Alina berjalan dengan linglung di sepanjang lorong rumah sakit. Tatapannya kosong dan pikirannya masih melayang ke pembicaraannya yang baru saja terjadi dengan dokter yang merawat neneknya.
"Nenek anda menderita penyakit yang termasuk langka yaitu Sindrom mielodisplasia atau yang disebut juga praleukimia. Ini terjadi saat sumsum tulang memproduksi sel darah yang abnormal atau cacat. Lama-kelamaan sel-sel darah tersebut akan meningkat lebih banyak mengalahkan sel-sel darah yang normal atau sehat. Hal inilah yang nantinya akan menyebabkan beberapa masalah lainnya pada kondisi tubuh seperti anemia, pendarahan berlebih dan sebagainya"
Saat itulah Alina tau, bahwa neneknya telah berbohong padanya tentang penyakitnya. Mendengar itu matanya terus berkaca-kaca.
"Apakah nenek saya berkemungkinan besar untuk di sembuhkan dari kelainan tersebut?"
"Tentunya kita akan mencoba yang terbaik untuk itu. Karena kasus yang terjadi pada nenek anda adalah 'de Novo mylodysplastic syndromes' yang mana tergolong dalam jenis yang tidak diketahui penyebabnya, biasanya lebih mudah di atasi ketimbang yang di ketahui penyebabnya. Hanya saja..."
"Hanya saja apa dok?"
"Coba lakukan saja apa yang membuatnya bahagia dan jangan terlalu banyak berdebat dengannya. Saya mengatakan ini karena bagaimanapun juga kebahagiaan dan ketenangan psikologis seorang pasien tentunya memiliki andil besar terhadap psikis nya. Sebaliknya psikologis pasien yang buruk hanya akan mempengaruhi psikis pasien dan memperburuk keadaannya. Jadi untuk saat ini mohon anda melakukan yang terbaik yang anda bisa untuk membuat nenek anda tetap tenang dan memberi energi yang positif padanya dalam menjalani beberapa pengobatan ke depan"
Sebenarnya masih banyak hal yang Alina tidak mengerti dari penjelasan dokter yang untuk orang awam sepertinya, itu sedikit sulit untuk di pahami. Masih banyak pula yang ingin ia tanyakan pada dokter tadi, hanya saja keterbatasan waktu dan dokter itupun juga harus menangani pasien lainnya. Akhirnya ia hanya dapat menundanya dan menanyakannya di lain waktu.
Tapi ada satu poin penting yang sangat di perjelas oleh dokter. Untuk melakukan apa saja yang mempengaruhi psikologis pasien menjadi lebih baik dan positif dengan membahagiakan nya, menuruti kemauannya dan tidak terlalu banyak berdebat dengannya.
Alina merenung sejenak dalam pikirannya.
Dengan penyakit seperti itu, harusnya neneknya dapat dengan mudah mengancam nya untuk menerima perjodohan. Hanya saja neneknya sama sekali tidak memanfaatkan situasi itu dan hanya memilih untuk memohon padanya, seperti pada malam itu.
'Tapi nenek sangat ingin melihat mu menikah'
Tepat ketika Alina berdiri di depan pintu bangsal perawatan neneknya. Ia berhenti. Tangannya segera mengusap kedua belah pipinya yang sudah basah. Mengatur nafasnya perlahan, Alina mencoba meredakan tekanan emosi kesedihan yang bergejolak dalam dirinya.
Karena nenek membohonginya tentang penyakitnya. Maka anggaplah sampai detik ini ia memang tidak tau apa-apa.
"Nenek maafkan aku!" Alina menarik kursi dan duduk. Wajahnya menunduk penuh penyesalan.
"Tidak masalah, ini salah nenek! Tidak seharusnya nenek terlalu memaksakan kehendak nenek padamu"
Mengepal kan kedua tangan di atas pahanya. Alina mencoba keras untuk mengatakan apa yang sebenarnya paling tidak ingin ia katakan.
"Tidak! Mungkin nenek benar, aku harus mencobanya" Akhirnya setelah perjuangan melawan ego besar dalam dirinya, Alina berhasil mengatakannya.
