Share

3. Dua Orang Yang Didesak Menikah

Memutar kran air di wastafel, Alina membasahi wajahnya. Menatap ke cermin, ia merenungi wajahnya yang sudah basah. Dinginnya air sedikit meredakan amarahnya. Menampung sedikit air lagi ditangannya, Alina membasahi wajahnya lagi. Setelah ia merasa benar-benar tenang, Alina mematikan kran.

Menyobek beberapa helai tisu, Alina mengeringkan wajah dan tangannya dengan itu. Alina pun kembali ke bangsal tempat neneknya di rawat. Dan menemukan neneknya tidak ada disana.


"Nona apakah anda cucu dari pasien ibu Erina?"

Seorang perawat yang melihat keberadaan nya disana langsung bertanya. Alina mengangguk kan kepalanya.


"Iya, dimana nenek saya sekarang?"


"Nenek anda sudah di pindahkan ke ruang VIP. Mari saya antar"


Alina pun mengikuti kemana perginya perawat tersebut. Dalam hati ia sedikit bertanya- tanya. Kenapa neneknya dipindahkan ke bangsal VIP? Mereka tidak punya cukup uang untuk melunasi nya nanti.


Sekarang Alina lah yang memenuhi kebutuhan nenek dan juga ibunya yang masih di rawat di rumah sakit jiwa dengan hasil gajian mengajarnya yang sangat pas-pasan.


"Ini ruangan nya! Kalau begitu saya permisi dulu"


"Baik, terimakasih"


Membuka pintu, Alina melihat ruangan itu jauh lebih nyaman dari sebelumnya. Ada televisi tempel di dinding pojok ruangan, sofa yang lebih besar, dan juga pendingin ruangan.

Kamar ini juga di lengkapi dengan toilet didalamnya.


"Nenek ini--" Alina sedikit ragu mengatakan keberatannya.

Bukan karena ia tidak ingin memberikan yang terbaik untuk neneknya. Tapi ia tidak punya cukup uang untuk itu.

Erina yang melihat kegelisahan cucunya langsung mengerti apa yang dipikirkan cucunya saat ini.


"Jangan khawatir! Semua ini tuan Irsyad yang menanggung nya"


"Apa?"


Sekarang Alina mengerti kenapa neneknya pindah ke bangsal VIP. Itu karena pria tua tadi, teman lama nenek?


"Tidak! Aku masih sanggup menanggung perawatan nenek, jadi tidak perlu menerima bantuan dari nya"


Bagaimana mungkin Alina mau menerima uluran tangan dari seorang pria? Tidak ada pria yang dapat di percaya di dunia ini. Siapa yang tau niat buruknya di balik semua kebaikan ini?


"Alin..tuan Irsyad itu orang yang baik, lagi pula tidak baik menolak-"


"Cukup!" Potong Alina yang tidak mau mendengar punian apapun lagi tentang pria tua yang bernama Irsyad itu.


"Aku yang akan melunasi perawatan nenek, selama aku mampu kita tidak perlu menerima bantuan apapun dari pria asing"


"Alin..tuan Irsyad bukan pria asing! Dia adalah teman lama nenek"


"Jadi bagaimana nenek bisa sampai dirawat seperti ini?"

Alina langsung membuka pembicaraan lain. Telinganya sudah sangat panas mendengar neneknya yang terus saja membicarakan pria tua itu.

Menarik kursi di dekat brankar, Alina duduk disana.


Erina tidak mampu menahan senyum masam nya. Akan sampai kapan cucunya terus membenci semua pria seperti ini?


"Bukan apa-apa! Hanya penyakit orang tua" 

Erina tersenyum lembut. Ia menyembunyikan kekhawatirannya dalam hati. Sebenarnya ia sedang tidak baik-baik saja. Hanya saja ia tidak mau membuat cucunya khawatir padanya.


"Sungguh? nenek tidak berbohong padaku kan?" Alina merasa sedikit ragu.


"Nenek tidak berbohong!"


Sebenarnya Alina masih sedikit ragu. Jika itu hanya penyakit orang tua kenapa sampai harus dirawat di rumah sakit? Ia akan mencari kebenaran nya nanti dari dokter. Saat itu ia akan tau neneknya berkata benar atau tidak.


