LOGINNayla duduk termangu di sofa ruang tamu rumah Ibu Lilis. Tubuhnya lelah, namun pikirannya tak bisa diam. Sambil menyesap teh hangat yang dibuatkan oleh tuan rumah, ia hanya menatap kosong ke dinding. Di seberangnya, Surti sibuk menjelaskan yang terjadi di rumah Zoya kepada Ibu Lilis.
"Titip ya, Bu Lilis. Sementara aja. Saya juga lagi tanya-tanya, siapa tau ada tetangga deket rumah majikan saya yang butuh pembantu. Ibu kalau dapet duluan, langsung kasih tau Nayla aja. Dia mau kerja apa aja kok," ucap Surti, setengah memohon. Bu Lilis mengangguk, lalu membuka buku catatan usang yang ia bawa ke mana-mana. Jari-jarinya dengan cepat menelusuri lembaran halaman penuh tulisan tangan. "Iya, Ti. Nggak apa-apa. Kemaren sih ada yang minta cariin pembantu harian buat nyuci sama nyetrika. Ibu telpon dulu, ya. Mudah-mudahan masih kosong." "Iya, Bu. Makasih banget nih ..." Surti menunduk singkat, lalu berdiri dan merapikan tasnya. Ia menoleh ke arah Nayla, mengusap pundaknya lembut. "Nanay, aku pamit dulu ya. Majikan aku bisa ngamuk kalau malem aku belum pulang." Surti menyelipkan selembar uang lima puluh ribu ke tangan Nayla. "Nih, buat beli makan. Jangan ngerepotin Bu Lilis. Jaga diri baik-baik." "Makasih ya, Ti ..." ucap Nayla pelan, hatinya masih tidak tenang sedikit pun. Bayangan wajah mungil bayi lelaki yang tadi siang ia peluk, tangisnya yang nyaring, masih menggema di kepalanya. Sejak siang, suara itu tak kunjung hilang, malah semakin menusuk. Nayla menunduk, menggenggam erat uang pemberian Surti. Dadanya terasa sesak. Ibu Lilis terus sibuk menelepon. Berjalan bolak-balik dari ruang tengah ke depan jendela, masuk ke kamar, lalu menghilang di balik tirai dapur. Nayla bisa menatap kosong, pikirannya melayang jauh. Lalu, matanya tertumbuk pada buku catatan milik Bu Lilis yang tergeletak di atas meja. Seketika dadanya berdebar. Ia menoleh kanan kiri, memastikan keadaan. Perlahan, ia meraih buku itu. Jemarinya bergetar saat membalik halaman buku, menyusuri tulisan tangan yang berjejal acak-acakan. Hingga ia menemukan satu nama yang tak asing. Ibu Zoya - Cluster Victory. Alamat lengkap tertera tepat di bawahnya. Nayla menelan ludah. Matanya tak berkedip menatap nama itu. Tanpa pikir panjang, ia menyobek halaman buku itu, melipatnya kecil-kecil, dan menyelipkan ke dalam kantong rok. Tak sampai lima menit kemudian, Nayla segera bangkit, mengendap ke luar rumah. Dengan napas berkejaran dan hati berdebar hebat, ia melangkah cepat meninggalkan gang sempit tempat tinggal Bu Lilis. *** Sore itu, jalanan kota mulai padat oleh pekerja yang baru pulang kantor, saat Nayla turun dari angkot di pertigaan jalan. Dengan hanya berbekal selembar uang lima puluh ribu dan secarik kertas alamat, untuk kedua kalinya ia melewati gerbang komplek mewah itu. Napasnya tercekat saat menatap pagar besi tinggi rumah yang sama. Megah. Mewah. Dan dipenuhi karangan bunga penuh kepedihan. Takut-takut, Ia mendekat ke pos satpam dan mengetuk kaca jendelanya. Pak Dirman mengintip dari balik gelas kopinya yang mengepulkan uap panas. Alisnya langsung berkerut saat mengenali sosok yang berdiri lelah di depan pos. "Eh, kamu datang lagi? Di suruh Lilis, ya? Nggak usah. Rumah udah saya beresin sendirian, nyampe sakit pinggang nih." Pak Dirman menggosok pinggangnya. "Kamu pulang aja sana." "Maaf, Pak. Tapi ...saya ke sini ... saya cuma mau lihat bayinya sebentar. Soalnya ... saya ... kepikiran ..." ucap Nayla gugup, tangan meremas kantong roknya. Pak Dirman menurunkan gelas kopinya, menatap curiga. "Bayi? Bayinya Pak Leo? Kamu mau apa? Pak Leo sama bayinya udah tidur. Capek. Seharian tamu banyak banget." "Saya cuma ... cuma mau memastikan kalau ... kalau dia baik-baik saja, Pak ..." suara Nayla bergetar. Pak