Share

Bab 2

Author: Arabelle
Saat memungut gelang tasbih itu, aku merasakan ada yang aneh pada permukaan maniknya. Dengan bantuan cahaya lampu yang temaram, aku memperhatikannya lebih saksama. Baru kusadari, setiap butir manik di gelang itu terukir tulisan.

[ Cita. ]

Saat itu juga, hatiku benar-benar hancur.

....

Keesokan paginya, aku berkata pada Simon, "Ayo kita pergi bersama ke rumah Keluarga Kamara."

Ekspresinya sempat membeku sejenak, tetapi dia buru-buru menenangkan diri dan menjawab dengan nada datar, "Oke, setelah mengantar hadiah, kita langsung pulang."

Aku tahu dia sebenarnya tidak ingin aku ikut karena takut aku mengganggu Cita. Namun, aku hanya ingin kembali ke rumah untuk melihat keluargaku sekali lagi.

Sebab ... besok aku harus bersiap untuk menghilang.

Begitu tiba di rumah Keluarga Kamara, seisi ruangan dipenuhi tamu yang merayakan dua kabar bahagia. Kehamilan Cita dan keterlibatannya dalam pameran seni internasional.

Di tengah kerumunan, Cita menjadi pusat perhatian dan dielu-elukan bagai bintang. Semua orang memuji bahwa lukisan yang dikirimnya untuk lomba pasti akan menang besar.

Mereka bahkan menyebut bahwa lukisan itu diberi kaligrafi oleh sang maestro sehingga menjadikannya perpaduan sempurna antara lukisan dan kaligrafi yang luar biasa indah.

Saat aku masuk, raut wajah Cita jelas berubah sesaat. Namun, dia segera menyesuaikan diri dan kembali menampilkan senyum anggun.

Akan tetapi, ucapannya penuh sindiran, "Kakak datang juga? Akhir-akhir ini kamu cukup santai, ya?"

Aku tidak menanggapi provokasinya. Tatapanku langsung tertuju pada lukisan yang dipajang di tengah ruangan. Lukisan itu begitu familier hingga menusuk hatiku.

Itu adalah karya yang kubuat sendiri bertahun-tahun lalu dan kusembunyikan dengan hati-hati. Tidak pernah sekali pun kuperlihatkan pada siapa pun. Kenapa lukisanku bisa ada di sini? Bagaimana bisa menjadi "karya lomba" milik dia?

Cita menatapku dengan senyum ambigu. Dia tiba-tiba mendekat dan berkata dengan suara yang lembut, tapi penuh provokasi. "Kakak suka sekali sama lukisan ini, ya?"

Aku menatapnya dengan dingin. Baru saja aku hendak bicara, dia tiba-tiba berteriak, "Jangan ...!"

Aku bahkan belum sempat bereaksi ketika tubuh Cita tiba-tiba terhuyung ke belakang. Dia memegangi perutnya dengan ekspresi penuh kesakitan di wajah. Sekeliling kami langsung menjadi heboh.

"Ada apa ini?"

"Cita lagi hamil, kenapa kamu mendorongnya!"

"Cepat panggil dokter!"

Di tengah kekacauan itu, aku mendengar sebuah suara yang berteriak cemas, "Cita!"

Orang lain mungkin tak mengenalinya, tapi aku langsung tahu. Itu suara Simon.

Tatapan sayangnya kepada Cita nyaris tak bisa disembunyikan. Di saat itu juga, harapan terakhir dalam hatiku hancur sepenuhnya.

Saat menyadari aku sedang melihat ke arahnya, Simon segera kembali tenang. Dia menoleh padaku dan menegurku dengan suara lembut, "Bagaimanapun juga, Cita sekarang lagi hamil, kamu seharusnya nggak mendorongnya."

Tepat di saat itu, datang sebuah kabar. Lukisan Cita berhasil masuk babak final dan sangat berpeluang meraih medali emas.

