LOGINUdara kamar terasa lebih tenang dari sebelumnya. Aroma teh hangat perlahan menguar begitu Leo muncul di ambang pintu, membawa dua cangkir putih di tangannya. Ia berhenti sejenak—pemandangan di depannya membuatnya terpaku.
Nayla berdiri di sisi box bayi, membenahi selimut kecil Matteo yang kini terlelap. Perut mungil si bayi naik-turun dengan napas teratur. Tak ada lagi jeritan. Tak ada lagi isakan. Hanya keheningan—sunyi yang menelan semua lelah di hari itu. Leo melangkah masuk perlahan, nyaris tanpa suara. Matanya tak lepas dari punggung Nayla yang sedikit membungkuk, tangannya bergerak pelan menepuk lembut dada bayi yang sedang tidur. Wajah Nayla tampak teduh, sendu damai, diterpa sinar kuning temaram dari lampu kamar. Seperti terhipnotis, langkah Leo semakin mendekat. Sejenak ia seakan lupa dengan semua beban yang menggelayuti pundaknya seharian ini. Lupa pada ketakutan yang membentur-bentur pikirannya. Lupa pada duka yang masih menggantung di ujung hari. Sampai tiba-tiba— Brak! Tubuh Nayla bergerak menegak, tak menyadari Leo sudah berdiri terlalu dekat di belakangnya. Bahunya menghantam dada Leo, dan dalam hitungan detik, salah satu cangkir teh terlepas dari tangan Leo. "Akh!" Nayla menjerit spontan. Cangkir itu jatuh menghantam lantai dengan bunyi nyaring. Pecah. Teh panas memercik ke lantai ... kaki dan... ke lengan Nayla. Tubuhnya tersentak, tangan kirinya terangkat panik. "Panas!" "Awas! Cangkir—" Leo refleks ikut menjerit, sembari menghalau kaki Nayla agar tak menginjak pecahan. Namun semuanya terjadi begitu cepat. Nayla mundur beberapa langkah, tumitnya menabrak kaki kursi. Tubuhnya limbung, dan— "Aduh!" Ia jatuh terduduk dengan bunyi cukup keras. Kursi sempat bergeser, mengeluarkan suara yang menyentak. Leo terkesiap, jantungnya serasa lompat ke tenggorokan. Nayla spontan mengaduh, meniup-niup lengannya yang melepuh, wajahnya meringis menahan perih. Dan seolah itu belum cukup— "OWAAAA!!" Tangis Matteo pecah, lebih keras dari sebelumnya. Mengiris udara seperti pisau tumpul. Leo panik luar biasa. Ia masih memegang satu cangkir lagi di tangan kirinya, sementara tangannya yang satu lagi refleks terangkat ingin melihat kondisi Nayla. Matanya terbelalak, menatap dua bencana di depannya—Nayla yang kesakitan dan Matteo yang menjerit seperti dunia akan kiamat. "Aduh… Nayla, kamu—eh, sebentar! Matteo—" Leo melirik ke kiri, ke kanan, otaknya seperti macet. "Taruh dulu ... cangkir taruh dulu ..." desisnya panik. Ia berjalan ke meja rias, hampir menabrak lemari, dan meletakkan cangkirnya dengan kasar. "Aduh, bodoh ..." rutuknya, mengacak rambut sendiri, lalu berlari kembali ke Nayla. Nayla masih terduduk, mengerang pelan sambil menatap lengannya yang mulai memerah. Air mata mengalir tanpa izin dari sudut matanya, tapi ia berusaha tetap kuat. Sementara itu, telinganya tak tega mendengar jeritan Matteo yang semakin menggila. Leo segera menghampiri Nayla. "Tangan kamu… aduh, itu melepuh, ya?" "Panas... aduuhh ... tapi bayinya," ujar Nayla menahan perih, meski wajahnya jelas menampik. "Ya Tuhan… bayi ... Matteo ... tapi tangan kamu ... kaki kamu!" Leo nyaris terengah, berkeringat dingin. Matanya menatap nanar Nayla yang seharusnya sudah bisa istirahat. "Matteo dulu! Matteo dulu saja!" seru Nayla, memaksakan suara, meski tubuhnya mulai melemah. "Oke, Matteo!" Leo langsung berbalik. Wajahnya pucat di depan box bayi. "Terus? Aku ... Aku harus apa?" suaranya terdengar frustasi. "Tarik napas, Pak ... buang pelan-pelan ..." "Hah? Tarik ...?" Leo terbengong sedetik, namun segera melakukan yang dikatakan Nayla. Dia menarik napas dalam-dalam, membuangnya perlahan. Detik itu, dunia yang kacau terasa lebih pelan. Lebih tenang. Lalu, terdengar