Keheningan tercipta antara Rezvan dan Tanisha sejak beberapa menit lalu. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing, tak ada seorang pun yang berani mengangkat suara. Tanisha memainkan jari-jarinya di atas meja dengan kepala menunduk. Sementara itu, Rezvan tak juga mengalihkan tatapan matanya dari perempuan yang ada di depannya itu. "Cha." Akhirnya Rezvan mengangkat suara hingga memecahkan keheningan di antara mereka berdua untuk sejenak. Tak ada jawaban dari perempuan itu. Ia masih setia menunduk tanpa berani mengangkat kepalanya barang sekejap saja. "Cha." Lagi-lagi Rezvan memanggil nama perempuan itu, berharap panggilannya diindahkan. "Kenapa diem aja? Lo gak mau bilang apa-apa gitu sama gue? Udah lama, loh, kita gak ketemu," ujar laki-laki tanpa mengalihkan pandangannya. Tanisha menggelengkan kepalanya pelan. "Aku bahkan gak pernah berharap bisa ketemu kamu lagi."Kalimat yang dilontarkan Tanisha cukup membuat hati Rezvan seperti digores. Sakit. Itulah yang ia rasakan.
"Kenapa, Kal?" tanya Aqlan sambil mengambil sepotong kue di atas meja. Kalandra yang semula tengah melamun sontak mengerjapkan matanya lalu menoleh pada Aqlan. "Hah? Nggak, nggak papa, kok." Aqlan hanya menganggukkan kepalanya mendengar jawaban dari Kalandra. "Dia produser film yang terkenal beberapa tahun lalu itu, kan?" Laki-laki berkoko biru itu kembali bertanya."True," jawab Aqlan setelah menelan makanannya. Kalandra nampak sedang memikirkan sesuatu. Tatapannya seolah menyiratkan kekhawatiran. Tentu hal itu membuat Aqlan terheran-heran. "Andra, ada apa, sih? Kok, pas gue jawab pertanyaan lo, keliatannya muka lo jadi beda gitu?"Kalandra kembali menatap sahabatnya itu. Lidahnya tiba-tiba terasa kelu untuk sekadar mengucapkan satu kata saja. Yang ada di pikirannya kini justru tentang Aqlan, Tanisha, dan Rezvan. Ya, Kalandra sudah mengetahui identitas asli dari seorang Evan Reshal Fatih. "Gue ... gue perlu ingetin lo, Lan.""Ingetin apa?" Raut wajah Aqlan berubah serius. Pera
Tanisha termenung sendirian di balkon kamar. Sebuah buku motivasi berada di tangannya, tetapi perempuan itu tak juga membacanya. Minuman cokelat yang ia buat dalam keadaan panas pun kini sudah mulai dingin, sedingin malam yang memeluk tubuh hangatnya. Aqlan belum pulang. Sore tadi laki-laki itu menghubungi Tanisha dan mengatakan kalau ia akan pulang sehabis Maghrib karena ada urusan penting di pesantren. Namun, hingga pukul 9 kini, laki-laki itu belum juga pulang, tapi Tanisha tak terlalu memedulikan hal tersebut. Sepinya suasana membuat pikirannya begitu gencar berlari mengajak Tanisha ke kenangan di masa lalunya. Seolah menyuruhnya untuk kembali mengulang semua rasa sakit yang pernah ia rasakan dahulu. Tanisha masih tak menyangka kalau ia akan kembali bertemu dengan laki-laki yang paling ia benci itu. Hidupnya yang sudah bebas dan bahagia selama beberapa tahun ini seolah kembali menghilang. Hadirnya laki-laki itu ke dalam hidupnya lagi, membuat Tanisha merasa was-was mengenai nas
Senin pagi, seisi rumah mulai sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang sibuk menyiapkan peralatan sekolah, sibuk menyetrika pakaian, sibuk memasak, bahkan ada yang sekadar sibuk menyiram tanaman di depan rumah. Senin, hari yang katanya paling dibenci oleh semua orang. Hari di mana semua kesibukan dimulai. Hari di mana rasa lelah akan menerpa. Namun, tidak bagi Tanisha. Entah itu hari Senin, Selasa, maupun seterusnya terasa sama saja, tak ada bedanya. Sama-sama membosankan. Pagi ini, perempuan itu hanya duduk-duduk santai di ruang keluarga sambil menonton televisi. Kegiatan beres-beres rumah dan memasaknya sudah selesai sedari tadi. Yang belum hanyalah mencuci piring dan mencuci baju. Terlihat Aqlan yang mengenakan baju koko berwarna ungu, dan celana relaxed-legged, serta peci hitam yang menjadi penutup kepala andalannya saat hendak pergi mengajar. Satu tangannya nampak tengah menggandeng sebuah tas. "Bang Aqlan, sarapan dulu," ucap Tanisha saat baru menyadari kehadiran Aqla
