Share

Caranya Nyari Bunda

Berita mengenai Alex yang akan membuka hati telah sampai ditelinga keluarga besar. Alika adalah pelakunya. Ia menyampaikannya kepada Mamah dan Papah serta adiknya. Namun berita tersebut bukanlah berita buruk. Sang Nyonya menelpon segera anak sulungnya yang tengah bekerja dan mendukung apapun yang anaknya itu lakukan. Ia juga menanyakan perihal cucu kesayangannya yang tak lain adalah Eiger.

Tentu saja Alex mengatakan yang sejujurnya. bahwa Eiger lah yang menginginkannya. Anaknya itu yang meminta izin untuk mencari Ibu baru.

"Mestinya kamu yang nyari, Lex. Tapi apapun itu karena sekarang kamu nggak sendirian jadi harus atas dasar kecocokan kamu dan Eiger. Namun saran Mamah yang bisa sayang Eiger dan Eiger juga nggak canggung sama calon ibunya."

"Eiger yang nyari, Mah." Alex mengingatkan, bahwa bukan dirinya lah yang benar-benar menginginkan itu.

Cuaca hari ini panas cerah terlihat di jendela kaca kantornya. Beruntung jadwal hari ini tak begitu padat. Alex masih bisa menerima telepon dari Mamahnya.

Namun suara ketukan pintu membuyarkan dirinya yang sedang mengamati gedung-gedung tinggi dari jendela kaca. Laki-laki berpakaian rapih kantoran itu lantas menoleh melihat siapa gerangan si pengetuk.

"Maaf pak, menganggu ..."

Sang sekretaris menunduk hormat sembari membawa tumpukan dokumen. "Izin memberikan dokumen dari manajer marketing."

"Iya, taruh di meja saja Res."

Lantas sekretaris tersebut melaksanakan apa yang diperintahkan. Suara Mamahnya berhenti sejenak memberikan wejangan, membuat Alex menghela nafasnya.

Ia kembali duduk di kursi kebesarannya setelah sekretarisnya pergi kembali bekerja.

"Lex, kamu juga yang harus cari. Apa iya soal seperti ini kamu limpahin ke Eiger saja, meski cucu Mamah mulai besar tapi dia masih sepuluh tahun yang mungkin dia hanya memikirkan rasa sayang yang dia butuhkan, jangan sampai cucu Mamah terjebak sama wanita yang hanya pura-pura saja, kamu harus mengawasi Eiger juga."

Memang benar perkataan Mamahnya, namun sedikit masalah bahwa Alex tak bisa membohongi dirinya yang sejujurnya belum tertarik sepenuhnya mencari pasangan lagi. Ia mengizinkan Eiger agar anaknya itu bisa lebih tenang. Bukan berarti dirinya akan ikut terlibat mencari pasangan. Ia pikir tak akan mudah mencari pasangan di posisinya seperti saat ini. Di luaran mungkin banyak yang ingin mendekatinya, namun Alex tak bisa mempercayai dengan mudahnya.

"Iya Mah, aku juga tau. Sekarang aku mau lanjut kerja lagi, dan soal pasangan aku nggak bisa janji buat secepatnya, jadi tolong pengertiannya Mah."

"Oke, Mama ngerti, yang terpenting jangan sampai lepas tangan, pantau Eiger. Dia anak yang rawan, yang mungkin aja bisa dengan mudahnya dekat dengan perempuan yang cuman memanfaatkan dia."

"Iya Mah."

Setelah menutup panggilan. Alex kembali menghela nafas. Laki-laki itu mengusap wajahnya mulai merasa tertekan. Lalu tak sengaja ia menatap figure foto yang terbingkai rapih. Foto yang menampilkan pernikahan. Menampilkan sosok perempuan yang tersenyum dengan gembira. Alex menatapnya sekali lagi. Lalu tak lama melihat figure foto di sampingnya. Seorang bayi mungil yang tersenyum polos.

Merasa telah yakin ia kemudian menekan kode telepon. Dan tidak perlu menunggu lama  seseorang menerima dengan siaga.

"Res, tolong minta file kerjasama yang kemarin."

"Atas nama Bu Indriyana ya, Pak?"

"Iya, kirimkan segera ya?"

"Iya baik Pak."

Alex kemudian kembali meletakkan gagang telepon. Lagi-lagi ia membuang nafasnya. "Oke, dimulai dari Indri."

***

"Eiger, kok kamu nggak ikut main sama Tian?" pertanyaan itu terlontar dari seorang anak usia yang sama yang bermata sipit.