Raut wajah Simon berubah seketika. Kegembiraan yang muncul tidak bisa disembunyikannya. Ekspresi itu belum pernah kulihat selama lima tahun pernikahan kami.

Aku bertanya padanya dengan pelan, "Kenapa lukisan Cita itu sama persis dengan punyaku?"

Wajahnya sedikit menegang, tapi dia segera menenangkan diri dan berpura-pura tidak tahu apa-apa. "Mungkin cuma kebetulan. Bisa jadi gaya melukis kalian mirip ...."

Aku hanya tertawa sinis dan tidak ingin mengatakan apa pun lagi.

Lukisan itu adalah karya yang kusimpan di galeri pribadiku, hanya segelintir orang yang memegang kuncinya. Ditambah dengan tulisan kaligrafinya ....

Meski menggunakan nama palsu, gaya tulisan itu sama persis dengan tulisan Simon yang telah menyalin ribuan kitab selama ini.

Bagaimana lukisan itu bisa muncul di sini dan siapa yang melakukannya ... semuanya sudah sangat jelas.

Tadinya lukisan itu ingin kuhadiahkan untuk ulang tahun pernikahan kelima kami. Kini setelah kupikir kembali, bahkan pernikahan kami pun hanyalah sebuah kebohongan, jadi adi lukisan itu pun jadi tak berarti lagi.

Aku tersenyum sekilas. Suaraku sangat tenang hingga tak bisa ditebak apa yang kurasakan.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Ilusi Cinta yang Kukira Abadi   Bab 3

    Simon tampaknya menyadari ada yang berbeda dariku. Ekspresinya sedikit tertegun, lalu dia mengusulkan dengan inisiatif sendiri. "Gimana kalau kita pergi sekarang? Cari tempat yang bisa bikin kamu rileks."Aku menatapnya, sudut bibirku terangkat membentuk senyum tipis. "Kalau begitu, ayo naik kapal layar saja. Jalan-jalan malam, sekalian lihat matahari terbit besok."....Begitu masuk ke dalam mobil, dia mulai membicarakan rencana esok hari. "Aku sudah siapkan kejutan ulang tahun untukmu. Setelah semua kesibukan ini selesai, kita bisa mulai rencanakan punya anak, ya?"Aku hanya diam mendengarkan. Pandanganku terarah ke luar jendela, tanpa memberi jawaban.Begitu mobil mulai berjalan, teleponnya berdering. Simon mengangkatnya, lalu alisnya perlahan mengerut. Nada bicaranya terdengar agak canggung.Aku menoleh menatapnya dan berkata dengan tenang, "Kalau kamu ada urusan, pergilah duluan."Simon tampak ragu. "Monica, aku ....""Nggak apa-apa. Aku akan menunggu di kapal."Aku tak sempat mel

  • Ilusi Cinta yang Kukira Abadi   Bab 4

    Simon terpaku di tempat. Suaranya serak saat bertanya, "Nggak mungkin! Kami sudah janji mau ketemu dan ini sudah hampir hari ulang tahunnya. Dia baik-baik saja, kenapa bisa tiba-tiba terjadi sesuatu padanya?"Asistennya menunduk dengan ekspresi rumit. Dia menjawab pelan, "Pak Simon, kata kru kapal, istri Anda naik kapal sendirian dan kelihatannya suasana hatinya sangat buruk. Setelah itu ....""Nggak mungkin!" Simon memotong dengan nada tinggi tanpa sadar. "Aku nggak percaya! Mana mungkin dia naik kapal sendirian? Kenapa kru kapal nggak langsung meneleponku?"Asisten itu ragu sejenak, lalu berkata dengan hati-hati, "Pak, para kru bilang mereka sudah menelepon Anda sepanjang malam. Tapi, ponsel Anda sepertinya nggak aktif."Simon buru-buru menunduk melihat ponselnya. Benar saja, layarnya gelap.Simon langsung menekan tombol daya untuk menyalakannya, lalu menoleh tajam ke arah Cita. Tatapan dingin menusuk keluar dari matanya. "Kamu yang matikan?"Cita terkejut sejenak, tapi segera membel

