Share

BAB 6

Author: Fredy_
last update Last Updated: 2025-06-18 20:55:12

Tangis Matteo menggema di seantero kamar, memantul dari dinding ke dinding seperti gema luka yang menyesakkan dada. Leo mondar-mandir, mendekap bayinya erat di dada, meninabobokan dengan pelan, menepuk-nepuk punggung kecil itu dengan lembut, tapi Matteo tak juga diam.

"Shhh… Theo, Sayang ... Papa di sini … tenang ya… shhh…"

Napas Leo memburu, peluh membasahi pelipisnya. Ia kembali menyodorkan dot, tapi Matteo malah tersedak, membuat kekacauan semakin menjadi-jadi. Wajah mungil itu memerah, teriakan tangisnya menusuk gendang telinga, mengiris dada.

Leo menatap jam dinding yang berdetak halus. Sudah lewat pukul tujuh malam.

Dalam kepanikan yang semakin melumpuhkan akal sehatnya, ia teringat kalimat Adrian sebelum pergi siang tadi, "Kalau ada apa-apa, segera telepon aku."

Tanpa pikir panjang, Leo meraih ponsel dari meja nakas dan menekan nama Dokter Adrian. Ia menempelkan ponsel ke telinga sambil tetap mengayun pelan tubuh kecil Matteo.

Nada sambung terdengar.

Sekali.

Dua kali.

Tiga kali.

Tak juga diangkat.

Leo mencak-mencak sendiri, "Angkat, Dri! Come on!" erangnya.

Ia menekan tombol panggil lagi, kali ini sambil berjalan ke jendela, berharap udara malam bisa sedikit menurunkan kadar paniknya. Namun, nada sambung hanya terus berdengung tanpa jawaban.

"Telepon yang anda hubungi berada di luar jangkauan."

"Brengsek!" Leo mengumpat frustasi.

Di pelukannya, tangan kecil Matteo meninju dadanya, seolah mengingatkan dirinya untuk menjaga kata-kata, karna sekarang ia sudah menjadi seorang ayah.

Leo menutup telepon dengan gerakan lemas. Tangis Matteo tak kunjung reda—semakin lama, semakin mengiris-iris bilik hatinya. Leo menatap Matteo dengan mata berkaca-kaca.

Dalam upaya terakhir, ia memejamkan mata, mencoba mengingat—apa pun yang bisa menenangkan seorang bayi. Lalu, perlahan, kenangan itu menyeruak dari balik ingatannya.

Zoya.

Malam itu, sepulang kerja, Leo mendapati istrinya duduk bersila di sofa. Membelai perutnya yang membuncit sambil menyenandungkan lagu-lagi yang dia ciptakan sendiri.

"Anakku sayang ... selamat malam sayang ... di langit penuh bintang ... tidur yang tenang ..."

Melodi sederhana yang dinyanyikan dengan penuh cinta. Leo ingat bait lagu itu. Dan, tanpa sadar, ia ikut mengulang-ulang lagu itu. Meskipun suaranya pas-pasan, nyaris tak berirama, tapi ia tetap menyanyikannya dengan segenap hati.

"... tidur tenang sayang ... papa menemani ..."

Tangisan Matteo mereda. Bayi tampan itu menoleh, seolah mencari arah suara. Matanya yang sembab berkedutan, bibirnya bergetar kecil.

Leo terkesiap. Haru menyeruak dalam dadanya. Ia tersenyum samar, lalu melanjutkan bait lagu yang keluar begitu saja dari ingatannya. Namun ketika suaranya mulai gugup, kehilangan kata-kata, Matteo kembali menangis. Tidak sekencang tadi, tapi bayi itu seperti menyadari kalau suara yang ia dengar ... bukan milik ibunya.

Leo tertegun. Napasnya tercekat. Tangannya menggendong erat tubuh kecil itu. Ia menoleh ke dinding, ke arah bingkai besar berisi foto pernikahan mereka terpajang. Dalam foto itu, Zoya tersenyum dalam balutan gaun putih berkilau, senyumnya lembut, matanya menatap Leo dengan cinta tak bersyarat.

"Aku… aku nggak bisa, Zoya ..." bisik Leo, suaranya pecah. "Aku nggak tahu cara jadi ayah… tanpamu."

Lalu, entah kenapa, seberkas bayangan muncul dalam pikirannya. Wajah seorang gadis muda, yang sempat melarang perawat untuk mengambil bayinya, karena belum cukup menyusu.

Leo terkesiap.

Ia refleks menoleh ke arah pintu. Bersamaan dengan itu suara Arlene siang tadi menyelinap ke benaknya—tentang anak sepersusuan—membuat Leo bimbang. Tetapi tangisan Matteo menghantam keras dinding hatinya.

Cukup.

