Share

Bab 3

Author: Arabelle
Simon tampaknya menyadari ada yang berbeda dariku. Ekspresinya sedikit tertegun, lalu dia mengusulkan dengan inisiatif sendiri. "Gimana kalau kita pergi sekarang? Cari tempat yang bisa bikin kamu rileks."

Aku menatapnya, sudut bibirku terangkat membentuk senyum tipis. "Kalau begitu, ayo naik kapal layar saja. Jalan-jalan malam, sekalian lihat matahari terbit besok."

....

Begitu masuk ke dalam mobil, dia mulai membicarakan rencana esok hari. "Aku sudah siapkan kejutan ulang tahun untukmu. Setelah semua kesibukan ini selesai, kita bisa mulai rencanakan punya anak, ya?"

Aku hanya diam mendengarkan. Pandanganku terarah ke luar jendela, tanpa memberi jawaban.

Begitu mobil mulai berjalan, teleponnya berdering. Simon mengangkatnya, lalu alisnya perlahan mengerut. Nada bicaranya terdengar agak canggung.

Aku menoleh menatapnya dan berkata dengan tenang, "Kalau kamu ada urusan, pergilah duluan."

Simon tampak ragu. "Monica, aku ...."

"Nggak apa-apa. Aku akan menunggu di kapal."

Aku tak sempat melihat siapa peneleponnya, tapi aku tahu, hanya ada satu orang yang bisa membuat ekspresinya seperti itu. Setelah naik ke atas kapal sendirian, aku mengeluarkan ponsel dan membuka linimasa media sosial Cita.

Sebuah foto baru saja diunggah olehnya. Teks yang menyertainya berbunyi.

[ Di saat sukses, ada yang menemani. Dibawakan makanan malam, bahkan meluangkan waktu untuk mengobrol. Terima kasih karena selalu menjagaku. ]

Kolom komentar dipenuhi pujian.

[ Suamimu benar-benar luar biasa! ]

[ Inilah definisi pria sejati penyayang istri! ]

Namun, yang paling menarik perhatianku bukanlah kata-kata mereka, melainkan sebuah detail kecil dalam foto itu. Tangan seseorang dengan gelang tasbih yang tidak asing. Tangan itu milik Simon.

Aku langsung meneleponnya.

Namun, yang mengangkat teleponku adalah Cita.

"Sudah malam begini, Kakak telepon aku ada urusan apa? Jangan-jangan mau cari Simon, ya?" Suara Cita penuh dengan nada mengejek.

"Sudahlah, menyerahlah. Malam ini dia nggak akan pulang. Siapa suruh kakakku tercinta nggak bisa memikat pria? Orang sudah kuberikan padamu, tapi tetap saja kamu nggak bisa mempertahankannya."

Aku menutup telepon dengan dingin, lalu menoleh ke arah kru kapal. "Jalankan kapalnya."

"Nggak menunggu yang lain?"

"Nggak usah. Cuma aku sendiri."

Kapal layar perlahan mulai bergerak, membelah laut malam yang kelam dan melaju menuju perairan dalam. Aku berdiri sendirian di haluan kapal sambil menatap langit malam bertabur bintang. Angin laut menusuk tulang dan cahaya bintang memantul di permukaan air yang berkilau.

Semalaman penuh aku menunggu, tetapi dia tidak pernah datang.

Aku bersandar di dek sambil menatap kosong ke arah laut. Kenangan selama lima tahun terakhir berkelebat dalam pikiranku.

Sikap lembutnya, kebersamaannya, janji-janji yang dia ucapkan .... Setiap momen itu seperti pecahan kaca yang menyayat hati, tapi tak ada satu pun yang benar-benar utuh. Semua kepalsuan dan kemunafikan, kini terasa begitu menyedihkan dan konyol.

Menjelang fajar, aku mencoba meneleponnya sekali lagi. Kali ini, ponselnya sudah tidak aktif.

Aku menatap layar sejenak, lalu mengatur agar rekaman telepon dan video proses pembuatan lukisan yang semula kusiapkan untuk ulang tahun pernikahan kami dijadwalkan untuk diunggah otomatis.

Setelah semua selesai, aku berjalan ke buritan kapal. Aku menatap sekali lagi cahaya mentari yang mulai merekah di ufuk timur. Lalu, aku melompat. Menenggelamkan diri ke dalam laut yang dingin membekukan.