  • Ilusi Cinta yang Kukira Abadi   Bab 5

    Tidak ada seorang pun yang tahu di mana aku bersembunyi. Tidak ada yang tahu bahwa aku sebenarnya telah lama mempersiapkan diri untuk hidup sendiri hingga akhir usia. Saat pertama kali pindah ke kota ini, aku menolak berinteraksi dengan siapa pun.Membeli bahan makanan, menyewa tempat tinggal, bahkan mengurus tagihan air dan listrik, semuanya kulakukan dengan kata-kata sesedikit mungkin.Orang-orang menganggapku dingin dan aneh. Lambat laun, mereka pun berhenti mencoba mendekat. Memang, justru itu yang kuinginkan.Dengan sisa tabunganku, aku membuka sebuah studio lukis kecil khusus untuk anak-anak.Dulu, aku percaya bahwa bakatku diberikan agar aku bisa berdiri di bawah sorotan panggung pameran seni, agar aku menerima tepuk tangan dan sanjungan dari ribuan pasang mata.Namun sekarang, aku hanya ingin menggambar garis-garis sederhana dalam diam sambil mengajarkan seni pada beberapa anak polos.Sebulan kemudian, pihak layanan kematian palsu menghubungiku dan berkata, "Simon sedang mencar

  • Ilusi Cinta yang Kukira Abadi   Bab 6

    Dia mulai mengenang masa lalu, sedangkan aku perlahan-lahan menjauh."Bu, lagi lihat apa?" tanya seorang anak laki-laki bernama Justin dengan rasa ingin tahu sambil mendekatkan kepalanya dari samping.Aku buru-buru menutup halaman di ponselku, lalu menyahut dengan pelan, "Nggak ada apa-apa. Gambar garis kamu belum selesai, cepat lanjutkan ya.""Bu." Dia memiringkan kepalanya, lalu bertanya, "Lagi sedih ya?"Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Nggak kok, jangan pikir yang aneh-aneh."Justin berlari pergi dan aku memandang layar ponselku dengan tatapan kosong. Benar, aku sedang sedih.Namun, bukan karena mereka, melainkan karena pesan-pesan ini menyeretku kembali ke masa lalu yang penuh kebohongan dan pengkhianatan.Suatu hari saat aku sedang mengajar anak-anak di studio, datang seorang pemuda. Pemuda itu berdiri di depan pintu, membawa seikat bunga besar di tangannya."Halo, aku paman Justin. Namaku Yerick. Ini untukmu," kata pemuda itu dengan agak hati-hati. "Justin sangat meny

  • Ilusi Cinta yang Kukira Abadi   Bab 7

    "Coba saja, lukisanmu pantas untuk dilihat lebih banyak orang."Malam itu, aku mengambil kembali kuas yang sudah lama kusimpan.Di atas kanvas, perlahan-lahan muncul permukaan laut yang tenang. Langit menyambut cahaya fajar pertama, air berkilauan memantulkan bayanganku sendiri.Ketika menyelesaikan goresan terakhir, aku tiba-tiba menyadari. Lukisan ini bukan untuk dia, bukan juga untuk siapa pun. Lukisan ini untuk diriku sendiri.Pada hari pameran, karyaku mendapat pengakuan tinggi dari para juri. Bakat yang selama bertahun-tahun ini kupendam, akhirnya kembali terlihat oleh dunia.Kupikir ini hanya awal baru dalam hidupku. Namun, aku tidak menyangka "kepulangan" ini akan menghancurkan seluruh ketenangan yang telah susah payah kuperoleh.Suatu hari saat mengajar, aku sedang menjelaskan teori perpaduan warna kepada anak-anak. Sinar matahari menembus jendela studio, anak-anak melukis dalam keheningan, ruangan penuh dengan kedamaian yang sudah lama tak kurasakan.Tiba-tiba, pintu studio t

