Share

BAB 4

Penulis: cerita titipan
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-09 14:46:52

Davin tertawa ringan saat aku mengumumkan rencanaku di meja makan.

“Aku butuh pindah kamar, Vin. Di atas lebih tenang. Cahaya paginya bagus. Kayaknya aku bisa mulai menulis lagi.”

Dia menoleh ke arah ibuku yang sedang menuang kuah sup ke mangkuknya. “Kalau itu bisa bantu kamu pulih, nggak masalah.”

Ibuku  ikut mengangguk, ekspresinya antara simpati dan lega. “Ibu bantu bersihin kamarnya besok, ya?”

Aku tersenyum. “Terima kasih, Bu. Aku juga nggak enak sebenarnya. Tapi aku butuh jarak.”

“Kamu nggak ganggu sama sekali, Nak.”

Aku tahu. Aku memang tidak mengganggu, aku hanya mengawasi.

Kamar lantai atas itu dulu ruang kerja kami, sebelum aku hamil dan mulai sering lemas. Sejak saat itu ruangan itu kosong, hanya jadi tempat menyimpan barang-barang tak terpakai. Tapi sekarang, ruangan itu menjadi pos pengamatan. Dari jendela kecilnya, aku bisa melihat bagian belakang rumah: pintu dapur, ruang keluarga, bahkan lorong menuju kamar tamu yang kini jadi markas ibuku, atau ku sebut saja Marlina.

Aku membersihkan ruangan itu sendiri. Menata ulang rak, menggeser meja ke dekat jendela, memasang gorden baru agar bayangan tubuhku tidak terlihat dari luar. Lalu, di malam hari, aku menancapkan perekam suara dan menyelipkan kamera mini seukuran baterai di pojok ruangan, menghadap ke arah bawah.

Aku tidak tahu pasti berapa lama permainan ini akan berlangsung. Tapi satu hal yang pasti: aku sudah mulai memainkan bidak pertama.

Hari-hari berjalan seperti biasanya. Mereka pikir aku sedang “sembuh” dengan caraku sendiri. Aku bermain peran dengan baik. Menyendiri, Menulis, Kadang menangis di depan mereka, sekadar memberikan ilusi bahwa aku masih trauma.

Marlina bahkan beberapa kali mengantarkan teh ke kamarku.

“Biar kamu nggak stres sendiri,” katanya sambil menaruh cangkir di meja.

Aku tersenyum. “Kamu baik banget, Bu.”

“Kan kamu anak Ibu juga.”

Kalimat itu membuat tengkukku dingin. Jika benar aku anaknya, kenapa aku merasa seperti tamu di rumahku sendiri?

Suatu siang, aku ke pasar tradisional. Bukan untuk belanja, tapi untuk mencari seseorang.

Di antara penjual sayur dan kain batik, aku bertemu Bu Mirna, tetangga masa kecil saat aku dan Ibu tinggal di kota lain, sebelum aku kuliah dan kami pindah ke tempat ini.

“Arumi? Astaga, kamu dewasa sekali sekarang,” katanya sambil memelukku. “Masih sama Ibumu?”

“Iya, tinggal serumah sekarang,” jawabku pelan.

Dia tertawa kecil. “Marlina memang hebat. Selalu tahu cara bertahan. Dulu waktu masalah itu, saya kira dia nggak akan bisa bangkit lagi.”

Aku mengernyit. “Masalah apa, Bu?”

Wajah Bu Mirna berubah. “Eh… ya, dulu waktu dia pindah tiba-tiba dari kantor lamanya. Waktu itu ada kabar kurang enak…”

“Masalah apa?” ulangku.

Ia tampak ragu. “Saya nggak enak ngomong. Tapi banyak yang bilang dia... ya, sempat dekat sama suami orang. Tapi saya nggak tahu pasti.”

Senyumku menegang. “Dia nggak pernah cerita soal itu.”

“Ah, lupakan saja. Mungkin cuma gosip.” Tapi nada bicaranya tak lagi santai.

