“Sarah, apa maksudmu? Aku memang memintamu untuk menjadi istriku, tapi bukan berarti kamu harus—” Belum sempat Baskara menyelesaikan kalimatnya, ibunya tiba-tiba sudah memotongnya sembari memeluk Sarah.
“Pilihan yang bagus, Sarah, terima kasih, Azka pasti akan senang jika kamu menjadi ibu susunya.” Timpal Bu Mala, ibu Baskara.
Kali ini, Baskara yang kelabakan mendengar ucapan Sarah. Jelas-jelas, pria itu sendiri yang melihat Sarah yang menolak keras untuk menjadi istrinya. Mengapa kali ini dia berubah pikiran, dan bahkan menawarkan untuk jadi ibu susu untuk anaknya?
Namun, yang masih terbesit dalam benaknya adalah, bagaimana bisa Sarah yang masih lajang, dan berumur 20 tahun itu menyusui anaknya?
“Ma, tapi bagaimana bisa Sarah menjadi ibu susu untuk Azka? Dia masih muda, dan dia bukan ibu menyusui!”
“Bisa. Mama sudah diskusi dengan dokter sebelumnya. Sarah bisa disuntik hormon menyusui, lalu diberikan perangsangan oleh Azka. Kamu ini berpendidikan, masa gitu aja gak tau? Teknologi udah canggih, kamu gak perlu menolak tawaran Sarah. Dia sudah mau bantu kamu, Baskara.”
Kini, justru mertua Sarah yang bersikukuh, menatap anaknya sendiri dengan nyalang. Meskipun masih terlalu banyak keraguan yang ada di pikiran Baskara, pria itu tak bisa melawan ibunya sendiri.
Ucapan dari mertua kakaknya itu membuat sebagian hati Sarah terasa perih. Ternyata, Bu Mala justru sudah mendiskusikan hal itu dengan dokter. Bahkan, Sarah yang sebelumnya terdesak keadaan, tak pernah tahu bahwa ada prosedur yang bisa membuatnya menjadi ibu susu untuk anak dari kakaknya sendiri.
Sarah mengarahkan manik cokelat miliknya ke arah Azka yang sedang tertidur pulas di ranjang kecil rumah sakit. Entah mengapa, hatinya terasa lebih baik setiap kali melihat keponakannya itu. Meskipun dalam hari Sarah masih sedih, Sarah berjanji tak akan menyesali pilihannya demi Azka, dan juga almarhumah kakaknya.
Sarah lagi-lagi menghela napasnya berat, membuat Baskara mengalihkan pandangannya.
"Kamu serius, Sarah? Apakah kamu siap dengan segalanya?" tanya Baskara tiba-tiba.
Sarah melihat ke arah Baskara pelan, "Memangnya kalau aku bilang belum siap, semuanya akan batal?"
"Maaf, Sarah, jika ibuku terkesan memaksamu. Tapi, jika memang pernikahan kita tetap harus dilaksanakan, aku janji aku akan mengikuti semua yang kamu inginkan." jawab Baskara.
Sarah mengalihkan pandangannya dari Azka menuju Baskara. Keduanya saat ini memang berada di ruang rawat Azka, hanya berdua. Namun, entah mengapa semuanya terdengar mengawang di telinganya.
"Pernikahan kita ini pernikahan yang terpaksa karena keadaan, Baskara." kata Sarah, setitik air mata mulai berkumpul di pelupuk matanya.
"Lantas? Apakah pernikahan terpaksa tidak boleh dirayakan seperti pernikahan impian yang kamu inginkan?" Kali ini, Baskara bertanya, suaranya berubah menjadi dingin, "anggap saja pernikahan ini sebagai tanda terima kasih saya untuk kamu. Karena kamu, mau menikah dengan saya dan menjadi ibu untuk Azka."
"Berterima kasih bisa lewat dengan segala cara kan? Aku—” Sarah awalnya ingin menolak untuk merayakan pernikahannya, namun, tepat saat itu, memori beberapa jam sebelumnya melintas di benak Sarah. Baskara yang menyelamatkannya dari Andre, mantan kekasihnya yang hampir melecehkannya.
"Jadi? " Baskara mulai bertanya kembali dengan alis yang dia naikkan.
Sarah menghela napas, "Sederhana dan intim. Hanya ada keluarga dan sahabat terdekat."
Setelah mendapatkan jawaban dari Sarah, akhirnya Baskara mengangguk dan berjalan lebih dekat ke arah Sarah. Baskara tatap lamat-lamat wajah dan mata hitam legam milik Sarah, "Kita akan menikah Sarah. Jadi, lupakan status saya dahulu dan fokus pada pernikahan kita juga pada Azka. Sayamelakukan ini semua dari hati, dan tidak akan menyangkut pautkan kamu dengan istri saya terdahulu."
Setelah mengatakan hal tersebut, Baskara pergi begitu saja meninggalkan ruang rawat Azka, dan Sarah untuk berdiam diri.
