Share

BAB 7

Author: Fredy_
last update Last Updated: 2025-06-26 10:10:00

Nayla duduk termangu di sofa ruang tamu rumah Ibu Lilis. Tubuhnya lelah, namun pikirannya tak bisa diam. Sambil menyesap teh hangat yang dibuatkan oleh tuan rumah, ia hanya menatap kosong ke dinding. Di seberangnya, Surti sibuk menjelaskan yang terjadi di rumah Zoya kepada Ibu Lilis.

"Titip ya, Bu Lilis. Sementara aja. Saya juga lagi tanya-tanya, siapa tau ada tetangga deket rumah majikan saya yang butuh pembantu. Ibu kalau dapet duluan, langsung kasih tau Nayla aja. Dia mau kerja apa aja kok," ucap Surti, setengah memohon.

Bu Lilis mengangguk, lalu membuka buku catatan usang yang ia bawa ke mana-mana. Jari-jarinya dengan cepat menelusuri lembaran halaman penuh tulisan tangan.

"Iya, Ti. Nggak apa-apa. Kemaren sih ada yang minta cariin pembantu harian buat nyuci sama nyetrika. Ibu telpon dulu, ya. Mudah-mudahan masih kosong."

"Iya, Bu. Makasih banget nih ..." Surti menunduk singkat, lalu berdiri dan merapikan tasnya.

Ia menoleh ke arah Nayla, mengusap pundaknya lembut.

"Nanay, aku pamit dulu ya. Majikan aku bisa ngamuk kalau malem aku belum pulang." Surti menyelipkan selembar uang lima puluh ribu ke tangan Nayla. "Nih, buat beli makan. Jangan ngerepotin Bu Lilis. Jaga diri baik-baik."

"Makasih ya, Ti ..." ucap Nayla pelan, hatinya masih tidak tenang sedikit pun.

Bayangan wajah mungil bayi lelaki yang tadi siang ia peluk, tangisnya yang nyaring, masih menggema di kepalanya. Sejak siang, suara itu tak kunjung hilang, malah semakin menusuk.

Nayla menunduk, menggenggam erat uang pemberian Surti. Dadanya terasa sesak.

Ibu Lilis terus sibuk menelepon. Berjalan bolak-balik dari ruang tengah ke depan jendela, masuk ke kamar, lalu menghilang di balik tirai dapur. Nayla bisa menatap kosong, pikirannya melayang jauh.

Lalu, matanya tertumbuk pada buku catatan milik Bu Lilis yang tergeletak di atas meja. Seketika dadanya berdebar. Ia menoleh kanan kiri, memastikan keadaan. Perlahan, ia meraih buku itu. Jemarinya bergetar saat membalik halaman buku, menyusuri tulisan tangan yang berjejal acak-acakan. Hingga ia menemukan satu nama yang tak asing.

Ibu Zoya - Cluster Victory.

Alamat lengkap tertera tepat di bawahnya.

Nayla menelan ludah. Matanya tak berkedip menatap nama itu. Tanpa pikir panjang, ia menyobek halaman buku itu, melipatnya kecil-kecil, dan menyelipkan ke dalam kantong rok.

Tak sampai lima menit kemudian, Nayla segera bangkit, mengendap ke luar rumah. Dengan napas berkejaran dan hati berdebar hebat, ia melangkah cepat meninggalkan gang sempit tempat tinggal Bu Lilis.

***

Sore itu, jalanan kota mulai padat oleh pekerja yang baru pulang kantor, saat Nayla turun dari angkot di pertigaan jalan. Dengan hanya berbekal selembar uang lima puluh ribu dan secarik kertas alamat, untuk kedua kalinya ia melewati gerbang komplek mewah itu.

Napasnya tercekat saat menatap pagar besi tinggi rumah yang sama. Megah. Mewah. Dan dipenuhi karangan bunga penuh kepedihan. Takut-takut, Ia mendekat ke pos satpam dan mengetuk kaca jendelanya.

Pak Dirman mengintip dari balik gelas kopinya yang mengepulkan uap panas. Alisnya langsung berkerut saat mengenali sosok yang berdiri lelah di depan pos.

"Eh, kamu datang lagi? Di suruh Lilis, ya? Nggak usah. Rumah udah saya beresin sendirian, nyampe sakit pinggang nih." Pak Dirman menggosok pinggangnya. "Kamu pulang aja sana."

"Maaf, Pak. Tapi ...saya ke sini ... saya cuma mau lihat bayinya sebentar. Soalnya ... saya ... kepikiran ..." ucap Nayla gugup, tangan meremas kantong roknya.

Pak Dirman menurunkan gelas kopinya, menatap curiga. "Bayi? Bayinya Pak Leo? Kamu mau apa? Pak Leo sama bayinya udah tidur. Capek. Seharian tamu banyak banget."

"Saya cuma ... cuma mau memastikan kalau ... kalau dia baik-baik saja, Pak ..." suara Nayla bergetar.

