“Kamu ke sini sudah izin sama Byakta?”Yasmen langsung masuk ke dalam unit apartemen yang pintunya baru saja terbuka. Bibirnya mengerucut cuek, karena mendengar pertanyaan dari kakak sepupu yang sampai sekarang belum menanggalkan status lajangnya. Padahal, ketiga adik sepupunya sudah menikah semua dan hanya menyisakan Nando yang masih saja asyik dengan dunianya sendiri.“Emang harus izin?” Yasmen mencebik sambil melewati Nando yang memakai masker di wajahnya. “Mas By masih di lembur di kantor, makanya aku ke sini sebentar.”Nando menghela sambil menutup pintu. Menyusul Yasmen yang sudah memasuki unitnya ke bagian lebih dalam, yaitu dapur. Gadis itu langsung membuka lemari es dan mengambil satu botol air mineral.“Kalau sudah jadi istri itu, pergi ke mana-mana harus izin sama suami, Yasmeeen!” Nando menyelesaikan bersin yang mendadak menyerangnya, baru kembali melanjutkan perkataannya. “Masa’ mamimu nggak ngasih tahu?”“Ngasih tahu, sih,” decak Yasmen setelah duduk di stool bar dan men
“Oh, iya, Mas Endy!” Senyum Yasmen terukir lebar, saat kembali menyalami Endy untuk yang kedua kalinya. Tempo hari, Yasmen memang tidak terlalu memperhatikan pria itu saat memperkenalkan diri di rumah sakit. Yasmen hanya ingat pada Cipta, yang saat itu terlalu banyak melempar pertanyaan yang membuat semua orang dewasa di ruang VIP tersebut sampai kebingungan menjawabnya. Bagaimana tidak bingung, jika Cipta bertanya mengenai bagaimana proses Rara sampai bisa terlahir ke dunia. “Sorry, ya, Mas!” lanjut Yasmen lalu terkekeh setelah berdiri di samping Endy. Mereka menuju lantai yang sama, karenanya Yasmen tidak perlu lagi menekan tombol yang ada di samping pintu lift. “Nyante, aja.” “Mas Endy tinggal di sini?” tanya Yasmen dengan pembawaannya yang ramah. “Nggak.” Endy menatap Yasmen dari ujung rambut, hingga kaki. Dari penampilan yang terlihat formal, sepertinya gadis itu baru saja pulang kantor. “Kamu sendiri? Tinggal di sini, atau?” Yasmen menggeleng. “Aku habis jenguk kakak sepup
“Mas By sudah makan?” Langkah Yasmen langsung terhenti ketika melihat Byakta sudah berada di ruang keluarga. Ternyata, suaminya sudah lebih dulu sampai di rumah daripada Yasmen. Tidak hanya itu, Byakta juga mengganti baju dan terlihat segar dengan rambut yang masih terlihat basah. Sementara Yasmen, ternyata sangat-sangat telat untuk berada di rumah. Ini akibatnya jika tidak memikirkan sesuatu sebelum bertindak. Harusnya, Yasmen bisa memprediksi jarak gedung apartemen Nando dengan Casteel High. Belum lagi kemacetan yang selalu menghiasi ibukota di jam-jam tersebut. “Belum,” Byakta menatap tas dengan logo restoran cepat saji, yang ditenteng oleh Yasmen. Sebelum menebak isinya adalah makanan dari restoran tersebut, lebih baik Byakta bertanya lebih dulu. Siapa tahu saja, isinya justru pakaian, atau barang yang lainnya. “Apa itu?” “Oh …” Yasmen yang masih berada ditempatnya, langsung mengangkat tas tersebut. “Ayam, sama kentang. Aku beli pas pulang tadi.” “Kamu beli?” Byakta yang seda
Byakta membuka pintu kamar, lalu menahan napas. Ada tas kerja Yasmen di atas tempat tidur, dan Byakta melihat lembaran rupiah yang tercecer dari sana. Melangkah maju, Byakta melihat handuk basah tertinggal di atas meja rias istrinya. Belum lagi kabel hairdryer yang masih menancap dan tergeletak begitu saja di lantai. Selain itu, kartu debit yang baru Byakta buat pagi tadi ternyata masih tergeletak di tempat semula. Tanpa bergeser sedikit pun.“Yas …” Byakta pergi menuju walk in closet tapi, tidak menemukan Yasmen di dalam sana. Sudah bisa ditebak, malam ini Yasmen akan kembali tidur di kamar lainnya seperti kemarin malam.Byakta segera keluar kamar, untuk mendatangi Yasmen yang sudah pasti berada di kamar tadi malam. Seperti kemarin, Byakta kembali membuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu. Di dalam sana, terlihat Yasmen sudah duduk santai di sofa sambil menikmati ayam dan kentang goreng yang dibelinya seorang diri.Yang membuat Byakta mengerutkan dahi kali ini ialah, gadis itu han
