Share

BAB 8

Penulis: Fredy_
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-28 09:54:48

Nayla bergegas mengikuti langkah terburu-buru Leo menuju pintu rumah. Langkah panjang pria itu membuatnya harus setengah berlari, hingga tumitnya nyaris terpeleset saat menapaki anak tangga pertama.

“Pak… pelan—” ucapannya terputus.

Leo tak menoleh sedikit pun, matanya lurus ke depan, wajahnya tegang. Ia menggenggam tangan Nayla, dan membimbingnya naik ke lantai dua. Di ujung lorong, suara tangis Matteo semakin terdengar jelas—nyaring, tersengal, dan terdengar seperti tersedak karena terlalu lama menangis.

Leo mendorong pintu kamar lebar-lebar. Seketika, jeritan nyaring Matteo menggema seperti panah yang langsung menghunjam dada Nayla. Tanpa pikir panjang, ia spontan menepis tangan Leo dan berlari kecil ke arah box bayi.

"Aduh ... Sayang ... kamu kenapa, hmm?" bisiknya lirih. Tubuhnya membungkuk cepat, tangannya mengusap wajah mungil itu dengan kerinduan seorang ibu setelah terpisah lama dari anaknya.

Leo berdiri di dekat pintu, kehabisan napas, mencoba menjelaskan sesuatu yang bahkan dia sendiri tak yakin orang akan mengerti ucapannya.

"Aku ... aku ketiduran ... Dia nangis terus. Aku... udah coba semua cara. Gendong, nyanyiin lagu, kasih susu… tapi tetap nggak berhenti. Aku ... aku baru jadi ayah ... nggak tahu harus ngapain lagi..." ucapnya, parau dalam nada keputusasaan yang tak bisa disembunyikan.

Namun Nayla tidak menyahut. Ia hanya menunduk, membiarkan insting keibuannya mengambil alih. Dengan gerakan penuh kasih, ia memasukkan kedua tangannya ke dalam box, lalu mengangkat tubuh mungil Matteo ke pelukannya.

Dan saat itu juga... keajaiban kembali terjadi.

Tubuh Matteo yang semula menegang, kini meringkuk tenang. Kepalanya bersandar di dada Nayla. Tangisnya mereda—dari jeritan pilu menjadi rengekan kecil... lalu hanya isakan lembut... hingga akhirnya, yang tersisa hanyalah napas hangat yang teratur.

Leo terdiam, nyaris tak percaya pada apa yang dilihatnya. Dia menyaksikan semua itu dari belakang. Nayla memunggunginya, dan Matteo seakan mencair dalam pelukan wanita muda itu. Mata Leo tak berkedip. Napasnya terhenti separuh dada.

Tiba-tiba, ponsel di atas nakas berdering, memecah keheningan yang baru saja melegakan dada. Leo tersentak kecil. Ia menoleh ke arah sumber suara dan melihat nama Adrian tertera di layar.

Dengan sedikit kikuk, Leo meraih ponsel itu, menekan tombol hijau, dan menyapukan tangan ke rambutnya sambil berkata pelan, "Halo, Dri..."

Tanpa menoleh ke arah Nayla yang masih berdiri menimang Matteo, Leo melangkah keluar kamar.

"Gimana? Matteo kita aman?" sahut Adrian di ujung sana.

Leo mendesah panjang sebelum menjawab, "Lebih dari selusin kali aku nelpon, dan kamu masih nanya, 'matteo aman'? Dokter macam apa kamu, hah?!" sahutnya, sengaja meluapkan kekesalannya.

"Ooppss! Sorry again, Leo. Aku kan dokter anak yang sangat populer ... pasienku banyak ..."

"Brengs—!" makian Leo terputus, teringat tonjokan Matteo di dadanya.

Adrian terkekeh kecil. "Calm down, Bro! Gimana Matteo kita?"

Leo melangkah menjauh dari kamar, duduk di tangga sambil menunduk. "Ya, tadi dia sempat rewel. Tapi sekarang udah aman. Udah... tenang."

“Syukurlah,” gumam Adrian lega. “Kalau kamu masih butuh bantuan, aku bisa kirim perawat lagi buat malam ini. Atau... gimana kalau aku saja yang ke sana dan kita akan bergadang bareng sampe pagi?"

Leo mendongak menatap ke langit-langit. Bibirnya melengkungkan senyum tipis. Suasana hatinya sedikit membaik karena tak mendengar lagi tangisan Matteo.

"Tidak usah. Malam ini dia aman ... tapi sepertinya besok aku akan butuh bantuanmu. Bisakah besok anda datang ke rumah, Dokter Populer?" ujar Leo dengan nada sok formal.

Adrian menyahut antusias. "Besok jam satu siang, aku datang ke sana. Oke?!"

Leo mengangguk pelan meski tak terlihat. “Oke. Thanks, Dri." Leo terdiam sejenak, lalu menurunkan nada suaranya hingga nyaris berbisik, “Oh ya... satu lagi. Tolong besok... datang sendiri saja. Jangan ajak ..."

