Share

4. Dua Orang Yang Memutuskan

Alina berjalan dengan linglung di sepanjang lorong rumah sakit. Tatapannya kosong dan pikirannya masih melayang ke pembicaraannya yang baru saja terjadi dengan dokter yang merawat neneknya.

"Nenek anda menderita penyakit yang termasuk langka yaitu Sindrom mielodisplasia atau yang disebut juga praleukimia. Ini terjadi saat sumsum tulang memproduksi sel darah yang abnormal atau cacat. Lama-kelamaan sel-sel darah tersebut akan meningkat lebih banyak mengalahkan sel-sel darah yang normal atau sehat. Hal inilah yang nantinya akan menyebabkan beberapa masalah lainnya pada kondisi tubuh seperti anemia, pendarahan berlebih dan sebagainya"

Saat itulah Alina tau, bahwa neneknya telah berbohong padanya tentang penyakitnya. Mendengar itu matanya terus berkaca-kaca.

"Apakah nenek saya berkemungkinan besar untuk di sembuhkan dari kelainan tersebut?"

"Tentunya kita akan mencoba yang terbaik untuk itu. Karena kasus yang terjadi pada nenek anda adalah 'de Novo mylodysplastic syndromes' yang mana tergolong dalam jenis yang tidak diketahui penyebabnya, biasanya lebih mudah di atasi ketimbang yang di ketahui penyebabnya. Hanya saja..."

"Hanya saja apa dok?"

"Coba lakukan saja apa yang membuatnya bahagia dan jangan terlalu banyak berdebat dengannya. Saya mengatakan ini karena bagaimanapun juga kebahagiaan dan ketenangan psikologis seorang pasien tentunya memiliki andil besar terhadap psikis nya. Sebaliknya psikologis pasien yang buruk hanya akan mempengaruhi psikis pasien dan memperburuk keadaannya. Jadi untuk saat ini mohon anda melakukan yang terbaik yang anda bisa untuk membuat nenek anda tetap tenang dan memberi energi yang positif padanya dalam menjalani beberapa pengobatan ke depan"

Sebenarnya masih banyak hal yang Alina tidak mengerti dari penjelasan dokter yang untuk orang awam sepertinya, itu sedikit sulit untuk di pahami. Masih banyak pula yang ingin ia tanyakan pada dokter tadi, hanya saja keterbatasan waktu dan dokter itupun juga harus menangani pasien lainnya. Akhirnya ia hanya dapat menundanya dan menanyakannya di lain waktu.

Tapi ada satu poin penting yang sangat di perjelas oleh dokter. Untuk melakukan apa saja yang mempengaruhi psikologis pasien menjadi lebih baik dan positif dengan membahagiakan nya, menuruti kemauannya dan tidak terlalu banyak berdebat dengannya.

Alina merenung sejenak dalam pikirannya.

Dengan penyakit seperti itu, harusnya neneknya dapat dengan mudah mengancam nya untuk menerima perjodohan. Hanya saja neneknya sama sekali tidak memanfaatkan situasi itu dan hanya memilih untuk memohon padanya, seperti pada malam itu.

'Tapi nenek sangat ingin melihat mu menikah'

Tepat ketika Alina berdiri di depan pintu bangsal perawatan neneknya. Ia berhenti. Tangannya segera mengusap kedua belah pipinya yang sudah basah. Mengatur nafasnya perlahan, Alina mencoba meredakan tekanan emosi kesedihan yang bergejolak dalam dirinya.

Karena nenek membohonginya tentang penyakitnya. Maka anggaplah sampai detik ini ia memang tidak tau apa-apa.

"Nenek maafkan aku!" Alina menarik kursi dan duduk. Wajahnya menunduk penuh penyesalan.

"Tidak masalah, ini salah nenek! Tidak seharusnya nenek terlalu memaksakan kehendak nenek padamu"

Mengepal kan kedua tangan di atas pahanya. Alina mencoba keras untuk mengatakan apa yang sebenarnya paling tidak ingin ia katakan.

"Tidak! Mungkin nenek benar, aku harus mencobanya" Akhirnya setelah perjuangan melawan ego besar dalam dirinya, Alina berhasil mengatakannya.

Pernyataan itu sungguh mengejutkan Erina yang masih kurang mengerti apa yang di maksud cucunya.

"Mencoba?"

Alina dengan berat hati menganggukkan kepalanya. Memaksakan bibirnya tersenyum lebar walau sebenarnya itu palsu.

