LOGINNayla bergegas mengikuti langkah terburu-buru Leo menuju pintu rumah. Langkah panjang pria itu membuatnya harus setengah berlari, hingga tumitnya nyaris terpeleset saat menapaki anak tangga pertama.
“Pak… pelan—” ucapannya terputus. Leo tak menoleh sedikit pun, matanya lurus ke depan, wajahnya tegang. Ia menggenggam tangan Nayla, dan membimbingnya naik ke lantai dua. Di ujung lorong, suara tangis Matteo semakin terdengar jelas—nyaring, tersengal, dan terdengar seperti tersedak karena terlalu lama menangis. Leo mendorong pintu kamar lebar-lebar. Seketika, jeritan nyaring Matteo menggema seperti panah yang langsung menghunjam dada Nayla. Tanpa pikir panjang, ia spontan menepis tangan Leo dan berlari kecil ke arah box bayi. "Aduh ... Sayang ... kamu kenapa, hmm?" bisiknya lirih. Tubuhnya membungkuk cepat, tangannya mengusap wajah mungil itu dengan kerinduan seorang ibu setelah terpisah lama dari anaknya. Leo berdiri di dekat pintu, kehabisan napas, mencoba menjelaskan sesuatu yang bahkan dia sendiri tak yakin orang akan mengerti ucapannya. "Aku ... aku ketiduran ... Dia nangis terus. Aku... udah coba semua cara. Gendong, nyanyiin lagu, kasih susu… tapi tetap nggak berhenti. Aku ... aku baru jadi ayah ... nggak tahu harus ngapain lagi..." ucapnya, parau dalam nada keputusasaan yang tak bisa disembunyikan. Namun Nayla tidak menyahut. Ia hanya menunduk, membiarkan insting keibuannya mengambil alih. Dengan gerakan penuh kasih, ia memasukkan kedua tangannya ke dalam box, lalu mengangkat tubuh mungil Matteo ke pelukannya. Dan saat itu juga... keajaiban kembali terjadi. Tubuh Matteo yang semula menegang, kini meringkuk tenang. Kepalanya bersandar di dada Nayla. Tangisnya mereda—dari jeritan pilu menjadi rengekan kecil... lalu hanya isakan lembut... hingga akhirnya, yang tersisa hanyalah napas hangat yang teratur. Leo terdiam, nyaris tak percaya pada apa yang dilihatnya. Dia menyaksikan semua itu dari belakang. Nayla memunggunginya, dan Matteo seakan mencair dalam pelukan wanita muda itu. Mata Leo tak berkedip. Napasnya terhenti separuh dada. Tiba-tiba, ponsel di atas nakas berdering, memecah keheningan yang baru saja melegakan dada. Leo tersentak kecil. Ia menoleh ke arah sumber suara dan melihat nama Adrian tertera di layar. Dengan sedikit kikuk, Leo meraih ponsel itu, menekan tombol hijau, dan menyapukan tangan ke rambutnya sambil berkata pelan, "Halo, Dri..." Tanpa menoleh ke arah Nayla yang masih berdiri menimang Matteo, Leo melangkah keluar kamar."Gimana? Matteo kita aman?" sahut Adrian di ujung sana. Leo mendesah panjang sebelum menjawab, "Lebih dari selusin kali aku nelpon, dan kamu masih nanya, 'matteo aman'? Dokter macam apa kamu, hah?!" sahutnya, sengaja meluapkan kekesalannya."Ooppss! Sorry again, Leo. Aku kan dokter anak yang sangat populer ... pasienku banyak ..." "Brengs—!" makian Leo terputus, teringat tonjokan Matteo di dadanya. Adrian terkekeh kecil. "Calm down, Bro! Gimana Matteo kita?" Leo melangkah menjauh dari kamar, duduk di tangga sambil menunduk. "Ya, tadi dia sempat rewel. Tapi sekarang udah aman. Udah... tenang."“Syukurlah,” gumam Adrian lega. “Kalau kamu masih butuh bantuan, aku bisa kirim perawat lagi buat malam ini. Atau... gimana kalau aku saja yang ke sana dan kita akan bergadang bareng sampe pagi?" Leo mendongak menatap ke langit-langit. Bibirnya melengkungkan senyum tipis. Suasana hatinya sedikit membaik karena tak mendengar lagi tangisan Matteo. "Tidak usah. Malam ini dia aman ... tapi sepertinya besok aku akan butuh bantuanmu. Bisakah besok anda datang ke rumah, Dokter Populer?" ujar Leo dengan nada sok formal. Adrian menyahut antusias. "Besok jam satu siang, aku datang ke sana. Oke?!" Leo mengangguk pelan meski tak terlihat. “Oke. Thanks, Dri." Leo terdiam sejenak, lalu menurunkan nada suaranya hingga nyaris berbisik, “Oh ya... satu lagi. Tolong besok... datang sendiri saja. Jangan ajak ...""Iya. Aku ngerti, Leo ..." sahut Adrian cepat. Sambungan pun terputus. Leo menghela napas panjang. Hening menyergap kembali, tapi kali ini terasa lebih tenang. Ia berdiri mengantongi ponsel, lalu berjalan kembali ke kamar. Dan... Langkahnya langsung terhenti di ambang pintu. Cahaya lampu kamar mengguratkan siluet lembut pada tubuh Nayla yang sedang duduk menyamping, menyusui Matteo. Blus atasnya sudah terbuka sebagian. Salah satu sisi bahunya tersingkap, kulit mulusnya terlihat pucat di bawah pencahayaan kuning temaram. Leo terpaku.Matanya tak bisa berpaling. Ia membeku. Hingga wajahnya mulai memanas, dan seketika Leo memutar badan. Satu tangan menutup wajahnya, berusaha meredam gejolak aneh yang tak bisa ia jelaskan.