Di tempat lain, Simon bergegas pergi dari tempat Cita sambil berkata, "Aku harus pergi, besok ulang tahunnya. Aku janji akan menemaninya melihat matahari terbit."

Cita berusaha menahannya dengan kesal, "Simon, aku juga butuh kamu sekarang ...."

Simon menggeleng, "Nggak boleh. Hari ini nggak bisa."

Saat itulah asistennya mendatanginya. "Pak Simon ... istri Anda melompat ke laut!"
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (56)
goodnovel comment avatar
Manniar eka Lail Hr
Gimana cara bukanya, percuma kalo kumpulin poin tapi ga bisa digunakan. lagi seru ga bisa dibuka gimana coba,aneh banget
goodnovel comment avatar
Adi Wijaya
ini bisa dibukanya kapan sih aduh udah berapa judul nih ya nggak bisa dibuka sebenarnya ceritanya bagus-bagus cuma susah banget nerusin bacanya ga bisa di buka
goodnovel comment avatar
Damaris Marbun
gak tau aq maksud aplikasi ini dibuat ...bab selanjutnya gak bisa dibuka nyesal aq donlod fix kuhapus
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ilusi Cinta yang Kukira Abadi   Bab 10

    Tatapan Simon dipenuhi permohonan dan tampak rendah diri, seolah-olah selama bisa tetap di sisiku, dia rela mengorbankan segalanya.Saat itu, Yerick angkat bicara. Suaranya tenang, tetapi mengandung ketajaman. "Pak Simon, aku nggak tahu sepenuhnya apa yang terjadi di antara kalian. Menurutku, apakah kamu pantas untuk tetap di sisinya, itu tergantung pada keinginannya sendiri.""Dari tadi kamu hanya bicara soal perasaanmu. Tapi, apa kamu pernah memikirkan apa yang sebenarnya dia inginkan?"Simon termangu, membuka mulut, tetapi tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.Aku menatapnya. Suaraku tenang, tetapi penuh ketegasan. "Simon, semua yang terjadi lima tahun lalu sudah berlalu. Meskipun aku masih hidup, aku tahu kamu bukan pilihanku lagi."Wajah Simon berangsur memucat, tetapi aku tetap melanjutkan dengan mantap, "Jangan paksa aku menganggap semua yang pernah kita lalui itu adalah sebuah kesalahan. Atau kamu ingin aku benar-benar mati agar kamu bisa melepaskanku?""Bukan begitu!" serun

  • Ilusi Cinta yang Kukira Abadi   Bab 9

    Simon sama sekali tidak memedulikan kata-kata Cita. Tatapannya tak pernah terlepas dariku.Dengan tulus, dia berkata, "Monica, dengarkan aku. Aku benar-benar menyesal. Ini semua salahku. Aku yang nggak menghargaimu. Kumohon, beri aku satu kesempatan.""Kesempatan?" Aku tertawa dingin, menatapnya tajam. "Simon, kamu masih merasa pantas bicara begitu padaku?""Aku tahu aku salah. Aku nggak seharusnya mengabaikanmu, nggak seharusnya percaya pada orang lain. Semua salahku. Aku bersedia berubah. Kumohon, maafkan aku ...."Suaranya semakin rendah, hampir seperti sedang memohon. "Asal kamu mau, aku rela melakukan apa pun."Melihat itu, Cita tampak sangat panik. Wajahnya menegang menahan amarah, lalu dia menyela, "Simon, dulu kamu bilang kamu cuma cinta aku! Kamu ....""Diam!" potong Simon dingin. Tatapannya kini begitu tajam dan dingin, sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya. "Aku sudah bilang semuanya dengan jelas. Apa pun yang kamu katakan sekarang, itu nggak ada hubungannya denganku.

  • Ilusi Cinta yang Kukira Abadi   Bab 8

    Sebelum Cita sempat menyelesaikan ucapannya, dia tiba-tiba menerjang ke arahku.Secara refleks, aku melindungi anak-anak di belakangku. Aku tidak sempat menghindar. Tangannya mencengkeram bajuku dengan kasar, kukunya meninggalkan beberapa luka berdarah di lenganku."Berhenti!" bentakku. Namun, dia seperti orang gila yang kehilangan kendali, mendorongku dengan keras hingga aku terjatuh ke lantai.Beberapa anak kecil menjerit ketakutan.Dengan mata berkaca-kaca, Justin memberanikan diri mendekat dan memukulnya dengan tinjunya yang kecil. "Jangan sakiti guruku!"Cita tertegun sesaat, lalu amarahnya semakin meledak. "Anak kurang ajar! Berani-beraninya kamu sentuh aku!"Dia mengangkat tangannya, hendak memukul Justin. Aku segera bangkit dan berlari menahannya, menangkis tamparan itu dengan tubuhku sendiri.Rasa perih yang menyengat terasa di bahuku, tetapi aku tetap memeluk anak-anak dengan erat. Aku membentak, "Cukup! Cita, kalau kamu terus seperti ini, aku akan melaporkanmu ke polisi!"Di