Pak Dirman mendengus. "Halah! Nggak masuk akal. Sudah sana pergi! Jangan cari perkara."

"Tolong, Pak ..." lirih Nayla. Matanya mulai berkaca-kaca.

"Keras kepala kamu, ya. Ya udah, kamu tunggu aja di pos sampe Pak Leo keluar. Saya nggak berani ganggu, saya masih butuh kerja di sini," ujar Pak Dirman keluar dari pos, memberi jalan dengan enggan.

Namun baru saja Nayla hendak duduk, terdengar suara jeritan bayi memecah keheningan. "Pak ... itu suara bayi nangis, kan?"

Pak Dirman segera berdiri menghadang ambang pintu pos. "Eh, jangan macam-macam kamu! Pak Leo pasti bisa nenangin bayinya. Dia kan bapaknya."

Tapi Nayla seolah tidak mendengar perkataan Pak Dirman. Tangannya gemetar, tubuhnya menegang. Jeritan kecil yang memanggil dari kejauhan itu terasa seperti panah yang menghunjam langsung ke jantungnya.

Sejurus kemudian, terdengar langkah kaki tergesa-gesa dari arah rumah. Kemudian, pintu utama terbuka lebar dan Leo muncul dengan wajah kacau, memanggil Pak Dirman dengan suara lantang. Satpam itu sigap menghampiri. Mereka berbicara dengan raut tegang.

"Maksud bapak ... dia?" Pak Dirman menunjuk ke dalam pos.

Leo menajamkan pandangannya. Mulutnya membisikkan nama yang seketika muncul dalam ingatannya. Dan, tanpa ragu sedikit pun, tubuhnya melesat ke arah pos, mendekati Nayla, langsung menggenggam lengan gadis itu. 

"Ikut saya!" ucapnya tanpa basa-basi. "Matteo... dia butuh kamu ..."

Nayla terpaku. Napasnya tercekat, merasakan genggaman tangan Leo yang dingin dan gemetar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Intan Azzura
semoga Leo jatuh cinta sama Nayla
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
untung Leo mau bawa Nayla masuk rumah
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Nah ..naynay datang ke rumah leo.karems kepikiran sama Matteo , Jadi antara Nayla dan baby Matteo ada kontak batin
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 230

    Adrian melesat di lorong rumah sakit seperti bayangan yang dikejar suara sendiri. Langkahnya cepat, nyaris berlari, kepala menunduk, napasnya tak beraturan. Setiap detik terasa terlalu panjang, setiap lampu lorong seperti mata yang mengawasi.Begitu pintu darurat tertutup di belakangnya, udara malam menghantam wajahnya. Ia menyambar helm, menyalakan motor besar itu tanpa ragu. Suara mesin menggeram rendah—lalu melengking—seolah ikut memuntahkan amarah yang ia pendam. Adrian melaju, membelah malam, meninggalkan rumah sakit.Dadanya berdebar kencang. Iri. Dengki. Dua perasaan itu bergantian menghantam, menutup ruang bagi sepercik rasa bersalah. Wajah Matilda sempat melintas, tapi cepat ia tepis. Ia malah memilih mengingat hal yang lain. Nama Leo. CEO Graha Utama. Sepupu yang ia anggap terlalu beruntung.Namun suara Matilda kembali bergulung di telinganya, makin lama makin jelas.“Apa nggak kepikiran buka praktik sendiri, Dri?”“Aunty punya tanah di Surabaya…”Adrian menggertakkan gigi.

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 229

    Rumah sudah tenang ketika Nayla dan Leo akhirnya berbaring. Lampu kamar diredupkan, menyisakan cahaya hangat dari lampu tidur di sisi ranjang. Leo menghela napas panjang, seperti baru saja menurunkan batu tak kasatmata dari kepalanya—seharian rapat yang berlapis-lapis membuat pelipisnya berdenyut.Ia meraih Nayla, mendekat tanpa kata. Bibirnya menyentuh leher Nayla, mencium pelan aroma sabun mewah yang masih tertinggal di kulit istrinya. Hangat, akrab, dan sangat menenangkan. Nayla memejamkan mata, membiarkan Leo berlama-lama di sana.Tangan Leo menyusup ke balik kain lingerie hitam Nayla. Merayapi pinggang wanitanya yang ramping, dan merambat naik menyusuri rusuknya sebelum meremas lembut dadanya. Nayla menahan napas. Sentuhan-sentuhan Leo selalu memabukkan dirinya.Namun ketika Leo mengangkat wajahnya dan bibir mereka hampir bertemu, Nayla mendadak menegang.“Aku mual, Leo…” ucapnya lirih.Leo segera menarik wajahnya, alisnya berkerut. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan, meng