  • Ilusi Cinta yang Kukira Abadi   Bab 8

    Sebelum Cita sempat menyelesaikan ucapannya, dia tiba-tiba menerjang ke arahku.Secara refleks, aku melindungi anak-anak di belakangku. Aku tidak sempat menghindar. Tangannya mencengkeram bajuku dengan kasar, kukunya meninggalkan beberapa luka berdarah di lenganku."Berhenti!" bentakku. Namun, dia seperti orang gila yang kehilangan kendali, mendorongku dengan keras hingga aku terjatuh ke lantai.Beberapa anak kecil menjerit ketakutan.Dengan mata berkaca-kaca, Justin memberanikan diri mendekat dan memukulnya dengan tinjunya yang kecil. "Jangan sakiti guruku!"Cita tertegun sesaat, lalu amarahnya semakin meledak. "Anak kurang ajar! Berani-beraninya kamu sentuh aku!"Dia mengangkat tangannya, hendak memukul Justin. Aku segera bangkit dan berlari menahannya, menangkis tamparan itu dengan tubuhku sendiri.Rasa perih yang menyengat terasa di bahuku, tetapi aku tetap memeluk anak-anak dengan erat. Aku membentak, "Cukup! Cita, kalau kamu terus seperti ini, aku akan melaporkanmu ke polisi!"Di

  • Ilusi Cinta yang Kukira Abadi   Bab 9

    Simon sama sekali tidak memedulikan kata-kata Cita. Tatapannya tak pernah terlepas dariku.Dengan tulus, dia berkata, "Monica, dengarkan aku. Aku benar-benar menyesal. Ini semua salahku. Aku yang nggak menghargaimu. Kumohon, beri aku satu kesempatan.""Kesempatan?" Aku tertawa dingin, menatapnya tajam. "Simon, kamu masih merasa pantas bicara begitu padaku?""Aku tahu aku salah. Aku nggak seharusnya mengabaikanmu, nggak seharusnya percaya pada orang lain. Semua salahku. Aku bersedia berubah. Kumohon, maafkan aku ...."Suaranya semakin rendah, hampir seperti sedang memohon. "Asal kamu mau, aku rela melakukan apa pun."Melihat itu, Cita tampak sangat panik. Wajahnya menegang menahan amarah, lalu dia menyela, "Simon, dulu kamu bilang kamu cuma cinta aku! Kamu ....""Diam!" potong Simon dingin. Tatapannya kini begitu tajam dan dingin, sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya. "Aku sudah bilang semuanya dengan jelas. Apa pun yang kamu katakan sekarang, itu nggak ada hubungannya denganku.

  • Ilusi Cinta yang Kukira Abadi   Bab 10

    Tatapan Simon dipenuhi permohonan dan tampak rendah diri, seolah-olah selama bisa tetap di sisiku, dia rela mengorbankan segalanya.Saat itu, Yerick angkat bicara. Suaranya tenang, tetapi mengandung ketajaman. "Pak Simon, aku nggak tahu sepenuhnya apa yang terjadi di antara kalian. Menurutku, apakah kamu pantas untuk tetap di sisinya, itu tergantung pada keinginannya sendiri.""Dari tadi kamu hanya bicara soal perasaanmu. Tapi, apa kamu pernah memikirkan apa yang sebenarnya dia inginkan?"Simon termangu, membuka mulut, tetapi tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.Aku menatapnya. Suaraku tenang, tetapi penuh ketegasan. "Simon, semua yang terjadi lima tahun lalu sudah berlalu. Meskipun aku masih hidup, aku tahu kamu bukan pilihanku lagi."Wajah Simon berangsur memucat, tetapi aku tetap melanjutkan dengan mantap, "Jangan paksa aku menganggap semua yang pernah kita lalui itu adalah sebuah kesalahan. Atau kamu ingin aku benar-benar mati agar kamu bisa melepaskanku?""Bukan begitu!" serun

