Share

BAB 10

Author: Fredy_
last update Last Updated: 2025-07-01 08:59:26

"Bi-bisa, kan?" tanya Leo, nyaris tak terdengar.

Nayla mendongak perlahan, matanya membulat, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

"Saya... nginap di sini?" gumamnya, ragu.

Matanya menatap Leo sedikit ragu. Untuk sesaat, hanya deru napas bayi yang kini tertidur lelap di pelukannya yang terdengar di antara mereka.

Leo seketika gugup, seperti baru sadar betapa aneh permintaannya itu. Ia cepat-cepat mengangkat kedua tangannya, seolah menyatakan tak bermaksud macam-macam.

"Maksudku... bukan yang gimana-gimana ... eeng ...Nayla..." katanya terbata. "Aku cuma... ya ... aku ... aku nggak tahu harus minta tolong ke siapa lagi. Matteo..." Leo menghela napas berat, "...kalau tengah malam nanti dia nangis lagi? Atau... kalau dia lapar ... atau kalau aku ketiduran?"

Leo menatap Nayla dengan mata lelah dan jujur. "Maaf ...Dokter baru bisa datang besok siang. Aku... aku takut kalau Matteo sampai nangis kayak tadi lagi... dan aku sendirian."

Nayla terdiam. Luka di lengannya masih berdenyut, dan matanya masih menyimpan sedikit sisa air mata. Tapi melihat sorot wajah Leo yang benar-benar kacau—seorang ayah baru yang kelelahan, terjebak di antara duka dan tanggung jawab yang datang bersamaan—membuat batinnya tergerak.

Lagipula, pikir Nayla, ia juga tak enak kalau harus balik ke rumah Ibu Lilis setelah kabur begitu saja. Dan, ini sudah hampir tengah malam. Angkutan umum juga kemungkinan sudah berhenti beroperasi.

Nayla akhirnya mengangguk kecil.

"Baiklah, Pak ..."

Leo langsung menghela napas lega, seolah beban besar baru saja lepas dari dadanya.

"Terima kasih, Nayla ... Terima kasih ..." ucapnya tulus. "Mulai malam ini ... kamar ini jadi kamar bayi. Kamu boleh tidur di sini. Temani Matteo. Aku ... aku ... akan tidur di kamar sebelah, di kamar utama. Kalau kamu butuh apa-apa, bilang saja," ujarnya cepat, seperti takut Nayla berubah pikiran.

Kemudian matanya terarah ke lengan Nayla yang kemerahan. "Oh ... tangan kamu ..." ucapnya. Dan, tanpa menunggu reaksi Nayla, ia berlari keluar kamar.

Tak sampai lima menit, Leo kembali membawa sebuah kotak P3K. Ia jongkok lagi di depan Nayla, dan membuka kotak.

"Ini... salep luka bakar. Kamu ... oles di tangan dan kaki kamu, ya. Sekali lagi aku minta maaf ... udah ceroboh ..."

Nayla menerimanya dengan tangan yang masih memeluk Matteo.

"Dan ini ..." Leo menyodorkan selembar pakaian bersih berwarna putih. "Daster, atau apalah itu namanya. Aku ingat Zoya pernah beli ini. Katanya baju untuk ibu menyusui. Aku nggak tahu muat apa nggak, tapi... coba saja ..."

Nayla mengangguk kecil, menatap pakaian itu sejenak sebelum menatap Leo lagi. Sebuah percikan terasa hangat di hatinya, meski kepalanya penuh tanya. Mengapa hidup tiba-tiba menyeretnya ke dalam rumah megah ini, bayi yang bukan darah dagingnya, dan seorang pria asing yang kini memperlakukannya dengan ... sangat baik.

Leo menunjuk ke arah pintu di sudut ruangan. "Itu kamar mandi. Kamu boleh mandi atau ngapain aja, terserah. Aku ... aku di kamar sebelah. Tolong ... jaga Matteo, Nayla ..."

Nayla hanya mengangguk lagi. Perlahan ia beranjak, membawa salep dan pakaian yang diberikan, menuju box bayi untuk meletakkan Matteo.

Malam itu berakhir dengan kesunyian yang menggantung. Leo melangkah ke kamarnya sendiri. Ia berbaring di sisi ranjang yang dingin, menatap langit-langit kosong dengan mata yang sulit terpejam.

Sementara di kamar bayi, Nayla duduk di kursi, memandangi Matteo yang tertidur dengan wajah damai. Dan untuk pertama kalinya sejak ia pergi dari desa yang mengusirnya, hatinya tidak terasa sepi.

Ya, Malam itu memang tak sempurna. Tapi cukup untuk membuat dua jiwa yang sama-sama terluka... merasa sedikit terobati.

***

Pagi merekah perlahan di langit Jakarta, namun keheningan rumah megah itu hanya bertahan sebentar saja.

"LEOOOO!!"