Leo tak sanggup lagi mendengar tangisan bayinya. Dengan gerakan cepat, ia meletakkan Matteo kembali ke dalam box. Tangannya gemetar saat menyelimuti tubuh mungil itu.

"Tunggu sebentar, Sayang … Papa tau yang kamu mau ..."

Leo segera berbalik. Masih mengenakan setelan yang tadi pagi dipakai ke pemakaman, ia berlari menuruni tangga. Di anak tangga ketiga, ia nyaris tergelincir. Detak jantungnya menggedor keras. Keringat dingin membasahi tengkuk. Begitu mencapai lantai bawah, ia menyambar kunci mobil, membuka pintu rumah, dan menerobos keluar ke dalam gelapnya malam.

"Pak Dirman! Pak Dirman!"

Satpam yang sedang berdiri di ambang pintu pos, memunggungi Leo, langsung berbalik. "Siap, Pak Leo! Ada yang bisa saya bantu?" sahutnya.

Leo terengah-engah, berkata, "Pak… tadi siang… ada dua perempuan datang ke rumah saya. Satu gemuk ... satunya kurus, rambut panjang, wajah pucat, tahi lalat di bawah bibir, can ..." Leo terjeda. "Apa bapak kenal? Saya butuh info tentang mereka, alamat, nama lengkap, apa saja, Pak. Tolong ..."

Pak Dirman tampak bingung, keningnya berkerut sesaat sebelum ia menunjuk ke arah pos di belakangnya.

"Wanita ... Maksud bapak ... dia?" tanyanya ragu.

Leo menajamkan matanya—dan jantungnya seperti berhenti berdetak. Di sana, tepat di bawah lampu pos yang redup, berdiri sosok yang sejak tadi tertanam benaknya. 

"Nayla ..." bisiknya, seketika ingat nama gadis itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
lagi up kk
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Loh itu naynay kayak Kunti aja Tiba2 muncul ke rumah Leo,seperti tau aja kalo Matteo nangis kejer .. Eh ...tapi kalo ibu menyusui emang merasa kalo bayi nya laper kan ?
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Laah ...Leo gimana main tinggal aja itu Matteo ,kalo sawan itu bayi gimana ?? masa iya sekaya Leo g ada baby sitter nya ???
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 230

    Adrian melesat di lorong rumah sakit seperti bayangan yang dikejar suara sendiri. Langkahnya cepat, nyaris berlari, kepala menunduk, napasnya tak beraturan. Setiap detik terasa terlalu panjang, setiap lampu lorong seperti mata yang mengawasi.Begitu pintu darurat tertutup di belakangnya, udara malam menghantam wajahnya. Ia menyambar helm, menyalakan motor besar itu tanpa ragu. Suara mesin menggeram rendah—lalu melengking—seolah ikut memuntahkan amarah yang ia pendam. Adrian melaju, membelah malam, meninggalkan rumah sakit.Dadanya berdebar kencang. Iri. Dengki. Dua perasaan itu bergantian menghantam, menutup ruang bagi sepercik rasa bersalah. Wajah Matilda sempat melintas, tapi cepat ia tepis. Ia malah memilih mengingat hal yang lain. Nama Leo. CEO Graha Utama. Sepupu yang ia anggap terlalu beruntung.Namun suara Matilda kembali bergulung di telinganya, makin lama makin jelas.“Apa nggak kepikiran buka praktik sendiri, Dri?”“Aunty punya tanah di Surabaya…”Adrian menggertakkan gigi.

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 229

    Rumah sudah tenang ketika Nayla dan Leo akhirnya berbaring. Lampu kamar diredupkan, menyisakan cahaya hangat dari lampu tidur di sisi ranjang. Leo menghela napas panjang, seperti baru saja menurunkan batu tak kasatmata dari kepalanya—seharian rapat yang berlapis-lapis membuat pelipisnya berdenyut.Ia meraih Nayla, mendekat tanpa kata. Bibirnya menyentuh leher Nayla, mencium pelan aroma sabun mewah yang masih tertinggal di kulit istrinya. Hangat, akrab, dan sangat menenangkan. Nayla memejamkan mata, membiarkan Leo berlama-lama di sana.Tangan Leo menyusup ke balik kain lingerie hitam Nayla. Merayapi pinggang wanitanya yang ramping, dan merambat naik menyusuri rusuknya sebelum meremas lembut dadanya. Nayla menahan napas. Sentuhan-sentuhan Leo selalu memabukkan dirinya.Namun ketika Leo mengangkat wajahnya dan bibir mereka hampir bertemu, Nayla mendadak menegang.“Aku mual, Leo…” ucapnya lirih.Leo segera menarik wajahnya, alisnya berkerut. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan, meng