Latest chapter

  • Ilusi Cinta yang Kukira Abadi   Bab 10

    Tatapan Simon dipenuhi permohonan dan tampak rendah diri, seolah-olah selama bisa tetap di sisiku, dia rela mengorbankan segalanya.Saat itu, Yerick angkat bicara. Suaranya tenang, tetapi mengandung ketajaman. "Pak Simon, aku nggak tahu sepenuhnya apa yang terjadi di antara kalian. Menurutku, apakah kamu pantas untuk tetap di sisinya, itu tergantung pada keinginannya sendiri.""Dari tadi kamu hanya bicara soal perasaanmu. Tapi, apa kamu pernah memikirkan apa yang sebenarnya dia inginkan?"Simon termangu, membuka mulut, tetapi tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.Aku menatapnya. Suaraku tenang, tetapi penuh ketegasan. "Simon, semua yang terjadi lima tahun lalu sudah berlalu. Meskipun aku masih hidup, aku tahu kamu bukan pilihanku lagi."Wajah Simon berangsur memucat, tetapi aku tetap melanjutkan dengan mantap, "Jangan paksa aku menganggap semua yang pernah kita lalui itu adalah sebuah kesalahan. Atau kamu ingin aku benar-benar mati agar kamu bisa melepaskanku?""Bukan begitu!" serun

  • Ilusi Cinta yang Kukira Abadi   Bab 9

    Simon sama sekali tidak memedulikan kata-kata Cita. Tatapannya tak pernah terlepas dariku.Dengan tulus, dia berkata, "Monica, dengarkan aku. Aku benar-benar menyesal. Ini semua salahku. Aku yang nggak menghargaimu. Kumohon, beri aku satu kesempatan.""Kesempatan?" Aku tertawa dingin, menatapnya tajam. "Simon, kamu masih merasa pantas bicara begitu padaku?""Aku tahu aku salah. Aku nggak seharusnya mengabaikanmu, nggak seharusnya percaya pada orang lain. Semua salahku. Aku bersedia berubah. Kumohon, maafkan aku ...."Suaranya semakin rendah, hampir seperti sedang memohon. "Asal kamu mau, aku rela melakukan apa pun."Melihat itu, Cita tampak sangat panik. Wajahnya menegang menahan amarah, lalu dia menyela, "Simon, dulu kamu bilang kamu cuma cinta aku! Kamu ....""Diam!" potong Simon dingin. Tatapannya kini begitu tajam dan dingin, sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya. "Aku sudah bilang semuanya dengan jelas. Apa pun yang kamu katakan sekarang, itu nggak ada hubungannya denganku.

  • Ilusi Cinta yang Kukira Abadi   Bab 8

    Sebelum Cita sempat menyelesaikan ucapannya, dia tiba-tiba menerjang ke arahku.Secara refleks, aku melindungi anak-anak di belakangku. Aku tidak sempat menghindar. Tangannya mencengkeram bajuku dengan kasar, kukunya meninggalkan beberapa luka berdarah di lenganku."Berhenti!" bentakku. Namun, dia seperti orang gila yang kehilangan kendali, mendorongku dengan keras hingga aku terjatuh ke lantai.Beberapa anak kecil menjerit ketakutan.Dengan mata berkaca-kaca, Justin memberanikan diri mendekat dan memukulnya dengan tinjunya yang kecil. "Jangan sakiti guruku!"Cita tertegun sesaat, lalu amarahnya semakin meledak. "Anak kurang ajar! Berani-beraninya kamu sentuh aku!"Dia mengangkat tangannya, hendak memukul Justin. Aku segera bangkit dan berlari menahannya, menangkis tamparan itu dengan tubuhku sendiri.Rasa perih yang menyengat terasa di bahuku, tetapi aku tetap memeluk anak-anak dengan erat. Aku membentak, "Cukup! Cita, kalau kamu terus seperti ini, aku akan melaporkanmu ke polisi!"Di