"Iya. Aku ngerti, Leo ..." sahut Adrian cepat.

Sambungan pun terputus.

Leo menghela napas panjang. Hening menyergap kembali, tapi kali ini terasa lebih tenang. Ia berdiri mengantongi ponsel, lalu berjalan kembali ke kamar.

Dan...

Langkahnya langsung terhenti di ambang pintu.

Cahaya lampu kamar mengguratkan siluet lembut pada tubuh Nayla yang sedang duduk menyamping, menyusui Matteo. Blus atasnya sudah terbuka sebagian. Salah satu sisi bahunya tersingkap, kulit mulusnya terlihat pucat di bawah pencahayaan kuning temaram.

Leo terpaku.

Matanya tak bisa berpaling. Ia membeku. Hingga wajahnya mulai memanas, dan seketika Leo memutar badan. Satu tangan menutup wajahnya, berusaha meredam gejolak aneh yang tak bisa ia jelaskan.

“Maaf! Saya... aku... kalian di kamar aja dulu, ya,” suaranya gugup, terbata-bata. “Saya mau... kamu mau... teh? Atau susu? Eh—maksudku bukan... bukan susu! Maksudku, ya... kopi? Atau... ya apa, gitu?"

Nayla menoleh perlahan, tersadar akan suasana canggung itu. Lalu, dengan suara pelan, ia menyahut, "Teh saja. Boleh, Pak?"

Leo mengangguk cepat, masih membelakangi Nayla. "Boleh. Teh. Teh hangat, ya? Oke. Teh hangat."

Tanpa menunggu lagi, Leo bergegas keluar kamar, kali ini diiringi detak jantungnya yang memburu—dan wajah yang belum berhenti memerah.

Fredy_

Hai, auntie-auntie pembaca ... Salam kenal .... Semoga novel pertama saya di Goodnovel bisa menghibur pembaca sekalian. Salam/Fredy_

| 99+
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (9)
goodnovel comment avatar
rika sartika
suka bnget cerita nya mnglir sesuai yng kita ingin kn...terharu juga...nluri seseorang yng keibuan tajam bnget..suxes slalu eaa ......🫰
goodnovel comment avatar
Mutaharotin Rotin
suka ceritanya bagus
goodnovel comment avatar
Intan Azzura
semakin seru,Leo pasti suka sama nayla
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 228

    Jarum suntik telah menembus selang infus. Tekanan kecil sudah diberikan—nyaris tak terlihat—saat cairan bening itu mulai bergerak, bercampur perlahan dengan aliran yang seharusnya menyelamatkan. Lalu suara itu terdengar. “Adrian…” Gumaman pelan, serak, seperti nama yang tak sadar terseret keluar dari mimpi. Tangan pria itu membeku. Jarinya refleks melepas tekanan. Napasnya tersangkut di tenggorokan, dadanya naik turun satu kali. Ia menurunkan tangan perlahan, seolah takut suara sekecil apa pun bisa merobek keadaan. Di ranjang, kelopak mata Matilda bergerak. Tak sepenuhnya terbuka, tapi cukup hidup untuk mengenali. “Adrian, kan?” suara itu lirih, namun pasti. “Kamu mau jenguk Aunty, ya?” Tak ada jawaban. Matilda tersenyum tipis, senyum orang tua yang mengenali anaknya bahkan dalam gelap. “Kok diam? Malu ya jenguk nenek-nenek,” katanya pelan. “Biar kamu nggak pakai seragam dokter, muka ditutup masker, jaket gede... Aunty bisa tahu itu kamu... bukan demit." Ia menelan ludah, na

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 227

    Sore itu, lantai praktik dokter anak terasa lebih riuh dari biasanya. Kursi tunggu penuh, nomor antrean terus bertambah, dan suara panggilan pasien bersahut-sahutan dari balik pintu-pintu ruang periksa lain.“Dokter Adrian sudah datang?” tanya seorang perawat sambil menenteng papan jadwal.Perawat lain menggeleng. “Belum. Jam praktiknya sudah lewat lima belas menit nih."Mereka berpencar. Satu mengecek ruang dokter, satu lagi ke ruang istirahat, sementara yang lain menyusuri lorong menuju nurse station. Nama Adrian disebut berulang, namun jawabannya selalu sama—tidak ada yang lihat.“Aneh,” gumam perawat senior. “Tadi aku sempet lihat dia masih jalan-jalan di lobi. Malah kayaknya sempat ngobrol sebentar sama Ners Dede di dekat lift.”“Terus?” Perawat itu mengernyit. “Dia ke mana sekarang? Masa pulang?"Belum sempat kebingungan itu berujung kepanikan, seorang perawat lain datang tergesa. “Maaf lupa info, aku ketemu Dokter Adrian setengah jam lalu,” katanya cepat. “Dia bilang harus pula

