Mag-log in"Bi-bisa, kan?" tanya Leo, nyaris tak terdengar.
Nayla mendongak perlahan, matanya membulat, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Saya... nginap di sini?" gumamnya, ragu. Matanya menatap Leo sedikit ragu. Untuk sesaat, hanya deru napas bayi yang kini tertidur lelap di pelukannya yang terdengar di antara mereka. Leo seketika gugup, seperti baru sadar betapa aneh permintaannya itu. Ia cepat-cepat mengangkat kedua tangannya, seolah menyatakan tak bermaksud macam-macam. "Maksudku... bukan yang gimana-gimana ... eeng ...Nayla..." katanya terbata. "Aku cuma... ya ... aku ... aku nggak tahu harus minta tolong ke siapa lagi. Matteo..." Leo menghela napas berat, "...kalau tengah malam nanti dia nangis lagi? Atau... kalau dia lapar ... atau kalau aku ketiduran?" Leo menatap Nayla dengan mata lelah dan jujur. "Maaf ...Dokter baru bisa datang besok siang. Aku... aku takut kalau Matteo sampai nangis kayak tadi lagi... dan aku sendirian." Nayla terdiam. Luka di lengannya masih berdenyut, dan matanya masih menyimpan sedikit sisa air mata. Tapi melihat sorot wajah Leo yang benar-benar kacau—seorang ayah baru yang kelelahan, terjebak di antara duka dan tanggung jawab yang datang bersamaan—membuat batinnya tergerak. Lagipula, pikir Nayla, ia juga tak enak kalau harus balik ke rumah Ibu Lilis setelah kabur begitu saja. Dan, ini sudah hampir tengah malam. Angkutan umum juga kemungkinan sudah berhenti beroperasi. Nayla akhirnya mengangguk kecil. "Baiklah, Pak ..." Leo langsung menghela napas lega, seolah beban besar baru saja lepas dari dadanya. "Terima kasih, Nayla ... Terima kasih ..." ucapnya tulus. "Mulai malam ini ... kamar ini jadi kamar bayi. Kamu boleh tidur di sini. Temani Matteo. Aku ... aku ... akan tidur di kamar sebelah, di kamar utama. Kalau kamu butuh apa-apa, bilang saja," ujarnya cepat, seperti takut Nayla berubah pikiran. Kemudian matanya terarah ke lengan Nayla yang kemerahan. "Oh ... tangan kamu ..." ucapnya. Dan, tanpa menunggu reaksi Nayla, ia berlari keluar kamar. Tak sampai lima menit, Leo kembali membawa sebuah kotak P3K. Ia jongkok lagi di depan Nayla, dan membuka kotak. "Ini... salep luka bakar. Kamu ... oles di tangan dan kaki kamu, ya. Sekali lagi aku minta maaf ... udah ceroboh ..." Nayla menerimanya dengan tangan yang masih memeluk Matteo. "Dan ini ..." Leo menyodorkan selembar pakaian bersih berwarna putih. "Daster, atau apalah itu namanya. Aku ingat Zoya pernah beli ini. Katanya baju untuk ibu menyusui. Aku nggak tahu muat apa nggak, tapi... coba saja ..." Nayla mengangguk kecil, menatap pakaian itu sejenak sebelum menatap Leo lagi. Sebuah percikan terasa hangat di hatinya, meski kepalanya penuh tanya. Mengapa hidup tiba-tiba menyeretnya ke dalam rumah megah ini, bayi yang bukan darah dagingnya, dan seorang pria asing yang kini memperlakukannya dengan ... sangat baik. Leo menunjuk ke arah pintu di sudut ruangan. "Itu kamar mandi. Kamu boleh mandi atau ngapain aja, terserah. Aku ... aku di kamar sebelah. Tolong ... jaga Matteo, Nayla ..." Nayla hanya mengangguk lagi. Perlahan ia beranjak, membawa salep dan pakaian yang diberikan, menuju box bayi untuk meletakkan Matteo. Malam itu berakhir dengan kesunyian yang menggantung. Leo melangkah ke kamarnya sendiri. Ia berbaring di sisi ranjang yang dingin, menatap langit-langit kosong dengan mata yang sulit terpejam. Sementara di kamar bayi, Nayla duduk di kursi, memandangi Matteo yang tertidur dengan wajah damai. Dan untuk pertama kalinya sejak ia pergi dari desa yang mengusirnya, hatinya tidak terasa sepi. Ya, Malam itu memang tak sempurna. Tapi cukup untuk membuat dua jiwa yang sama-sama terluka... merasa sedikit terobati. *** Pagi merekah perlahan di langit Jakarta, namun keheningan rumah megah itu hanya bertahan sebentar saja."LEOOOO!!"