Eiger lantas menoleh sekilas dan menggeser dirinya agar Ardha bisa duduk di sampingnya. Saat ini adalah waktu istirahat. Tian yang dimaksud Ardha adalah salah satu teman mereka juga yang gila bola. Biasanya Eiger ikut Tian bermain bola di lapangan bersama teman-teman lainnya. Namun kali ini anak usia sepuluh tahun itu hanya berdiam diri di taman yang tak jauh dari lapangan.

"Lagi males."

"Kenapa? Kok kamu kayak nggak semangat banget."

Eiger menghela nafas. Dia menoleh saat Ardha membuka kotak bekal yang dibawa. Eiger tadi tidak melihat Ardha membawa apapun di tangannya.

"Bunda bawain banyak, sampai aku nggak habis, kamu mau?" lantas Ardha menyodorkan kotak bekal makannya itu ke hadapan Eiger.

"Itu apa?"

"Bakwan, Bunda ku yang buat sendiri."

"Aku ambil satu ya?"

"Iya."

Lalu dua anak laki-laki itu bersamaan menyantap bakwan yang Ardha bawa. Di bawah pohon rindang itu mereka melihat ke arah lapangan yang ramai. Teman-teman mereka sangat aktif bermain kesana-kesini. Bahkan mengabaikan teriknya matahari yang menyengat di atas kepala.

Eiger bergumam. Ia meresapi bakwan yang ia makan dengan berlebihan. Kata Ardha tadi, Bundanya lah yang membuat sendiri. Sehingga Eiger ingin membandingkan enak atau tidaknya dengan makanan yang dibuat oleh Bik Nuri.

Namun Eiger pikir keduanya sama-sama enak. Alhasil dia pun menoleh ke arah Ardha yang masih menatap keramaian di lapangan.

"Ardha, aku mau cari Bunda, menurut kamu gimana?"

Lantas anak itu pun langsung menoleh. Ardha berekspresi bingung tidak mengerti apa yang diucapkan temannya itu.

"Kamu tau kan kalau aku cuman punya Ayah, makanya aku mau cari Bunda," kata Eiger kembali.

"Emang carinya gimana?"

Pertanyaan itu membuat Eiger terdiam. Ia kembali merenung. Sebelum Ardha datang, dia juga kebingungan bagaimana cara mencari Bunda.

"Aku nggak tau, menurut kamu carinya itu gimana?" Eiger bertanya balik. Anak laki-laki itu termangu, berharap temannya itu memiliki solusi yang dibutuhkan.

Namun ketika Ardha menggeleng, Eiger menghela nafas kian lesu. "Aku nggak tau karena aku nggak pernah cari Bunda. Bunda ku ada sebelum aku lahir."

Atas jawaban itu Eiger menarik nafasnya. Hatinya menjadi sakit karena faktanya memang seharusnya dirinya juga seperti itu. Tidak perlu mencari Bunda. Namun karena takdir tak berpihak, ia tumbuh tanpa melihat adanya seorang Bunda atau Ibu.

"Emang kamu mau cari Bunda yang seperti apa? Nanti aku bantu."

"Yang baik," Eiger berkata dengan nada yang kembali normal. Sesungguhnya dia merasa senang akan dibantu temannya itu.

"Kita nggak boleh cari sembarangan. Nggak boleh cari yang sudah punya suami."

"Berarti harus cari yang belum menikah kan?"

"Iya," balas Ardha. Dua anak itu tengah serius berdiskusi tentang sesuatu yang sebenarnya tidak mereka pahami. Mereka lantas saling pandang menyiratkan kebingungan yang amat sangat.

"Kalau kamu cari Bunda berarti kamu juga cari istri buat ayah kamu kan?" Ardha bertanya. Matanya kian menyipit dengan dahi yang berkerut tanda tengah berpikir keras.

"Iya." Eiger menyahut pelan. Dia juga ikut berpikir keras. Namun nihil, dia tidak bisa mengerti dengan kelanjutan obrolan mereka.

"Kita tanya sama Bunda ku aja nanti, siapa tau Bunda ku tau gimana caranya nyari Bunda buat kamu."

Ardha tiba-tiba memberikan solusi yang cemerlang. Eiger bahkan langsung menganggukkan kepalanya kuat. Dia menyetujui ide temannya itu. Tak ayal senyum lebar pun terbit di bibir anak itu. Kedua pipinya menjadi bolong.

Ardha lantas tertawa-tawa senang karena telah memecahkan masalah dengan solusi yang bagus. Kedua anak itu kemudian tertawa bersama di bawah rindangnya pohon di taman sekolah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status