Share

4. Bujuk Rujuk

Author: Arini Asrini
last update Last Updated: 2024-01-02 08:52:12

“Bimo tidak akan membawa Melani, kecuali dia mau kembali kepada Tsani.”

Suara lelaki yang terdengar dari balik tembok pembatas ruang tamu dan teras. Hanya terdengar suaranya, tetapi sosoknya belum juga nampak. Semua mata tertuju ke arah sumber suara, seakan menantikan kemunculan lelaki tersebut.

“Saya tidak merelakan cucu kesayangan saya diambil oleh anak saya sendiri,” ucap ulang lelaki itu.

Kini sosoknya sudah terlihat. Lelaki paruh baya yang menggandeng wanitanya masuk ke rumah Tsani.

“Papah, Mamah,” ucap Bimo dan Tsani bersamaan.

Melihat kedatangan kedua orang tua Bimo, Pak RT, Bu Rosi dan Bu Farida serta Mita berpamitan pulang.

“Sepertinya sudah saatnya saya permisi, Pak, Bu,” pamit Pak RT.

“Silakan, Pak. Terima kasih sebelumnya sudah direpotkan atas masalah anak-anak kami,” sahut ayah Bimo.

Sampai detik ini suasana rumah Tsani masih begitu tegang, bahkan lebih tegang setelah kedatangan kedua mertuanya. Mereka memang sering mengunjungi rumah Tsani, sekali pun Tsani dan Bimo sudah satu tahun berpisah. Selama satu tahun pula Tsani tidak pernah mendapatkan nafkah dari Bimo maka dari itu orang tuanya selalu memberi uang sekadar untuk menutup kekurangan uang belanja dan jajan Melani. Mereka tidak bisa memenuhi semua kebutuhan menantunya karena setiap bulan harus membawa Bu Rusli kontrol ke rumah sakit.

“Kakek ... nenek ...,” panggil Melani kepada mereka dan memeluk mereka.

Pelukan hangat pun mereka berikan, hingga senyum Melani terlukis di bibirnya. Melani begitu disayangi oleh mereka. Melani adalah cucu pertama dari keluarga Tsani maupun keluarga Bimo. Namun, sayangnya Melani tidak merasakan kasih sayang dari kedua orang tua Tsani.

“Kenapa kalian begitu kaget dengan kedatangan orang tua kalian sendiri? Apa ada yang salah jika orang tua berkunjung ke rumah anak sendiri?” tanya ayah Bimo dengan nada tegas.

Tsani yang sedari tadi tertegun atas kedatangan mertuanya, sampai lupa belum menyalami mereka.

“Maaf Pak, Bu. Tsani lupa.”

Tsani segera memberikan salam takzim dan mencium punggung tangan keduanya. Diikuti oleh Bimo, tetapi apa yang terjadi. Kedua orang tuanya justru menampik tangan Bimo.

“Pah, Mah,” lirih Bimo.

“Masih berani kamu menampakkan wajahmu di hadapan Tsani, istri yang sudah satu tahun kamu lalaikan?! Sungguh tidak tahu malu! Siapa yang sudah mendidik kamu sampai jadi orang yang begitu tidak punya hati?! Jawab, Bimo!” bentak papah Bimo.

Bimo dibuatnya membisu, tidak berkutik seperti kecoa yang meminum racun serangga. Dalam hatinya ingin menjawab. Namun, papah Bimo bukanlah karakter orang yang suka diladeni ketika amarahnya memuncak, bahkan akan berubah menjadi lebih ganas. Bimo memilih diam dengan berondongan cacian yang papahnya berikan karena Bimo pun sudah menyadari kesalahannya.

“Papah sudah tahu semua yang terjadi hari ini karena Papah dan Mamah sudah datang sedari kalian ribut. Papah sengaja tidak masuk. Hanya ingin tahu apa tujuan sebenarnya kamu datang ke rumah Tsani. Ternyata hatimu sudah benar-benar mati, Bimo.”

“Pah, tetapi Bimo lakukan ini karena Bimo sayang Melani. Bimo janji akan menjadi ayah yang baik buat Melani.”

Kali ini lelaki berambut gondrong itu berani angkat bicara, menjawab pertanyaan papahnya.

