“Apa ini bersih?”Yasmen mencondongkan tubuh ke arah Byakta yang duduk di sebelahnya. Berbicara pelan, nyaris berbisik agar tidak ada seorang pun yang mendengar ucapannya barusanya. Mata Yasmen masih memandang semangkuk soto ayam yang baru saja tersaji di hadapannya, berikut dengan teh panasnya.“Kalau aku makan terus diare, gimana?” tambah Yasmen. “Kalau gini, kan, kena debu yang terbang-terbang, kan?”“Mau dimakan apa nggak?”Yasmen masih bertahan dengan posisi wajah yang berada di samping Byakta. “Dari baunya, sih, enak. Bikin perutku bunyi. Tapi, kalau aku diare gimana?” ulang Yasmen sekali lagi.“Kita ke rumah sakit kalau kamu diare.”“Mas By, ih!” Yasmen menjauh, tapi menyempatkan diri untuk memukul lengan Byakta. “Aku, kan, beneran nanyanya. Kalau tiba-tiba gitu, gima …”Yasmen melirik Byakta, dengan mulut yang masih terbuka. Tepat di depan bibirnya, sudah ada satu sendok nasi, dengan beberapa suir ayam di atasnya.“Aku nggak makan nasi kalau malam.”“Mau nggak?” Byakta masih m
“Mandilah duluan.”Byakta meletakkan tas kerjanya di sofa, kemudian duduk di samping benda persegi yang berisi laptop tersebut. Byakta mengeluarkan laptop, kemudian membuka dan menyalakannya.“Ada yang kerjaan yang harus aku cek sebentar.”Yasmen mengangguk dengan menggigit bibir bawahnya begitu kuat, sambil pergi ke kamar mandi. Jika saja Byakta tidak menggunakan pekerjaan sebagai alasan, Yasmen sebenarnya ingin membawa sang suami berada di dalam ruang yang sama dengannya.Namun, sudahlah.Kemajuan hubungan mereka malam ini, juga sudah cukup membuat hati Yasmen tidak karuan. Bisa-bisa, malam ini Yasmen tidak bisa tidur hanya karena teringat dengan sikap Byakta yang sudah berubah padanya. Setelah selesai membersihkan diri dan keluar dari kamar mandi, Yasmen tidak melihat Byakta ada di tempatnya semula. Hanya terlihat laptop yang tergeletak di sofa dan menyala. Yasmen yang masih mengenakan bathrobe itu, memutuskan untuk mengenakan pakaian terlebih dahulu.Saat Yasmen sudah memakai cel
Untuk pertama kalinya setelah menikah, akhirnya pagi ini Yasmen bisa mengalungkan dasi pada leher sang suami, dan menyimpulnya penuh cinta. Sebuah adegan, yang sedari kecil selalu Yasmen lihat setiap pagi, saat sang mami memasangkan dasi ke leher Bira. Hal itu akhirnya bisa Yasmen wujudkan, setelah melewati berapa kerikil yang menghadang di awal pernikahannya dengan Byakta.“Makan siang bareng?” tanya Byakta memecah lamunan Yasmen yang tengah membuat menjalin simpul pada dasinya.Yasmen mengangguk. “Boleh, tapi nanti sore jangan dikasih lembur, ya? Aku mau ke tempat ayah bentar, mau nengok Rara. Mau ikut?”Yasmen mendadak gusar, sekaligus gugup ketika melempar pertanyaan tersebut. Kemarin-kemarin, Yasmen tidak pernah memperhatikan ekspresi Byakta ketika bertemu wanita yang dikaguminya. Namun, mulai sekarang semua bisa terlihat jelas jika keduanya bertemu.Kira-kira, apakah Yasmen siap bila melihat tatapan Byakta tertuju penuh dengan rasa cinta kepada wanita itu?Sang Permaisuri yang b
Untuk pertama kalinya lagi, Yasmen merasa senang ketika melihat Byakta kesal kepadanya. Yasmen juga tidak ingin berdebat, atau meminta ponsel yang kini masih berada di saku jas suaminya itu. Bukankah sudah terlihat jelas, bila Byakta mulai menaruh perasaan cemburu? Karena itulah, Byakta tidak ingin Yasmen berhubungan dengan duda beranak satu itu. “Hapeku.” Yasmen menengadahkan tangan di depan Byakta ketika mereka sudah berhenti di parkiran basement. Pagi ini, Yasmen memilih untuk pergi ke kantor bersama Byakta dengan mobil pria itu. “Nanti di atas.” Byakta menepuk tangan Yasmen, lalu membuka sabuk pengaman. Selama perjalanan ke kantor, ponsel Yasmen yang masih berada di dalam saku jasnya kembali berdering sebanyak dua kali. Byakta menduga, duda beranak satu itu kembali menghubungi Yasmen. Endy benar-benar … Yasmen menggeleng sambil menahan tawa. Jika cemburu seperti ini, sikap Byakta sungguh terlihat kekanakan. “Mas By, itu kayak anak kecil tahu, nggak.” Byakta membalik separuh