suara Nayla lagi, lebih lembut. "Gendong ... Gendong Matteo, Pak. Bawa ke sini ..." Leo menelan ludah. Tangannya yang masih sedikit gemetar, terulur ke dalam box. Jari-jarinya menyentuh selimut lembut bayi, menyelinap ke bawah tubuh mungil itu dengan sangat hati-hati. Pelan-pelan, ia mengangkat Matteo ke dalam pelukannya. "Sini ... bawa sini, Pak ..." Nayla merentangkan kedua tangannya, menyambut Matteo dengan sorot mata keibuan yang penuh sayang. Begitu bayi itu berpindah ke pelukannya, Nayla langsung memeluk tubuh mungil itu dengan sepenuh jiwa. "Ssstt... Nama kamu Matteo ya ... ini aku Nayla, Matteo ... sudah ... jangan nangis lagi, ya..." bisiknya lembut, bibirnya nyaris menempel di dahi si kecil. "Kasihan Papa ... sudah kusut sekali ... sshhh ..." tambah Nayla. Tangis Matteo perlahan surut menjadi isakan kecil. Nayla mulai mengayun pelan tubuhnya, lalu mulai mendengangkan lagu dengan suara halus nyaris bergetar."Twinkle... twinkle... little star... how I wonder what you are..." Leo tersentak. Ia menatap Nayla tak berkedip. Di balik penampilan sederhananya, siapa sangka wanita itu bisa menyanyikan lagu asing dengan pengucapan yang begitu jernih dan nada-nada yang sangat menyentuh. Dan melihat bagaimana tangisan Matteo luluh dalam pelukan Nayla—dengan begitu alami dan penuh naluri keibuan— Tanpa sadar, bibir Leo berucap seperti memohon, "Nayla… malam ini… tolong bisa nginap di sini ... ya ..."Jarum suntik telah menembus selang infus. Tekanan kecil sudah diberikan—nyaris tak terlihat—saat cairan bening itu mulai bergerak, bercampur perlahan dengan aliran yang seharusnya menyelamatkan. Lalu suara itu terdengar. “Adrian…” Gumaman pelan, serak, seperti nama yang tak sadar terseret keluar dari mimpi. Tangan pria itu membeku. Jarinya refleks melepas tekanan. Napasnya tersangkut di tenggorokan, dadanya naik turun satu kali. Ia menurunkan tangan perlahan, seolah takut suara sekecil apa pun bisa merobek keadaan. Di ranjang, kelopak mata Matilda bergerak. Tak sepenuhnya terbuka, tapi cukup hidup untuk mengenali. “Adrian, kan?” suara itu lirih, namun pasti. “Kamu mau jenguk Aunty, ya?” Tak ada jawaban. Matilda tersenyum tipis, senyum orang tua yang mengenali anaknya bahkan dalam gelap. “Kok diam? Malu ya jenguk nenek-nenek,” katanya pelan. “Biar kamu nggak pakai seragam dokter, muka ditutup masker, jaket gede... Aunty bisa tahu itu kamu... bukan demit." Ia menelan ludah, na
Sore itu, lantai praktik dokter anak terasa lebih riuh dari biasanya. Kursi tunggu penuh, nomor antrean terus bertambah, dan suara panggilan pasien bersahut-sahutan dari balik pintu-pintu ruang periksa lain.“Dokter Adrian sudah datang?” tanya seorang perawat sambil menenteng papan jadwal.Perawat lain menggeleng. “Belum. Jam praktiknya sudah lewat lima belas menit nih."Mereka berpencar. Satu mengecek ruang dokter, satu lagi ke ruang istirahat, sementara yang lain menyusuri lorong menuju nurse station. Nama Adrian disebut berulang, namun jawabannya selalu sama—tidak ada yang lihat.“Aneh,” gumam perawat senior. “Tadi aku sempet lihat dia masih jalan-jalan di lobi. Malah kayaknya sempat ngobrol sebentar sama Ners Dede di dekat lift.”“Terus?” Perawat itu mengernyit. “Dia ke mana sekarang? Masa pulang?"Belum sempat kebingungan itu berujung kepanikan, seorang perawat lain datang tergesa. “Maaf lupa info, aku ketemu Dokter Adrian setengah jam lalu,” katanya cepat. “Dia bilang harus pula