Pernyataan itu sungguh mengejutkan Erina yang masih kurang mengerti apa yang di maksud cucunya.
"Mencoba?"
Alina dengan berat hati menganggukkan kepalanya. Memaksakan bibirnya tersenyum lebar walau sebenarnya itu palsu.
"Bukankah nenek sedang mengatur perjodohan untuk ku?"
"I-ya"
"Aku menerima perjodohan yang nenek atur untuk ku"
Alina mempertahankan senyum palsunya yang nyaris hampir membuat sepasang matanya menyipit— akan betapa kuatnya ia memaksa untuk tersenyum.
"Sungguh?"
Wanita itu menatap kearahnya dengan mulut setengah terbuka. Seakan ia sama sekali tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengar.
"Kenapa Alin mendadak menyetujuinya?"
"Jika nenek masih terus bertanya, aku mungkin akan mengubah pemikiran ku" Tukas Alina dengan tampang bersungguh-sungguh.
"Jangan! Nenek tidak akan menanyakannya lagi"
Alina dapat meliha wajah neneknya yang tampak sangat bahagia dan bersemangat. Mata tuanya bersinar jauh lebih cerah dan wajahnya yang pucat tampak lebih hidup dan segar.
Alina menelan kepahitan dan gejolak emosi ketidakbahagiaan dalam hati. Menyembunyikan semua itu dengan tersenyum. Untuk kebahagiaan neneknya, ia rela mengorbankan perasaan dan prinsip terbesarnya.
Pada akhirnya, jalan takdir tetap menuntun nya pada -ikatan pernikahan- dan -pria-.
___
"Pak situasi rumor tentang anda di luar berkembang sangat pesat. Saya tidak dapat mengendalikannya lagi! Maafkan ketidakmampuan saya pak" Kata Bakri, wajahnya tertunduk penuh penyesalan.
Zayyad berdiri tepat di depan dinding perusahaan yang hampir semuanya di dominasi oleh kaca. Itu mengarah ke dunia luar. Kedua tangannya di masukkan ke dalam saku celananya. Tatapannya menatap jauh ke depan, memandangi kaca transparan itu lalu melihat kebawah. Menyaksikan ribuan kendaraan yang berlalu lalang, milyaran manusia yang sibuk beraktivitas, dan hiruk pikuk kota metropolitan yang sangat padat.
"Kau sudah bekerja keras, tidak perlu meminta maaf!" Katanya kemudian. Setelah berdiam cukup lama.
Perlahan ia memutar badannya, menatap pada asisten yang merangkap sekretaris pribadinya itu. Ia dapat melihat wajahnya yang kelelahan serta rasa penyesalan yang tergambar jelas di sana.
"Tapi pak jika ini terus terjadi, mungkin anda dapat di lengserkan dari posisi anda"
Zayyad tersenyum. Sangat tenang dan jauh. Seperti menyaksikan permukaan danau tanpa riak.
"Rumor itu memang di buat untuk menjatuhkan saya" Kata Zayyad. Tidak ada perubahan ekspresi di wajahnya yang seputih porselen. Ia sama sekali tidak merasa panik ataupun kacau.
Bakri yang melihat bosnya yang tampak biasa saja, ia merasa kebingungan. Tidak tau apakah itu tampilan seseorang yang sudah pasrah pada keadaan atau mungkin sebaliknya. Sulit menilai hal seperti itu dari seseorang yang minim eskpresi seperti bosnya.
"Pak, sebentar lagi rapat antar pemegang saham akan di adakan. Mereka pasti akan mempertanyakan tentang ini"
"Kau sudah makan siang?" Tanya Zayyad santai. Seakan ia sama sekali tidak peduli dengan apa yang baru saja di katakan Bakri.
"Tapi pak—" Bakri tidak akan menduga disaat seperti ini, bosnya malah menanya makan siangnya.
"Pergilah!" Itu titah yang cukup tegas. Setelah mengatakannya, tubuhnya terus berbalik.
Zayyad kembali menghadap dunia luar yang ada di bawah sana. Dari pergerakannya itu, jelas sekali itu adalah penyampaian maksud bahwasanya— ia tidak ingin penolakan.