“Sudah dikembalikan?”Pesan tersebut, sudah Byakta kirimkan lima menit lalu kepada Yasmen. Namun, gadis itu masih belum membuka dan membacanya.“Kalau Endy nelpon lagi, nggak usah diangkat.”Belum juga pesan pertama berbalas, Byakta segera mengirimkan deretan kalimat selanjutnya. Setelah mendengar cerita Qai mengenai Endy, Byakta semakin yakin duda beranak satu itu bukanlah sosok yang baik. Mana ada pria baik-baik mengirimkan pakaian seksi pada istri orang lain. Andaipun hadiah, rasanya pemilihan gaun tersebut sangatlah tidak pantas untuk diberikan.Suara getaran ponsel yang baru saja diletakkan di meja, sontak membuat Byakta kembali mengangkatnya. Melihat nama Yasmen di layarnya, Byakta segera membuka balasan dari wanita itu.“Sudah dibawa kurir.”Napas Byakta terbuang sedikit lega setelah membacanya.“Mas Endy nggak nelpon, cuma chat doang.”Pesan kedua yang baru saja dibaca oleh Byakta, membuat mulutnya reflek berdecak. Daripada harus mengetikkan beberapa kalimat lagi, lalu mengiri
“Aku di bawah. Turunlah sebentar.” Kedua mata Yasmen membola lebar ketika membaca pop up notifikasi chat dari Endy. Sepuluh menit lagi jam makan siang akan tiba, dan Yasmen sudah membuat janji makan siang bersama Byakta. Namun, kenapa Endy justru berada di Casteel High dan ingin menemuinya. Tidak ingin membuat masalah karena hubungannya dengan Byakta mulai membaik, akhirnya Yasmen memutuskan untuk menemui Endy lebih dulu. Meminta pria itu pergi, lalu Yasmen kembali ke atas untuk pergi makan siang dengan Byakta. Kemudian, Yasmen beralasan pada Ratna ingin pergi ke kamar kecil karena sakit perut. Dengan tergesa, Yasmen pergi ke bawah dan langsung menghampiri Endy yang tengah duduk santai pada sofa lobi. Tatapan Yasmen terhenti pada kotak berwarna merah, yang pagi tadi sudah ia kembalikan ke kantor pria itu. “Mas! Kok, dibawa ke sini lagi?” Yasmen segera duduk di sofa yang bersebelahan dengan Endy. “Kan, udah aku balikin.” “Kenapa di balikin?” Endy menyodorkan hadiah yang memang sen
“Aku mau pulang.” Yasmen mengembalikan ponselnya ke dalam tas, setelah membaca sebuah pesan dari Byakta. Beranjak cepat menghampiri boks bayi, lalu mengusap pipi Rara yang semakin terlihat gembul dengan perlahan. “Hm, pulanglah,” usir Mai sudah terlihat sangat mengantuk. “Aku mau tidur.” Sebelum membalik tubuhnya, Yasmen menatap Mai yang baru duduk di tepi ranjang dengan perlahan. Tubuh wanita itu semakin berisi, tapi paras cantik dengan guratan wajah tegas nan galak masih saja terpancar di sana. Belum lagi, ketika Yasmen mengingat betapa banyak kelebihan yang ada pada diri Mai. Dari otaknya yang pintar, keahlian Mai dalam memasak, karir yang cukup cemerlang, dan masih ada beberapa hal lain yang semakin menunjang kesempurnaan wanita itu sebagai Permaisuri. Pras benar-benar tidak salah memilih nama, karena kakak sepupunya memang sangat pantas untuk menyandangnya. “Mbak, kamu sama mas Raj itu … kemarin sempat pacaran nggak sih? Kalau nggak salah, awalnya dari blind date, kan?” Mai
Yasmen tidak meneruskan langkahnya, saat mendengar suara pagar yang baru saja terbuka. Ia menoleh sebentar, dan melihat mobil Byakta memasuki pekarangan rumah dengan perlahan. Untuk itu, Yasmen hanya berdiam diri di teras rumah, dan menunggu Byakta keluar dari mobil lalu menghampirinya.“Baru sampai juga?” tanya Byakta yang baru saja menginjakkan kaki di teras rumah. Ia menghampiri Yasmen, lalu berhenti di depan Yasmen yang tidak bergerak sedikit pun.“Aku sudah telpon mas Nando,” ujar Yasmen lalu meraih lengan Byakta dan memeluknya. Sambil berjalan memasuki rumah, Yasmen kembali berceloteh dengan perasaan bahagia. “Masalah hotel aman.”“Cepat banget.”“Takutnya penuh orang staycation kalau weekend.”Byakta tidak melanjutkan langkahnya ketika berada di ujung tangga. “Kamu sudah makan?”Yasmen mengangguk-angguk dan semakin mengeratkan pelukannya pada lengan Byakta. “Mas By, sudah makan apa belum?”“Cuma minum kopi,” jawab Byakta menatap lekat pada wajah cantik yang sudah kembali terli