Share

BAB 9

Author: Fredy_
last update Last Updated: 2025-06-30 09:01:38

Udara kamar terasa lebih tenang dari sebelumnya. Aroma teh hangat perlahan menguar begitu Leo muncul di ambang pintu, membawa dua cangkir putih di tangannya. Ia berhenti sejenak—pemandangan di depannya membuatnya terpaku.

Nayla berdiri di sisi box bayi, membenahi selimut kecil Matteo yang kini terlelap. Perut mungil si bayi naik-turun dengan napas teratur. Tak ada lagi jeritan. Tak ada lagi isakan. Hanya keheningan—sunyi yang menelan semua lelah di hari itu.

Leo melangkah masuk perlahan, nyaris tanpa suara. Matanya tak lepas dari punggung Nayla yang sedikit membungkuk, tangannya bergerak pelan menepuk lembut dada bayi yang sedang tidur. Wajah Nayla tampak teduh, sendu damai, diterpa sinar kuning temaram dari lampu kamar.

Seperti terhipnotis, langkah Leo semakin mendekat. Sejenak ia seakan lupa dengan semua beban yang menggelayuti pundaknya seharian ini. Lupa pada ketakutan yang membentur-bentur pikirannya. Lupa pada duka yang masih menggantung di ujung hari.

Sampai tiba-tiba—

Brak!

Tubuh Nayla bergerak menegak, tak menyadari Leo sudah berdiri terlalu dekat di belakangnya. Bahunya menghantam dada Leo, dan dalam hitungan detik, salah satu cangkir teh terlepas dari tangan Leo.

"Akh!" Nayla menjerit spontan.

Cangkir itu jatuh menghantam lantai dengan bunyi nyaring. Pecah. Teh panas memercik ke lantai ... kaki dan... ke lengan Nayla.

Tubuhnya tersentak, tangan kirinya terangkat panik. "Panas!"

"Awas! Cangkir—" Leo refleks ikut menjerit, sembari menghalau kaki Nayla agar tak menginjak pecahan. Namun semuanya terjadi begitu cepat.

Nayla mundur beberapa langkah, tumitnya menabrak kaki kursi. Tubuhnya limbung, dan—

"Aduh!"

Ia jatuh terduduk dengan bunyi cukup keras. Kursi sempat bergeser, mengeluarkan suara yang menyentak. Leo terkesiap, jantungnya serasa lompat ke tenggorokan. Nayla spontan mengaduh, meniup-niup lengannya yang melepuh, wajahnya meringis menahan perih.

Dan seolah itu belum cukup—

"OWAAAA!!"

Tangis Matteo pecah, lebih keras dari sebelumnya. Mengiris udara seperti pisau tumpul.

Leo panik luar biasa.

Ia masih memegang satu cangkir lagi di tangan kirinya, sementara tangannya yang satu lagi refleks terangkat ingin melihat kondisi Nayla. Matanya terbelalak, menatap dua bencana di depannya—Nayla yang kesakitan dan Matteo yang menjerit seperti dunia akan kiamat.

"Aduh… Nayla, kamu—eh, sebentar! Matteo—" Leo melirik ke kiri, ke kanan, otaknya seperti macet. "Taruh dulu ... cangkir taruh dulu ..." desisnya panik.

Ia berjalan ke meja rias, hampir menabrak lemari, dan meletakkan cangkirnya dengan kasar. "Aduh, bodoh ..." rutuknya, mengacak rambut sendiri, lalu berlari kembali ke Nayla.

Nayla masih terduduk, mengerang pelan sambil menatap lengannya yang mulai memerah. Air mata mengalir tanpa izin dari sudut matanya, tapi ia berusaha tetap kuat. Sementara itu, telinganya tak tega mendengar jeritan Matteo yang semakin menggila.

Leo segera menghampiri Nayla.

"Tangan kamu… aduh, itu melepuh, ya?"

"Panas... aduuhh ... tapi bayinya," ujar Nayla menahan perih, meski wajahnya jelas menampik.

"Ya Tuhan… bayi ... Matteo ... tapi tangan kamu ... kaki kamu!" Leo nyaris terengah, berkeringat dingin. Matanya menatap nanar Nayla yang seharusnya sudah bisa istirahat.

"Matteo dulu! Matteo dulu saja!" seru Nayla, memaksakan suara, meski tubuhnya mulai melemah.

"Oke, Matteo!" Leo langsung berbalik. Wajahnya pucat di depan box bayi. "Terus? Aku ... Aku harus apa?" suaranya terdengar frustasi.

"Tarik napas, Pak ... buang pelan-pelan ..."

"Hah? Tarik ...?"

Leo terbengong sedetik, namun segera melakukan yang dikatakan Nayla. Dia menarik napas dalam-dalam, membuangnya perlahan. Detik itu, dunia yang kacau terasa lebih pelan. Lebih tenang. Lalu, terdengar suara Nayla lagi, lebih lembut.

