Ada yang berubah dari napasku sejak malam itu. Aku tidak lagi tercekat karena sedih, tapi karena menyimpan sesuatu yang belum kuberitahu siapa pun. Aku menyimpan kebenaran seperti bom yang siap meledak, tapi bukan hari ini, Bukan sekarang.
Pagi datang seperti biasa. ibuku sedang di dapur, sibuk menyeduh teh. Wajahnya bersih, bibirnya dipoles warna merah muda pucat yang baru. Ia mengenakan apron yang dulunya adalah milikku, dan kini seperti milik pribadinya. Sementara Davin duduk di meja makan, menggulir layar ponsel, lalu menatap ibu mertuanya itu dengan senyum samar. Keduanya terlalu nyaman.
“Aku mau ke toko buku siang ini,” kataku sambil duduk.
Davin mengangguk tanpa menoleh. “Mau beli apa?”
“Jurnal kosong. Aku mau mulai nulis lagi.”
Marlina tersenyum. “Bagus. Menulis bisa bantu kamu pulih.”
Aku mengangguk. Tapi sebenarnya, aku tak akan membeli jurnal. Aku akan membeli waktu.
Setelah keluar rumah, aku tidak langsung ke toko buku. Aku berjalan kaki menyusuri gang sempit ke arah taman kota. Di dekat taman, ada kafe kecil yang jarang ramai. Aku memilih tempat di pojok, membuka laptop, dan menancapkan flashdisk yang kemarin malam kutemukan.
Aku menonton ulang video CCTV itu. Kali ini tanpa menangis, tanpa gemetar. Aku menyimak seperti penonton dokumenter kriminal. diam, fokus, penuh logika.
Ada satu bagian yang luput dari perhatianku semalam.
Di menit ke-13, Davin menyerahkan sebuah map putih pada ibu. Ia membukanya, membaca beberapa lembar, lalu tertawa kecil sambil menepuk tangan Davin. Ada semacam selebrasi sunyi di sana. Lalu mereka bersulang, masing-masing mengangkat cangkir kopi.
Itu bukan percakapan duka. Itu bukan upaya menghibur. Itu perayaan. Dan aku tahu, map itu bukan sekadar kertas biasa.
Siang itu, aku mampir ke rumah Bu Ningsih, perempuan tua yang sering duduk bersamaku di taman beberapa minggu terakhir. Ia pensiunan guru, hidup sendiri, dan sangat suka mengobrol dengan orang yang "kelihatan menyimpan sesuatu," katanya.
“Bu,” ujarku, “boleh tanya sesuatu yang aneh?”
Ia tersenyum. “Silakan, Nak.”
“Kalau seseorang menyembunyikan sesuatu di dalam rumah, tapi tidak tahu dia sedang diawasi, apakah lebih baik aku langsung bicara atau... diam dan mengamati lebih lama?”
Bu Ningsih tidak langsung menjawab. Ia menuang teh, menaruh gula dua sendok, lalu duduk.
“Kalau kamu sudah tahu itu busuk, kenapa nggak langsung dibuang?”
“Karena aku mau tahu siapa yang meletakkannya di sana.”
Dia tertawa. “Kamu cerdas. Dan sabar. Tapi ingat satu hal, Arumi... jangan sampai kamu terlalu lama di tengah kebusukan itu sampai kamu ikut membusuk.”
Aku mengangguk. Kata-katanya menempel di benakku seperti darah di luka terbuka. Perih, tapi penting.
Sore hari, saat kembali ke rumah, suasananya lebih sunyi dari biasanya. ibuku sedang menyetrika di kamar. Davin belum pulang, Aku masuk ke kamar kerja kecil yang sudah lama tidak kugunakan.
Ruangan itu masih berdebu. Aku membersihkannya pelan-pelan, sambil menyalakan laptop. Di dalamnya, aku mulai membuka folder lama: “Tulisan Kuliah.”