Sebuah suara nyaring dan parau membelah udara, menggema dari balik pintu utama yang didorong penuh tenaga.

Seorang wanita paruh baya, berpenampilan glamor dengan syal sutra melilit leher dan koper kecil menggelinding di belakangnya, masuk dengan napas tersengal. Wajahnya penuh riasan yang mulai luntur karena tangis yang tak tertahan.

"Leo, My Son! Oh my God, I'm sorry, Darling! Mama baru sampai Dubai terus dapet kabar ... Oh, Zoya... ya Tuhan, Zoya..."

Tangis wanita itu pecah di antara isak dan gerutu. Dengan napas memburu, ia mulai menaiki tangga menuju kamar Leo.

Namun saat mendekati pintu salah satu kamar di lantai atas, langkahnya terhenti.

Dari balik pintu yang sedikit terbuka, terdengar suara lembut wanita mendendangkan lagu, "Twinkle, twinkle, little star..."

Mata wanita itu membelalak. Napasnya tertahan. Perlahan ia mendekat, menempelkan telinganya ke daun pintu.

Dan saat suara itu terdengar semakin jelas, tubuhnya sontak menegang. Tanpa pikir panjang, ia mendorong pintu dengan satu hentakan—dan langsung membatu di ambang pintu.

Di dalam ruangan, seorang wanita muda berpakaian panjang berwarna putih, sedang duduk di kursi, menimang-nimang bayi. Wajahnya bersinar dalam cahaya pagi yang menyusup lewat celah tirai.

"SIAPA KAMU?!"

Suara wanita itu melengking, memecah udara. Matanya membesar tak percaya.

"HAN... HANTU?!"

Teriakan menggelegar itu membuat Nayla tersentak, memeluk Matteo lebih erat di pelukannya. Dari kamar sebelah, Leo membuka pintu dengan tergesa, napasnya tercekat melihat ibunya berdiri di amang pintu, memergoki Nayla.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (7)
goodnovel comment avatar
Fredy_
Terimakasih kaakkk
goodnovel comment avatar
Luluk Chafidzoh
bagusss sekali kak novey nya aku suka
goodnovel comment avatar
eonnira
hahaha.. si Oma datang nih..kira² bakal julid apa friendly yaa
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 228

    Jarum suntik telah menembus selang infus. Tekanan kecil sudah diberikan—nyaris tak terlihat—saat cairan bening itu mulai bergerak, bercampur perlahan dengan aliran yang seharusnya menyelamatkan. Lalu suara itu terdengar. “Adrian…” Gumaman pelan, serak, seperti nama yang tak sadar terseret keluar dari mimpi. Tangan pria itu membeku. Jarinya refleks melepas tekanan. Napasnya tersangkut di tenggorokan, dadanya naik turun satu kali. Ia menurunkan tangan perlahan, seolah takut suara sekecil apa pun bisa merobek keadaan. Di ranjang, kelopak mata Matilda bergerak. Tak sepenuhnya terbuka, tapi cukup hidup untuk mengenali. “Adrian, kan?” suara itu lirih, namun pasti. “Kamu mau jenguk Aunty, ya?” Tak ada jawaban. Matilda tersenyum tipis, senyum orang tua yang mengenali anaknya bahkan dalam gelap. “Kok diam? Malu ya jenguk nenek-nenek,” katanya pelan. “Biar kamu nggak pakai seragam dokter, muka ditutup masker, jaket gede... Aunty bisa tahu itu kamu... bukan demit." Ia menelan ludah, na

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 227

    Sore itu, lantai praktik dokter anak terasa lebih riuh dari biasanya. Kursi tunggu penuh, nomor antrean terus bertambah, dan suara panggilan pasien bersahut-sahutan dari balik pintu-pintu ruang periksa lain.“Dokter Adrian sudah datang?” tanya seorang perawat sambil menenteng papan jadwal.Perawat lain menggeleng. “Belum. Jam praktiknya sudah lewat lima belas menit nih."Mereka berpencar. Satu mengecek ruang dokter, satu lagi ke ruang istirahat, sementara yang lain menyusuri lorong menuju nurse station. Nama Adrian disebut berulang, namun jawabannya selalu sama—tidak ada yang lihat.“Aneh,” gumam perawat senior. “Tadi aku sempet lihat dia masih jalan-jalan di lobi. Malah kayaknya sempat ngobrol sebentar sama Ners Dede di dekat lift.”“Terus?” Perawat itu mengernyit. “Dia ke mana sekarang? Masa pulang?"Belum sempat kebingungan itu berujung kepanikan, seorang perawat lain datang tergesa. “Maaf lupa info, aku ketemu Dokter Adrian setengah jam lalu,” katanya cepat. “Dia bilang harus pula