“Ayah yang baik kamu bilang? Lihat dulu diri kamu yang sekarang, Bim. Rambut gondrong, kumis tebal, baju kumal, sungguh tidak terawat sekali diri kamu ini. Dimana istri yang selalu kamu puja-puja itu? Dan bayi yang kamu gendong. Apa sudah bisa kamu merawatnya? Sampai sok gagah membawa bayi keluar rumah. Akhirnya, apa yang terjadi? Kamu mengemis ASI kepada istri yang sudah kamu telantarkan. Menyedihkan sekali. Sekarang kamu berniat mengambil cucu kesayangan Papah? Mau jadi apa cucu Papah nanti. Mau jadi gelandangan sama sepertimu, iya?” berondong caci maki kini terangkai lagi dari mulut lelaki beruban yang masih terlihat gagah.

Seketika ruangan hening. Bimo dan Tsani sama-sama tertunduk. Tsani memang tidak pernah berani angkat bicara jika papah mertuanya sedang marah. Dan itu sudah Tsani tanamkan sedari dulu saat kedua orang tuanya masih hidup. Didikan yang baik membangun etika yang baik pula. Berbeda dengan Bimo yang memang sedari kecil jauh dari kasih sayang orang tua. Harta berlimpah, tetapi mendapat belaian dan pelukan saja susah. Kasih sayang orang tuanya memang tidak adil. Mereka lebih menyayangi adik Bimo dari pada Bimo sendiri.

“Papah minta Bimo menceraikan Dini dan rujuk dengan Tsani.”

Seketika Bimo dan Tsani mendongak bersamaan. Pandangan mereka tertuju pada satu pasang mata. Darah Tsani berdesir cepat mendengar pemintaan mertuanya. Permintaan yang tidak pernah sama sekali Tsani harapkan.

“Aku setuju,” jawab Bimo, “aku mau bersama lagi dengan Tsani dan meninggalkan Dini.”

Tsani tertegun dengan jawaban Bimo. Entah mimpi atau nyata. Akan tetapi, detik ini Tsani mendengar kesanggupan Bimo untuk meninggalkan wanita perusak rumah tangganya.

“Tsani tidak mau, Pah. Mas Bimo mau kembali kepada Tsani karena dia sudah dibuang oleh wanita itu. Bukan karena benar-benar tulus ingin kembali kepada Tsani. Tsani tidak mau. Maaf, Pah,” tolak Tsani.

“Tapi, Nak, Mamah sangat ingin melihat kalian bersama lagi. Berkumpul di rumah Mamah bersama menantu dan cucu kesayangan Mamah ini. Tolong bahagiakan hari tua Mamah, Nak.”

Wanita berhijab berwajah pucat itu pun turut membujuk Tsani untuk mau menerima permintaan mereka. Mamah Bimo memang sedang sakit sejak melihat menantu kesayangannya diperlakukan tidak baik oleh anaknya sendiri. Sakitnya bertambah parah lagi ketika Bimo berani pergi dari rumah demi seorang wanita yang tidak tahu malu.

“Demi Mamah, Nak. Rujuklah kembali dengan Bimo, Nak. Maafkan anak Mamah, lupakan kesalahannya. Bina kembali dari awal rumah tangga dengannya. Mamah yakin Bimo akan lebih baik jika hidup bersamamu. Mamah tidak mau kehilangan dia dan juga kehilangan menantu sebaik kamu. Kali ini Mamah mohon,” pinta mertua Tsani.

Saat ini Tsani sungguh merasa dilema. Tsani disuguhkan dengan dua pilihan. Patuh akan bujukan rujuk dari mertuanya atau tidak, tetapi jika tidak mematuhinya. Tsani akan merasa sangat bersalah dan juga durhaka. Karena Tsani sudah sangat menganggap kedua mertuanya itu seperti orang tua kandungnya sendiri. Kasih sayang mereka sungguh tulus. Walaupun Bimo selaku anaknya sudah tega meninggalkan Tsani. Akan tetapi, mereka tidak sedikit pun mundur satu langkah dari hidup Tsani. Tsani sangat beruntung untuk hal ini.