"Alin... boleh nenek memohon sesuatu padamu?"


"Nenek apa yang kau katakan? Aku ini cucumu, sekalipun itu sulit tentu akan aku usahakan apapun itu untuk mu" Kata Alina tulus.


Dalam hidup ini, Alina hanya memiliki seorang nenek dan ibunya meski pun tidak lagi waras. Tapi mereka adalah semangat nya untuk terus bekerja keras.

Alasannya untuk melupakan semua kisah suramnya di masa lampau. Dan obat luka dari semua pengalaman buruknya yang sampai detik ini masih sangat sulit ia lupakan.


"Aku sudah tua, aku khawatir jika aku pergi nanti..."


Erina bergetar ketika mengatakan nya. Sepasang matanya sudah berkaca-kaca.

"Bagaimana dengan Alin nantinya?"


Alina mengambil tangan neneknya yang tidak tertusuk selang infus, membawanya ke belahan pipinya dan menempelkan nya disana.


"Nenek tidak perlu khawatir! Aku pasti akan tetap baik-baik saja" Kata Alina lembut.

'Sekalipun itu aku akan sendiri...'


"Tapi nenek ingin sekali melihat mu menikah"


Deg!

Serasa seperti langit runtuh menimpanya.

"Itu adalah permohonan terakhir nenek, apa Alin mau memenuhi nya?"


Alina tidak menjawab. Tatapan nya jatuh kebawah. Ada gejolak emosi yang naik turun dalam dirinya. Itu seiring dengan deru nafasnya yang sedikit mulai tidak karuan.


"Itu adalah takdir nenek dan ibumu memiliki pria yang tidak beruntung di kehidupan ini. Tapi tidak berarti kau juga bernasib sama"


Alina merasakan kedua matanya memanas. Ada air mata yang tertahan di kedua pelupuk matanya. Sedang hidungnya terasa sangat asam.


"Ada seribu manusia di dunia. Dan setiap dari mereka berbeda-beda. Tidak semua pria itu buruk"


Wanita tua itu perlahan bangkit dari baringan nya. Menyadari itu, Alina bergerak cepat untuk membantu. Setelah menyandarkan separuh tubuh neneknya di kepala ranjang. Alina kembali duduk ditempatnya.


Erina melihat buah jeruk di atas meja dekat ranjang nya. Mengulurkan tangannya untuk mengambil buah itu.


"Bahkan buah jeruk saja memiliki beberapa jenis yang berbeda. Tidak semua nya asam tapi juga ada yang manis"

Erina mulai mengupas buah jeruk tersebut.

Alina mengulurkan tangan untuk membantu tapi neneknya mencegahnya.

Wanita tua itu tersenyum lembut dengan sorot mata yang mengatakan ia dapat melakukannya.

Setelah mengupas nya. Erina menyodorkan satu ke mulut cucunya. Membuka separuh mulutnya seakan mengatakan 'a..'

Alina membuka mulutnya dan memakan jeruk itu.


"Bagaimana rasanya?"


"Manis"


"Yah, akhirnya Alin tau jeruk ini manis setelah mencobanya. Jadi cobalah untuk membuka hati Alin untuk seorang pria"


Alina diam, enggan menanggapi apapun.


"Bagaimana jika kamu mencoba nya dengan Zayyad, lewat perjodohan ini?"


"Jadi nenek sungguh ingin menjodohkan aku dengan pria asing, yang sama sekali tidak ku kenal?"

Pada akhirnya Alina berbicara. Mendengar kata perjodohan dan pria mood baiknya langsung saja berubah menjadi buruk.


"Alin..."


"Nek ini sudah sangat larut! Sekarang nenek istirahat ya"


Menolak untuk melanjutkan topik lebih jauh. Alina langsung membantu neneknya untuk berbaring.

Dan kemudian ia bergegas ke sofa, merebahkan diri disana, memejamkan mata walau sebenarnya belum mengantuk.


Dan di lain tempat, ada seseorang yang bernasib tidak jauh berbeda dengan Alina.

