Bali." Ia tersenyum kecil. "By the way, papih masih suka nanyain kamu, lho. Kapan-kapan kita dinner bareng, ya?" Leo menoleh, lalu mengangguk singkat. “Salam buat papih, Lene.” Saat mereka hampir mencapai pintu, Adrian berbalik. "Oh ya, Leo. Sudah ada nama bayi? Perawat harus mencatatnya di buku kesehatan." Leo menunduk sebentar, menatap wajah mungil yang seputih kapas. Jujur saja, sejak ia menginjakkan kaki kembali di Jakarta dan mendengar kabar bahwa Zoya telah tiada, tak sedetik pun ia sempat berpikir soal nama bayi. "Dia ... nama dia ..." Leo menelan ludah, ada gejolak aneh yang muncul dari dada ke tenggorokannya. "Matteo ... Matteo Utama." Adrian tersenyum kecil, matanya turut menatap box bayi. "Nice name. Dia memang pemberian dari Tuhan untukmu." Begitu pintu kamar tertutup, Leo merasa sunyi menyergap dari segala penjuru. Ruangan itu terasa lebih besar dari sebelumnya… dan lebih dingin. Leo memindahkan sebuah kursi kecil ke dekat box bayi, duduk dan menghembuskan napas panjang. *** Sehari yang lalu, Leo sedang bersiap untuk rapat besar bersama investor dari Berlin. Jasnya sudah rapi, dasinya terikat sempurna, dan asistennya berdiri di ambang pintu, memeluk laptop yang memuat data penting. Tiket emas bagi ekspansi perusahaannya. Segalanya sudah diatur dengan sempurna. Namun, semua itu buyar saat ponselnya menyala dan nama Zoya muncul di layar. Leo mengangkat telepon. “Sayang, aku—” Tapi suaranya terpotong oleh suara gemetar di ujung sana. "Sayang… perut aku sakit banget. Aku mau melahirkan ..." Darah Leo seolah berhenti mengalir. “Zoya? Kamu di rumah, kan?!" risaunya. "Aku... udah di rumah sakit. Supir yang nganter. Leo..." suaranya tercekat, "...aku takut." Leo tak butuh waktu untuk berpikir. Ia segera meraih tas kerjanya. "Aku pulang sekarang!" tegasnya, lalu menutup telepon tanpa menunggu jawaban. Ia segera meninggalkan gedung, membatalkan rapat yang sudah dinantikan selama berbulan-bulan. Asistennya mengejar, kebingungan, tetapi Leo hanya menjawab pendek. "Istriku mau melahirkan." Beberapa menit kemudian, ia sudah berada di bandara. Ponsel di tangannya tak lepas dari genggaman, namun tidak ada kabar susulan dari Zoya. Ia terus berjalan bolak-balik di ruang tunggu, dadanya sesak. Hingga sebuah pengumuman sukses melucuti segenap kesabarannya."Penerbangan ke Jakarta mengalami keterlambatan karena cuaca buruk. Kami mohon maaf atas ketidaknyamanannya." Leo mengumpat keras, lalu berjalan menghampiri meja informasi dengan langkah panjang dan penuh amarah. "Delay?! Sampai kapan?!" bentaknya pada petugas maskapai. "Saya harus terbang sekarang. Istri saya akan melahirkan! Dia sendirian di sana!” Leo memukul meja dengan kepalan tangan. Penyesalan menghimpit dadanya. Andai saja ia tidak bersikeras terbang ke luar negeri demi proyek barunya. Andai saja ia lebih memilih menemani Zoya dalam suka maupun duka, seperti janjinya di depan altar dulu. Andai saja ... "Aarrggh! Sialan!" Leo menjambak rambutnya, frustasi. Nafasnya memburu, dadanya naik turun, dan semua penantian ini terasa seperti hukuman paling kejam dalam hidupnya. Hampir tengah malam saat roda pesawat menyentuh landasan Bandara Soekarno-Hatta. Langit Jakarta gelap dan gerimis tipis membasahi kaca jendela. Leo segera berlari kecil menyusuri lorong kedatangan, detak jantungnya berkejaran dengan waktu. Ia meraih ponsel. Puluhan notifikasi berdesakan di layar ponsel. Belasan panggilan tak terjawab. Beberapa pesan dari Adrian tertera di antaranya. Leo membuka pesan yang muncul paling atas."Leo, selamat! Kamu sudah jadi ayah. Tapi, bisa nggak kamu pulang sekarang? Zoya ... maafkan aku ... Zoya tidak tertolong." Langkah Leo terhenti. Jantungnya seolah diremas dari dalam. Dunia mendadak hening di tengah hiruk-pikuk bandara. Ia memejamkan mata. Bahunya gemetar. Satu tetes air mata bergulir dari sudut matanya, jatuh ke ujung sepatunya. Dalam benaknya, potongan demi potongan kenangan menyerbu tanpa ampun. Saat Zoya tertawa bahagia begitu mengetahui jenis kelamin bayi mereka. Ia memeluk erat Leo sambil berseru, "Aku akan punya dua manusia tampan dalam hidupku!". Zoya yang setiap malam memeluk perutnya sambil menggumamkan lullaby song ciptaannya sendiri—katanya agar si kecil mengenali suara ibunya sejak dalam kandungan. Dan Leo… Ia malah memilih bercumbu dengan angka-angka di layar dan ruangan rapat berlapis marmer. Leo tenggelam dalam penyesalan terburuk yang pernah ia rasakan seumur hidup.Namun, lamunan itu buyar oleh tangisan nyaring yang memekakkan telinga. Ia terkesiap. Jantungnya melonjak panik.