“Mah, Pah ... tanpa mengurangi rasa hormat Tsani kepada Mamah Papah, Tsani paham betul jika kalian begitu sayang kepada Tsani dan juga Melani. Akan tetapi, untuk permintaan Mamah Papah yang satu ini, Tsani harus memikirkan matang-matang. Beri Tsani waktu, Mah, Pah. Setidaknya agar Tsani melihat bagaimana sikap Mas Bimo yang sekarang. Apakah sudah benar-benar berubah atau hanya sekadar bualan belaka. Namun, jika nantinya keputusan Tsani tidak seperti yang Mamah Papah harapan, Tsani minta maaf sebesar-besarnya. Dan Tsani akan tetap menyayangi kalian sebagai orang tua Tsani," ucap Tsani.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu Untuk Anak Gundikmu   27. Memegang Bukti

    "Ternyata seperti ini jati diri kamu sebenarnya," Anjas bergumam dalam hati.Tsani telah kembali dari toilet. Anjas yang sudah tidak lagi nafsu untuk melanjutkan makan, memutuskan untuk mengajak Tsani pulang. Wanita yang memang sedang tak enak hati kepada Anjas pun menuruti ajakannya. Padahal, makanan belum juga habis.Setelah Anjas melakukan pembayaran di kasir untuk 4 porsi nasi padang dan dua gelas es teh, Anjas segera menuju ke mobil. Tsani sudah terlebih dulu manunggu di sana."Kita langsung pulang, kan, Tsan?""Iya, Mas. Sudah sore juga. Aku kepikiran sama Melani di rumah."Tanpa ada basa basi lagi dari keduanya. Anjas tancap gas meninggalkan rumah makan padang. Selama perjalanan pun tiada percakapan apapun.Sesampainya di rumah Tsani.Tsani tidak langsung turun karena tangan Anjas menahannya. Debaran dalam jantungnya begitu cepat. Cinta yang sama-sama dirasakan oleh keduanya entah akan bermuara ke mana."Tsan, aku tidak akan merasa sakit jika harus terus menerus menerima penola

  • Ibu Susu Untuk Anak Gundikmu   26. Kepastian Cinta

    Di tempat lain ...Rentetan-rentetan peristiwa hari ini cukup melelahkan. Sangat menguras energi, dan lupa akan waktu hingga tak terasa hari sudah menjelang sore, tetapi Anjas dan Tsani ternyata belum memberikan sesuap nasi untuk cacing-cacing di perut mereka. Sehingga perut Anjas pun keroncongan dan tercipta bunyi dari sana."Eh, bunyi apa itu, Mas?""Hei, itu bunyi perutku."Tsani yang mendengar bunyi tersebut tertawa kecil, Anjas pun tersipu malu dibuatnya."Tsan, mampir makan yuk. Aku sudah sudah terlalu lapar, nih.""Makan ditempat, Mas?""Iya, kalau kamu mau. Nanti kita makan nasi padang di depan. Terkenal enak di situ.""Tidak dibungkus saja, Mas? Aku sudah terlalu lama nitipin Melani, takut dia mencariku.""Coba kamu hubungi Dendi, Melani rewel atau tidak?"Anjas memang berencana ingin berbincang dengan Tsani. Jarang-jarang bisa keluar berdua dengan wanita pujaannya seperti hari ini. Keduanya disibukkan dengan rutinitas harian masing-masing. Terlebih lagi Tsani yang memang san

  • Ibu Susu Untuk Anak Gundikmu   25. Penyesalan Dini.

    Perasaan Dini mulai tidak tenang, wanita itu takut apa yang ia pikirkan selama ini akan terjadi hari ini.Dini dengan tangan gemetar mulai mengambil berkas yang sudah di depan matanya."Buka berkas itu dan jangan lupa tanda tangani segera," perintah ulang si Bimo."Aku baca dulu, ya, Mas.""Oh, tidak perlu."Dini bisa membaca sekilas ejaan demi ejaan yang tertulis di berkas."Mas, kamu mau menjual rumah yang sudah kamu belikan untukku? Kenapa Mas?"Dini terkekeh setelah berhasil menangkap beberapa deret kalimat yang tertera."Iya, karena kamu, kan, sudah harus ikut aku di sini. Rumah ini juga luas, bukan? Bahkan kamu juga disediakan kamar sendiri. Tidak harus sekamar denganku. Lagi pula, kalau kita balik ke rumah itu pasti laki-laki hidung belang itu akan dengan mudah menemuimu, dan aku takut kamu akan bermain api lagi di belakangku di rumah itu. Jadi, terpaksa aku jual."Alasan Bimo membuat Dini terdiam sejenak."Tapi, kan, kita bisa ngontrakin itu rumah, Mas. Tidak perlu harus dijua

  • Ibu Susu Untuk Anak Gundikmu   24. Kertas dan Berkas.

