Yasmen merangkak naik ke tempat tidur Mai, lalu merebahkan diri dengan senyap di atas sana. Kakak sepupunya itu sedang pergi ke dapur untuk mengambil makan siang, sementara Yasmen lebih memilih masuk ke kamar Mai untuk melihat Rara.Karena bayi mungil itu tengah terlelap di boks bayinya, Yasmen akhirnya memutuskan untuk berbaring saja. Melepaskan penat, akibat duduk terlalu lama dan tidak ada teman bicara. Sungguh, ini adalah hari yang paling membosankan, melelahkan, dan menyebalkan bagi Yasmen. Yang membuatnya lebih buruk lagi ialah, hidup Yasmen akan seperti ini untuk satu bulan ke depan, tanpa ada penawaran. Namun, ada banyak hal yang Yasmen dapatkan ketika bekerja bersama Pras. Pria itu tidak segan membeberkan semua kelemahan, kesalahan, dan keburukan Yasmen di depan mata. Selama ini, Pras memang selalu berterus terang, tapi tidak pernah sampai membuka semua “aib” Yasmen seperti pagi tadi.“Nggak makan siang kamu, Yas?” tanya Mai yang baru saja masuk ke kamarnya dengan membawa s
“Yasmen di kamar tamu, lantai dua belok kiri mentok.” Mai berujar datar, ketika melihat Byakta baru memasuki ruang keluarga. Setelahnya, Mai kembali menatap bayi mungilnya yang kini tengah berbaring di pangkuan. Karena bosan berada di kamar, maka Mai mengajak Rara ke ruang keluarga sambil menunggu kedatangan Raj.Tidak disangka, justru Byakta yang lebih dulu pulang dan bertemu dengannya di ruang keluarga. Yang membuat Mai masih memendam kesal pada Byakta hingga kini ialah, pria itu bisa menikahi Yasmen, tapi tidak memiliki keberanian untuk memperjuangkan dirinya dahulu kala.Rasanya, Mai kembali ingin mendaratkan telapak tangannya pada pipi Byakta dengan keras, untuk melepas rasa sakit hatinya.“Makasih.” Teringat dengan perkataan Pras, Byakta pun tidak berani berlama-lama memandang wajah cantik nan galak itu. Ia segera mengangguk, lalu segera pergi ke lantai dua sesuai dengan instruksi Mai barusan.Byakta tidak mengetuk pintu kamar tamu terlebih dahulu, karena ia yakin hanya ada Yasm
Hanya dengan sebuah bucket ayam goreng krispi dari restoran cepat saji, ditambah kentang goreng dan satu buah es krim, wajah murung Yasmen akhirnya bisa tersenyum kembali. Benar-benar seperti anak kecil, yang impiannya baru saja dikabulkan oleh kedua orangtuanya.“Ini semua buat aku?” Senyum Yasmen tersemat lebar saat semua makanan yang sudah dipesan Byakta berada di tangannya. “Boleh aku makan semua?”“Iya.” Antara kasihan, dan ingin tertawa saat melihat wajah polos Yasmen. Di antara sekian banyak makanan mahal yang ada di restoran mewah, Yasmen justru hanya bisa tersenyum lebar saat menatap tumpukan ayam krispi yang dibeli dari restoran cepat saji.“Aku makan sekarang, ya? Nggak usah nunggu sampai rumah, soalnya laper.”“Makanlah.” Byakta mengusap puncak kepala Yasmen sebentar, lalu kembali fokus dengan kemudinya. Mempercepat laju roda empatnya, agar segera sampai di rumah dan beristirahat.“Mas Bee makan jugalah.” Yasmen menyodorkan ayam goreng yang sudah dipotongnya tepat di depan
Kalang kabut.Hal itulah yang dialami Yasmen pagi itu. Bangun kesiangan, akibat begadang menikmati malam. Kalimat tidur cepat yang diutarakan Byakta malam tadi, ternyata tidak bisa pegang sama sekali. Tidak hanya Byakta, tapi Yasmen pun tidak kuasa menolak setiap sentuhan yang diberikan sang suami, hingga ia melupakan semua hal yang akan terjadi keesokan paginya.Alhasil, keduanya benar-benar melepas rindu hingga tidak tahu waktu.“Bee! Naik motor aja, ya!” pinta Yasmen sambil menyantap roti bakar yang ada di tangan. Ia tidak sempat duduk untuk sarapan, karena takut terlambat datang ke kediaman Pras. Bukan hanya Yasmen, tapi sang suami pun terpaksa tidak sarapan seperti biasanya. “Entar, sampe sana Mas Bee pinjam mobil ayah atau enda berangkat ke kantornya. Soalnya bakal telat ini, kalau kita naik mobil ke rumah ayah.”“Aku sudah bilang, nggak usah dandan.” Meskipun Byakta juga kesiangan, tapi ia masih bisa lebih santai daripada Yasmen. Byakta sudah terlihat rapi, dan tinggal menunggu