Pada akhirnya Bakri dengan berat hati meninggalkan bosnya dan pergi makan siang seperti yang di perintahkan.
Zayyad yang tinggal seorang diri di ruangan, sama sekali tidak berniat untuk makan siang.
Mengambil ponselnya ia langsung menghubungi kakeknya.
"Kakek"
"Aku menyetujui perjodohan yang kau atur untuk ku"
"Aku serius!"
"Tidak perlu! Percepat saja hari pernikahan nya dan resepsi dapat menyusul"
"Lakukan saja di rumah sakit"
"Kakek tenang saja! Aku akan mengurus semuanya"
Panggilan berakhir.
Setelahnya tepat pada saat pertemuan dimulai.
Zayyad dengan tenang menduduki tempatnya. Mengacuhkan semua tatapan yang menghina dan menjatuhkannya. Sifatnya yang terlalu tenang membuat orang-orang menjadi gugup dan bertanya-tanya.
Tapi untuk beberapa orang, tak sanggup menyembunyikan senyum. Merasakan itu suatu pertanda yang baik untuk mereka.
Dan Zayyad sendiri, dapat dengan jelas menangkap setiap arti dari tatapan mereka.
"Pak Zayyad, saya sebagai salah satu pemasuk saham terbesar di perusahaan ini, ingin meminta klarifikasi terhadap situasi bapak. Apakah rumor yang beredar diluar sana tentang anda adalah benar?"
Bibir Zayyad yang coklat keunguan, berkedut. Ia tersenyum, tapi hampir tidak seperti senyum.
"Jika itu benar kami tidak dapat mempertahankan posisi anda lagi dan mohon anda untuk dengan murah hati mengundurkan diri"
Dengan murah hati mengundurkan diri?
Mendengar itu, Zayyad tak dapat menahan senyum di wajahnya. Ia sama sekali tidak terpengaruh sekitar. Menyembunyikan emosi adalah keahliannya. Dia yang enggan mengatakan sepatah kata pun, tenang dan bertingkah ambigu seperti itu.
Membuat beberapa orang yang ceroboh, berpikir keras. 'Sebenarnya apa yang dipikirkan pria itu?' Beberapa orang yang tidak percaya diri, merasa tidak baik. 'Apakah mungkin ia sudah merencanakan sesuatu?' Dan beberapa orang yang tidak sabaran, merasa tidak puas. 'Kenapa pria ini tidak berterus terang saja?'
Zayyad diam-diam terus memperhatikan ekspresi wajah mereka satu persatu. Seperti dapat menebak apa yang mereka pikirkan, ia nyaris tertawa kecil dalam hatinya. Meskipun wajahnya masih datar tak beriak sejak tadi.
"Saudaraku, aku sangat mengerti anda seorang yang profesional. Perusahaan ini besar tentunya karena adanya kerjasama antar banyak pihak. Anda tidak baik menjadi egois dalam situasi anda yang seperti ini"
Yang baru saja berbicara adalah sepupunya Zayyad. Bara.
Zayyad yang mendengar itu, tak mampu menyembunyikan seringainya. Mengangkat wajahnya, sekilas ia terlihat arogan dan jauh. Tatapannya yang tak terbaca, membuat beberapa orang di bekukan dengan ekspresi dingin, acuh tak acuhnya.
"Maaf, situasi seperti apa saya saat ini?"
Sekali bibir itu terbuka. Berbicara. Hawa dingin yang keluar, berhasil membekukan ruangan sesaat.
Entah bagaimana semua penghuni ruangan menjadi tegang setelah keduanya berbicara. Itu tampak tenang di permukaan. Tapi orang bodoh sekalipun dapat membaca situasi pertempuran sengit dalam dua bersaudara itu.
Bara yang merupakan saudara sepupu Zayyad tidak mampu menyembunyikan senyum halusnya setelah mendengar respon dari Zayyad yang sedikit di luar harapan.
"Karena saudara ku sepertinya tidak sadar dengan situasinya saat ini, maaf! Dengan berat hati saya harus mengatakannya"
Zayyad hanya berkedik bahu seakan tidak mengerti apapun.