    Bergegas Anjas membuka kertas lusuh yang terlipat pemberian dari Bimo itu dan segera membacanya.Anjas hanya tersenyum membaca pesan yang tertulis dalam kertas lusuh tersebut, lalu kembali melipatnya.“Jadi, maksud Anda, saya yang menulis pesan ancaman seperti ini?”“Lantas siapa lagi yang akan melakukan itu kalau bukan orang yang mau menghalangi aku untuk rujuk dengan Tsani lagi kalau bukan Anda?”Kertas yang masih ada dalam genggaman tangan Anjas pun kini diambil oleh Tsani yang juga penasaran dengan isi pesannya.“Jangan asal memfitnah orang, Mas Bim. Kalau tidak ada bukti yang akurat. Bisa jadi, kan itu kerjaan orang lain yang tidak suka dengan hubungan kita. Aku yakin, ini bukan kerjaan Mas Anjas.”“Mengapa kamu begitu yakin?”“Iya, karena aku paham. Bukan hanya satu orang atau dua orang saja yang tidak setuju dengan hubungan kita dulu. Termasuk orang yang sedang berada di dalam kamar tamu.”“Maksud kamu, Dini?”“Siapa lagi? Tidak mungkin, kan Anita yang melakukannya, dia masih b

  • Ibu Susu Untuk Anak Gundikmu   23. Keputusan Bimo dan Tsani.

    "Aku tidak akan menceraikan Dini!" Bimo bersuara dengan tegas hingga orang seisi rumah tercengang setelah mendengarnya. Akan tetapi, tidak dengan Tsani yang nampak tersenyum tipis."Apa kamu bilang?! Kamu tidak mau menceraikan wanita yang punya otak kriminal ini?! Jangan bodoh kamu, Bim," hardik Mamah Astrid, "Mamah tidak mau punya menantu berhati iblis macam dia ini."Amarah wanita paruh baya ini semakin menjadi."Lihat, Mah, Pah. Mas Bimo sudah mengambil keputusan untuk tidak menceraikan Dini yang sudah jelas-jelas ingin mencelakaiku, jadi sekarang tidak perlu lagi ada permintaan rujuk kembali denganku.""Bu-bukan begitu, Tsan. Aku akan tetap melanjutkan rencana rujuk kita karena aku juga sayang sama kamu dan Melani.""Jangan serakah kamu, Mas! Kamu pikir aku mau dimadu?! Sekarang aku tak sebodoh dulu, Mas!" tukas Tsani."Mas Bimo tidak bisa seenaknya sendiri, mau sama aku, maka harus lepaskan wanita udik ini.""Apa kamu bilang!"Tamparan ketiga Tsani mendarat sempurna kembali di pi

  • Ibu Susu Untuk Anak Gundikmu   22. Perlawanan Tsani.

    Selepas mengantarkan Dendi dan Melani pulang, Anjas dan Tsani pun kembali ke mobil untuk melanjutkan rencana mereka hari ini, menyambangi rumah Bimo yang di sana ada Dini. Wanita yang telah mencoba mencelakai Tsani lewat tangan orang lain yang dibayarnya.Sepanjang perjalanan, Tsani memikirkan matang-matang rencana yang telah disusunnya karena Tsani tidak mau jika sampai ada menggagalkan rencananya."Tsani, kamu yakin tidak mau melaporkan si Dini itu? Dia itu sudah keterlaluan, loh, Tsan."Suara lelaki yang sedang mengemudi mobil itu membuyarkan konsentrasi Tsani."Tidak, Mas. Aku hanya ingin menuntut kesepakatan saja dari dia dan Mas Bimo.""Kesepakatan seperti apa?""Mas bisa lihat nanti saat kita di rumah Mas Bimo.""Apa aku terlalu terlibat di dalamnya?"Pertanyaan Anjas membuat Tsani berpikir ulang. Sejujurnya Tsani pun sebenarnya memerlukan peran lain untuk meyakinkan orang seisi rumah di sana nantinya. Namun, sedari tadi Tsani merasa bimbang jika harus mengantarkan permintaan t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status