Kini, tinggal Sarah yang harus berkutat dengan pikiran rumitnya. Dia benar-benar akan melakukan semuanya, termasuk melakukan terapi untuk pengeluaran ASI dari tubuhnya. Siap tidak siap, mau tidak mau, semuanya tetap harus Sarah lakukan. Ini semua telah dia putuskan sendiri.
"Semoga saja ini merupakan keputusan yang terbaik untuk kehidupanku setelah ini,” gumam Sarah.
Sarah melirik jam yang berada di tangannya. Pukul empat sore dan dia saat ini sedang menunggu kedatangan mamanya untuk bergantian menjaga Azka. Karena, dirinya akan melakukan konsultasi untuk pengeluaran ASI dari tubuhnya pada salah satu dokter di rumah sakit ini. Tentunya, bersama Baskara juga. Dan ya--- ini semua masih terasa mimpi bagi Sarah.
"Tidak apa-apa, kalau dilakukan dengan ikhlas semuanya akan terasa mudah. Mbak Laras, aku takut tapi aku ikhlas melakukan semuanya.”
•••
"Pengeluaran ASI bisa saja dilakukan pada perempuan yang memang belum pernah melahirkan atau mengandung. Pengeluaran ASI tersebut bisa dari berbagai cara dan 'pancingan'. Termasuk dengan suntik hormon, serta dengan rangsangan yang selalu di berikan oleh suami untuk mempercepat pengeluaran dan produksi asi tersebut."
Baskara dan Sarah diam. Mereka sama-sama menyimak penjelasan dari dokter wanita dengan rambut pendeknya itu.
"Prosesnya pun memang tidak bisa ditebak dan tidak bisa dikira-kira berapa lama ASI tersebut akan keluar. Semuanya kembali bergantung pada kondisi tubuh sang ibu, kondisi hormon sang ibu juga perasaan ibunya tersendiri. "
"Biasanya, cara apa yang paling cepat dan aman untuk itu dok?" kini, giliran Baskara yang bertanya.
"Suntik hormon bisa, namun menurut saya rangsangan pada dada sang ibu menjadi cara yang paling aman untuk itu."
Baskara dengan reflek melihat ke arah Sarah dan berdiri seraya menggenggam tangan Sarah.
"Baik terima kasih dokter, kalau begitu kami pamit."
Dokter tersebut tersenyum dan mempersilahkan Baskara dan Sarah untuk keluar dari ruangannya.
Keluar dari ruangan, Sarah merasakan pikirannya kosong. Dirinya masih tak percaya, bahwa dirinya akan melakukan induksi laktasi, dan menjadi ibu susu di usianya yang masih 20 tahun.
Karena sibuk dengan pikirannya, Sarah tak sadar, jika Baskara sudah mendahuluinya dan berhenti tepat di depan wajahnya."Mari menikah besok, saya akan urus semuanya. Saya janji semuanya akan berjalan seperti yang kamu inginkan. Tentang pernikahan ini juga tentang rumah tangga kita nantinya. Mari berjanji untuk saling melengkapi, Sarah."
Baskara akhir-akhir ini sedang dilanda masalah besar di kantornya. Kantornya sedang keos dan memiliki problem yang membuat keuangan kantor menurun. Sebagai seorang pemilik perusahaan, tentu saja Baskara harus turun tangan dan bekerja keras demi mempertahankan perusahaan yang menjadi penggantung hidup bagi banyak orang. Dan karena itu juga, dia harus merelakan sebagian besar waktunya untuk bekerja dan membuat perusahaan stabil kembali seperti biasa. Sarah sebagai seorang istri juga ibu tentu saja maklum. Dia berusaha mengerti dan berusaha menyemangati suaminya untuk melakukan apapun yang dia lakukan. Sarah berusaha memposisikan diri dan sebisa mungkin menjadi istri yang penuh support system untuk suaminya. Seperti saat ini, Sarah sedang ada dalam perjalanan untuk menuju kantor suaminya. Matanya melirik jam tangan yang berada di pergelangan tangannya, pukul 11:30 dan mungkin sebentar lagi dia akan tiba di kantor suaminya. Iya, dia akan mengantarkan makan siang untuk suaminya." Semoga
" Bukannya anterin dokumen itu malah sok-sokan curhat sama istri orang, " sindir Baskara.Fendi mengangkat bahunya acuh, dia tidak perduli dengan apa yang dikatakan oleh Baskara, dia hanya diam dan menikmati kue kering yang berada di atas meja sofa kediaman Baskara. " Lho? Udah pulang mas? " tanya Sarah. Baskara tersenyum, " Ada yang mau aku omongin sama kamu. Kita sama-sama ke kamar dulu ya. Azka biar sama Fendi aja. " " Uhukk-- " Fendi terbatuk setelah dia tidak sengaja menelan kue kering utuh yang belum sempat dia kunyah. Dia sudah terkejut duluan mendengar apa yang dikatakan oleh Baskara. " Apa? Masa Azka sama gue? Gue nggak bisa jaga bayi ya. " " Sebentar aja, gue harus cepet omongin ini sama Sarah. " " Tapi--"Fendi berdecak malas ketika dia tidak memiliki pilihan lain karena Sarah yang sudah memberikan Azka di hadapannya. Dengan ogah-ogahan, dia segera menyimpan toples kue yang semula dia peluk itu. Dan ya, sekarang yang dia peluk adalah Azka, bukan toples kue kering itu.