Sikap santai Zayyad itu entah kenapa memicu kecurigaan Bara.
"Selama ini di perusahaan anda hanya memperkerjakan pria dan menolak pekerja wanita. Mungkin saya dapat memaklumi kondisi anda, tapi tidak dengan yang lainnya yang menuntut sikap profesionalitas anda sebagai CEO perusahaan ini"
Setelah mengatakan nya. Bara tersenyum penuh kemenangan. Seperti seseorang yang baru saja mengungkapkan kartu as nya.
"Saya memperkerjakan mereka karena mereka mampu!"
Tapi tanggapan Zayyad. Membuat kartu as di tangan Bara, lenyap begitu saja. Ia tidak mengira Zayyad begitu lihai membalikkan keadaan. Diam-diam tangannya yang di bawah meja mengepal.
"Tapi bukankah itu juga karena anda memiliki sedikit ketidaknormalan dalam diri anda?" Bara memutuskan untuk berterus terang.
Zayyad mengkerutkan dahinya. Tampang wajahnya seakan sedang memikirkan sesuatu. Lalu kemudian ia tertawa halus.
"Ketidaknormalan? di bagian mana dalam diri saya yang abnormal?"
Pernyataannya yang cukup terdengar santai itu. Membuat seluruh anggota rapat menegang. Beberapa dari mereka menatap kebingungan dan Bara yang sudah terlalu malas untuk berbelit-belit langsung mengutarakan rumor yang beredar secara jelas.
"Anda seorang gay dan menderita gynophobia! Saudaraku kenapa anda tidak berterus terang pada kita semua sejak awal?"
Zayyad tidak tahu harus tertawa atau menangis ketika mendengar hal itu di nyatakan secara langsung untuknya.
Tapi ia dengan tenang menjawab.
"Gay dan gynophobia. Menyukai sejenis dan takut pada wanita— cukup berkaitan juga. Bagaimana pun seseorang yang memiliki jenis ketakutan ini akan sangat menggangu interaksi sosial, terlebih di lingkaran pekerjaan. Dan karena ketakutan tersebut sangatlah logis jika seseorang itu menjadi gay"
Jeda beberapa detik, Zayyad mengedarkan pandangannya ke setiap orang yang ada dalam meja pertemuan. Kurva bibirnya melengkung sempurna menanggapi tiap ekspresi dari mereka.
"Jadi apakah ini rumor yang beredar tentang saya?"
Memasang tampang sedih, Zayyad menggelengkan kepalanya dengan perasaan kecewa. "Sumber mana yang mengedarkan rumor buruk ini terhadap saya? Ini adalah pelanggaran nama baik"
Orang-orang ingin sekali mengungkapkan pemikiran mereka. Tapi entah kenapa tampang tidak bersalah Zayyad sangat menyakinkan.
Bara yang siap membuka mulut untuk kembali berbicara hanya harus berhenti ketika mendengar Zayyad memanggil sekretaris pribadinya.
"Bakri!"
"Iya ada apa pak?"
Bakri sama sekali tidak mengerti dengan apa yang sedang di mainkan bosnya. Tapi setelah menilai situasi, ia tau kalau bosnya punya cara untuk mengatasi serangan licik mereka.
"Saya minta kamu untuk melakukan tuntutan terhadap media apa saja yang menyebarkan rumor tidak benar ini tentang saya"
Seluruh orang di ruangan tercengang setelah mendengar itu.
Bara yang ingin mengatakan sesuatu kembali tertahan karena Zayyad.
"Dan untuk mengklarifikasi rumor terhadap diri saya itu tidak benar. Umumkan pada media bahwa saya akan menikah dalam minggu ini"
Orang-orang kembali di buat terkejut bahkan sebagian dari mereka menerima informasi tersebut dengan mulut setengah terbuka.
Bara yang mendengar hal itu, sudah tidak mampu lagi mengendalikan rasa tidak senangnya dan terus berkata. "Saudaraku anda akan menikah? kenapa aku tidak tahu"
Bara adalah saudara sepupu Zayyad. Bukankah jika kerabat terdekat saja tidak mengetahui berita pernikahan tersebut maka itu akan terasa begitu ganjil?
