Share

Permintaan Ayah

Riana menatap ke luar jendela trans metro. Dia baru kembali dari merantau. Ini kali pertama Riana kembali ke kota kelahirannya, setelah sekian lama merantau. Sebenarnya Riana tidak ingin kembali karena dia tidak ingin bertemu dengan seseorang. Seseorang yang menghancurkan masa depan Riana. Membuatnya minder, tidak percaya diri dan trauma.

Kota kelahirannya telah banyak berubah sejak terakhir dia tinggalkan. Tanah-tanah kosong telah di bangun dengan gedung-gedung tinggi dan banyak pusat perbelanjaan. Bus melewati pusat perbelanjaan. Jarak Bandara ke rumah Riana sekitar empat puluh lima menit.

Riana terpaksa kembali karena ayahnya sakit dan ingin bertemu dengannya. Sejak merantau setelah tamat SMA, Riana memang tidak pernah kembali selama dua puluh satu tahun. Bisa dikatakan Riana melarikan diri.

Bayang-bayang masa lalu, masih menghampirinya jika dia kembali ke kota ini. Apa lagi kembali ke rumah besar. Sekalipun sekarang rumah besar tersebut tidak diisi empat keluarga lagi, hanya keluarganya saja yang menempati rumah tersebut.

Tante-tante dan keluarga lainnya telah memiliki rumah sendiri. Namun, masih di satu kampung. Bisa dibilang satu blok rumah diisi dengan keluarganya satu nenek. Riana terpaku melihat jalan, namun pikirannya tidak benar-benar menatap ke luar jendela bus.

Adik Riana menawarkan bantuan untuk menjemputnya, namun Riana menolaknya. Alasannya dia ingin naik bus, sebuah alasan yang sederhana.

Riana turun dari halte bus, menuju rumah Riana harus naik motor. Dia di jemput adik laki-lakinya dengan motor bebek. Barang-barang yang dibawa Riana tidak banyak karena Riana tidak berencana tinggal lama. Dia hanya membawa tas kecil yang berisi enam stel pakaian dan satu tas kecil menyimpan dompet dan handphonenya.

Seluruh keluarga telah berkumpul, mereka menyambut kedatangan Riana. Riana memasuki rumah, adik perempuannya, anak nomor dua bernama Liana memeluk Riana. Tadinya Liana ingin menjemput Riana ke bandara.

"Uni, apa kabar?" Liana mengajak masuk Riana, Liana telah menikah dan memiliki dua anak. Liana sendiri juga tidak tinggal di kota ini. Dia juga merantau ikut suami.

"Alhamdulillah, baik." Riana melihat Liana menangis karena telah berpisah selama dua puluh satu tahun. Sekalipun tidak bertemu. Namun komunikasi di antara mereka tetap berjalan.

"Ayo masuk ni, ayah dan ibu ada di kamar," beritahu Liana, dia merangkul Riana menuju kamar orang tua mereka.

Kamar yang dulu pernah menjadi kamar mereka, kamar paling besar di rumah tersebut. Dulunya kamar itu di tempati Riana, Liana dan Giana. Sejak Riana pergi, kamar tersebut di tempati orang tua mereka.

Rumah juga telah banyak berubah, dulunya masih setengah rumah panggung dan setengah tembok. Sekarang rumah panggung tidak ada lagi. Rumah panggung yang dulunya, telah dibuat dapur dan beberapa kamar. Perabotan rumahpun banyak yang diganti.

Riana masuk ke kamar, ayahnya terbaring di ranjang, di sampingnya ibu Riana. Ibu melihat kedatangan Riana, dia menyuruh putrinya mendekat.

Miriam, ibu Riana memeluk putrinya dan melepaskan kerinduan. Tangis mereka pecah, menandakan kerinduan sekaligus kesedihan. Miriam memperhatikan putrinya, gadis kecil itu telah menjelma menjadi wanita dewasa, mengenakan gamis berwarna navy dan hijab pink. Penampilan putrinya juga telah berubah, terakhir bertemu Riana belum menggunakan hijab. Sekarang putri-putrinya telah memakai hijab.

Giana juga menghampiri kakaknya dan memeluk mereka dari belakang. Liana hanya menangis haru melihat suasana tersebut. Saudara laki-laki mereka membiarkan ibu melepas rindu.