Sebuah suara nyaring dan parau membelah udara, menggema dari balik pintu utama yang didorong penuh tenaga. Seorang wanita paruh baya, berpenampilan glamor dengan syal sutra melilit leher dan koper kecil menggelinding di belakangnya, masuk dengan napas tersengal. Wajahnya penuh riasan yang mulai luntur karena tangis yang tak tertahan."Leo, My Son! Oh my God, I'm sorry, Darling! Mama baru sampai Dubai terus dapet kabar ... Oh, Zoya... ya Tuhan, Zoya..." Tangis wanita itu pecah di antara isak dan gerutu. Dengan napas memburu, ia mulai menaiki tangga menuju kamar Leo. Namun saat mendekati pintu salah satu kamar di lantai atas, langkahnya terhenti. Dari balik pintu yang sedikit terbuka, terdengar suara lembut wanita mendendangkan lagu, "Twinkle, twinkle, little star..." Mata wanita itu membelalak. Napasnya tertahan. Perlahan ia mendekat, menempelkan telinganya ke daun pintu. Dan saat suara itu terdengar semakin jelas, tubuhnya sontak menegang. Tanpa pikir panjang, ia mendorong pintu dengan satu hentakan—dan langsung membatu di ambang pintu. Di dalam ruangan, seorang wanita muda berpakaian panjang berwarna putih, sedang duduk di kursi, menimang-nimang bayi. Wajahnya bersinar dalam cahaya pagi yang menyusup lewat celah tirai. "SIAPA KAMU?!" Suara wanita itu melengking, memecah udara. Matanya membesar tak percaya. "HAN... HANTU?!" Teriakan menggelegar itu membuat Nayla tersentak, memeluk Matteo lebih erat di pelukannya. Dari kamar sebelah, Leo membuka pintu dengan tergesa, napasnya tercekat melihat ibunya berdiri di amang pintu, memergoki Nayla.Beberapa minggu kemudian, ia mengajak Lucienne ke Indonesia, ke vila barunya di pelosok desa yang sejuk dan tenang. Lucienne tampak bahagia di sana, menatap hijaunya pepohonan dan mencium wangi tubuh bayinya yang baru lahir.Suatu sore di teras vila yang diterpa angin lembut dari dedaunan, Tommy duduk di samping putrinya. Senja berwarna keemasan membalut wajah mereka, memantulkan cahaya lembut di mata Lucienne yang tengah memangku bayinya.“Lucienne,” suara Tommy terdengar lebih lembut dari biasanya. “Papa ingin kamu melanjutkan sekolahmu. Hidupmu belum berakhir, Sayang. Kamu mau?”Lucienne mengangkat wajah, menatap ayahnya dengan mata yang berbinar penuh harap. “Pa… tentu saja aku mau. Aku belum melupakan cita-citaku jadi dokter.”Senyumnya merekah, polos, seperti anak kecil yang baru saja diampuni setelah berbuat salah.Tommy mengangguk pelan, menatap jauh ke arah sawah. “Papa hanya ingin masa depanmu lebih baik, Luci. Kau gadis pintar, Papa tahu itu.”Lucienne tersenyum lega—hingga
"S-saya… saya…” Nayla menoleh ke arah Leo, matanya penuh kebingungan dan gugup. Matilda yang duduk di seberang mereka tersadar akan ketegangan di meja maka, dan segera memecahkan ketegangan dengan menepuk tangannya. “Eh, sudah makan dulu. Nanti baru kita ngobrol-ngobrol setelahnya.” Ia menoleh ke arah ruang tengah, tempat Surti yang lebih memilih menikmati makan malam sambil menjaga Matteo. “Tiii… Surti! Kita punya buah apa di kulkas?” “Iya, Bu!” sahut Surti dari kejauhan, buru-buru menandaskan sendok terakhirnya. “Kita punya anggur sama semangka, Bu. Udah dipotong juga!” “Bagus, nanti tolong bawa ke ruang tengah, ya,” kata Matilda, mencoba menahan senyum canggung sebelum melanjutkan suapannya. Beberapa belas menit kemudian, suasana sudah mencair. Mereka berpindah ke ruang tengah. Surti datang dengan nampan berisi mangkuk buah potong dan salad buah, lalu duduk di kursi dekat Matteo yang sudah mulai menggeliat. Matilda langsung menyambar cucunya, mengangkat Matteo tinggi-tinggi sam