  • Ilusi Cinta yang Kukira Abadi   Bab 7

    "Coba saja, lukisanmu pantas untuk dilihat lebih banyak orang."Malam itu, aku mengambil kembali kuas yang sudah lama kusimpan.Di atas kanvas, perlahan-lahan muncul permukaan laut yang tenang. Langit menyambut cahaya fajar pertama, air berkilauan memantulkan bayanganku sendiri.Ketika menyelesaikan goresan terakhir, aku tiba-tiba menyadari. Lukisan ini bukan untuk dia, bukan juga untuk siapa pun. Lukisan ini untuk diriku sendiri.Pada hari pameran, karyaku mendapat pengakuan tinggi dari para juri. Bakat yang selama bertahun-tahun ini kupendam, akhirnya kembali terlihat oleh dunia.Kupikir ini hanya awal baru dalam hidupku. Namun, aku tidak menyangka "kepulangan" ini akan menghancurkan seluruh ketenangan yang telah susah payah kuperoleh.Suatu hari saat mengajar, aku sedang menjelaskan teori perpaduan warna kepada anak-anak. Sinar matahari menembus jendela studio, anak-anak melukis dalam keheningan, ruangan penuh dengan kedamaian yang sudah lama tak kurasakan.Tiba-tiba, pintu studio t

  • Ilusi Cinta yang Kukira Abadi   Bab 6

    Dia mulai mengenang masa lalu, sedangkan aku perlahan-lahan menjauh."Bu, lagi lihat apa?" tanya seorang anak laki-laki bernama Justin dengan rasa ingin tahu sambil mendekatkan kepalanya dari samping.Aku buru-buru menutup halaman di ponselku, lalu menyahut dengan pelan, "Nggak ada apa-apa. Gambar garis kamu belum selesai, cepat lanjutkan ya.""Bu." Dia memiringkan kepalanya, lalu bertanya, "Lagi sedih ya?"Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Nggak kok, jangan pikir yang aneh-aneh."Justin berlari pergi dan aku memandang layar ponselku dengan tatapan kosong. Benar, aku sedang sedih.Namun, bukan karena mereka, melainkan karena pesan-pesan ini menyeretku kembali ke masa lalu yang penuh kebohongan dan pengkhianatan.Suatu hari saat aku sedang mengajar anak-anak di studio, datang seorang pemuda. Pemuda itu berdiri di depan pintu, membawa seikat bunga besar di tangannya."Halo, aku paman Justin. Namaku Yerick. Ini untukmu," kata pemuda itu dengan agak hati-hati. "Justin sangat meny

  • Ilusi Cinta yang Kukira Abadi   Bab 5

    Tidak ada seorang pun yang tahu di mana aku bersembunyi. Tidak ada yang tahu bahwa aku sebenarnya telah lama mempersiapkan diri untuk hidup sendiri hingga akhir usia. Saat pertama kali pindah ke kota ini, aku menolak berinteraksi dengan siapa pun.Membeli bahan makanan, menyewa tempat tinggal, bahkan mengurus tagihan air dan listrik, semuanya kulakukan dengan kata-kata sesedikit mungkin.Orang-orang menganggapku dingin dan aneh. Lambat laun, mereka pun berhenti mencoba mendekat. Memang, justru itu yang kuinginkan.Dengan sisa tabunganku, aku membuka sebuah studio lukis kecil khusus untuk anak-anak.Dulu, aku percaya bahwa bakatku diberikan agar aku bisa berdiri di bawah sorotan panggung pameran seni, agar aku menerima tepuk tangan dan sanjungan dari ribuan pasang mata.Namun sekarang, aku hanya ingin menggambar garis-garis sederhana dalam diam sambil mengajarkan seni pada beberapa anak polos.Sebulan kemudian, pihak layanan kematian palsu menghubungiku dan berkata, "Simon sedang mencar