“Mas By, Aku haus! Bukain pintunya!”Yasmen tanpa segan menggoyang tubuh Byakta dengan sekuat tenaga, untuk membangunkan pria itu. Kendati ia tahu, Byakta sudah tertidur begitu lelapnya. Salah sendiri, siapa suruh Byakta mengunci pintu kamar dan menyembunyikan kuncinya.Byakta menghela sambil membuka mata. Tidak pernah ada satu pun, yang pernah membangunkan Byakta seperti ini seumur hidupnya. Yasmen benar-benar berisik, tidak sabar, dan kasar. Bahkan Mario yang keras sekalipun, tidak pernah membangunkan Byakta seperti ini.“Apa mami kalau bangunin kamu tiap pagi selalu kasar begini?”Sambil mengerucutkan bibirnya, Yasmen menggeleng. “Kalau sekolah aku sudah biasa bangun sendiri. Kalau libur, yaaa, terserah aku mau bangun jam berapa.”Byakta kembali menghela. “Tapi bukan begini caranya bangunin orang.”Yasmen yang duduk di tengah ranjang itu berdecak. “Yang penting bangun,” ujarnya lalu menarik tangan Byakta dengan paksa. “Buruan, aku haus. Entar beli itu filter air minum aja, pasang d
Yasmen menggumam lelah. Enggan bangkit dari tempat tidur, karena seluruh sendi di tubuhnya benar-benar terasa luluh lantak. Nyeri, perih, dan ngilu bercampur jadi satu. Rasanya sungguh berbeda, seperti pertama kali Yasmen menyatu dengan Byakta pagi itu. Apa mungkin karena mereka melakukan hingga lewat tengah malam, sampai akhirnya tubuh Yasmen terasa remuk redam.Ingin merutuk kebodohannya karena terlalu lemah di depan Byakta, tapi Yasmen tidak menampik jika ia menikmatinya semua yang dilakukan sang suami kepadanya. Kalau begini, nasihat yang dimuntahkan Sinar terasa sia-sia belaka.Yasmen kembali jatuh dalam pesona Byakta, dan tidak bisa sama sekali menolaknya.Ternyata, cinta benar-benar telah membutakannya.“Jangan sampai telat ke kantor.”Ucapan tersebut, seketika mengejutkan Yasmen yang baru saja bangun dari tidur lelapnya. Lebih terkejut lagi, ketika ia melihat Byakta sudah sangat rapi dengan setelan jas kerjanya. Yasmen spontan melihat jendela kamar yang sudah sangat terang ben
“Ngapain kamu di sini?”Bira yang baru masuk ke dalam ruang kerjanya, cukup terkejut saat mendapati Yasmen sudah berbaring di sofa panjang. Dengan segera, Bira menghampiri putrinya dan duduk tepat di samping tubuh Yasmen. Menempelkan punggung tangannya ke dahi gadis itu dan Bira langsung bernapas lega karena suhu putrinya ternyata normal-normal saja. “Pergi ke ruanganmu sana.”“Bentar, belum jam kerja.” Yasmen menolehkan wajah, pada asisten Bira yang terus berjalan menuju meja kerja. Pria yang bernama Ricky itu menyalakan perangkat komputer, sambil mengeluarkan laptop yang biasa dibawa Bira bepergian. “Om, tolong keluar dulu dong, aku mau ngomong sama Papi.”Riky mengangguk, tapi masih bertahan di tempatnya. “Sebentar, ya, Mbak. Tunggu komputer sama laptopnya nyala.”“Heh, panggil Bapak kalau di kantor,” tegur Bira lalu beranjak menuju meja kerjanya. “Keluar dulu, Rik. Masuk lagi kalau Yasmen sudah keluar.”“Baik, Pak.”Yasmen tidak kunjung bangkit dari posisinya, meskipun Riky sudah
“Loh, udah pulang? Kirain lembur lagi.”Yasmen segera berlari kecil menghampiri Byakta, yang baru saja masuk ke dalam kamar. Meraih tangan kosong Byakta yang tidak menenteng tas kerja, lalu menariknya menuju sofa.“Ayo kita bicarain yang tadi pagi,” lanjut Yasmen sudah duduk berdampingan dengan sang suami. Karena sudah berada di rumah, maka Yasmen hendak memperjelas nasib pernikahannya dengan Byakta.“Tadi pagi?” Byakta bersandar lelah sambil menoleh pada sang istri. Sejenak, Byakta kembali mengingat-ngingat mengenai pembicaraannya dengan Yasmen pagi tadi. Setelah mengingatnya, Byakta lalu menghela karena Yasmen masih saja bersikap kekanakan. Seharusnya, Yasmen tidak perlu membicarakan hal yang seperti ini, karena semua keputusan ada di tangan gadis itu. Tidak bisakah Yasmen belajar untuk bersikap realistis dan dewasa seperti Mai?Mai, lagi. Mai, lagi. Apa benar wanita itu sudah benar-benar move on dengan pria yang baru dikenalnya, dan melupakan Byakta?“Hm, bicaralah.”“Itu!” Yasmen