“Se-selamat malam, Mama Mat...” sapa Surti, menyambut Matilda sambil sedikit membungkuk.Matilda tersenyum hangat. "Formal banget, Ti. Nayla sama Matteo mana?" tanyanya."Oh, mereka masih siap-siap di kamar. Pak Leo juga sudah pulang, ada di kamar," sahut Surti, melirik pria beruban yang masih terlihat tampan di belakang Matilda."Dasar anak muda, kalau siap-siap pasti lama. Kami tunggu saja di..." Hidung Matilda seketika mengendus-endus, matanya menyipit. "Ini bau apa, Ti?""Bau? Bau apa?" Surti ikut mengendus-endus. "Astaga! Perkedel jagung gosong!" Ia sontak berlari lagi ke dapur."Ya ampun, Ti! Matiin kompor sekarang, mandi kamu! Bau bawang!" seru Matilda.Tommy tertawa kecil di belakang Matilda, suaranya berat tapi berwibawa. “Rumah kamu hangat ya, Matilda. Suasana yang aku rindukan."“Ya begitulah, Tom. Selalu ada-ada saja kelakuan mereka" ujar Matilda ikut tertawa. "Kita tunggu di sana saja, Tom."Matilda dan Tommy kemudian duduk di ruang tengah. Pria tua itu tersenyum seolah m
Asap tipis mengepul dari wajan, aroma bawang putih dan serai menari-nari di udara. Dapur rumah itu mendadak berubah seperti dapur katering menjelang jam makan siang, dengan dua perempuan yang bergerak lincah—dan sama paniknya. “Nay, sambalnya gosong!” teriak Surti sambil meniriskan ayam goreng kremes di atas tisu dapur. “Aku tahu! Eh, Ti—” mata Nayla langsung membulat ke arah penanak nasi. “Kamu belum pencet tombol cook-nya, ya? Astaga, nasinya belum matang, Ti!” Ia membuka tutup penanak nasi, dan tubuhnya seketika lemas. “Affa?! Ya Tuhan, gara-gara nangisin bawang merah aku lupa. Pencet, Nay, cepet! Dua puluh menit juga matang, masih bisa diselamatin,” seru Surti, tetap fokus menata ayam goreng di piring saji. Dari ruang tengah, suara tangisan Matteo memecah kehebohan. “Ti, aku nyusuin Matteo dulu ya! Biar nanti malam nggak rewel pas makan malam,” ujar Nayla sambil mencopot celemek dan buru-buru mencuci tangan. Surti menarik napas panjang, sambil terus bekerja. “Ya ampun… abis g
Deru mesin jet pribadi berdengung lembut, seperti bisikan yang menembus langit biru di atas Lautan luas. Interior kabin memancarkan kemewahan yang tenang — karpet abu muda berpadu dengan kursi kulit krem yang empuk, meja marmer kecil di tengah ruangan, dan sebotol anggur putih dingin yang belum tersentuh di antara dua gelas kristal. Matilda bersandar di kursinya, matanya menatap langit luas di balik jendela oval jet pribadi itu — awan bergulung lembut seperti lautan kapas yang tak bertepi. Di hadapannya, duduk seorang pria beruban, berjas biru tua, dengan tablet di tangannya. Jemarinya terus mengusap layar, sibuk sekali. Ya begitulah, pria yang bersamanya itu memang bukan seseorang yang punya banyak waktu luang. Tapi, setelah puluhan tahun tidak pernah ke Indonesia, akhirnya ia memutuskan untuk datang lagi dengan debaran yang berbeda. “Indonesia masih secantik dulu, Matilda?” tanyanya dengan aksen Inggris yang kental. “Rasanya baru kemarin kita bicara tentang proyek di Jakarta. S
"Awas kamu, Leo!" maki Budiman.Ia berjalan cepat, wajahnya pucat menegang, napasnya memburu seperti dikejar malaikat maut. Sepatu kulitnya menendang kerikil-kerikil di halaman vila, diiringi suara Leo yang masih menggema di belakangnya.“Eh, Pak! Mau ke mana? Pak?” panggil Leo, nadanya seperti sedang mengejek seorang anak kecil yang ketahuan berbuat curang.Budiman makin mempercepat langkah, tapi Leo belum berhenti.“Om Budiman! Mau ke mana? Kok buru-buru banget? Baru juga ketemu,” ucap Leo.Budiman tak menoleh. Ia hanya menggeram keras, seolah menghalau perasaan malu yang menyesakkan dadanya.“Oh iya, Om!” seru Leo lantang, dengan tawa kecil di ujung kalimatnya. “Tolong bilang Arlene, jangan lama-lama di Berlin. Tuan Borden sudah hampir tiba di Indonesia.”Tawa Leo pecah, lepas, dan puas. Menggema sampai ke halaman vila yang sepi itu. Budiman spontan menoleh setengah badan, matanya membulat tak percaya. Menatap Leo dengan tatapan seperti ingin menelan pemuda itu hidup-hidup. Sialan!