“Aku sudah mandi,” kata Yasmen sambil memasuki kamar Mai dengan berlari kecil. Ia menghampiri boks bayi, lalu menurunkan satu sisi pagarnya untuk membawa Rara ke dalam gendongannya.Hari kedua bekerja dengan Pras, ternyata tidaklah seburuk itu. Yasmen hanya harus membiasakan diri dengan kedisiplinan Pras yang terlalu ketat, dan tidak boleh lengah sedikit saja. Sangat jauh berbeda dengan didikan Bira yang sangat longgar dan memanjakan Yasmen sejak kecil.Mai memberi lirikan tajam pada Yasmen yang sudah membawa Rara. Gadis itu berjalan ke arahnya, lalu menidurkan Rara dengan perlahan tepat di tengah tempat tidur.“Kalau sampai Rara bangun terus rewel, kamu yang tidurin!” desis Mai lalu merebahkan diri di samping putrinya.“Tinggal kasih dot.” Yasmen terkikik sambil mengusap pipi dengan perlahan. “Entar biar aku yang pegangin dotnya.”Mai berdecak, lalu menoleh pada Yasmen yang hidupnya selalu saja ceria. Setiap bertemu Yasmen, Mai selalu melihat gadis itu tersenyum riang. Andaipun berse
“Hapeku …”Saat mobil Byakta baru saja berhenti di pekarangan rumah, Yasmen baru teringat jikalau ponselnya masih berada di tangan Pras. Karena ingin buru-buru pulang, Yasmen sama sekali tidak mengingat perihal ponselnya sama sekali.“Hapemu kenapa?” Byakta mematikan mesin mobil, kemudian melepas sabuk pengamannya sambil menatap sang istri yang tengah sibuk merogoh tas kerjanya.“Masih sama ayah.”“Ya sudah.” Byakta memutar tubuh untuk membuka sabuk pengaman Yasmen, dan memastikan pengaitnya kembali ke tempat semula tanpa mengenai tubuh istrinya. “Memangnya kamu mau nelpon siapa? Kalau papi, sama mami, kamu bisa pake hapeku.”“Nggak ada, sih.” Ucapan Byakta sepenuhnya benar, tapi, rasanya ada yang kurang jika Yasmen tidak memegang ponselnya ketika berada di rumah. Karena sepanjang jalan terlalu asyik menceritakan kisahnya bekerja dengan Pras, maka Yasmen baru teringat hal tersebut ketika sudah sampai di rumah. “Tapi rasanya aneh aja kalau nggak pegang hape. Apalagi seharian aku nggak
“Hun, dokter kandungannya nanti praktek jam tujuh malam,” ujar Byakta setelah membaca pesan yang dikirimkan oleh mami mertuanya. “Dapat nomor antrian sembilan. Jangan telat, kalau nggak, nanti dilewati jadi ngantri belakangan.” Yasmen botol serum wajah yang baru dipakainya di meja rias. Ia menatap Byakta dari pantulan cermin sambil memberengut. Sejak kemarin sore, masalah dokter kandungan sudah membuat kesal hati Yasmen karena Bira tidak memberi akses khusus padanya. “Mami sama papi itu kayak nggak sayang lagi sama aku. Padahal mereka punya link biar kita nggak usah pake antri, tapi malah begitu.” Sejauh ini, Yasmen sudah menuruti semua titah yang dilontarkan oleh Bira, maupun Pras. Namun, mereka semua masih saja tidak berbaik hati pada Yasmen sama sekali. “Sudahlah, ikutin aja.” Byakta tidak mungkin bisa membantah, dan hanya bisa menurut dengan ucapan mertuanya. Karena Byakta tahu, Bira melakukan semua itu agar Yasmen bisa mengerti dengan kesusahan orang lain dan mengurangi sifat
“Hati-hati.” Yasmen melambai dengan wajah cemberut pada Sila, yang hendak memeriksakan kandungannya sore itu. Tidak hanya pada Sila, tapi Yasmen juga menampilkan wajah tertekuknya itu pada Sinar yang berdiri di sebelahnya. “Endaaa!”“Apa?” Bila Yasmen sudah merengek seperti ini, pasti gadis itu akan meminta sesuatu padanya. “Mau minta apa?”Yasmen menunjuk Sila yang baru saja memasuki mobil. “Sila periksa hamil pake jalur VVIP, kenapa aku nggak dibolehin?”“Siapa yang nggak ngebolehin?” Sinar meraih bahu Yasmen dan membalik tubuhnya. Ia membawa gadis itu kembali masuk ke dalam rumah, dan menunggu Byakta di dalam.“Papi. Tapi, pasti ada ayah juga di belakangnya, kan?” tebak Yasmen dengan seluruh keyakinannya. “Aku sekarang itu kayak anak tiri. Nggak disayang sama sekali.”Sinar tersenyum dan menahan tawanya sekaligus. “Kalau nggak disayang, nggak mungkin mamimu ngingatkan buat konsul? Nggak mungkin sampai didaftarin ke dokter kandungan.”“Tapi, kan, bisa pake jalur dalam, Ndaaa!” Yasme