Aku mengganti nama folder itu menjadi “File Bukti.” Aku mulai menyusun: foto tangkapan layar pesan dari ponsel ibuku, cuplikan video dari flashdisk, rekaman suara bisikan di malam hari yang kucoba tangkap dari HP disembunyikan di rak buku. Aku menyusun semuanya, satu per satu, tanpa terburu-buru.
Aku akan jadi penonton yang paling tenang. Karena mereka pikir aku tidak tahu. Mereka pikir aku rapuh. Dan aku akan membuat mereka terus berpikir begitu.
Malam harinya, kami makan malam bertiga. ibuku memasak sup ayam dan tumis kangkung. Davin memuji masakannya berkali-kali. Aku ikut tersenyum, padahal dalam benakku aku tahu: mereka sedang mencoba membunuh waktu sampai aku cukup mati rasa untuk dilupakan.
“Aku dapat proyek baru,” kata Davin. “Mungkin bakal sering pulang larut.”
“Oh ya? Di luar kantor?” tanyaku.
Dia mengangguk. “Proyek pribadi. Ibu bantuin juga kok, jadi lebih ringan.”
“Ibu bantu bagian apa?”
ibuku menjawab cepat. “Data pelanggan, bikin template invoice, hal-hal kecil gitu.”
Aku menatap piringku. “Hebat. Kalian tim yang solid.”
Davin tertawa. “Kan kamu juga bagian dari tim ini.”
Aku mengunyah pelan. “Oh, iya. Aku bagian yang menonton dari jauh, ya?”
Suasana sempat hening. Tapi Marlina cepat mencairkan dengan bercanda soal masa kecilku yang suka main kasir-kasiran. Aku ikut tertawa. Padahal yang ingin kulakukan sekarang adalah membalikan meja.
Beberapa hari setelahnya, aku mulai menanam perekam suara kecil di beberapa tempat strategis: dapur, ruang tamu, dan kamar kerja Davin. Aku tidak memasangnya di kamar ibuku. Aku tahu mereka tidak sebodoh itu.
Tapi pagi tadi, saat menyeduh kopi, aku mendengar suara-suara dari rekaman malam sebelumnya.
“Dia udah mulai aneh,” suara ibuku.
“Nggak apa-apa. Dia belum punya bukti,” suara Davin.
“Kita nggak bisa terus begini. Cepat atau lambat dia akan tahu.”
Aku menahan napas. Jadi mereka tahu aku mulai berubah. Tapi tetap merasa aman. Bagus.
Karena rasa aman itulah yang akan kupelintir jadi senjata.
Hari ini, aku kembali ke taman. Duduk di bangku panjang di bawah pohon trembesi, seperti biasanya. Tapi bukan untuk menenangkan diri. Aku sedang menyusun rencana.
Aku akan pindah kamar. Bukan karena aku takut. Tapi karena aku ingin mereka merasa lebih leluasa.
Malam ini, aku akan bilang pada mereka bahwa aku butuh ruang sendiri. Aku akan pindah ke kamar lantai atas, agar bisa “sembuh” dengan tenang. Padahal, dari jendela kamar itu, aku bisa melihat langsung ke arah ruang tamu dan ke kamar ibuku.
Aku akan pasang kamera kecil. Mikrofon cadangan. Bahkan aku sedang mempertimbangkan menyewa jasa orang untuk menggali informasi rekening Davin dan ibuku. Aku tidak butuh konfrontasi. Aku butuh kehancuran yang rapi.
Dan saat waktunya tiba, aku akan tersenyum sambil mengatakan:
“Kalian tidak mencuri hidupku. Aku yang memberikannya untuk jadi bukti bahwa kalian pantas kehilangan segalanya.”
Tapi malam ini, aku akan makan malam lagi bersama mereka. Akan tertawa saat ibuku bercerita soal pasar yang ramai. Akan memuji supnya yang terlalu asin. Akan mencium kening Davin saat dia berkata akan pulang telat.