Irsyad dan Zayyad duduk bersama di balkon.

Menikmati hembusan angin malam yang menusuk sampai ke tulang.


Ada meja kopi kecil di antara mereka. Diatasnya ada dua cangkir teh yang masih hangat dengan kepulan asap halus di udara.


"Kakek tidak akan memaksamu menerima perjodohan ini"

Kata Irsyad. Matanya menatap jauh ke langit malam yang tak berbintang.

"Tapi pikirkanlah, kau seorang pria yang sudah berumur 30 tahun. Mungkin tidak masalah jika kau tidak menikah sekarang, tapi rumor kau seorang gay sudah beredar di publik dan di tambah lagi tentang publik yang mulai menilai mu memiliki ketakutan terhadap wanita. Rumor ini jika tidak di hentikan, disamping merusak reputasi mu tapi juga akan mengancam perusahaan dan kau bisa saja diturunkan jabatan mu dari seorang CEO. Kamu pasti mengerti apa yang kakek maksud"

Zayyad jelas sangat mengerti dengan apa yang kakeknya maksud.

Rumor-rumor buruk tentangnya yang beredar jelas itu adalah bagian dari taktik kotor orang-orang yang ingin menjatuhkan nya.

"Aku akan mempertimbangkan masalah ini"

Mengambil cangkir teh miliknya, Zayyad menyeruput nya sedikit.

"Yah, pikirkan itu baik-baik!"

Kata Irsyad sambil menepuk-nepuk punggung cucunya.

___

Di pagi harinya Alina sudah keluar untuk membeli sarapan pagi. Sedang neneknya masih tertidur pulas dan ia enggan membangunkan nya. Makanan rumah sakit sama sekali tidak membuatnya selera. Kembali kota Y, ia sangat merindukan makan di tempat kesukaannya.

Itu adalah warung makan kecil yang letaknya dekat dengan sebuah bangunan sekolah biasa. Biasanya tempat itu penuh oleh anak-anak pada jam-jam tertentu. Tapi pada jam pagi seperti ini anak-anak itu sudah masuk. Ketika Alina berpijak ke tempat itu, ia bisa melihat keadaan warung makan yang sepi.

Alina melihat seorang wanita berkepala empat sedang menata beberapa makanan di etalase. Dia melakukannya sambil menggendong bayi.

"Bibi!" Sapa Alina, melebarkan sudut bibirnya tersenyum sopan.

"Alina!" Serunya terkejut, terlihat senang. "Sudah lama tidak datang kemari, kemana saja?"

"Ah, ternyata bibi masih mengingat ku"

"Gadis konyol! Bagaimana aku tidak ingat sama pelanggan ku sendiri"

"Ha..ha"

Sudah dua tahun Alina tidak mengunjungi tempat ini. Apalagi semenjak ia pergi menetap di kota Z. Dia dengan wanita si pemilik warung memang agak akrab. Terkadang ia datang ke tempat itu bersama Maya.

Tapi Alina sedikit terkejut melihat wanita itu menggendong seorang anak. Dari yang ia tau, wanita itu adalah seorang janda tanpa anak. Apakah ia sudah menikah lagi?

"Bibi bayi itu sangat imut, apakah ia anakmu?"

"Tidak, dia adalah anak dari sepupu perempuan ku, hanya saja aku yang merawatnya untuk saat ini"

Wanita itu menatap pada bayi kecil yang di gendong nya. Matanya yang sayu melembut dengan senyum sendu di bibirnya.

"Bayi ini masih sangat kecil, tapi harus kehilangan kasih sayang kedua orangtuanya"

"Maksud bibi?"

Wanita tua itu menghela nafas dan mengangkat pandangan kearahnya.

"Jika kau suatu hari menikah, carilah pria yang benar-benar dapat bertanggung jawab"

Wanita itu mengatakan nya dengan raut wajah yang bersungguh-sungguh dan sedikit sedih.

