Tangis Matteo menggema di seantero kamar, memantul dari dinding ke dinding seperti gema luka yang menyesakkan dada. Leo mondar-mandir, mendekap bayinya erat di dada, meninabobokan dengan pelan, menepuk-nepuk punggung kecil itu dengan lembut, tapi Matteo tak juga diam.
"Shhh… Theo, Sayang ... Papa di sini … tenang ya… shhh…" Napas Leo memburu, peluh membasahi pelipisnya. Ia kembali menyodorkan dot, tapi Matteo malah tersedak, membuat kekacauan semakin menjadi-jadi. Wajah mungil itu memerah, teriakan tangisnya menusuk gendang telinga, mengiris dada. Leo menatap jam dinding yang berdetak halus. Sudah lewat pukul tujuh malam. Dalam kepanikan yang semakin melumpuhkan akal sehatnya, ia teringat kalimat Adrian sebelum pergi siang tadi, "Kalau ada apa-apa, segera telepon aku." Tanpa pikir panjang, Leo meraih ponsel dari meja nakas dan menekan nama Dokter Adrian. Ia menempelkan ponsel ke telinga sambil tetap mengayun pelan tubuh kecil Matteo. Nada sambung terdengar. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Tak juga diangkat. Leo mencak-mencak sendiri, "Angkat, Dri! Come on!" erangnya. Ia menekan tombol panggil lagi, kali ini sambil berjalan ke jendela, berharap udara malam bisa sedikit menurunkan kadar paniknya. Namun, nada sambung hanya terus berdengung tanpa jawaban. "Telepon yang anda hubungi berada di luar jangkauan." "Brengsek!" Leo mengumpat frustasi. Di pelukannya, tangan kecil Matteo meninju dadanya, seolah mengingatkan dirinya untuk menjaga kata-kata, karna sekarang ia sudah menjadi seorang ayah. Leo menutup telepon dengan gerakan lemas. Tangis Matteo tak kunjung reda—semakin lama, semakin mengiris-iris bilik hatinya. Leo menatap Matteo dengan mata berkaca-kaca. Dalam upaya terakhir, ia memejamkan mata, mencoba mengingat—apa pun yang bisa menenangkan seorang bayi. Lalu, perlahan, kenangan itu menyeruak dari balik ingatannya. Zoya. Malam itu, sepulang kerja, Leo mendapati istrinya duduk bersila di sofa. Membelai perutnya yang membuncit sambil menyenandungkan lagu-lagi yang dia ciptakan sendiri. "Anakku sayang ... selamat malam sayang ... di langit penuh bintang ... tidur yang tenang ..." Melodi sederhana yang dinyanyikan dengan penuh cinta. Leo ingat bait lagu itu. Dan, tanpa sadar, ia ikut mengulang-ulang lagu itu. Meskipun suaranya pas-pasan, nyaris tak berirama, tapi ia tetap menyanyikannya dengan segenap hati. "... tidur tenang sayang ... papa menemani ..." Tangisan Matteo mereda. Bayi tampan itu menoleh, seolah mencari arah suara. Matanya yang sembab berkedutan, bibirnya bergetar kecil. Leo terkesiap. Haru menyeruak dalam dadanya. Ia tersenyum samar, lalu melanjutkan bait lagu yang keluar begitu saja dari ingatannya. Namun ketika suaranya mulai gugup, kehilangan kata-kata, Matteo kembali menangis. Tidak sekencang tadi, tapi bayi itu seperti menyadari kalau suara yang ia dengar ... bukan milik ibunya. Leo tertegun. Napasnya tercekat. Tangannya menggendong erat tubuh kecil itu. Ia menoleh ke dinding, ke arah bingkai besar berisi foto pernikahan mereka terpajang. Dalam foto itu, Zoya tersenyum dalam balutan gaun putih berkilau, senyumnya lembut, matanya menatap Leo dengan cinta tak bersyarat. "Aku… aku nggak bisa, Zoya ..." bisik Leo, suaranya pecah. "Aku nggak tahu cara jadi ayah… tanpamu." Lalu, entah kenapa, seberkas bayangan muncul dalam pikirannya. Wajah seorang gadis muda, yang sempat melarang perawat untuk mengambil bayinya, karena belum cukup menyusu. Leo terkesiap. Ia refleks menoleh ke arah pintu. Bersamaan dengan itu suara Arlene siang tadi menyelinap ke benaknya—tentang anak sepersusuan—membuat Leo bimbang. Tetapi tangisan Matteo menghantam keras dinding hatinya. Cukup. Leo tak sanggup lagi mendengar tangisan bayinya. Dengan gerakan cepat, ia meletakkan Matteo kembali ke dalam box. Tangannya gemetar saat menyelimuti tubuh mungil itu."Tunggu sebentar, Sayang … Papa tau yang kamu mau ..."