Langit dari balik jendela sudah gelap. Ia rupanya tertidur cukup lama, hingga si kecil menjerit memanggil. Bayi mungil itu pasti lapar lagi. Leo mengusap wajahnya, lalu bangkit cepat, menunduk ke dalam box bayi. "Matteo ... Sayang ... shhh, Papa di sini ..." bisiknya lembut untuk menenangkan si bayi. Namun Matteo terus menjerit histeris. Wajahnya memerah, tangan-tangan kecilnya berhasil menyembul keluar dari bedongan, mengoyak udara dengan napas memburu. Dalam kepanikannya, ia coba mengingat yang sempat diajarkan perawat—tentang cara menggendong bayi. Dengan hati-hati, ia menyelipkan satu tangan di belakang kepala Matteo, satu lagi menyangga punggung dan bokongnya. Ia mengangkat bayi itu perlahan ke pelukannya. "Pelan-pelan, pelan-pelan ... Papa nggak akan jatuhin kamu," lirihnya, lebih kepada dirinya sendiri. Matteo masih menangis sejadi-jadinya. Leo bergegas mengambil botol susu dari atas nakas, membuka salah satunya secara acak, dan menyodorkannya ke mulut si kecil. Tapi bayi itu menggeleng, menepis dengan gerakan resah. Tangisannya tak berhenti, bahkan semakin menjadi-jadi. Leo terduduk di tepi ranjang, memeluk Matteo yang terus meraung. Suaranya pecah. "Zoya … bayi ini butuh ASI …" ucapnya nyaris seperti rintihan. "Bagaimana dia bisa mendapatkannya … kalau kamu nggak ada lagi di dunia ini?"BRUK! Nayla menjatuhkan diri ke ranjang, wajahnya terbenam di bantal. Tangis yang sejak tadi ia tahan meledak juga. Isakannya terputus-putus, menggetarkan tubuhnya yang menggigil. Semua suara di luar lenyap. Yang tersisa hanya suara tangis dan deru napasnya yang tak teratur. “Kenapa sih…?!” suaranya parau, dan jengkel luar biasa, tenggelam di kain bantal yang kini basah oleh air mata. “Kenapa aku harus lahir, kalau orang-orang jahatin aku semua. Nggak... nggak semua, tapi banyak... banyak yang jahatin aku. Huu..." Nayla tersedu hebat. Mungkin dia sudah pernah menjadi ibu, sudah pernah menyusui, dan tahu melayani suami. Tapi tetap saja jiwanya baru dua puluh tahun, dan baru keluar kampung. Dia masih lugu, masih polos. Dan, fakta yang baru saja diungkapkan Tommy benar-benar membuatnya sakit dari hati, kepala sampai sebadan-badan. Nayla melihat hidupnya seperti siklus penderitaan yang tak pernah berhenti. Baru saja ia belajar mempercayai seseorang—membuka hatinya sedikit saja—semesta
Kepala Nayla berdenyut hebat. Dunia di sekitarnya seakan berputar—lampu ruang tengah terasa terlalu terang, napasnya terlalu pendek, dan detak jantungnya menggema seperti palu di dada. Ia menatap nanar foto di tangannya, tapi pandangannya kabur, nyaris gelap. Kata-kata Tommy tadi terus menggema di telinganya, satu per satu seperti jarum menusuk. Ia ingin menangis, tapi air matanya membeku. Leo masih duduk di sampingnya, wajahnya tegang, pikirannya berputar oleh semua yang baru saja diungkapkan Tommy. Ia tak menyangka—pria tua di hadapannya itulah ternyata yang paling berdosa atas semua luka Nayla selama ini. Luka yang kini, di depan matanya, mulai menganga lagi. Tommy menunduk dalam, wajah tuanya penuh keriput penyesalan. Setiap helaan napas terdengar berat, seperti pengakuan dosa yang datang terlambat. Ketika Leo akhirnya bersuara—mungkin dengan maksud menenangkan—ia malah memecahkan pertahanan Nayla. “Nay… kamu nggak pengin tahu, sekarang ibu kamu di mana?” Seketika Nayla berdi