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 226

    Menjelang sore, langkah kaki Leo terdengar tergesa di lorong rumah sakit. Setibanya di depan kamar perawatan VVIP, ia berhenti sejenak—menarik napas dalam, mengatur ekspresi."Kata Nayla nggak boleh kelihatan panik… tarik napas… buang napas…" gumamnya dalam hati, sebelum akhirnya mendorong pintu dengan senyum selebar harapan orang tua.“Mama…” sapa Leo sambil menenteng dua bungkusan besar di kedua tangannya.Matilda yang sejak tadi sebenarnya sudah terjaga—namun memilih pura-pura tidur karena masih menyimpan kekesalan kecil—membuka satu mata, lalu menutupnya lagi dengan dengusan halus.“Mama… mama…” tirunya. “Senyum kamu lebar banget. Senang, ya, lihat mama rebahan di ranjang rumah sakit?”Leo terkekeh hambar. “Baru datang sudah kena omel. Leo senang kalau mama sehat, Ma.”“Mama itu selalu sehat,” sahut Matilda cepat. “Kalian saja yang berlebihan.”Senyum di wajah Leo perlahan surut. Bahunya mengendur sedikit. Ada rasa bersalah yang tak sempat ia sembunyikan—karena telalu keras melara

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 225

    Tirai krem terpasang rapi, sofa empuk berjajar di sisi dinding, dan jendela besar memperlihatkan langit siang yang pucat. Matilda duduk setengah bersandar di ranjang kamar perawatan rumah sakit, punggungnya disangga bantal tebal. Bibirnya manyun, alisnya berkerut—ekspresi merasa dipenjara tanpa alasan jelas.“Aduh… pelan-pelan dong, Sus,” protesnya saat perawat mulai memasang infus di lengannya. “Orang saya nggak sakit, kok, pakai diinfus segala.” Ia melirik tajam ke arah Nayla. “Nayla, cepat telepon Leo. Mama pengen marahin dia banget.”Di sudut ruangan, Nayla berdiri dengan ponsel di tangan. Ia melirik layar, lalu menekan nomor Leo sekali lagi. Nada sambung terdengar—sekali, dua kali, tiga kali—namun tak kunjung diangkat. Nayla menghela napas pelan, memaksa dirinya tetap tenang. Leo sudah bilang tadi pagi kalau hari ini ia penuh jadwal rapat, berpindah dari satu ruang meeting ke ruang lainnya.Perawat itu tersenyum sabar. “Tarik napas panjang ya, Bu. Biar infusnya cepat masuk.”Mati

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 224

    Bukannya tidur, Matteo justru semakin menyala begitu mereka masuk ke ruang praktik dokter. Matanya membulat, sibuk mengamati pohon Natal setinggi botol mineral—entah sudah berapa tahun berdiri di sudut meja dokter—penuh ornamen warna-warni yang berkilau.Lampu putih menggantung lembut di langit-langit, aroma antiseptik samar menguar—bau yang asing bagi sebagian orang, tapi sudah terlalu akrab bagi mereka yang sering bolak-balik rumah sakit.Pintu di sisi ruangan terbuka. Seorang pria berusia akhir lima puluhan masuk sambil membawa map tebal berwarna cokelat. Kacamata bertengger di ujung hidungnya, senyumnya ramah bersahabat—senyum profesional seseorang yang sudah sering berhadapan dengan kecemasan orang lain.“Selamat siang, Bu Matilda,” sapanya hangat. “Sehat-sehat saja kelihatannya.”“Dokter Setiawan,” balas Matilda ringan. “Masih hidup, berarti sehat, Dok.”Dokter Setiawan terkekeh kecil, lalu pandangannya beralih ke bayi di pangkuan Nayla. “Ini?” tanyanya sambil mendekat sedikit.

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 223

    Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Matilda lebih banyak diam. Tidak ada celoteh seperti biasanya, tidak ada komentar tentang macetnya Jakarta, bahkan keluhan soal parfum mobil baru Pak Gani pun tak ada. Ia duduk tegak, menatap lurus ke depan, sesekali memejamkan mata beberapa detik—lalu membukanya lagi, seolah sedang menahan sesuatu yang tak ingin jatuh ke permukaan.Nayla menangkap setiap gerak-gerik itu dari kursi belakang. Kegelisahan pelan-pelan merayap, membuat jemarinya refleks mengusap punggung Matteo yang terlelap di gendongan. Ada firasat tak enak menggelitik hatinya.“Mama sudah sarapan?” tanya Nayla membuka obrolan.“Sudah, Nay,” jawab Matilda singkat, tanpa menoleh.“Telur dadar? Toast? Smoothies?” Nayla menyebutkan menu favorit Matilda, berharap mendapat respons yang lebih hidup.“Rebusan daun sirsak.” Matilda menghela napas pendek.Nayla melongo. Ia menahan komentar, hanya menelan ludah pelan. Rebusan daun sirsak? Dia ingat sekali, dulu Mbah Putri juga suka minum r

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status