  • Ilusi Cinta yang Kukira Abadi   Bab 7

    "Coba saja, lukisanmu pantas untuk dilihat lebih banyak orang."Malam itu, aku mengambil kembali kuas yang sudah lama kusimpan.Di atas kanvas, perlahan-lahan muncul permukaan laut yang tenang. Langit menyambut cahaya fajar pertama, air berkilauan memantulkan bayanganku sendiri.Ketika menyelesaikan goresan terakhir, aku tiba-tiba menyadari. Lukisan ini bukan untuk dia, bukan juga untuk siapa pun. Lukisan ini untuk diriku sendiri.Pada hari pameran, karyaku mendapat pengakuan tinggi dari para juri. Bakat yang selama bertahun-tahun ini kupendam, akhirnya kembali terlihat oleh dunia.Kupikir ini hanya awal baru dalam hidupku. Namun, aku tidak menyangka "kepulangan" ini akan menghancurkan seluruh ketenangan yang telah susah payah kuperoleh.Suatu hari saat mengajar, aku sedang menjelaskan teori perpaduan warna kepada anak-anak. Sinar matahari menembus jendela studio, anak-anak melukis dalam keheningan, ruangan penuh dengan kedamaian yang sudah lama tak kurasakan.Tiba-tiba, pintu studio t

  • Ilusi Cinta yang Kukira Abadi   Bab 6

    Dia mulai mengenang masa lalu, sedangkan aku perlahan-lahan menjauh."Bu, lagi lihat apa?" tanya seorang anak laki-laki bernama Justin dengan rasa ingin tahu sambil mendekatkan kepalanya dari samping.Aku buru-buru menutup halaman di ponselku, lalu menyahut dengan pelan, "Nggak ada apa-apa. Gambar garis kamu belum selesai, cepat lanjutkan ya.""Bu." Dia memiringkan kepalanya, lalu bertanya, "Lagi sedih ya?"Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Nggak kok, jangan pikir yang aneh-aneh."Justin berlari pergi dan aku memandang layar ponselku dengan tatapan kosong. Benar, aku sedang sedih.Namun, bukan karena mereka, melainkan karena pesan-pesan ini menyeretku kembali ke masa lalu yang penuh kebohongan dan pengkhianatan.Suatu hari saat aku sedang mengajar anak-anak di studio, datang seorang pemuda. Pemuda itu berdiri di depan pintu, membawa seikat bunga besar di tangannya."Halo, aku paman Justin. Namaku Yerick. Ini untukmu," kata pemuda itu dengan agak hati-hati. "Justin sangat meny

  • Ilusi Cinta yang Kukira Abadi   Bab 5

    Tidak ada seorang pun yang tahu di mana aku bersembunyi. Tidak ada yang tahu bahwa aku sebenarnya telah lama mempersiapkan diri untuk hidup sendiri hingga akhir usia. Saat pertama kali pindah ke kota ini, aku menolak berinteraksi dengan siapa pun.Membeli bahan makanan, menyewa tempat tinggal, bahkan mengurus tagihan air dan listrik, semuanya kulakukan dengan kata-kata sesedikit mungkin.Orang-orang menganggapku dingin dan aneh. Lambat laun, mereka pun berhenti mencoba mendekat. Memang, justru itu yang kuinginkan.Dengan sisa tabunganku, aku membuka sebuah studio lukis kecil khusus untuk anak-anak.Dulu, aku percaya bahwa bakatku diberikan agar aku bisa berdiri di bawah sorotan panggung pameran seni, agar aku menerima tepuk tangan dan sanjungan dari ribuan pasang mata.Namun sekarang, aku hanya ingin menggambar garis-garis sederhana dalam diam sambil mengajarkan seni pada beberapa anak polos.Sebulan kemudian, pihak layanan kematian palsu menghubungiku dan berkata, "Simon sedang mencar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status