Menjelang sore, langkah kaki Leo terdengar tergesa di lorong rumah sakit. Setibanya di depan kamar perawatan VVIP, ia berhenti sejenak—menarik napas dalam, mengatur ekspresi."Kata Nayla nggak boleh kelihatan panik… tarik napas… buang napas…" gumamnya dalam hati, sebelum akhirnya mendorong pintu dengan senyum selebar harapan orang tua.“Mama…” sapa Leo sambil menenteng dua bungkusan besar di kedua tangannya.Matilda yang sejak tadi sebenarnya sudah terjaga—namun memilih pura-pura tidur karena masih menyimpan kekesalan kecil—membuka satu mata, lalu menutupnya lagi dengan dengusan halus.“Mama… mama…” tirunya. “Senyum kamu lebar banget. Senang, ya, lihat mama rebahan di ranjang rumah sakit?”Leo terkekeh hambar. “Baru datang sudah kena omel. Leo senang kalau mama sehat, Ma.”“Mama itu selalu sehat,” sahut Matilda cepat. “Kalian saja yang berlebihan.”Senyum di wajah Leo perlahan surut. Bahunya mengendur sedikit. Ada rasa bersalah yang tak sempat ia sembunyikan—karena telalu keras melara
Tirai krem terpasang rapi, sofa empuk berjajar di sisi dinding, dan jendela besar memperlihatkan langit siang yang pucat. Matilda duduk setengah bersandar di ranjang kamar perawatan rumah sakit, punggungnya disangga bantal tebal. Bibirnya manyun, alisnya berkerut—ekspresi merasa dipenjara tanpa alasan jelas.“Aduh… pelan-pelan dong, Sus,” protesnya saat perawat mulai memasang infus di lengannya. “Orang saya nggak sakit, kok, pakai diinfus segala.” Ia melirik tajam ke arah Nayla. “Nayla, cepat telepon Leo. Mama pengen marahin dia banget.”Di sudut ruangan, Nayla berdiri dengan ponsel di tangan. Ia melirik layar, lalu menekan nomor Leo sekali lagi. Nada sambung terdengar—sekali, dua kali, tiga kali—namun tak kunjung diangkat. Nayla menghela napas pelan, memaksa dirinya tetap tenang. Leo sudah bilang tadi pagi kalau hari ini ia penuh jadwal rapat, berpindah dari satu ruang meeting ke ruang lainnya.Perawat itu tersenyum sabar. “Tarik napas panjang ya, Bu. Biar infusnya cepat masuk.”Mati
Bukannya tidur, Matteo justru semakin menyala begitu mereka masuk ke ruang praktik dokter. Matanya membulat, sibuk mengamati pohon Natal setinggi botol mineral—entah sudah berapa tahun berdiri di sudut meja dokter—penuh ornamen warna-warni yang berkilau.Lampu putih menggantung lembut di langit-langit, aroma antiseptik samar menguar—bau yang asing bagi sebagian orang, tapi sudah terlalu akrab bagi mereka yang sering bolak-balik rumah sakit.Pintu di sisi ruangan terbuka. Seorang pria berusia akhir lima puluhan masuk sambil membawa map tebal berwarna cokelat. Kacamata bertengger di ujung hidungnya, senyumnya ramah bersahabat—senyum profesional seseorang yang sudah sering berhadapan dengan kecemasan orang lain.“Selamat siang, Bu Matilda,” sapanya hangat. “Sehat-sehat saja kelihatannya.”“Dokter Setiawan,” balas Matilda ringan. “Masih hidup, berarti sehat, Dok.”Dokter Setiawan terkekeh kecil, lalu pandangannya beralih ke bayi di pangkuan Nayla. “Ini?” tanyanya sambil mendekat sedikit.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Matilda lebih banyak diam. Tidak ada celoteh seperti biasanya, tidak ada komentar tentang macetnya Jakarta, bahkan keluhan soal parfum mobil baru Pak Gani pun tak ada. Ia duduk tegak, menatap lurus ke depan, sesekali memejamkan mata beberapa detik—lalu membukanya lagi, seolah sedang menahan sesuatu yang tak ingin jatuh ke permukaan.Nayla menangkap setiap gerak-gerik itu dari kursi belakang. Kegelisahan pelan-pelan merayap, membuat jemarinya refleks mengusap punggung Matteo yang terlelap di gendongan. Ada firasat tak enak menggelitik hatinya.“Mama sudah sarapan?” tanya Nayla membuka obrolan.“Sudah, Nay,” jawab Matilda singkat, tanpa menoleh.“Telur dadar? Toast? Smoothies?” Nayla menyebutkan menu favorit Matilda, berharap mendapat respons yang lebih hidup.“Rebusan daun sirsak.” Matilda menghela napas pendek.Nayla melongo. Ia menahan komentar, hanya menelan ludah pelan. Rebusan daun sirsak? Dia ingat sekali, dulu Mbah Putri juga suka minum r