"Bukankah nenek sedang mengatur perjodohan untuk ku?"

"I-ya"

"Aku menerima perjodohan yang nenek atur untuk ku"

Alina mempertahankan senyum palsunya yang nyaris hampir membuat sepasang matanya menyipit— akan betapa kuatnya ia memaksa untuk tersenyum.

"Sungguh?"

Wanita itu menatap kearahnya dengan mulut setengah terbuka. Seakan ia sama sekali tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengar.

"Kenapa Alin mendadak menyetujuinya?"

"Jika nenek masih terus bertanya, aku mungkin akan mengubah pemikiran ku" Tukas Alina dengan tampang bersungguh-sungguh.

"Jangan! Nenek tidak akan menanyakannya lagi"

Alina dapat meliha wajah neneknya yang tampak sangat bahagia dan bersemangat. Mata tuanya bersinar jauh lebih cerah dan wajahnya yang pucat tampak lebih hidup dan segar.

Alina menelan kepahitan dan gejolak emosi ketidakbahagiaan dalam hati. Menyembunyikan semua itu dengan tersenyum. Untuk kebahagiaan neneknya, ia rela mengorbankan perasaan dan prinsip terbesarnya.

Pada akhirnya, jalan takdir tetap menuntun nya pada -ikatan pernikahan- dan -pria-.

___

"Pak situasi rumor tentang anda di luar berkembang sangat pesat. Saya tidak dapat mengendalikannya lagi! Maafkan ketidakmampuan saya pak" Kata Bakri, wajahnya tertunduk penuh penyesalan.

Zayyad berdiri tepat di depan dinding perusahaan yang hampir semuanya di dominasi oleh kaca. Itu mengarah ke dunia luar. Kedua tangannya di masukkan ke dalam saku celananya. Tatapannya menatap jauh ke depan, memandangi kaca transparan itu lalu melihat kebawah. Menyaksikan ribuan kendaraan yang berlalu lalang, milyaran manusia yang sibuk beraktivitas, dan hiruk pikuk kota metropolitan yang sangat padat.

"Kau sudah bekerja keras, tidak perlu meminta maaf!" Katanya kemudian. Setelah berdiam cukup lama.

Perlahan ia memutar badannya, menatap pada asisten yang merangkap sekretaris pribadinya itu. Ia dapat melihat wajahnya yang kelelahan serta rasa penyesalan yang tergambar jelas di sana.

"Tapi pak jika ini terus terjadi, mungkin anda dapat di lengserkan dari posisi anda"

Zayyad tersenyum. Sangat tenang dan jauh. Seperti menyaksikan permukaan danau tanpa riak.

"Rumor itu memang di buat untuk menjatuhkan saya" Kata Zayyad. Tidak ada perubahan ekspresi di wajahnya yang seputih porselen. Ia sama sekali tidak merasa panik ataupun kacau.

Bakri yang melihat bosnya yang tampak biasa saja, ia merasa kebingungan. Tidak tau apakah itu tampilan seseorang yang sudah pasrah pada keadaan atau mungkin sebaliknya. Sulit menilai hal seperti itu dari seseorang yang minim eskpresi seperti bosnya.

"Pak, sebentar lagi rapat antar pemegang saham akan di adakan. Mereka pasti akan mempertanyakan tentang ini"

"Kau sudah makan siang?" Tanya Zayyad santai. Seakan ia sama sekali tidak peduli dengan apa yang baru saja di katakan Bakri.

"Tapi pak—" Bakri tidak akan menduga disaat seperti ini, bosnya malah menanya makan siangnya.

"Pergilah!" Itu titah yang cukup tegas. Setelah mengatakannya, tubuhnya terus berbalik.

Zayyad kembali menghadap dunia luar yang ada di bawah sana. Dari pergerakannya itu, jelas sekali itu adalah penyampaian maksud bahwasanya— ia tidak ingin penolakan.

Pada akhirnya Bakri dengan berat hati meninggalkan bosnya dan pergi makan siang seperti yang di perintahkan.

Zayyad yang tinggal seorang diri di ruangan, sama sekali tidak berniat untuk makan siang.

Mengambil ponselnya ia langsung menghubungi kakeknya.

"Kakek"

"Aku menyetujui perjodohan yang kau atur untuk ku"

"Aku serius!"

"Tidak perlu! Percepat saja hari pernikahan nya dan resepsi dapat menyusul"

"Lakukan saja di rumah sakit"

"Kakek tenang saja! Aku akan mengurus semuanya"

Panggilan berakhir.