“Maaf! Saya... aku... kalian di kamar aja dulu, ya,” suaranya gugup, terbata-bata. “Saya mau... kamu mau... teh? Atau susu? Eh—maksudku bukan... bukan susu! Maksudku, ya... kopi? Atau... ya apa, gitu?"
Nayla menoleh perlahan, tersadar akan suasana canggung itu. Lalu, dengan suara pelan, ia menyahut, "Teh saja. Boleh, Pak?"
Leo mengangguk cepat, masih membelakangi Nayla. "Boleh. Teh. Teh hangat, ya? Oke. Teh hangat."
Tanpa menunggu lagi, Leo bergegas keluar kamar, kali ini diiringi detak jantungnya yang memburu—dan wajah yang belum berhenti memerah.
Hai, auntie-auntie pembaca ... Salam kenal .... Semoga novel pertama saya di Goodnovel bisa menghibur pembaca sekalian. Salam/Fredy_
Beberapa minggu kemudian, ia mengajak Lucienne ke Indonesia, ke vila barunya di pelosok desa yang sejuk dan tenang. Lucienne tampak bahagia di sana, menatap hijaunya pepohonan dan mencium wangi tubuh bayinya yang baru lahir.Suatu sore di teras vila yang diterpa angin lembut dari dedaunan, Tommy duduk di samping putrinya. Senja berwarna keemasan membalut wajah mereka, memantulkan cahaya lembut di mata Lucienne yang tengah memangku bayinya.“Lucienne,” suara Tommy terdengar lebih lembut dari biasanya. “Papa ingin kamu melanjutkan sekolahmu. Hidupmu belum berakhir, Sayang. Kamu mau?”Lucienne mengangkat wajah, menatap ayahnya dengan mata yang berbinar penuh harap. “Pa… tentu saja aku mau. Aku belum melupakan cita-citaku jadi dokter.”Senyumnya merekah, polos, seperti anak kecil yang baru saja diampuni setelah berbuat salah.Tommy mengangguk pelan, menatap jauh ke arah sawah. “Papa hanya ingin masa depanmu lebih baik, Luci. Kau gadis pintar, Papa tahu itu.”Lucienne tersenyum lega—hingga
"S-saya… saya…” Nayla menoleh ke arah Leo, matanya penuh kebingungan dan gugup. Matilda yang duduk di seberang mereka tersadar akan ketegangan di meja maka, dan segera memecahkan ketegangan dengan menepuk tangannya. “Eh, sudah makan dulu. Nanti baru kita ngobrol-ngobrol setelahnya.” Ia menoleh ke arah ruang tengah, tempat Surti yang lebih memilih menikmati makan malam sambil menjaga Matteo. “Tiii… Surti! Kita punya buah apa di kulkas?” “Iya, Bu!” sahut Surti dari kejauhan, buru-buru menandaskan sendok terakhirnya. “Kita punya anggur sama semangka, Bu. Udah dipotong juga!” “Bagus, nanti tolong bawa ke ruang tengah, ya,” kata Matilda, mencoba menahan senyum canggung sebelum melanjutkan suapannya. Beberapa belas menit kemudian, suasana sudah mencair. Mereka berpindah ke ruang tengah. Surti datang dengan nampan berisi mangkuk buah potong dan salad buah, lalu duduk di kursi dekat Matteo yang sudah mulai menggeliat. Matilda langsung menyambar cucunya, mengangkat Matteo tinggi-tinggi sam
“Se-selamat malam, Mama Mat...” sapa Surti, menyambut Matilda sambil sedikit membungkuk.Matilda tersenyum hangat. "Formal banget, Ti. Nayla sama Matteo mana?" tanyanya."Oh, mereka masih siap-siap di kamar. Pak Leo juga sudah pulang, ada di kamar," sahut Surti, melirik pria beruban yang masih terlihat tampan di belakang Matilda."Dasar anak muda, kalau siap-siap pasti lama. Kami tunggu saja di..." Hidung Matilda seketika mengendus-endus, matanya menyipit. "Ini bau apa, Ti?""Bau? Bau apa?" Surti ikut mengendus-endus. "Astaga! Perkedel jagung gosong!" Ia sontak berlari lagi ke dapur."Ya ampun, Ti! Matiin kompor sekarang, mandi kamu! Bau bawang!" seru Matilda.Tommy tertawa kecil di belakang Matilda, suaranya berat tapi berwibawa. “Rumah kamu hangat ya, Matilda. Suasana yang aku rindukan."“Ya begitulah, Tom. Selalu ada-ada saja kelakuan mereka" ujar Matilda ikut tertawa. "Kita tunggu di sana saja, Tom."Matilda dan Tommy kemudian duduk di ruang tengah. Pria tua itu tersenyum seolah m