Tanisha berjalan memasuki gerbang pesantren sambil menghentak-hentakkan kakinya. Wajahnya ditekuk, nampak sedang menahan kesal. Di tangannya, terdapat sebuah rantang berisi makanan untuk Aqlan. Bukan murni keinginan Tanisha untuk mengantarkan makan siang ke pesantren Al-Muhajirin. Jaraknya yang lumayan jauh, dan panasnya terik matahari di siang hari tentu membuatnya merasa sangat malas untuk pergi keluar rumah. Namun, permintaan dari Sa'diyah membuat Tanisha tak kuasa untuk menolak. Sebelum berangkat ke tempat ini, Tanisha sempat bertemu dengan Sa'diyah. Lebih tepatnya, Sa'diyah datang berkunjung ke rumah Aqlan. Sang Bunda bercerita banyak hal mengenai kehidupan rumah tangannya dengan ayah Tanisha sewaktu masih muda. Akhirnya, malah berujung harus mengantarkan makan siang untuk Aqlan dengan dalih agar menjadi istri yang baik. Seperti biasa, Tanisha disambut begitu baik oleh santri-santri Al-Muhajirin. Bahkan, beberapa di antara mereka ada yang menunduk hormat saat berlalu di depann
"Acha!" Aqlan menarik lengan Tanisha hingga membuat tubuh perempuan itu menjadi menghadap Aqlan. "Maafin Abang, ya? Kita pulang bareng aja, yuk!" tawarnya. Tanisha melepaskan cekalan Aqlan di lengannya. Kemudian, ia melipat kedua lengannya di depan dada. Tatapannya yang nampak sinis menatap lurus ke wajah laki-laki itu. "Janji gak ngeselin lagi?" Aqlan tak sanggup menatap wajah menggemaskan istrinya itu. Kedua tangannya terangkat untuk mencubit pipi perempuan itu. "Bang Aqlan! Baru juga dibilangin!" gerutu Tanisha sambil melepaskan cubitan Aqlan di kedua pipinya. Semua kelakuan kedua pasangan itu tak luput dari perhatian para santriwan dan santriwati yang berlalu di hadapan keduanya. Mereka nampak kagum dengan sikap romantis yang diberikan Aqlan terhadap Tanisha. Beberapa di antara mereka bahkan sampai ada yang menggigit jari seolah gemas melihat kelakuan pengantin baru yang menurut mereka terlihat uwu itu. Andai mereka semua tahu, hubungan sesungguhnya antara Aqlan dan Tanisha t
Aqlan keluar dari kamar mandi menuju kamarnya dengan rambut yang basah serta handuk yang melilit di pinggangnya. Saat baru memasuki kamar, laki-laki itu mendapati Tanisha yang tengah sibuk mengetik di atas 𝘬𝘦𝘺𝘣𝘰𝘢𝘳𝘥. Namun, wajahnya agak pucat, kedua matanya pun nampak lelah seolah telah begadang semalaman. Aqlan mengambil bajunya dari dalam lemari sambil terus memandangi Tanisha. Perasaannya begitu khawatir melihat keadaan istrinya yang seperti tidak baik-baik saja. Setelah mengenakan kaosnya yang berwarna abu-abu, serta celana panjang berwarna hitam, Aqlan pun memutuskan untuk menghampiri perempuan itu. "Acha." Aqlan mengambil satu kursi lalu duduk di sebelah Tanisha. Cahaya matahari yang masuk dan menyorot wajah Tanisha membuat wajah pucatnya semakin terlihat jelas. Lingkaran hitam di bawah matanya pun seolah menandakan bahwa istrinya itu tak tidur semalam. "Acha, kamu sakit? Semalem kamu begadang, ya?" tanya Aqlan sambil menyentuh kening perempuan itu. Tanisha menggele
Aqlan membuka pintu rumah dengan perlahan untuk menghindari suara bising yang mungkin ditimbulkan. Kaki-kaki jenjangnya ia langkahkan masuk ke dalam rumah tanpa suara. Kedua matanya menelisik seisi ruang tamu yang nampak gelap. Ia berpikir, mungkin Tanisha sudah tidur sedari tadi. Hari ini Aqlan pulang lebih lambat karena ia mendapat tanggung jawab untuk mengajar santri di malam hari. Akibatnya, mungkin Aqlan akan jarang menghabiskan waktu dengan Tanisha. Dengan hati-hati, Aqlan menaiki anak tangga menuju kamarnya. Ia sempat merasa heran mendapati lampu kamarnya masih menyala. Aqlan pun memberanikan diri untuk mengecek kamar yang ditempati Tanisha itu. "Acha?"Aqlan mengitarkan pandangannya ke sekitar kamar. Pandangannya terhenti pada seorang perempuan yang tengah duduk di meja kerja dengan sebuah lampu meja yang menyorot ke 𝘬𝘦𝘺𝘣𝘰𝘢𝘳𝘥 yang tengah ia gunakan. "𝘔𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘴𝘪𝘣𝘶𝘬 𝘯𝘶𝘭𝘪𝘴 𝘵𝘦𝘳𝘯𝘺𝘢𝘵𝘢," batin Aqlan seraya tersenyum tipis. Ia pun berjalan masuk untuk