Setelahnya tepat pada saat pertemuan dimulai.

Zayyad dengan tenang menduduki tempatnya. Mengacuhkan semua tatapan yang menghina dan menjatuhkannya. Sifatnya yang terlalu tenang membuat orang-orang menjadi gugup dan bertanya-tanya.

Tapi untuk beberapa orang, tak sanggup menyembunyikan senyum. Merasakan itu suatu pertanda yang baik untuk mereka.

Dan Zayyad sendiri, dapat dengan jelas menangkap setiap arti dari tatapan mereka.

"Pak Zayyad, saya sebagai salah satu pemasuk saham terbesar di perusahaan ini, ingin meminta klarifikasi terhadap situasi bapak. Apakah rumor yang beredar diluar sana tentang anda adalah benar?"

Bibir Zayyad yang coklat keunguan, berkedut. Ia tersenyum, tapi hampir tidak seperti senyum.

"Jika itu benar kami tidak dapat mempertahankan posisi anda lagi dan mohon anda untuk dengan murah hati mengundurkan diri"

Dengan murah hati mengundurkan diri?

Mendengar itu, Zayyad tak dapat menahan senyum di wajahnya. Ia sama sekali tidak terpengaruh sekitar. Menyembunyikan emosi adalah keahliannya. Dia yang enggan mengatakan sepatah kata pun, tenang dan bertingkah ambigu seperti itu.

Membuat beberapa orang yang ceroboh, berpikir keras. 'Sebenarnya apa yang dipikirkan pria itu?' Beberapa orang yang tidak percaya diri, merasa tidak baik. 'Apakah mungkin ia sudah merencanakan sesuatu?' Dan beberapa orang yang tidak sabaran, merasa tidak puas. 'Kenapa pria ini tidak berterus terang saja?'

Zayyad diam-diam terus memperhatikan ekspresi wajah mereka satu persatu. Seperti dapat menebak apa yang mereka pikirkan, ia nyaris tertawa kecil dalam hatinya. Meskipun wajahnya masih datar tak beriak sejak tadi.

"Saudaraku, aku sangat mengerti anda seorang yang profesional. Perusahaan ini besar tentunya karena adanya kerjasama antar banyak pihak. Anda tidak baik menjadi egois dalam situasi anda yang seperti ini"

Yang baru saja berbicara adalah sepupunya Zayyad. Bara.

Zayyad yang mendengar itu, tak mampu menyembunyikan seringainya. Mengangkat wajahnya, sekilas ia terlihat arogan dan jauh. Tatapannya yang tak terbaca, membuat beberapa orang di bekukan dengan ekspresi dingin, acuh tak acuhnya.

"Maaf, situasi seperti apa saya saat ini?"

Sekali bibir itu terbuka. Berbicara. Hawa dingin yang keluar, berhasil membekukan ruangan sesaat.

Entah bagaimana semua penghuni ruangan menjadi tegang setelah keduanya berbicara. Itu tampak tenang di permukaan. Tapi orang bodoh sekalipun dapat membaca situasi pertempuran sengit dalam dua bersaudara itu.

Bara yang merupakan saudara sepupu Zayyad tidak mampu menyembunyikan senyum halusnya setelah mendengar respon dari Zayyad yang sedikit di luar harapan.

"Karena saudara ku sepertinya tidak sadar dengan situasinya saat ini, maaf! Dengan berat hati saya harus mengatakannya"

Zayyad hanya berkedik bahu seakan tidak mengerti apapun.

Sikap santai Zayyad itu entah kenapa memicu kecurigaan Bara.

"Selama ini di perusahaan anda hanya memperkerjakan pria dan menolak pekerja wanita. Mungkin saya dapat memaklumi kondisi anda, tapi tidak dengan yang lainnya yang menuntut sikap profesionalitas anda sebagai CEO perusahaan ini"

Setelah mengatakan nya. Bara tersenyum penuh kemenangan. Seperti seseorang yang baru saja mengungkapkan kartu as nya.

"Saya memperkerjakan mereka karena mereka mampu!"

Tapi tanggapan Zayyad. Membuat kartu as di tangan Bara, lenyap begitu saja. Ia tidak mengira Zayyad begitu lihai membalikkan keadaan. Diam-diam tangannya yang di bawah meja mengepal.

"Tapi bukankah itu juga karena anda memiliki sedikit ketidaknormalan dalam diri anda?" Bara memutuskan untuk berterus terang.