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 228

    Jarum suntik telah menembus selang infus. Tekanan kecil sudah diberikan—nyaris tak terlihat—saat cairan bening itu mulai bergerak, bercampur perlahan dengan aliran yang seharusnya menyelamatkan. Lalu suara itu terdengar. “Adrian…” Gumaman pelan, serak, seperti nama yang tak sadar terseret keluar dari mimpi. Tangan pria itu membeku. Jarinya refleks melepas tekanan. Napasnya tersangkut di tenggorokan, dadanya naik turun satu kali. Ia menurunkan tangan perlahan, seolah takut suara sekecil apa pun bisa merobek keadaan. Di ranjang, kelopak mata Matilda bergerak. Tak sepenuhnya terbuka, tapi cukup hidup untuk mengenali. “Adrian, kan?” suara itu lirih, namun pasti. “Kamu mau jenguk Aunty, ya?” Tak ada jawaban. Matilda tersenyum tipis, senyum orang tua yang mengenali anaknya bahkan dalam gelap. “Kok diam? Malu ya jenguk nenek-nenek,” katanya pelan. “Biar kamu nggak pakai seragam dokter, muka ditutup masker, jaket gede... Aunty bisa tahu itu kamu... bukan demit." Ia menelan ludah, na

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 227

    Sore itu, lantai praktik dokter anak terasa lebih riuh dari biasanya. Kursi tunggu penuh, nomor antrean terus bertambah, dan suara panggilan pasien bersahut-sahutan dari balik pintu-pintu ruang periksa lain.“Dokter Adrian sudah datang?” tanya seorang perawat sambil menenteng papan jadwal.Perawat lain menggeleng. “Belum. Jam praktiknya sudah lewat lima belas menit nih."Mereka berpencar. Satu mengecek ruang dokter, satu lagi ke ruang istirahat, sementara yang lain menyusuri lorong menuju nurse station. Nama Adrian disebut berulang, namun jawabannya selalu sama—tidak ada yang lihat.“Aneh,” gumam perawat senior. “Tadi aku sempet lihat dia masih jalan-jalan di lobi. Malah kayaknya sempat ngobrol sebentar sama Ners Dede di dekat lift.”“Terus?” Perawat itu mengernyit. “Dia ke mana sekarang? Masa pulang?"Belum sempat kebingungan itu berujung kepanikan, seorang perawat lain datang tergesa. “Maaf lupa info, aku ketemu Dokter Adrian setengah jam lalu,” katanya cepat. “Dia bilang harus pula

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 226

    Menjelang sore, langkah kaki Leo terdengar tergesa di lorong rumah sakit. Setibanya di depan kamar perawatan VVIP, ia berhenti sejenak—menarik napas dalam, mengatur ekspresi."Kata Nayla nggak boleh kelihatan panik… tarik napas… buang napas…" gumamnya dalam hati, sebelum akhirnya mendorong pintu dengan senyum selebar harapan orang tua.“Mama…” sapa Leo sambil menenteng dua bungkusan besar di kedua tangannya.Matilda yang sejak tadi sebenarnya sudah terjaga—namun memilih pura-pura tidur karena masih menyimpan kekesalan kecil—membuka satu mata, lalu menutupnya lagi dengan dengusan halus.“Mama… mama…” tirunya. “Senyum kamu lebar banget. Senang, ya, lihat mama rebahan di ranjang rumah sakit?”Leo terkekeh hambar. “Baru datang sudah kena omel. Leo senang kalau mama sehat, Ma.”“Mama itu selalu sehat,” sahut Matilda cepat. “Kalian saja yang berlebihan.”Senyum di wajah Leo perlahan surut. Bahunya mengendur sedikit. Ada rasa bersalah yang tak sempat ia sembunyikan—karena telalu keras melara

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 225

    Tirai krem terpasang rapi, sofa empuk berjajar di sisi dinding, dan jendela besar memperlihatkan langit siang yang pucat. Matilda duduk setengah bersandar di ranjang kamar perawatan rumah sakit, punggungnya disangga bantal tebal. Bibirnya manyun, alisnya berkerut—ekspresi merasa dipenjara tanpa alasan jelas.“Aduh… pelan-pelan dong, Sus,” protesnya saat perawat mulai memasang infus di lengannya. “Orang saya nggak sakit, kok, pakai diinfus segala.” Ia melirik tajam ke arah Nayla. “Nayla, cepat telepon Leo. Mama pengen marahin dia banget.”Di sudut ruangan, Nayla berdiri dengan ponsel di tangan. Ia melirik layar, lalu menekan nomor Leo sekali lagi. Nada sambung terdengar—sekali, dua kali, tiga kali—namun tak kunjung diangkat. Nayla menghela napas pelan, memaksa dirinya tetap tenang. Leo sudah bilang tadi pagi kalau hari ini ia penuh jadwal rapat, berpindah dari satu ruang meeting ke ruang lainnya.Perawat itu tersenyum sabar. “Tarik napas panjang ya, Bu. Biar infusnya cepat masuk.”Mati

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status