Leo segera berbalik. Masih mengenakan setelan yang tadi pagi dipakai ke pemakaman, ia berlari menuruni tangga. Di anak tangga ketiga, ia nyaris tergelincir. Detak jantungnya menggedor keras. Keringat dingin membasahi tengkuk. Begitu mencapai lantai bawah, ia menyambar kunci mobil, membuka pintu rumah, dan menerobos keluar ke dalam gelapnya malam. "Pak Dirman! Pak Dirman!" Satpam yang sedang berdiri di ambang pintu pos, memunggungi Leo, langsung berbalik. "Siap, Pak Leo! Ada yang bisa saya bantu?" sahutnya. Leo terengah-engah, berkata, "Pak… tadi siang… ada dua perempuan datang ke rumah saya. Satu gemuk ... satunya kurus, rambut panjang, wajah pucat, tahi lalat di bawah bibir, can ..." Leo terjeda. "Apa bapak kenal? Saya butuh info tentang mereka, alamat, nama lengkap, apa saja, Pak. Tolong ..." Pak Dirman tampak bingung, keningnya berkerut sesaat sebelum ia menunjuk ke arah pos di belakangnya. "Wanita ... Maksud bapak ... dia?" tanyanya ragu. Leo menajamkan matanya—dan jantungnya seperti berhenti berdetak. Di sana, tepat di bawah lampu pos yang redup, berdiri sosok yang sejak tadi tertanam benaknya. "Nayla ..." bisiknya, seketika ingat nama gadis itu.Beberapa jam sebelumnya ...Nayla duduk termangu di sofa ruang tamu rumah Ibu Lilis. Tubuhnya lelah, namun pikirannya tak bisa diam. Sambil menyesap teh hangat yang dibuatkan oleh tuan rumah, ia hanya menatap kosong ke dinding. Di seberangnya, Surti sibuk menjelaskan yang terjadi di rumah Zoya kepada Ibu Lilis."Titip ya, Bu Lilis. Sementara aja. Saya juga lagi tanya-tanya, siapa tau ada tetangga deket rumah majikan saya yang butuh pembantu. Ibu kalau dapet duluan, langsung kasih tau Nayla aja. Dia mau kerja apa aja kok," ucap Surti, setengah memohon.Bu Lilis mengangguk, lalu membuka buku catatan usang yang ia bawa ke mana-mana. Jari-jarinya dengan cepat menelusuri lembaran halaman penuh tulisan tangan."Iya, Ti. Nggak apa-apa. Kemaren sih ada yang minta cariin pembantu harian buat nyuci sama nyetrika. Ibu telpon dulu, ya. Mudah-mudahan masih kosong.""Iya, Bu. Makasih banget nih ..." Surti menunduk singkat, lalu berdiri dan merapikan tasnya.Ia menoleh ke arah Nayla, mengusap pundak
Tangis Matteo menggema di seantero kamar, memantul dari dinding ke dinding seperti gema luka yang menyesakkan dada. Leo mondar-mandir, mendekap bayinya erat di dada, meninabobokan dengan pelan, menepuk-nepuk punggung kecil itu dengan lembut, tapi Matteo tak juga diam. "Shhh… Theo, Sayang ... Papa di sini … tenang ya… shhh…" Napas Leo memburu, peluh membasahi pelipisnya. Ia kembali menyodorkan dot, tapi Matteo malah tersedak, membuat kekacauan semakin menjadi-jadi. Wajah mungil itu memerah, teriakan tangisnya menusuk gendang telinga, mengiris dada. Leo menatap jam dinding yang berdetak halus. Sudah lewat pukul tujuh malam. Dalam kepanikan yang semakin melumpuhkan akal sehatnya, ia teringat kalimat Adrian sebelum pergi siang tadi, "Kalau ada apa-apa, segera telepon aku." Tanpa pikir panjang, Leo meraih ponsel dari meja nakas dan menekan nama Dokter Adrian. Ia menempelkan ponsel ke telinga sambil tetap mengayun pelan tubuh kecil Matteo. Nada sambung terdengar. Sekali. Dua kali.