Orang-orang di ruangan pun mulai berspekulasi bahwa Zayyad sengaja melakukan kegiatan sakral tersebut hanya untuk menepis rumor tentangnya.
Dan tidak tau pasti apakah itu sungguhan atau settingan?
"Sebenarnya ini sangat tidak profesional membicarakan hal privasi seperti ini di lingkaran pekerjaan. Saudaraku, jika anda sungguh ingin tau, anda dapat menanyakan hal ini pada kakek"
Kakek? Apa maksudnya ini? Apakah orang tua itu kembali membantunya?
Sejak dulu Zayyad selalu menjadi cucu yang paling di prioritaskan oleh kakek dan bahkan sampai saat ini.
Bara tak dapat menutupi ekspresi ketidakpuasan di wajahnya. Dalam hati berkali-kali ia mengungkapkan sumpah serapah pada Zayyad dan kakeknya yang pilih kasih itu.
Zayyad yang menangkap betapa tidak bahagia nya bara, hanya mengulas senyum tenangnya seperti biasa. Bara yang sekilas melihatnya, merasa seperti baru saja di remehkan.
Mengepalkan kedua tangannya di bawah meja, Bara menahan emosinya dan tersenyum tertekan.
"Kalau begitu, aku akan menanyakannya nanti pada kakek"
___
Setelah makan siang, Zayyad mau tak mau harus bergegas ke perusahaan karena urusan mendesak. Alina yang tiduran santai di kamar, masih merasa penasaran sebenarnya apakah ada yang spesial dengan hari itu.Baru saja Alina membuka ponselnya dan sebuah notifikasi muncul. Tidak lain itu adalah pengingat anniversary pernikahannya dengan Zayyad yang ke enam."Ah, jadi hari ini anniversary pernikahan kami yang ke enam" Tanpa sadar mata Alina berkaca-kaca. Masih teringat dulu tekadnya yang akan segera bercerai dengan Zayyad setelah semuanya usai. Tapi tak mengira jalan takdir begitu indah, membuat hatinya luluh dan memutuskan untuk mempertahankan ikatan sucinya dengan Zayyad."Kira-kira aku beri kejutan apa ya?"Tepat di malam harinya. Alina mendapat telfon dari Maya. Seperti tebakannya, si kembar sedang nangis-nangis menolak pulang dan merengek minta menginap di rumah Maya. Kebetulan besok adalah akhir pekan, mereka tidak ke sekolah, akhirnya Alina memberi izin, "Janji gak buat repot aunty Ma
Alina duduk santai di atas sofa setelah menyelesaikan pekerjaan rumah. Ferdi yang hanya fokus mengurusi hal-hal di luar vila, sudah menyelesaikan pekerjaannya dan pulang lebih awal. Sebelum itu Ferdi pamit pada Alina dan tentunya Alina tidak lagi judes seperti dulu. Perubahan sikap Alina itu membuat Ferdi sangat bersyukur.Alina melipat kedua kakinya di atas sofa dan memegang semangkuk buah strawberry di tangan. Menyalakan televisi, Alina menonton acara gosip pagi yang membosankan sambil mengemil strawberry segar kedalam mulutnya.Begitulah keseharian yang Alina jalani jika seorang diri di rumah. Zayyad pergi ke perusahaan dan anak-anak ke sekolah. Hanya Alina seorang yang berdiam diri di rumah. Tentunya hal itu tidak lagi membosankan, karena Alina sudah cukup terbiasa menjalani hari-hari panjangnya sebagai ibu rumah tangga."Sayang, aku pulang"Alina terkejut. Mendapati seseorang berbisik halus di telinganya dan kedua tangan besar yang memijat lembut pundaknya. Dengan strawberry di a