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 226

    Menjelang sore, langkah kaki Leo terdengar tergesa di lorong rumah sakit. Setibanya di depan kamar perawatan VVIP, ia berhenti sejenak—menarik napas dalam, mengatur ekspresi."Kata Nayla nggak boleh kelihatan panik… tarik napas… buang napas…" gumamnya dalam hati, sebelum akhirnya mendorong pintu dengan senyum selebar harapan orang tua.“Mama…” sapa Leo sambil menenteng dua bungkusan besar di kedua tangannya.Matilda yang sejak tadi sebenarnya sudah terjaga—namun memilih pura-pura tidur karena masih menyimpan kekesalan kecil—membuka satu mata, lalu menutupnya lagi dengan dengusan halus.“Mama… mama…” tirunya. “Senyum kamu lebar banget. Senang, ya, lihat mama rebahan di ranjang rumah sakit?”Leo terkekeh hambar. “Baru datang sudah kena omel. Leo senang kalau mama sehat, Ma.”“Mama itu selalu sehat,” sahut Matilda cepat. “Kalian saja yang berlebihan.”Senyum di wajah Leo perlahan surut. Bahunya mengendur sedikit. Ada rasa bersalah yang tak sempat ia sembunyikan—karena telalu keras melara

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 225

    Tirai krem terpasang rapi, sofa empuk berjajar di sisi dinding, dan jendela besar memperlihatkan langit siang yang pucat. Matilda duduk setengah bersandar di ranjang kamar perawatan rumah sakit, punggungnya disangga bantal tebal. Bibirnya manyun, alisnya berkerut—ekspresi merasa dipenjara tanpa alasan jelas.“Aduh… pelan-pelan dong, Sus,” protesnya saat perawat mulai memasang infus di lengannya. “Orang saya nggak sakit, kok, pakai diinfus segala.” Ia melirik tajam ke arah Nayla. “Nayla, cepat telepon Leo. Mama pengen marahin dia banget.”Di sudut ruangan, Nayla berdiri dengan ponsel di tangan. Ia melirik layar, lalu menekan nomor Leo sekali lagi. Nada sambung terdengar—sekali, dua kali, tiga kali—namun tak kunjung diangkat. Nayla menghela napas pelan, memaksa dirinya tetap tenang. Leo sudah bilang tadi pagi kalau hari ini ia penuh jadwal rapat, berpindah dari satu ruang meeting ke ruang lainnya.Perawat itu tersenyum sabar. “Tarik napas panjang ya, Bu. Biar infusnya cepat masuk.”Mati

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 224

    Bukannya tidur, Matteo justru semakin menyala begitu mereka masuk ke ruang praktik dokter. Matanya membulat, sibuk mengamati pohon Natal setinggi botol mineral—entah sudah berapa tahun berdiri di sudut meja dokter—penuh ornamen warna-warni yang berkilau.Lampu putih menggantung lembut di langit-langit, aroma antiseptik samar menguar—bau yang asing bagi sebagian orang, tapi sudah terlalu akrab bagi mereka yang sering bolak-balik rumah sakit.Pintu di sisi ruangan terbuka. Seorang pria berusia akhir lima puluhan masuk sambil membawa map tebal berwarna cokelat. Kacamata bertengger di ujung hidungnya, senyumnya ramah bersahabat—senyum profesional seseorang yang sudah sering berhadapan dengan kecemasan orang lain.“Selamat siang, Bu Matilda,” sapanya hangat. “Sehat-sehat saja kelihatannya.”“Dokter Setiawan,” balas Matilda ringan. “Masih hidup, berarti sehat, Dok.”Dokter Setiawan terkekeh kecil, lalu pandangannya beralih ke bayi di pangkuan Nayla. “Ini?” tanyanya sambil mendekat sedikit.

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 223

    Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Matilda lebih banyak diam. Tidak ada celoteh seperti biasanya, tidak ada komentar tentang macetnya Jakarta, bahkan keluhan soal parfum mobil baru Pak Gani pun tak ada. Ia duduk tegak, menatap lurus ke depan, sesekali memejamkan mata beberapa detik—lalu membukanya lagi, seolah sedang menahan sesuatu yang tak ingin jatuh ke permukaan.Nayla menangkap setiap gerak-gerik itu dari kursi belakang. Kegelisahan pelan-pelan merayap, membuat jemarinya refleks mengusap punggung Matteo yang terlelap di gendongan. Ada firasat tak enak menggelitik hatinya.“Mama sudah sarapan?” tanya Nayla membuka obrolan.“Sudah, Nay,” jawab Matilda singkat, tanpa menoleh.“Telur dadar? Toast? Smoothies?” Nayla menyebutkan menu favorit Matilda, berharap mendapat respons yang lebih hidup.“Rebusan daun sirsak.” Matilda menghela napas pendek.Nayla melongo. Ia menahan komentar, hanya menelan ludah pelan. Rebusan daun sirsak? Dia ingat sekali, dulu Mbah Putri juga suka minum r

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status