Karena penonton terbaik adalah yang duduk paling tenang dan paling sabar menunggu pertunjukan berakhir.
Permainan ini memang sudah tak seimbang sejak awal. Mereka pikir aku hanya istri yang rapuh, Anak yang kehilangan arah, Perempuan yang sedang belajar menerima kenyataan bahwa anaknya meninggal dan suaminya menjauh.Tapi mereka lupa satu hal: tidak ada perempuan yang lebih berbahaya daripada perempuan yang tidak punya lagi rasa kehilangan. Dan sekarang, aku bukan lagi Arumi yang menunggu keadilan.Aku adalah Arumi yang sedang mengarahkan mereka ke hukuman.Aku sengaja membiarkan folder itu di laptop Davin. Tidak dikunci betulan. Tapi cukup merepotkan untuk dibuka oleh orang awam. Dan seperti kuduga, dia pasti mencobanya.Dia pasti menghabiskan malamnya dengan rasa tidak tenang, membayangkan isi folder yang mungkin berisi rekaman, bukti, atau pengakuan. Padahal, isinya hanya satu dokumen Word: kosong, hanya satu kalimat di tengah halaman.“Kamu tidur di mana malam ini?”Tidak lebih. Tapi cukup untuk membuatnya gemetar. Karena aku tahu dia tidur bukan di sampingku. Dan aku tahu dia tahu
POV DAVIN.Entah sudah berapa lama hubunganku dengan marlina belangsung. Sampai-sampai aku lupa bahwa Arumi bukan lagi perempuan rapuh yang hanya menangis dalam diam. Tapi Marlina selalu tahu cara membuatku lupa segalanya.Pagi itu, saat kami duduk di meja makan, cangkir tehnya tergeletak seperti biasa. Tapi ada sesuatu di dasar gelasnya, Bukan daun the, Bukan ampas kopi, tapi Kertas kecil, terlipat rapi. Bukan tulisan mesin, itu tulisan Tangan Arumi. Marlina membacanya lebih dulu, lalu diam.Aku mengambil kertas itu dan membaca cepat.Tidak ada nama, Tidak ada ancaman langsung, Tapi nadanya tajam, Tegas. Seolah Arumi tahu. Atau setidaknya, curiga."Apa maksudnya ini?" bisikku.Marlina menyambar kertasnya kembali, merobek menjadi dua, lalu empat, lalu delapan bagian. Dimasukkannya ke dalam saku celemeknya."Dia ngetes. Tapi dia belum tahu apa-apa. Jangan panik." Tapi aku tidak bisa tenang hari itu.Malamnya, aku mengetuk pintu kamar tamu seperti biasa. Marlina membukakan pintu sambil
Dan saat orang-orang seperti mereka mulai gelisah, mereka cenderung kembali ke satu hal yang paling membuat mereka nyaman: satu sama lain.Itulah yang kulihat dua hari setelah “insiden amplop” itu.Pagi hari, aku turun lebih lambat dari biasanya. Di tengah tangga, aku mendengar suara musik mengalun dari dapur, lagu lawas yang dulu sering diputar Ibu saat aku masih kecil: Kasih Putih. Suara kran air, suara piring beradu, lalu tawa kecil yang terlalu hangat untuk waktu sesingkat itu.Saat aku sampai di ruang makan, aku berhenti di ambang pintu.Davin sedang berdiri di belakang Marlina, membantu mengikat celemek di pinggangnya. Tangan mereka bertaut sebentar. Tidak terlalu mencolok, tapi cukup untuk menyampaikan kedekatan yang tak wajar.“Kalian cocok juga kalau buka warung berdua,” ucapku sambil tersenyum setengah.Davin langsung mundur selangkah. Marlina menoleh dan tertawa kecil. “Ah, Ibu cuma dibantu sebentar.”Aku duduk. “Sampai diikatkan celemek juga dibantu?”Davin mengangkat bahu