Dear, My loyal readers..❤️ Sebelumnya saya ingin berterima kasih sekali untuk kalian semua yang sudah mengikuti kisah cinta sederhana Alina dan Zayyad yang tentu saja fiktif, tapi saya berharap kisah ini dapat menjadi sedikit menginspiratif. Novel yang terdiri dari dua ratusan chapter lebih ini, pernah membuat saya beberapa kali ragu dan pesimis dalam menyelesaikannya. Saya merasa cerita ini berubah menjadi membosankan dan alurnya terasa tidak lagi menarik. Terkadang saya berpikir, "Siapa yang akan membaca karangan membosankan ini?" Tapi melihat vote-an dan membaca beberapa komentar kalian yang saya temui di beberapa akhir chapter, rasanya saya seperti baru saja menemukan oasis di padang pasir. Seketika semangat saya bangkit dan saya berpikir— saya harus segera menamatkan kisah ini dan jangan sampai membuat para pembaca setia saya kecewa. Jujur, dukungan dan komentar positif kalian, sangat berperan besar dalam proses saya menamatkan cerita yang penuh
Kini Alina hidup bahagia dengan keluarga kecilnya. Tidak pernah terduga, semua itu bermula dari perjodohan yang diatur neneknya. Alina yang bertekad kuat untuk tidak menikah, akhirnya terikat dalam ikatan sakral pernikahan dengan seorang pria asing. Alina yang berpikir untuk bercerai setelah semuanya usai, tapi takdir malah membuatnya terjerat dengan Zayyad.Segalanya berawal dari paket bulan madu dan hotel. Disinilah tragedi bermula atau lebih tepatnya sekarang Alina berpikir— puncak dari rezeki tak ternilai harganya lahir di dunia ini. Yang tak lain 'si kembar'. Kado terindah dalam hidup Alina. Yang membuat Alina tak ragu untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama dengan Zayyad, ayahnya si kembar.Lima tahun berlalu sudah. Vila Zayyad tidak lagi hening dengan keberadaan dua buah hati mereka. Zayyad yang sudah lama tak bekerja, memutuskan untuk kembali ke perusahaan demi menjadi sosok panutan ayah yang baik untuk putra putri mereka. Sedang Alina memutuskan untuk m
Sekitar dua hari Alina terbaring di rumah sakit, Alina yang sudah tak tahan lagi membujuk Zayyad untuk segera membawanya pulang. Jikapun harus beristirahat, ia ingin merehatkan tubuhnya di rumah. Zayyad mengkonfirmasi ke dokter, apakah Alina dan anak mereka sudah bisa dibawa pulang. Setelah memperoleh izin dari dokter, mereka pun bersiap-siap untuk pulang. Maya turut membantu membereskan barang-barang. Di mobil, Alina duduk menggendong bayi perempuannya dan dan bayi laki-lakinya digendong Maya yang duduk di belakang. "Apa menurut mu kita perlu menyewa jasa babysitter?" Alina menoleh kearah Zayyad yang fokus mengemudi. Ini adalah pertama kalinya bagi Alina. Tapi tidak taunya sudah dapat dua saja. Alina takut akan linglung kebingungan merawat si kembar seorang diri nanti. "Tidak perlu. Kita kan sama-sama gak bekerja. Jadi menurutku, kita berdua saja sudah cukup" "Kamu yakin?" "Em" "Janji ya nanti mau ikut repot sama aku?" "Janji"
Di sinilah aku terbaring sekarang. Di atas ranjang rumah sakit, di mana aku berjuang keras melahirkan makhluk kecil yang sudah ku kandung sembilan bulan lamanya. Rasanya seluruh saraf dalam tubuhku seperti akan putus, tenaga ku seakan habis. Perasaan itu begitu baru bagiku dan terasa cukup nyata. Berada antara hidup dan mati demi memperjuangkan makhluk hidup baru. Detik itu aku terpikir, apakah seperti ini yang ibu rasakan dulu ketika melahirkan ku? Aku meremas kain seprai ranjang rumah sakit, mengigit bibir bawah ku dan kembali mengejan. Hingga entah kapan seorang pria datang menyingkap tirai dan bergegas masuk. Sesaat aku melirik siapa yang datang. Itu tak lain adalah sosok tubuh dari pemilik mata coklat bening yang paling menawan yang pernah ku temui— Zayyad. Seketika bola mata hitam ku bergetar pedih. Aku tak mengerti kenapa, serasa dunia ku berhenti berputar hingga beberapa detik. Aku melihatnya datang padaku. Meraih tangan ku dan menggenggamnya