Sarah merasa bahwa semuanya berjalan dengan lancar akhir-akhir ini. Dia sangat menikmati peran sebagai seorang istri dan ibu muda. Ya, meski usianya bisa dibilang sangat muda, namun Srah patut diacungi dua jempol berkat ketelatenannya mengurus rumah tangga, anak juga suaminya. Ya meski begitu, tetap saja Sarah masih malu untuk 'terbuka' kepada suaminya. Dalam artian, dia belum berani jika menyusui di depan suaminya langsung, ya harus di tutup dadanya oleh kain yang selalu dia bawa ke mana pun. Pagi ini suaminya sudah berangkat ke kantornya dan Sarah sedang membetulkan posisi Azka yang berada di dalam gendongannya saat ini. Sarah sedang ada dalam perjalanan menuju tukang sayur yang berada tidak jauh dari kediamannya. " Wah mbak Sarah baru kelihatan lagi, kirain saya mbak Sarah mau pindah rumah, " ucap seorang ibu yang sebetulnya Sarah tidak ingat betul siapa nama ibu tersebut. " Enggak ibu, kebetulan kemarin hujan terus kan, terus juga Azka sedikit demam. Jadi, saya full mengurus A
"Jadi, gimana rasanya nikah lagi padahal kuburan bini lo yang onoh belum kering? Mana nikahnya sama adiknya lagi? " tanya Fendi dengan nada menggodanya. Fendi sudah sepenuhnya paham dengan situasi yang tengah sepupunya hadapi itu. Ya, Fendi pun maklum juga, bagaimana pun Azka butuh seorang ibu dan seseorang untuk ada di saat tumbuh kembangnya-- kan? Baskara menggelengkan kepalanya pelan, " Biasa aja, " jawabnya dengan singkat. " Masa sih, tadi gue liat waktu makan tadi pandangan lo nggak lepas tuh dari bini lo. Jujur aja kali, kaya ke siapa aja, " jelas Fendi seraya menahan tawanya. Baskara menggelengkan kepalanya, " Ya mengucapkan terima kasih harus sambil lihat orangnya kan? Nggak usah suudzon deh. " "Nggak suudzon, toh nggak apa-apa kali kalau lo lihatin istri lo, orang udah jadi milik lo kok. " " Udah jangan ngomongin itu terus! Mending ngomongin kerjaan lo yang nggak bener itu ya! " Fendi memutar bola matanya malas, " Gue bukan males. Tapi, ngerjainnya santuy, toh juga per
Pernikahan keduanya tak terasa sudah menginjak usia dua minggu. Selama dua minggu juga sudah banyak yang terjadi pada rumah tangga Baskara dan Sarah, mulai dari Sarah yang sudah terbiasa untuk melayani semua kebutuhan Baskara hingga Sarah yang sudah enjoy menyusui Azka. Anak Baskara dengan Laras. Seperti saat ini, weekend adalah hari yang paling ditunggu oleh keluarga Baskara dan Sarah, di mana ketika weekend mereka bisa menghabiskan waktunya dengan berleha-leha dan saling memberikan perhatian satu sama lain. "Weekendnya mau di rumah aja gitu? Nggak mau nyoba main keluar? " Sarah bermonolog. Baskara yang berada di sampingnya segera membukanya suaranya, " Di luar hujan, becek ah! Nanti mobilnya kotor, " jawab Baskara dengan santai. Sarah melirim Baskara dengan sinis, " Malah mikirin mobil kamu. Iya deh tau mobilnya baru, baru banget malah. Jadi nggak mau kotor sedikit pun, " ucap Sarah dengan nada sinisnya. Baskara terbahak dan merangkul bahu Sarah yang sedang menggendong Azka den
Sarah mendelik kesal ke arah suaminya yang sejak tadi tidak pernah absen untuk mengikuti dirinya. Sejak suaminya pulang dari kantor, suaminya itu segera membersihkan diri dan menjalankan aksinya untuk mengikuti ke mana pun istrinya pergi. Entah ada niat apa suaminya itu padanya, yang jelas Sarah benar-benar merasa risih. Sarah menghentikan langkahnya tepat di depan oven yang sedang membakar kue buatan Sarah, " Mas kamu kalau ngikutin aku lagi, aku nggak akan kasih kamu tidur sama aku ya. Biar kamu tidur di luar! " ucap Sarah dengan pandangan marahnya, namun terkesan lucu itu. "Eh jangan gitu dong istriku, mas nggak bisa kalau nggak tidur sama kamu, sama Azka. " Sarah berkacak pinggang dan menatap galak ke arag Baskara, " Makanya diem. Aku ini heran dari tadi mas tuh nggak habis-habisnya ngikutin aku. Nggak bisa diem apa? Sana jagain Azka, mas! "Baskara menyerahkan dan akhirnya lebih memilih untuk mengikuti apa yang dikatakan okeh istrinya. Dia tidak ingin ada adegan dirinya tidak