Satu hal yang kupelajari dari hidup serumah dengan pengkhianat adalah: mereka paling takut pada hal yang tidak mereka ketahui. Ketika tak ada yang dikatakan, tapi semuanya terasa salah, itulah saat pertahanan mereka mulai retak. Dan hari ini, aku siap mengetuk retakan itu.Pagi ini aku bangun lebih awal. Kuikat rambutku rapi, berdandan tipis, dan memakai blus putih yang dulu sering kupakai saat kerja. Kupilih aroma parfum yang tajam tapi lembut, yang selalu membuat Davin memelukku lebih lama dulu.Lalu aku turun ke dapur seperti biasanya, duduk di meja makan, dan menatap Marlina yang sedang sibuk menyiapkan sarapan.“Bu,” panggilku pelan.Ia menoleh. “Iya, Sayang?”“Semalam aku mimpi aneh.”“Wah, mimpi apa?”“Mimpi ada ular di kamar Ibu. Tapi yang aneh, ularnya bisa bicara. Dia bilang dia akan mencuri apa pun yang kupunya. Bahkan tulangku.”Wajah Marlina diam sesaat. Sendok sup di tangannya berhenti bergerak.Lalu ia tertawa kecil. “Wah, ngeri juga. Bisa jadi kamu stress karena masih
Davin tertawa ringan saat aku mengumumkan rencanaku di meja makan.“Aku butuh pindah kamar, Vin. Di atas lebih tenang. Cahaya paginya bagus. Kayaknya aku bisa mulai menulis lagi.”Dia menoleh ke arah ibuku yang sedang menuang kuah sup ke mangkuknya. “Kalau itu bisa bantu kamu pulih, nggak masalah.”Ibuku ikut mengangguk, ekspresinya antara simpati dan lega. “Ibu bantu bersihin kamarnya besok, ya?”Aku tersenyum. “Terima kasih, Bu. Aku juga nggak enak sebenarnya. Tapi aku butuh jarak.”“Kamu nggak ganggu sama sekali, Nak.”Aku tahu. Aku memang tidak mengganggu, aku hanya mengawasi.Kamar lantai atas itu dulu ruang kerja kami, sebelum aku hamil dan mulai sering lemas. Sejak saat itu ruangan itu kosong, hanya jadi tempat menyimpan barang-barang tak terpakai. Tapi sekarang, ruangan itu menjadi pos pengamatan. Dari jendela kecilnya, aku bisa melihat bagian belakang rumah: pintu dapur, ruang keluarga, bahkan lorong menuju kamar tamu yang kini jadi markas ibuku, atau ku sebut saja Marlina.
Ada yang berubah dari napasku sejak malam itu. Aku tidak lagi tercekat karena sedih, tapi karena menyimpan sesuatu yang belum kuberitahu siapa pun. Aku menyimpan kebenaran seperti bom yang siap meledak, tapi bukan hari ini, Bukan sekarang.Pagi datang seperti biasa. ibuku sedang di dapur, sibuk menyeduh teh. Wajahnya bersih, bibirnya dipoles warna merah muda pucat yang baru. Ia mengenakan apron yang dulunya adalah milikku, dan kini seperti milik pribadinya. Sementara Davin duduk di meja makan, menggulir layar ponsel, lalu menatap ibu mertuanya itu dengan senyum samar. Keduanya terlalu nyaman.“Aku mau ke toko buku siang ini,” kataku sambil duduk.Davin mengangguk tanpa menoleh. “Mau beli apa?”“Jurnal kosong. Aku mau mulai nulis lagi.”Marlina tersenyum. “Bagus. Menulis bisa bantu kamu pulih.”Aku mengangguk. Tapi sebenarnya, aku tak akan membeli jurnal. Aku akan membeli waktu.Setelah keluar rumah, aku tidak langsung ke toko buku. Aku berjalan kaki menyusuri gang sempit ke arah taman