Aku pamit dengan kepala penuh tanya. Ini bukan soal Davin saja. Ini bisa jadi pola.

Malam itu, aku menonton rekaman kamera dari kamar atas. Tidak ada yang mencurigakan, hanya Davin dan Marlina yang menonton film di ruang tengah, duduk cukup dekat, tapi tak bersentuhan.

Tapi sorenya, aku menemukan sesuatu yang tidak mereka tahu tersimpan.

Di folder cache W******p milik Davin yang kubuka dari laptopnya, melalui sinkronisasi otomatis yang dulu pernah kupasang tanpa sepengetahuannya. ada satu file gambar: foto selfie Marlina di depan cermin, mengenakan daster ungu dengan bahu terbuka.

Bersama foto itu ada satu kalimat:

“Malam ini kamu pulang cepat, ya. I miss you.”

Aku tidak menangis. Aku menyalin file itu ke dalam folderku.

Beberapa hari kemudian, aku duduk di ruang makan sambil membaca novel. Marlina datang dan duduk di depanku.

“Kamu udah lebih tenang sekarang.”

Aku mengangguk. “Iya. Terima kasih udah bantu banyak. Tanpa ibu dan Davin, mungkin aku udah hancur.”

Wajahnya melunak. “Ibu senang bisa bantu. Kamu itu anak Ibu. Ibu tahu rasanya kehilangan.”

Aku meletakkan buku dan menatapnya. “Bu, boleh aku tanya sesuatu?”

“Tentu.”

“Kamu pernah jatuh cinta sama orang yang seharusnya nggak boleh kamu cintai?”

Dia terdiam. Matanya menyipit sedikit. “Kenapa nanya gitu?”

“Novel yang aku baca tadi temanya begitu. Seorang wanita jatuh cinta pada suami anaknya sendiri. Jadi penasaran... apa itu beneran bisa terjadi?”

Marlina tertawa kecil. Tapi suara tawanya terdengar gugup.

“Kamu ini, ya. Bacaannya serem-serem. Mana mungkin ada ibu yang setega itu.”

Aku ikut tertawa. Tapi aku tahu: ada ibu yang bisa. Bahkan sedang duduk di depanku.

Malam itu, saat semua sudah tidur, aku membuka kembali laptopku dan menambahkan folder baru.

Namanya: “Marlina Sebelum dan Sesudah.”

Aku mulai mengumpulkan informasi tentang masa lalunya. Aku menghubungi Bu Ratri, mantan atasanku, yang dulu juga pernah mengenal Ibu saat mereka bekerja di perusahaan yang sama bertahun-tahun lalu.

“Arumi... aku tahu ini nggak enak dibicarakan. Tapi Ibumu dulu memang pernah terlibat kasus etik di kantor lama. Ada dugaan hubungan pribadi dengan direktur. Kasus itu nggak pernah dibuka ke publik karena diselesaikan diam-diam. Tapi gara-gara itu, banyak orang mundur, termasuk aku.” Aku mencatat semuanya.

Marlina tidak hanya mengkhianati suaminya sendiri, dia punya sejarah panjang soal bermain dengan batas.

Dan kini, batas itu adalah aku.

Keesokan paginya, aku melihat pemandangan kecil yang menegaskan dugaanku. Saat aku turun ke dapur, Davin dan Marlina berdiri terlalu dekat. Dia membantu Marlina mengambil toples dari rak atas. Tangan mereka bersentuhan. Mereka tertawa kecil.

Lalu Marlina berbalik dan melihatku berdiri di ambang pintu. Senyumnya terhenti sedetik, lalu muncul kembali.

“Rum, kamu bangun pagi. Mau sarapan?”

Aku hanya menjawab, “Iya,” sambil menatap keduanya tanpa berkedip.

Davin menoleh. “Aku bikin roti bakar buat kamu. Mau teh juga?”

Aku tersenyum. “Kalian perhatian banget, ya.”

Dan dari sudut mataku, aku lihat Marlina menatapku dan untuk pertama kalinya, ia terlihat tidak yakin.