"Nasib sepupu perempuan ku beda tipis dengan ku. Aku menikah dengan seorang pria yang ternyata pecandu narkoba dan kami bercerai. Sedangkan dia menikah dengan seorang pria yang ternyata sudah berkeluarga. Sepupuku sama sekali tidak tau akan hal itu. Sampai suatu hari Istri tuanya mengetahui keberadaan nya, melabraknya dan pada saat itulah ia mengetahui nya. Istri tuanya yang ternyata seorang nyonya kaya tidak terima di madu dan memaksa suaminya untuk menceraikan sepupu ku. Akhirnya mereka bercerai begitu saja. Sepupuku sangat sulit menerima kenyataan itu dan merasa terpuruk. Bayi ini ditelantar begitu saja tidak ada yang mau mengurusnya. Aku membawanya bersama ku untuk saat ini karena itu"

Mendengar cerita itu tanpa sadar tangan Alina mengepal. Darahnya mendidih dan jantung nya memompa lebih keras.

"Pria adalah pria. Mereka bajingan yang merusak kebahagiaan kita para wanita. Aku turut prihatin terhadap kamu bibi dan sepupu mu"

Wanita itu hanya mengangguk, enggan untuk merespon kata-kata Alina. Matanya yang tertunduk, tampak sedikit berkaca-kaca merenungi kemalangan hidupnya.

Alina menghela nafas berat. Kemalangan seperti itu ternyata tidak hanya terjadi pada ibu dan neneknya.

Setelah semua ini, apakah Alina masih mempercayai kata-kata neneknya bahwa masih ada pria yang baik di dunia ini?

Mungkin itu hanyalah omong kosong.

"Bibi berikan aku dua bungkus nasi dengan ayam dan satunya lagi ikan"

"Tidak makan disini?"

"Tidak bibi, aku harus kembali ke rumah sakit. Nenek ku sedang rawat inap disana"

Wanita itu sangat cepat membungkus dua nasi pesanannya. Lalu menyerahkan nya pada Alina dalam sekantong plastik hitam.

Ketika Alina menyodorkan beberapa lembar uang untuk membayar, wanita itu terus menolak.

"Hari ini ku berikan secara g****s untuk mu. Semoga nenek mu cepat sembuh"

Alina merasa tersentuh dengan kebaikannya. Tapi masih tetap bersikeras untuk membayar. Dan wanita itu juga bersikeras menolak.

Alina akhirnya menerima kebaikan wanita itu. Tapi ia malah menyelipkan beberapa lembar uang ke si bayi mungil yang masih tertidur.

"Sekali lagi terimakasih bibi untuk nasi gratisnya!"

Ucap Alina sembari mengangkat plastik hitam di tangannya.

"Ini?"

Wanita itu sedikit tercengang melihat beberapa lembar uang yang di berikan Alina pada si bayi. Itu tidak banyak tapi pasti sangat lebih dari cukup untuk membeli sekotak susu dan popok. 

"Anggaplah itu hadiah ku untuk si bayi kecil. Sampai kan salam ku pada ibunya"

Dan dengan begitu Alina pergi kembali ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan ia kembali terngiang dengan masa lalunya yang menyedihkan.

"Ibu aku lapar!"

Kilasan seorang Alina kecil yang kurus kembali membayangi pikirannya. Saat itu ia sedang mengeluh lapar pada ibunya karena sudah dua hari mereka hanya minum tanpa makan apapun.

"Tunggu ayah pulang! Ayah pasti akan membawa pulang banyak makanan untuk kita"

Kata ibunya yang tersenyum lembut sambil mengusap kepalanya.

"Ibu tidak berbohong kan?"

Saat itu ibunya hanya diam. Tersenyum tipis yang hampir tidak seperti senyum. Walaupun pada akhirnya wanita itu mengangguk. Hanya untuk menyenangi putrinya.

Pada akhirnya ayah yang Alina tunggu pulang. Tapi tidak membawa makanan apapun yang seperti ibunya bilang.

Ayahnya pulang hanya untuk memukul ibunya dan memarahi dirinya.

Mereka terakhir dapat makan hanya dengan belah kasih para tetangga.

Alina tersenyum dingin mengingat kisah suram itu. Tepat ketika ia melangkah masuk ke dalam tempat neneknya di rawat.

Senyumnya langsung cerah kembali.

"Nenek aku membawa mu sarapan!"