Sementara itu, di pelataran yang jauh dari hiruk-pikuk kota, seorang bayi mungil berambut hitam berkilau, berlari kecil sambil tertawa renyah, jatuh-bangun di atas hamparan rumput hijau yang masih berembun.“Eh… pelan, Nay… pelan,” suara lembut seorang wanita terdengar menembus sejuknya udara pagi. Sumiarti—wanita berusia tiga puluhan dengan daster batik yang mulai pudar warnanya—bergegas menghampiri, lalu mengangkat bayi itu ke pangkuannya.“Wah, anak pintar. Jatuh tapi nggak nangis, ya?” ujarnya sambil mengusap lutut mungil yang sedikit kotor tanah.Bayi itu menatapnya dengan mata cokelat bening—warna yang jarang sekali ia lihat di kampung kecil itu. Tatapan polos itu seolah menembus hati Sumiarti, menghangatkan ruang kosong di hidupnya yang lama sunyi.“Nayla…” gumamnya lirih, menatap wajah mungil itu penuh kasih.Hanya nama itu yang tersisa dari ibu kandung bayi itu—nama yang kini memenuhi rumah dan hatinya dengan tawa kecil setiap pagi. Ia tahu, cepat atau lambat akan ada seseora
Beberapa minggu kemudian, ia mengajak Lucienne ke Indonesia, ke vila barunya di pelosok desa yang sejuk dan tenang. Lucienne tampak bahagia di sana, menatap hijaunya pepohonan dan mencium wangi tubuh bayinya yang baru lahir.Suatu sore di teras vila yang diterpa angin lembut dari dedaunan, Tommy duduk di samping putrinya. Senja berwarna keemasan membalut wajah mereka, memantulkan cahaya lembut di mata Lucienne yang tengah memangku bayinya.“Lucienne,” suara Tommy terdengar lebih lembut dari biasanya. “Papa ingin kamu melanjutkan sekolahmu. Hidupmu belum berakhir, Sayang. Kamu mau?”Lucienne mengangkat wajah, menatap ayahnya dengan mata yang berbinar penuh harap. “Pa… tentu saja aku mau. Aku belum melupakan cita-citaku jadi dokter.”Senyumnya merekah, polos, seperti anak kecil yang baru saja diampuni setelah berbuat salah.Tommy mengangguk pelan, menatap jauh ke arah sawah. “Papa hanya ingin masa depanmu lebih baik, Luci. Kau gadis pintar, Papa tahu itu.”Lucienne tersenyum lega—hingga
"S-saya… saya…” Nayla menoleh ke arah Leo, matanya penuh kebingungan dan gugup. Matilda yang duduk di seberang mereka tersadar akan ketegangan di meja maka, dan segera memecahkan ketegangan dengan menepuk tangannya. “Eh, sudah makan dulu. Nanti baru kita ngobrol-ngobrol setelahnya.” Ia menoleh ke arah ruang tengah, tempat Surti yang lebih memilih menikmati makan malam sambil menjaga Matteo. “Tiii… Surti! Kita punya buah apa di kulkas?” “Iya, Bu!” sahut Surti dari kejauhan, buru-buru menandaskan sendok terakhirnya. “Kita punya anggur sama semangka, Bu. Udah dipotong juga!” “Bagus, nanti tolong bawa ke ruang tengah, ya,” kata Matilda, mencoba menahan senyum canggung sebelum melanjutkan suapannya. Beberapa belas menit kemudian, suasana sudah mencair. Mereka berpindah ke ruang tengah. Surti datang dengan nampan berisi mangkuk buah potong dan salad buah, lalu duduk di kursi dekat Matteo yang sudah mulai menggeliat. Matilda langsung menyambar cucunya, mengangkat Matteo tinggi-tinggi sam
“Se-selamat malam, Mama Mat...” sapa Surti, menyambut Matilda sambil sedikit membungkuk.Matilda tersenyum hangat. "Formal banget, Ti. Nayla sama Matteo mana?" tanyanya."Oh, mereka masih siap-siap di kamar. Pak Leo juga sudah pulang, ada di kamar," sahut Surti, melirik pria beruban yang masih terlihat tampan di belakang Matilda."Dasar anak muda, kalau siap-siap pasti lama. Kami tunggu saja di..." Hidung Matilda seketika mengendus-endus, matanya menyipit. "Ini bau apa, Ti?""Bau? Bau apa?" Surti ikut mengendus-endus. "Astaga! Perkedel jagung gosong!" Ia sontak berlari lagi ke dapur."Ya ampun, Ti! Matiin kompor sekarang, mandi kamu! Bau bawang!" seru Matilda.Tommy tertawa kecil di belakang Matilda, suaranya berat tapi berwibawa. “Rumah kamu hangat ya, Matilda. Suasana yang aku rindukan."“Ya begitulah, Tom. Selalu ada-ada saja kelakuan mereka" ujar Matilda ikut tertawa. "Kita tunggu di sana saja, Tom."Matilda dan Tommy kemudian duduk di ruang tengah. Pria tua itu tersenyum seolah m