Asap tipis mengepul dari wajan, aroma bawang putih dan serai menari-nari di udara. Dapur rumah itu mendadak berubah seperti dapur katering menjelang jam makan siang, dengan dua perempuan yang bergerak lincah—dan sama paniknya. “Nay, sambalnya gosong!” teriak Surti sambil meniriskan ayam goreng kremes di atas tisu dapur. “Aku tahu! Eh, Ti—” mata Nayla langsung membulat ke arah penanak nasi. “Kamu belum pencet tombol cook-nya, ya? Astaga, nasinya belum matang, Ti!” Ia membuka tutup penanak nasi, dan tubuhnya seketika lemas. “Affa?! Ya Tuhan, gara-gara nangisin bawang merah aku lupa. Pencet, Nay, cepet! Dua puluh menit juga matang, masih bisa diselamatin,” seru Surti, tetap fokus menata ayam goreng di piring saji. Dari ruang tengah, suara tangisan Matteo memecah kehebohan. “Ti, aku nyusuin Matteo dulu ya! Biar nanti malam nggak rewel pas makan malam,” ujar Nayla sambil mencopot celemek dan buru-buru mencuci tangan. Surti menarik napas panjang, sambil terus bekerja. “Ya ampun… abis g
Deru mesin jet pribadi berdengung lembut, seperti bisikan yang menembus langit biru di atas Lautan luas. Interior kabin memancarkan kemewahan yang tenang — karpet abu muda berpadu dengan kursi kulit krem yang empuk, meja marmer kecil di tengah ruangan, dan sebotol anggur putih dingin yang belum tersentuh di antara dua gelas kristal. Matilda bersandar di kursinya, matanya menatap langit luas di balik jendela oval jet pribadi itu — awan bergulung lembut seperti lautan kapas yang tak bertepi. Di hadapannya, duduk seorang pria beruban, berjas biru tua, dengan tablet di tangannya. Jemarinya terus mengusap layar, sibuk sekali. Ya begitulah, pria yang bersamanya itu memang bukan seseorang yang punya banyak waktu luang. Tapi, setelah puluhan tahun tidak pernah ke Indonesia, akhirnya ia memutuskan untuk datang lagi dengan debaran yang berbeda. “Indonesia masih secantik dulu, Matilda?” tanyanya dengan aksen Inggris yang kental. “Rasanya baru kemarin kita bicara tentang proyek di Jakarta. S
"Awas kamu, Leo!" maki Budiman.Ia berjalan cepat, wajahnya pucat menegang, napasnya memburu seperti dikejar malaikat maut. Sepatu kulitnya menendang kerikil-kerikil di halaman vila, diiringi suara Leo yang masih menggema di belakangnya.“Eh, Pak! Mau ke mana? Pak?” panggil Leo, nadanya seperti sedang mengejek seorang anak kecil yang ketahuan berbuat curang.Budiman makin mempercepat langkah, tapi Leo belum berhenti.“Om Budiman! Mau ke mana? Kok buru-buru banget? Baru juga ketemu,” ucap Leo.Budiman tak menoleh. Ia hanya menggeram keras, seolah menghalau perasaan malu yang menyesakkan dadanya.“Oh iya, Om!” seru Leo lantang, dengan tawa kecil di ujung kalimatnya. “Tolong bilang Arlene, jangan lama-lama di Berlin. Tuan Borden sudah hampir tiba di Indonesia.”Tawa Leo pecah, lepas, dan puas. Menggema sampai ke halaman vila yang sepi itu. Budiman spontan menoleh setengah badan, matanya membulat tak percaya. Menatap Leo dengan tatapan seperti ingin menelan pemuda itu hidup-hidup. Sialan!