Meskipun neneknya sudah tua. Tapi ia sama sekali tidak suka bubur dan apalagi makanan yang di sediakan rumah sakit. Karenanya Alina juga memesan sebungkus nasi untuknya.

"Seorang bibi pemilik warung langganan ku memberikan nya secara g****s untuk kita"

"Alin kau tau saja nenek ini tidak suka makan bubur"

Katanya sambil mengeluh pada semangkuk bubur yang ada di atas meja dekat ranjangnya berbaring. Sepertinya bubur itu baru saja di antar.

"Aku cucumu bagaimana tidak tau!"

Dengan begitu Alina menyuapi neneknya makan, baru setelah nya ia makan miliknya. Dan ponselnya berdering.

Membuang bungkusan nasi ke tong sampah. Alina mengangkat panggilan.

"Assalamu'alaikum Maya"

"Alhamdulillah nenek ku baik-baik saja"

"Pasti akan ku sampaikan!"

"Wa'alaikumsalam"

Alina kembali duduk di dekat neneknya berbaring. Menemukan wajahnya yang terlihat sedih dan kesepian.

Alina mengulurkan tangannya untuk mengambil tangan tuanya dan menggenggam nya lembut.

"Nenek ada apa?"

Erina tersenyum lembut pada cucunya. Saat ini ia sedang mengkhawatirkan nasib cucunya. Jika ia pergi nanti, apakah cucu cantik nya itu akan terus seorang diri?

Erina mengambil tangan halus yang menggenggam nya itu dan terus merenungi jemari lentik dan permukaan kulit putihnya yang seperti susu.

"Berikan tangan mu yang satunya lagi pada nenek"

Alina terus mengulurkan tangan kirinya pada neneknya.

Dan neneknya kembali merenunginya seperti tangan kanan nya tadi. Sampai titik pandang nya jatuh pada hari manisnya yang masih polos.

Perasaan Alina mendadak menjadi rumit. Neneknya tidak akan membahas perjodohan lagi kan?

"Kapan jari manis ini memiliki cincin yang cantik melingkari nya"

"Nenek jika kau sangat ingin melihatnya. Aku pasti akan membelinya satu dan memakainya"

Alina mengatakan nya seakan benar-benar tidak tau apa maksud neneknya dan bersikap polos dengan menjawabnya seadanya.

Erina yang mendengar nya tidak mampu menahan senyum.

"Alangkah baiknya jika ada orang yang memberikan nya pada mu"

"Aku akan meminta Maya untuk memberikan nya pada ku. Ia pasti akan sangat murah hati memenuhinya"

Alina masih memberikan tanggapan dengan senyum polos di wajahnya.

"Alangkah baiknya jika orang itu memberikan nya padamu tanpa harus kau minta"

"Cukup nek!"

Akhirnya Alina tidak tahan lagi dan berteriak.

Ia sudah sangat halus menolak perbincangan yang mengarah pada topik itu sejak awal. Tapi kenapa neneknya juga tidak mengerti.

"Jika nenek terus-menerus membahas pernikahan atau perjodohan dengan ku, maka detik ini pun aku akan kembali ke kota Z"

Alina bangkit dari duduknya dan berdiri dengan nafas tersengal-sengal karena tekanan amarahnya.

"Aku sengaja mengambil cuti untuk pulang menjenguk nenek, bukan untuk mendengar desakan untuk menikah atau bahkan perjodohan"

"Tapi Alin-"

"Cukup nek! Aku sudah dewasa, aku sangat tau apa yang membuat ku bahagia atau tidak. Jadi nenek tidak perlu mendesak ku untuk menikah lagi!"

Alina takut gagal mengontrol emosinya malah akan terus menyakiti neneknya jika tetap di sana.

Karena itulah ia bergegas pergi membuka pintu. Membawa wajahnya yang memerah karena amarah dan gejolak emosi yang menekan dadanya.

Tepat ketika ia sudah berada di luar. Seorang wanita dengan seragam medis menyambut nya dengan seulas senyum.

"Apakah anda cucu dari pasien ibu Erina?"

Alina mengangguk membenarkan.

"Bolehkah kita berbicara sebentar?"

___

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status