Dirman mendengus. "Halah! Nggak masuk akal. Sudah sana pergi! Jangan cari perkara." "Tolong, Pak ..." lirih Nayla. Matanya mulai berkaca-kaca. "Keras kepala kamu, ya. Ya udah, kamu tunggu aja di pos sampe Pak Leo keluar. Saya nggak berani ganggu, saya masih butuh kerja di sini," ujar Pak Dirman keluar dari pos, memberi jalan dengan enggan. Namun baru saja Nayla hendak duduk, terdengar suara jeritan bayi memecah keheningan. "Pak ... itu suara bayi nangis, kan?" Pak Dirman segera berdiri menghadang ambang pintu pos. "Eh, jangan macam-macam kamu! Pak Leo pasti bisa nenangin bayinya. Dia kan bapaknya." Tapi Nayla seolah tidak mendengar perkataan Pak Dirman. Tangannya gemetar, tubuhnya menegang. Jeritan kecil yang memanggil dari kejauhan itu terasa seperti panah yang menghunjam langsung ke jantungnya. Sejurus kemudian, terdengar langkah kaki tergesa-gesa dari arah rumah. Kemudian, pintu utama terbuka lebar dan Leo muncul dengan wajah kacau, memanggil Pak Dirman dengan suara lantang. Satpam itu sigap menghampiri. Mereka berbicara dengan raut tegang. "Maksud bapak ... dia?" Pak Dirman menunjuk ke dalam pos. Leo menajamkan pandangannya. Mulutnya membisikkan nama yang seketika muncul dalam ingatannya. Dan, tanpa ragu sedikit pun, tubuhnya melesat ke arah pos, mendekati Nayla, langsung menggenggam lengan gadis itu. "Ikut saya!" ucapnya tanpa basa-basi. "Matteo... dia butuh kamu ..." Nayla terpaku. Napasnya tercekat, merasakan genggaman tangan Leo yang dingin dan gemetar.BRUK! Nayla menjatuhkan diri ke ranjang, wajahnya terbenam di bantal. Tangis yang sejak tadi ia tahan meledak juga. Isakannya terputus-putus, menggetarkan tubuhnya yang menggigil. Semua suara di luar lenyap. Yang tersisa hanya suara tangis dan deru napasnya yang tak teratur. “Kenapa sih…?!” suaranya parau, dan jengkel luar biasa, tenggelam di kain bantal yang kini basah oleh air mata. “Kenapa aku harus lahir, kalau orang-orang jahatin aku semua. Nggak... nggak semua, tapi banyak... banyak yang jahatin aku. Huu..." Nayla tersedu hebat. Mungkin dia sudah pernah menjadi ibu, sudah pernah menyusui, dan tahu melayani suami. Tapi tetap saja jiwanya baru dua puluh tahun, dan baru keluar kampung. Dia masih lugu, masih polos. Dan, fakta yang baru saja diungkapkan Tommy benar-benar membuatnya sakit dari hati, kepala sampai sebadan-badan. Nayla melihat hidupnya seperti siklus penderitaan yang tak pernah berhenti. Baru saja ia belajar mempercayai seseorang—membuka hatinya sedikit saja—semesta
Kepala Nayla berdenyut hebat. Dunia di sekitarnya seakan berputar—lampu ruang tengah terasa terlalu terang, napasnya terlalu pendek, dan detak jantungnya menggema seperti palu di dada. Ia menatap nanar foto di tangannya, tapi pandangannya kabur, nyaris gelap. Kata-kata Tommy tadi terus menggema di telinganya, satu per satu seperti jarum menusuk. Ia ingin menangis, tapi air matanya membeku. Leo masih duduk di sampingnya, wajahnya tegang, pikirannya berputar oleh semua yang baru saja diungkapkan Tommy. Ia tak menyangka—pria tua di hadapannya itulah ternyata yang paling berdosa atas semua luka Nayla selama ini. Luka yang kini, di depan matanya, mulai menganga lagi. Tommy menunduk dalam, wajah tuanya penuh keriput penyesalan. Setiap helaan napas terdengar berat, seperti pengakuan dosa yang datang terlambat. Ketika Leo akhirnya bersuara—mungkin dengan maksud menenangkan—ia malah memecahkan pertahanan Nayla. “Nay… kamu nggak pengin tahu, sekarang ibu kamu di mana?” Seketika Nayla berdi