Hari itu, aku menulis:

“Jika mereka percaya aku rapuh, biarlah. Karena perempuan yang dianggap hancur, biasanya tak diawasi. Dan dari tempat itulah, aku mulai membangun hukuman.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ibuku Menikahi Suamiku   BAB 14

    Tiga hari terakhir, aku tidak banyak bicara. Bukan karena menyerah, tapi karena sedang mengamati. Marlina dan Davin semakin tenang, terlalu tenang. Mereka sudah seperti pasangan tua yang saling mengenal pola satu sama lain. Tapi justru dari ketenangan itu, aku tahu mereka mulai lengah. Dan kelengahan adalah celah paling mahal yang bisa kumiliki.Hari itu aku kembali duduk di meja makan untuk pertama kalinya dalam seminggu. Kupilih kursi yang menghadap ke dapur, agar bisa melihat pergerakan mereka. Marlina sedang memotong wortel. Davin duduk sambil membaca koran. Aku tahu mereka tahu aku ada di situ, tapi tidak ada yang menyapa lebih dari sekadar lirikan. Mungkin mereka pikir aku sudah lelah atau kalah. Mereka salah.“Bu, di mana buku catatan dapur yang biasanya?” tanyaku tiba-tiba.Marlina menoleh, masih memegang pisau. “Buku catatan apa?”“Itu, yang biasa dipakai Ayah buat nyatet belanja. Yang hijau.”“Oh itu. Udah lama hilang. Mungkin kebuang waktu bersihin gudang. Kenapa?”“Nggak a

  • Ibuku Menikahi Suamiku   BAB 13

    Sudah hampir seminggu sejak aku dan Laila terakhir bertemu. Tidak ada pesan masuk darinya. Tidak ada panggilan. Mungkin dia sudah memutuskan untuk tidak terlibat. Atau mungkin, seperti yang lain, dia sedang mencari cara untuk percaya bahwa semua yang kualami hanya hasil pikiranku sendiri.Sementara itu, rumah ini semakin sunyi. Tapi bukan sunyi yang menenangkan. Sunyi di sini terasa seperti jalan panjang menuju keterasingan. Keberadaanku mulai di hilangkan dan psikologisku mulai terkikis sedikit demi sedikit. Situasi ini sangat tidak normal, namun berbeda dengan mereka.Marlina dan Davin tetap bersikap seolah semuanya normal. Mereka berbagi ruang dengan begitu alami, tapi selalu menjaga batas saat aku ada. Tak ada pelukan, tak ada sentuhan mencurigakan, tak ada tatapan mesra di depan mataku. Tapi aku bisa mencium aroma kedekatan mereka yang makin pekat. Dan kini mereka tidak hanya mengendalikan situasi, tapi juga ritme rumah ini. Jadwal makan, apa yang dimasak, kapan lampu dimatikan.

  • Ibuku Menikahi Suamiku   BAB 12

    Apakah aku sudah gila? Atau aku sudah kehilangan kesadaranku? Karena Aku mulai bicara pada benda mati. Kursi yang selalu kosong di meja makan. Jendela kamar yang memantulkan wajahku. Sendok yang kulempar ke wastafel dengan terlalu keras, berharap ada yang bertanya kenapa. Tapi tak ada, Bahkan suara gemericik air pun terdengar lebih nyata daripada suamiku sendiri. Mungkin bukan aku yang sudah gila, tapi mungkin psikologisku yang sedang dipermainkan.Hari ini, Marlina dan Davin semakin nyaman di rumah ini, seolah-olah merekalah pasangan suami istri yang sah. Mereka tertawa di dapur, bercakap di ruang tengah, duduk terlalu dekat saat menonton TV. Tapi begitu aku muncul, semuanya diam. Seolah aku perusuh dalam rumahku sendiri, seolah olah akulah yang menumpang di rumah ini.Suatu malam, aku terbangun karena haus. Saat menuruni tangga, aku melihat lampu dapur masih menyala. Dari balik pintu yang sedikit terbuka, kudengar bisikan-bisikan, Suara Davin dan suara Marlina begitu samar ku dengar