Zayyad mengkerutkan dahinya. Tampang wajahnya seakan sedang memikirkan sesuatu. Lalu kemudian ia tertawa halus.

"Ketidaknormalan? di bagian mana dalam diri saya yang abnormal?"

Pernyataannya yang cukup terdengar santai itu. Membuat seluruh anggota rapat menegang. Beberapa dari mereka menatap kebingungan dan Bara yang sudah terlalu malas untuk berbelit-belit langsung mengutarakan rumor yang beredar secara jelas.

"Anda seorang gay dan menderita gynophobia! Saudaraku kenapa anda tidak berterus terang pada kita semua sejak awal?"

Zayyad tidak tahu harus tertawa atau menangis ketika mendengar hal itu di nyatakan secara langsung untuknya.

Tapi ia dengan tenang menjawab.

"Gay dan gynophobia. Menyukai sejenis dan takut pada wanita— cukup berkaitan juga. Bagaimana pun seseorang yang memiliki jenis ketakutan ini akan sangat menggangu interaksi sosial, terlebih di lingkaran pekerjaan. Dan karena ketakutan tersebut sangatlah logis jika seseorang itu menjadi gay"

Jeda beberapa detik, Zayyad mengedarkan pandangannya ke setiap orang yang ada dalam meja pertemuan. Kurva bibirnya melengkung sempurna menanggapi tiap ekspresi dari mereka.

"Jadi apakah ini rumor yang beredar tentang saya?"

Memasang tampang sedih, Zayyad menggelengkan kepalanya dengan perasaan kecewa. "Sumber mana yang mengedarkan rumor buruk ini terhadap saya? Ini adalah pelanggaran nama baik"

Orang-orang ingin sekali mengungkapkan pemikiran mereka. Tapi entah kenapa tampang tidak bersalah Zayyad sangat menyakinkan.

Bara yang siap membuka mulut untuk kembali berbicara hanya harus berhenti ketika mendengar Zayyad memanggil sekretaris pribadinya.

"Bakri!"

"Iya ada apa pak?"

Bakri sama sekali tidak mengerti dengan apa yang sedang di mainkan bosnya. Tapi setelah menilai situasi, ia tau kalau bosnya punya cara untuk mengatasi serangan licik mereka.

"Saya minta kamu untuk melakukan tuntutan terhadap media apa saja yang menyebarkan rumor tidak benar ini tentang saya"

Seluruh orang di ruangan tercengang setelah mendengar itu.

Bara yang ingin mengatakan sesuatu kembali tertahan karena Zayyad.

"Dan untuk mengklarifikasi rumor terhadap diri saya itu tidak benar. Umumkan pada media bahwa saya akan menikah dalam minggu ini"

Orang-orang kembali di buat terkejut bahkan sebagian dari mereka menerima informasi tersebut dengan mulut setengah terbuka.

Bara yang mendengar hal itu, sudah tidak mampu lagi mengendalikan rasa tidak senangnya dan terus berkata. "Saudaraku anda akan menikah? kenapa aku tidak tahu"

Bara adalah saudara sepupu Zayyad. Bukankah jika kerabat terdekat saja tidak mengetahui berita pernikahan tersebut maka itu akan terasa begitu ganjil?

Orang-orang di ruangan pun mulai berspekulasi bahwa Zayyad sengaja melakukan kegiatan sakral tersebut hanya untuk menepis rumor tentangnya.

Dan tidak tau pasti apakah itu sungguhan atau settingan?

"Sebenarnya ini sangat tidak profesional membicarakan hal privasi seperti ini di lingkaran pekerjaan. Saudaraku, jika anda sungguh ingin tau, anda dapat menanyakan hal ini pada kakek"

Kakek? Apa maksudnya ini? Apakah orang tua itu kembali membantunya?

Sejak dulu Zayyad selalu menjadi cucu yang paling di prioritaskan oleh kakek dan bahkan sampai saat ini.

Bara tak dapat menutupi ekspresi ketidakpuasan di wajahnya. Dalam hati berkali-kali ia mengungkapkan sumpah serapah pada Zayyad dan kakeknya yang pilih kasih itu.

Zayyad yang menangkap betapa tidak bahagia nya bara, hanya mengulas senyum tenangnya seperti biasa. Bara yang sekilas melihatnya, merasa seperti baru saja di remehkan.

Mengepalkan kedua tangannya di bawah meja, Bara menahan emosinya dan tersenyum tertekan.

"Kalau begitu, aku akan menanyakannya nanti pada kakek"

___

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status