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 228

    Jarum suntik telah menembus selang infus. Tekanan kecil sudah diberikan—nyaris tak terlihat—saat cairan bening itu mulai bergerak, bercampur perlahan dengan aliran yang seharusnya menyelamatkan. Lalu suara itu terdengar. “Adrian…” Gumaman pelan, serak, seperti nama yang tak sadar terseret keluar dari mimpi. Tangan pria itu membeku. Jarinya refleks melepas tekanan. Napasnya tersangkut di tenggorokan, dadanya naik turun satu kali. Ia menurunkan tangan perlahan, seolah takut suara sekecil apa pun bisa merobek keadaan. Di ranjang, kelopak mata Matilda bergerak. Tak sepenuhnya terbuka, tapi cukup hidup untuk mengenali. “Adrian, kan?” suara itu lirih, namun pasti. “Kamu mau jenguk Aunty, ya?” Tak ada jawaban. Matilda tersenyum tipis, senyum orang tua yang mengenali anaknya bahkan dalam gelap. “Kok diam? Malu ya jenguk nenek-nenek,” katanya pelan. “Biar kamu nggak pakai seragam dokter, muka ditutup masker, jaket gede... Aunty bisa tahu itu kamu... bukan demit." Ia menelan ludah, na

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 227

    Sore itu, lantai praktik dokter anak terasa lebih riuh dari biasanya. Kursi tunggu penuh, nomor antrean terus bertambah, dan suara panggilan pasien bersahut-sahutan dari balik pintu-pintu ruang periksa lain.“Dokter Adrian sudah datang?” tanya seorang perawat sambil menenteng papan jadwal.Perawat lain menggeleng. “Belum. Jam praktiknya sudah lewat lima belas menit nih."Mereka berpencar. Satu mengecek ruang dokter, satu lagi ke ruang istirahat, sementara yang lain menyusuri lorong menuju nurse station. Nama Adrian disebut berulang, namun jawabannya selalu sama—tidak ada yang lihat.“Aneh,” gumam perawat senior. “Tadi aku sempet lihat dia masih jalan-jalan di lobi. Malah kayaknya sempat ngobrol sebentar sama Ners Dede di dekat lift.”“Terus?” Perawat itu mengernyit. “Dia ke mana sekarang? Masa pulang?"Belum sempat kebingungan itu berujung kepanikan, seorang perawat lain datang tergesa. “Maaf lupa info, aku ketemu Dokter Adrian setengah jam lalu,” katanya cepat. “Dia bilang harus pula

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 226

    Menjelang sore, langkah kaki Leo terdengar tergesa di lorong rumah sakit. Setibanya di depan kamar perawatan VVIP, ia berhenti sejenak—menarik napas dalam, mengatur ekspresi."Kata Nayla nggak boleh kelihatan panik… tarik napas… buang napas…" gumamnya dalam hati, sebelum akhirnya mendorong pintu dengan senyum selebar harapan orang tua.“Mama…” sapa Leo sambil menenteng dua bungkusan besar di kedua tangannya.Matilda yang sejak tadi sebenarnya sudah terjaga—namun memilih pura-pura tidur karena masih menyimpan kekesalan kecil—membuka satu mata, lalu menutupnya lagi dengan dengusan halus.“Mama… mama…” tirunya. “Senyum kamu lebar banget. Senang, ya, lihat mama rebahan di ranjang rumah sakit?”Leo terkekeh hambar. “Baru datang sudah kena omel. Leo senang kalau mama sehat, Ma.”“Mama itu selalu sehat,” sahut Matilda cepat. “Kalian saja yang berlebihan.”Senyum di wajah Leo perlahan surut. Bahunya mengendur sedikit. Ada rasa bersalah yang tak sempat ia sembunyikan—karena telalu keras melara

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 225

    Tirai krem terpasang rapi, sofa empuk berjajar di sisi dinding, dan jendela besar memperlihatkan langit siang yang pucat. Matilda duduk setengah bersandar di ranjang kamar perawatan rumah sakit, punggungnya disangga bantal tebal. Bibirnya manyun, alisnya berkerut—ekspresi merasa dipenjara tanpa alasan jelas.“Aduh… pelan-pelan dong, Sus,” protesnya saat perawat mulai memasang infus di lengannya. “Orang saya nggak sakit, kok, pakai diinfus segala.” Ia melirik tajam ke arah Nayla. “Nayla, cepat telepon Leo. Mama pengen marahin dia banget.”Di sudut ruangan, Nayla berdiri dengan ponsel di tangan. Ia melirik layar, lalu menekan nomor Leo sekali lagi. Nada sambung terdengar—sekali, dua kali, tiga kali—namun tak kunjung diangkat. Nayla menghela napas pelan, memaksa dirinya tetap tenang. Leo sudah bilang tadi pagi kalau hari ini ia penuh jadwal rapat, berpindah dari satu ruang meeting ke ruang lainnya.Perawat itu tersenyum sabar. “Tarik napas panjang ya, Bu. Biar infusnya cepat masuk.”Mati

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status