  • Ibuku Menikahi Suamiku   BAB 11

    Sejak hari itu, aku berhenti membedakan pagi dan malam. Aku tidak tahu kapan terakhir kali aku bangun karena cahaya matahari, atau tidur karena rasa lelah. Di rumah ini, waktu tidak lagi berarti. Yang tersisa hanya jeda di antara satu luka dan luka yang lainnya.Davin dan Marlina semakin pandai mengatur segalanya. Mereka tidak menyembunyikan hubungan mereka dengan cara bersembunyi, mereka menyembunyikannya dengan membuatku tampak gila, sehingga tidak ada yang percaya apa pun yang kulihat atau kudengar. Dan perlahan, aku mulai mempertanyakan diriku sendiri.Setiap pagi, aku turun ke dapur dan mendapati meja makan hanya memiliki dua piring, Dua gelas dan Dua sendok. Aku tidak pernah tahu apakah itu disengaja atau karena mereka benar-benar sudah tidak menganggapku bagian dari rumah ini.Aku coba membuat kopi sendiri, tapi gula tidak ada di tempatnya, Air galon mendadak habis, Sendok kecil entah di mana. Semua terasa seperti teka teki dan aku adalah orang asing yang berusaha membaca bahas

  • Ibuku Menikahi Suamiku   BAB 10

    Namun sangat disayangkan kebenaran dan keadialan yang ku tunggu tunggu, Tapi hari itu belum datang. Yang datang justru hari-hari penuh kehampaan, di mana aku sadar, sedikit demi sedikit, aku sedang dihapus dari hidup mereka dan dari lingkungan sosialku.Pagi itu, saat turun ke dapur, aku mendapati meja makan sudah terisi penuh. Roti panggang, telur dadar, potongan buah segar, dua cangkir kopi semuanya tampak rapi dan hangat. Tapi tak ada satupun yang untukku. Mereka seakan akan sedang menghilangkan keberadaanku di rumah ini.Marlina sedang menyusun piring, sementara Davin duduk di meja, menggulir layar ponsel.“bu belum sarapan?” tanyaku pelan.Marlina menoleh sekilas. “Oh... aku kira kamu masih tidur.”“Biasanya aku turun jam segini.”Davin mengangkat cangkir kopinya, menyesap, dan hanya menjawab, “Kami kira kamu lagi nggak mau makan bareng.” Aku diam, Tidak ada satu pun kursi yang ditarik untukk, Tidak ada piring tambahan.Aku tidak diusir, tapi perlahan ditiadakan.Beberapa hari ke

  • Ibuku Menikahi Suamiku   BAB 9

    Itu pikiranku malam itu, Tapi ternyata, aku terlalu percaya diri. Terlalu yakin bahwa aku masih mengendalikan semuanya. Ternyata, mereka tidak hanya bereaksi, Mereka membalas, Bukan dengan teriakan atau perdebatan, tapi dengan hal yang lebih licik yaitu membentuk opini. Dan opini itu lebih mematikan daripada peluru.Malam itu, aku menyendiri di kamar lantai atas. Tapi kali ini, tidak sebagai pengamat, bukan sebagai pemilik rencana, Tapi sebagai perempuan yang baru saja kehilangan kendali.Keesok Paginya , setelah sarapan, aku menemukan amplop putih di depan pagar. Tidak tertulis nama, hanya satu baris singkat:“Berhenti. Atau kami akan buatmu percaya bahwa kamu memang gila.”Tanganku menggenggam kertas itu begitu kuat hingga kusut, Aku menatap sekeliling. Jalanan sepi, Tidak ada orang di luar, Hening, Tapi rasanya semua mata tertuju padaku dari balik jendela. Saat aku masuk, Marlina sedang menyapu ruang tamu. Ia melirikku sekilas, lalu tersenyum kecil.“Kamu keluar pagi-pagi? Udara ma

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status