Sementara itu, di pelataran yang jauh dari hiruk-pikuk kota, seorang bayi mungil berambut hitam berkilau, berlari kecil sambil tertawa renyah, jatuh-bangun di atas hamparan rumput hijau yang masih berembun.“Eh… pelan, Nay… pelan,” suara lembut seorang wanita terdengar menembus sejuknya udara pagi. Sumiarti—wanita berusia tiga puluhan dengan daster batik yang mulai pudar warnanya—bergegas menghampiri, lalu mengangkat bayi itu ke pangkuannya.“Wah, anak pintar. Jatuh tapi nggak nangis, ya?” ujarnya sambil mengusap lutut mungil yang sedikit kotor tanah.Bayi itu menatapnya dengan mata cokelat bening—warna yang jarang sekali ia lihat di kampung kecil itu. Tatapan polos itu seolah menembus hati Sumiarti, menghangatkan ruang kosong di hidupnya yang lama sunyi.“Nayla…” gumamnya lirih, menatap wajah mungil itu penuh kasih.Hanya nama itu yang tersisa dari ibu kandung bayi itu—nama yang kini memenuhi rumah dan hatinya dengan tawa kecil setiap pagi. Ia tahu, cepat atau lambat akan ada seseora
Beberapa minggu kemudian, ia mengajak Lucienne ke Indonesia, ke vila barunya di pelosok desa yang sejuk dan tenang. Lucienne tampak bahagia di sana, menatap hijaunya pepohonan dan mencium wangi tubuh bayinya yang baru lahir.Suatu sore di teras vila yang diterpa angin lembut dari dedaunan, Tommy duduk di samping putrinya. Senja berwarna keemasan membalut wajah mereka, memantulkan cahaya lembut di mata Lucienne yang tengah memangku bayinya.“Lucienne,” suara Tommy terdengar lebih lembut dari biasanya. “Papa ingin kamu melanjutkan sekolahmu. Hidupmu belum berakhir, Sayang. Kamu mau?”Lucienne mengangkat wajah, menatap ayahnya dengan mata yang berbinar penuh harap. “Pa… tentu saja aku mau. Aku belum melupakan cita-citaku jadi dokter.”Senyumnya merekah, polos, seperti anak kecil yang baru saja diampuni setelah berbuat salah.Tommy mengangguk pelan, menatap jauh ke arah sawah. “Papa hanya ingin masa depanmu lebih baik, Luci. Kau gadis pintar, Papa tahu itu.”Lucienne tersenyum lega—hingga
"S-saya… saya…” Nayla menoleh ke arah Leo, matanya penuh kebingungan dan gugup. Matilda yang duduk di seberang mereka tersadar akan ketegangan di meja maka, dan segera memecahkan ketegangan dengan menepuk tangannya. “Eh, sudah makan dulu. Nanti baru kita ngobrol-ngobrol setelahnya.” Ia menoleh ke arah ruang tengah, tempat Surti yang lebih memilih menikmati makan malam sambil menjaga Matteo. “Tiii… Surti! Kita punya buah apa di kulkas?” “Iya, Bu!” sahut Surti dari kejauhan, buru-buru menandaskan sendok terakhirnya. “Kita punya anggur sama semangka, Bu. Udah dipotong juga!” “Bagus, nanti tolong bawa ke ruang tengah, ya,” kata Matilda, mencoba menahan senyum canggung sebelum melanjutkan suapannya. Beberapa belas menit kemudian, suasana sudah mencair. Mereka berpindah ke ruang tengah. Surti datang dengan nampan berisi mangkuk buah potong dan salad buah, lalu duduk di kursi dekat Matteo yang sudah mulai menggeliat. Matilda langsung menyambar cucunya, mengangkat Matteo tinggi-tinggi sam
“Se-selamat malam, Mama Mat...” sapa Surti, menyambut Matilda sambil sedikit membungkuk.Matilda tersenyum hangat. "Formal banget, Ti. Nayla sama Matteo mana?" tanyanya."Oh, mereka masih siap-siap di kamar. Pak Leo juga sudah pulang, ada di kamar," sahut Surti, melirik pria beruban yang masih terlihat tampan di belakang Matilda."Dasar anak muda, kalau siap-siap pasti lama. Kami tunggu saja di..." Hidung Matilda seketika mengendus-endus, matanya menyipit. "Ini bau apa, Ti?""Bau? Bau apa?" Surti ikut mengendus-endus. "Astaga! Perkedel jagung gosong!" Ia sontak berlari lagi ke dapur."Ya ampun, Ti! Matiin kompor sekarang, mandi kamu! Bau bawang!" seru Matilda.Tommy tertawa kecil di belakang Matilda, suaranya berat tapi berwibawa. “Rumah kamu hangat ya, Matilda. Suasana yang aku rindukan."“Ya begitulah, Tom. Selalu ada-ada saja kelakuan mereka" ujar Matilda ikut tertawa. "Kita tunggu di sana saja, Tom."Matilda dan Tommy kemudian duduk di ruang tengah. Pria tua itu tersenyum seolah m