  • Ilusi Cinta yang Kukira Abadi   Bab 4

    Simon terpaku di tempat. Suaranya serak saat bertanya, "Nggak mungkin! Kami sudah janji mau ketemu dan ini sudah hampir hari ulang tahunnya. Dia baik-baik saja, kenapa bisa tiba-tiba terjadi sesuatu padanya?"Asistennya menunduk dengan ekspresi rumit. Dia menjawab pelan, "Pak Simon, kata kru kapal, istri Anda naik kapal sendirian dan kelihatannya suasana hatinya sangat buruk. Setelah itu ....""Nggak mungkin!" Simon memotong dengan nada tinggi tanpa sadar. "Aku nggak percaya! Mana mungkin dia naik kapal sendirian? Kenapa kru kapal nggak langsung meneleponku?"Asisten itu ragu sejenak, lalu berkata dengan hati-hati, "Pak, para kru bilang mereka sudah menelepon Anda sepanjang malam. Tapi, ponsel Anda sepertinya nggak aktif."Simon buru-buru menunduk melihat ponselnya. Benar saja, layarnya gelap.Simon langsung menekan tombol daya untuk menyalakannya, lalu menoleh tajam ke arah Cita. Tatapan dingin menusuk keluar dari matanya. "Kamu yang matikan?"Cita terkejut sejenak, tapi segera membel

  • Ilusi Cinta yang Kukira Abadi   Bab 3

    Simon tampaknya menyadari ada yang berbeda dariku. Ekspresinya sedikit tertegun, lalu dia mengusulkan dengan inisiatif sendiri. "Gimana kalau kita pergi sekarang? Cari tempat yang bisa bikin kamu rileks."Aku menatapnya, sudut bibirku terangkat membentuk senyum tipis. "Kalau begitu, ayo naik kapal layar saja. Jalan-jalan malam, sekalian lihat matahari terbit besok."....Begitu masuk ke dalam mobil, dia mulai membicarakan rencana esok hari. "Aku sudah siapkan kejutan ulang tahun untukmu. Setelah semua kesibukan ini selesai, kita bisa mulai rencanakan punya anak, ya?"Aku hanya diam mendengarkan. Pandanganku terarah ke luar jendela, tanpa memberi jawaban.Begitu mobil mulai berjalan, teleponnya berdering. Simon mengangkatnya, lalu alisnya perlahan mengerut. Nada bicaranya terdengar agak canggung.Aku menoleh menatapnya dan berkata dengan tenang, "Kalau kamu ada urusan, pergilah duluan."Simon tampak ragu. "Monica, aku ....""Nggak apa-apa. Aku akan menunggu di kapal."Aku tak sempat mel

  • Ilusi Cinta yang Kukira Abadi   Bab 2

    Saat memungut gelang tasbih itu, aku merasakan ada yang aneh pada permukaan maniknya. Dengan bantuan cahaya lampu yang temaram, aku memperhatikannya lebih saksama. Baru kusadari, setiap butir manik di gelang itu terukir tulisan.[ Cita. ]Saat itu juga, hatiku benar-benar hancur.....Keesokan paginya, aku berkata pada Simon, "Ayo kita pergi bersama ke rumah Keluarga Kamara."Ekspresinya sempat membeku sejenak, tetapi dia buru-buru menenangkan diri dan menjawab dengan nada datar, "Oke, setelah mengantar hadiah, kita langsung pulang."Aku tahu dia sebenarnya tidak ingin aku ikut karena takut aku mengganggu Cita. Namun, aku hanya ingin kembali ke rumah untuk melihat keluargaku sekali lagi.Sebab ... besok aku harus bersiap untuk menghilang.Begitu tiba di rumah Keluarga Kamara, seisi ruangan dipenuhi tamu yang merayakan dua kabar bahagia. Kehamilan Cita dan keterlibatannya dalam pameran seni internasional.Di tengah kerumunan, Cita menjadi pusat perhatian dan dielu-elukan bagai bintang.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status