"Baiklah, sepertinya aku harus pamit dulu," ujar Adrian sambil melirik jam tangannya. "Masih ada jadwal praktik, dan operasi caesar ... oh ya, perawat ini juga harus balik jaga ke ruang NICU." Adrian memberi kode kepada perawat, lalu menepuk pelan bahu Leo. "Kalau ada apa-apa segera hubungi aku, ya.""Thanks, Dri ..." balas Leo, pandangannya tetap tertuju ke dalam box bayi dengan wajah murah."Aku juga harus pergi, Leo." Arlene menghela napas berat. "Papih minta aku dateng ke kantor. Besok mau ada peresmian hotel baru di Bali." Ia tersenyum kecil. "By the way, papih masih suka nanyain kamu, lho. Kapan-kapan kita dinner bareng, ya?"Leo menoleh, lalu mengangguk singkat. “Salam buat papih, Lene.”Saat mereka hampir mencapai pintu, Adrian berbalik. "Oh ya, Leo. Sudah ada nama bayi? Perawat harus mencatatnya di buku kesehatan."Leo menunduk sebentar, menatap wajah mungil yang seputih kapas. Jujur saja, sejak ia menginjakkan kaki kembali di Jakarta dan mendengar kabar bahwa Zoya telah tiad
Leo tak bergerak, masih mengeraskan rahangnya."Ah, well ... kamu temenin Leo dulu, Len. Aku mau urus bayinya," ucap Adrian, segera mendekati perawat yang sedang menenangkan bayi. "Kenapa dia nangis terus? Suhu tubuhnya udah dicek? Udah minum susu? Saya periksa dulu."Perawat mengangguk, menyerahkan bayi itu hati-hati."Suhu tubuh normal, Dok. Tapi dia nolak semua susu formula. Tadi sih dia sempat tenang ...setelah disusui oleh ibu itu." Ia menunjuk Nayla di pojok ruangan."Ibu? Ibu itu? Dia siapa?" tanya Adrian.Nayla berdiri canggung, wajahnya tegang. Ia seolah ingin menghilang ke lubang kelinci."YA AMPUN, NAYLA!!!" teriak Surti, menyibak tubuh Arlene dan Leo yang berdiri di ambang pintu. Ia menyerbu masuk dengan wajah merah padam."Udah aku bilang tunggu di halaman belakang. Kenapa masuk ke sini? Kamu bikin aku malu, Nay! Malu!" bisiknya penuh tekanan.Arlene mendengus, mengangkat alis tinggi. "Leo, mereka siapa? Pembantu baru?"Surti menundu-nunduk. "Maaf ... Saya mohon maaf, Pak
Bayi itu memiringkan kepala pelan, merespon kehadiran Nayla. Matanya belum benar-benar terbuka, tapi bibirnya... terus mengecap, mengarah ke tangan Nayla yang gemetar di tepi keranjang. Seolah tahu, kalau sosok yang ditunggu akhirnya datang.Di sisi lain ruangan, perawat masih sibuk menelepon. Dunia Nayla terasa berhenti. Tak ada suara lain yang masuk selain detak jantungnya sendiri yang berpacu cepat. Lalu, dengan gerakan perlahan, Nayla menyelipkan kedua tangannya ke bawah tubuh mungil itu. Ia mengangkat bayi itu ke pelukannya. Begitu hangat. Begitu rapuh. Ringan... tapi terasa berat di dada.Bayi itu meringkuk, seakan langsung mengenal aroma tubuh Nayla. Tangannya yang kecil mencengkeram udara. Dia tidak menangis. Tidak gelisah. Hanya... keheningan yang begitu damai di antara mereka.Naluri keibuan mengambil alih seluruh tubuh Nayla. Ia membawa bayi itu duduk di tepi ranjang, dan membuka kancing atas blus-nya perlahan, serta memeluk bayi itu ke dadanya. Tanpa ragu, ia menuruti nalu
Halaman belakang rumah itu menyambut mereka dengan suasana yang berbeda. Lantai batu abu muda yang bersih, lampu taman kecil yang tertanam rapi di sepanjang jalur, dan sebuah bangku taman terletak di bawah pohon kamboja. Yang paling mencolok bagi Nayla, deretan koleksi bonsai dalam pot-pot batu bergaya klasik.Nayla memandangi barisan bonsai itu. Teringat koleksi bonsainya yang ada di vila. Setiap pohon kecil itu ia rawat sendiri dengan telaten, disiram setiap pagi, bahkan diberi nama satu per satu.Nama? Nayla tertegun melihat sebuah tanaman bonsai yang terdapat ukiran nama di potnya. Inul, batinnya. Dulu, ia juga pernah menamai bonsainya dengan nama yang sama, karena batangnya yang meliuk-liuk seperti sedang bergoyang."Nay, sini!" panggil Surti menepuk bangku taman, sambil meroboh ponsel jadulnya dari kantong celana. "Duduk dulu. Aku mau telpon Bu Lilis."Nayla menurut. Ia melangkah pelan ke arah bangku dan duduk di ujungnya, matanya masih melirik ke arah bonsai. Sementara itu, Sur