"Gendong ... Gendong Matteo, Pak. Bawa ke sini ..."

Leo menelan ludah. Tangannya yang masih sedikit gemetar, terulur ke dalam box. Jari-jarinya menyentuh selimut lembut bayi, menyelinap ke bawah tubuh mungil itu dengan sangat hati-hati. Pelan-pelan, ia mengangkat Matteo ke dalam pelukannya.

"Sini ... bawa sini, Pak ..." Nayla merentangkan kedua tangannya, menyambut Matteo dengan sorot mata keibuan yang penuh sayang.

Begitu bayi itu berpindah ke pelukannya, Nayla langsung memeluk tubuh mungil itu dengan sepenuh jiwa.

"Ssstt... Nama kamu Matteo ya ... ini aku Nayla, Matteo ... sudah ... jangan nangis lagi, ya..." bisiknya lembut, bibirnya nyaris menempel di dahi si kecil. "Kasihan Papa ... sudah kusut sekali ... sshhh ..." tambah Nayla.

Tangis Matteo perlahan surut menjadi isakan kecil. Nayla mulai mengayun pelan tubuhnya, lalu mulai mendengangkan lagu dengan suara halus nyaris bergetar.

"Twinkle... twinkle... little star... how I wonder what you are..."

Leo tersentak.

Ia menatap Nayla tak berkedip. Di balik penampilan sederhananya, siapa sangka wanita itu bisa menyanyikan lagu asing dengan pengucapan yang begitu jernih dan nada-nada yang sangat menyentuh. Dan melihat bagaimana tangisan Matteo luluh dalam pelukan Nayla—dengan begitu alami dan penuh naluri keibuan—

Tanpa sadar, bibir Leo berucap seperti memohon, "Nayla… malam ini… tolong bisa nginap di sini ... ya ..."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (5)
goodnovel comment avatar
Intan Azzura
karna keadaan akhir nya ada rasa cinta
goodnovel comment avatar
eonnira
baik pak.. jawab Nayla.. aduh Nay kena air panas itu bekasnya panas banget
goodnovel comment avatar
Evi Erviani
kok salting sih ini bapak Leo.. kamu cinta gag ke buk Zoya?? ... belum sehari ditinggal istri udh salting sama ciwi lain ajh
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 105

    Suasana kamar mendadak mencekam. Udara sejuk dari hembusan AC, menusuk dingin kulit mereka, diiringi gumaman kecil Matteo yang masih berusaha menegakkan tubuh mungilnya. Surti duduk di ujung ranjang, menatap Nayla dengan sorot mata tajam.“Nay… sekarang kamu yang cerita semua sama aku... aku dengerin kamu," ujar Surti. "Cerita, kamu kenal sama cowok ini di mana? Kok bisa sampai… sampai tidur sama dia? Apa kamu… kamu cinta sama dia? Sampe-sampe kamu... rela kasih keperawananmu gitu aja?"Nayla mengangkat wajahnya pelan, matanya sudah basah. Tubuhnya gemetar, seolah pertanyaan itu membelah hatinya jadi dua. Air mata jatuh satu-satu, membasahi pipi.“Ti… aku kenal dia di vila...” suaranya parau. “Dia... cowok pertama yang bilang suka sama aku...""Ya ampun, Nay..." Surti gemas sekali mendengar pengakuan Nayla. Dadanya naik turun cepat, tangannya meremas surat itu seolah meremas kepolosan Nayla. "Lanjut.... terus? Kamu cinta dia?" todongnya.Nayla menggeleng lugu, matanya berkaca-kaca. "A

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 104

    Suara deru mesin mobil Leo berpacu dengan detak jantungnya. Dua motor besar yang sedari tadi membuntuti makin liar, jaraknya semakin rapat. Dari kaca spion, Leo seperti bisa menangkap tatapan tajam mata elang pengendara di balik helm hitam. Leo bergegas menekan tombol handsfree di layar mobil, menelepon Putra. “Halo, Pak Boss?” suara Putra terdengar riang, seolah dunia baik-baik saja. “Put, kamu masih di hotel?” tanya Leo, berusaha terdengar tenang meski telapak tangannya sudah berkeringat menggenggam setir. “Masih, Boss. Lagi siap-siap turun. Jadi kita makan di mana, nih?” “Kamu duluan aja ya, ke Warung—” ucapan Leo terpotong ketika salah satu motor tiba-tiba menyalip dari kanan, menutup jalurnya. Refleks Leo berbelok tajam dan mengumpat, “Bajingan!” Putra terperanjat. “Warung Bajingan? Di mana tuh, Boss?” “Bukan! Bukan bajingan!” Leo mendengus, menekan gas lagi. “Oh… bukan bajingan. Bujangan? Bapak mau makan bakso apa bebek?" tanya Putra. “Warung di Jalan Riau… Warung—” suar