Riana kemudian menyalami adik laki-lakinya. Di dalam kamar tersebut hanya ada mereka bersaudara dan orang tua mereka. Suami atau istri saudaranya menunggu di ruang tamu. Riana belum sempat berkenalan dengan mereka.

Riana kemudian mendekati ayahnya yang terbaring sakit. Ayah sangat lemah. Riana mencium tangan ayah.

"Yah, Ri telah kembali, ayah sehat ya," bisik Riana di telinga ayahnya. Ayah yang tadinya tertidur, membuka matanya, ayah menatap Riana, kemudian meneteskan air mata, terlihat kerinduan dari matanya yang telah keriput. Ayah mencoba mengangkat tangannya dan membelai pipi putrinya.

"Putri ayah telah pulang," ucap ayah terbata-bata, kemudian menampilkan senyumannya.

Riana kemudian memeluk ayah, dan mengusap air mata ayahnya yang mengalir di pipi.

"Maafkan, Ri, yang banyak salah sama ayah dan keluarga. Maaf karena tidak bisa pulang," ucap Riana dengan terisak-isak.

Ayah yang dulu saat dia tinggalkan masih seorang pria yang sehat. Namun, sekarang ayah telah tua dan sakit-sakitan. Wajah keriputnya menandakan bahwa Riana telah lama tidak pulang.

"Orang tua, pasti selalu memaafkan anaknya! Serta mendo'akan kebahagian anak-anaknya!"

"Ri, tahu ayah. Ayah harus sembuh, Ri telah di sini," jawab Riana masih dengan terisak.

"Ri, hidup ayah tidak akan lama lagi. Ayah mohon, menikahlah Ri," pinta ayah kepada Riana.

Permintaan bagi semua orang adalah hal yang sederhana. Namun, tidak bagi Riana. Pernikahan adalah hal yang paling dihindari Riana. Dia tidak pernah bermimpi untuk menikah. Trauma masa lalu membuat Riana takut mengenal pria.

Sekarang ayah meminta Riana untuk menikah? Apa ayah tidak mempunyai permintaan lain selain hal itu?

Riana terdiam bingung harus menjawab apa? Riana pikir keluarganya akan memahami problemanya. Mereka saksi kejadian yang menimpa Riana di masa remajanya. Bagaimana ayah bisa meminta hal itu?

Riana tidak ingin membuat ayah kecewa. Namun, dia juga tidak bisa mengabulkan permintaan ayah. Riana telah terbiasa hidup sendiri dan mandiri. Impian menikah telah dia kubur sejak terakhir kali dia dekat dengan seorang pria, saat itu Riana berusia dua puluh dua tahun.

Masa lalu yang selalu menghantui Riana. Membuat dia tidak percaya diri, apakah ada pria yang mau menerimanya dengan segala kekurangannya?

"Tidak usah dijawab sekarang, Ri. Kamu pikirkan saja dulu. Namun, sebisanya jangan mengecewakan ayah." Suara ibu menenangkan Riana.

Riana memandang wajah tua ibunya. Dia merasa bersalah karena tidak pernah kembali ke kota kelahirannya. Kejadian dulu yang merubah segalanya, membuat dia harus meninggalkan keluarganya.

"Kamu pikirkan saja dulu, ri. Ibu benar, ayah tidak memaksa, tapi ayah harap kamu mau mengabulkannya," ujar ayah terbata-bata.

"Ya udah, sekarang Uni makan dulu aja. Ayah istirahat lagi ya." Giana membuyarkan semua orang dari topik sensitif tersebut. Giana memegang tangan Riana dan mengajaknya keluar.

Miriam merapikan lagi selimut suaminya. Yang lain telah keluar dari kamar.

"Apa ayah terlalu memaksa Riana, Bu?" tanya ayah kepada istrinya.

"Tidak Ayah, Ibupun ingin melihat Riana menikah, usianya sudah hampir empat puluh tahun. Orang tua mana yang tidak cemas," ujar Miriam.

"Semoga Riana bisa dan melupakan traumanya ya, Bu!" ucap ayah lagi.

"Insha Allah, Yah, yang terpenting kita sebagai orang tua, selalu mendo'akan yang terbaik untuk anak-anak kita." Ibu menggenggam tangan ayah.

🍒🍒🍒

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status