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 103

    Pertemuan bisnis semalam sebenarnya berjalan cukup menyenangkan. Ruangan hotel bintang lima itu penuh tawa, gelas-gelas kristal beradu, aroma wine menguar samar, dan obrolan mengalir dari satu meja ke meja lainnya. Leo duduk di kursinya dengan sikap tenang, sesekali tersenyum tipis ketika lawan bicara mengajaknya berbincang. Ya, pertemuan itu menyenangkan, kalau saja… Budiman Surya tidak muncul. Pria tua itu datang sambil petantang-petenteng, mengenakan jas terlalu mencolok dengan dasi bermotif kuning emas. Suaranya sengaja dibuat keras, agar semua orang di ruangan menoleh. Sungguh haus perhatian dan validasi. “Hotel baru saya, The Golden Crown, resmi dibuka bulan depan! Semua orang penting sudah dapat undangan, tentu saja kalian juga!” serunya dengan bangga, sambil membusungkan dada. "Hotel baru saya... hotel baru saya..." Leo mendesah kasar dalam hati. "Semua orang juga sudah tahu, dari mana modal The Golden Crown." Orang-orang di ruangan itu juga mungkin hanya tertawa basa-basi

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 102

    Nayla menatap buket mawar itu tak berkedip. Dadanya berdegup tak karuan, rasa gelisah yang tadi sudah coba ia tahan agar tidak ikut dirasakan Matteo, kini menyergapnya lagi. Ia bangkit dari duduknya, mendekat ke meja makan. Surti yang masih penasaran dengan buket itu, sigap menarik kartu kecil yang terselip di antara kelopak bunga. Dan membaca sebaris tulisan di kartu dengan lantang. "Telpon aku, Nanay!” Surti menjerit kecil sambil menutup mulutnya, lalu terkekeh geli. “Aduuhh, Pak Leo! Dia kangen kamu telpon tuh, Nay. Eh, dia keluar kota ke mana sih? Jauh ya? Nyampe minta kamu telepon segala. Ihh… iri dweh aku sama kamoh,” candanya sambil menggoyang-goyangkan kedua tangannya gemas. Namun kali ini, wajah Nayla sama sekali tidak tersipu. Ia tidak tersenyum, atau pun membantah sambil salah tingkah seperti biasanya. Tubuhnya menegang kaku. Jari-jarinya yang tadi menggenggam kain gendongan Matteo, kini mengepal kuat. Bukan! Leo tidak mungkin menyuruhnya telepon. Kalau ada hal penting

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 101

    “Nih, kamu bisa tidur di sini, Ti. Dulu aku sama BuDe pakai kamar ini. Udah aku beresin sih pas BuDe dipecat Mama. Cuma spreinya pasang sendiri, ya,” ujar Nayla sambil mendorong pintu kamar pembantu dan menyalakan lampu. Surti melongok ke dalam, matanya berbinar. “Wih, makasih banget, Nay. Aku nekat kabur dari rumah itu tanpa mikir panjang. Yang penting bisa ketemu kamu dulu. Urusan tidur belum aku pikirin sama sekali. Eh, malah dikasih kamar enak gini." Nayla tersenyum lembut, meski hatinya masih sesak melihat wajah memar temannya itu. “Nekat kamu bagus, Ti. Sekarang istirahat ya. Besok pagi atau siang kalau Leo udah pulang, aku bantu obrolin soal utangmu.” “Hehehe, iya, iya…” Surti nyengir, lalu duduk di tepi ranjang. “Terus… kamu tidur di mana, Nay?” “Oh, aku di atas bareng Matteo. Di sebelah kamar Leo,” jawab Nayla santai sambil mengeluarkan sprei dan bantal dari lemari. Surti langsung tersenyum nakal. “Kamar sebelahan gitu, nggak takut malem-malem ada yang salah kamar tuh?"

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 100

    "Paket? Kok malem-malem begini?" tanya Pak Dirman dari celah pagar, suaranya setengah curiga setengah waspada dari celah pagar. Malam menebal, lampu taman memantulkan siluet sosok berjaket tebal dengan tudung yang ditarik rapat, dan masker menutupi separuh wajahnya. Hanya mata dan sedikit dahi yang tampak, sayu dan lelah. Sosok misterius itu menggeleng pelan. "Bukan paket? Terus apa? Mau minta sumbangan? Udah malem, nggak terima tamu" ujar Pak Dirman tegas. Sosok itu menggeleng lagi, lebih kuat. “Bukan, Pak. Saya… saya mau ketemu sama... Nanay.” “Nanay? Bu Nayla?” Pak Dirman memajukan wajah sampai menempel ke jeruji pagar, mencoba mengintip lebih jelas. “Kamu ini... siapa? Suara kamu mirip—” “Pak, tolong…” potong sosok itu, suaranya mendesak. “Sebentar aja. Saya ada perlu sama Nayla... penting. Menyangkut hidup dan masa depan saya, Pak." Nada putus asa itu membuat Pak Dirman tersentak. Kata-katanya berat, seolah membawa beban besar. Hatinya mendadak cemas. “Jam segini Bu Nayl

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status