Karena semua barang-barangnya masih di rumah Helena, Diandra terpaksa mengenakan kembali pakaiannya yang kemarin malam setelah mandi. Diandra tersenyum tipis kepada Bi Harum yang menyadari kehadirannya. Kemarin malam ia tidak sempat berbasa-basi dengan wanita paruh baya yang kini tengah berkutat di dapur menyiapkan sarapan.
“Bagaimana tidurnya, Nyonya? Bibi harap nyenyak ya.” Dengan ramah Bi Harum mulai mencari bahan obrolan.“Nyenyak, Bi,” Diandra menjawabnya tidak kalah ramah. “Bi, panggil saja aku Dee. Aku tidak pantas dipanggil Nyonya,” pintanya sebelum mengisi gelasnya dengan air putih.
Bi Harum menggelengkan kepalanya dengan tegas. “Bibi tidak berani, Nyonya,” beri tahunya.
Diandra hanya mengendikkan bahu menanggapinya. “Terserah Bibi saja kalau begitu,” balasnya tidak peduli.
“Jangan marah ya, Nyonya,” Bi Harum meminta permakluman.
Diandra tersenyum kecil mendengar permintaan Bi Harum. “Kalau begitu panggil aku senyaman Bibi saja. Oh ya, Bi, aku sarapan dengan ini saja.” Ia menunjuk roti gandum utuh yang tersedia di atas meja makan ketika Bi Harum membawakannya sepiring nasi goreng. “Besok-besok tidak usah membuatkanku makanan untuk sarapan, Bi. Sekarang nasi goreng itu untuk Bibi saja,” sambungnya sambil tersenyum.
Belum sempat Bi Harum menanggapi perkataan Diandra, bel rumahnya berbunyi. “Bibi permisi, Nyonya. Mau membuka pintu dulu,” pamitnya dan langsung diangguki Diandra.
Setelah Bi Harum meninggalkannya, Diandra mulai menikmati setangkup roti gandum utuh untuk mengganjal perutnya. Ia menghentikan kegiatannya mengunyah ketika mendengar suara lembut seseorang menanyakan keberadaannya kepada Bi Harum.
“Pagi, Ma,” Diandra menyapa saat melihat kedatangan Allona.
“Pagi juga, Sayang,” balas Allona setelah duduk di hadapan menantunya. “Saya hanya sebentar, Bi,” ujarnya ketika Bi Harum ingin membuatkan minuman untuknya.
“Dee, kedatangan Mama ke sini hanya ingin memastikan keadaanmu baik-baik saja. Mama akan ke Singapura menjengguk Mamamu,” beri tahu Allona sambil mengamati reaksi Diandra.
Meski sangat kecewa terhadap perlakuan orang tuanya, tapi Diandra tidak menutup mata dengan kondisi ibunya saat ini. Apalagi ia sendiri yang menyebabkan ibunya harus mendapat perawatan seperti sekarang. “Sebenarnya aku juga ingin menjenguk beliau, tapi Papa dengan tegas melarangku menampakkan diri di hadapan Mama,” ucapnya sedih.
“Jangan berburuk sangka terhadap larangan Papamu, Dee. Mungkin maksud Papamu itu demi kebaikan kalian berdua,” Allona menasihati.
Diandra mengangguk. “Andai saja Mama tidak memohon padaku agar aku bersedia menikah dengan penanam benih di rahimku, semua ini pasti tidak pernah terjadi,” batinnya berandai-andai.
Diandra mengingat ketika Allona tiba-tiba menemuinya dan memohon padanya agar bersedia menikah dengan putranya. Bahkan, Allona sempat akan bersujud karena ia terus saja menolaknya.
“Dee, Mama berjanji akan membantumu memperbaiki hubungan dengan orang tua dan Kakakmu,” janji Allona penuh tekad sambil menatap wajah menantunya.
Diandra tersenyum tipis mendengar janji yang diucapkan ibu mertuanya. “Dari dulu hubunganku bersama mereka memang tidak harmonis, terutama dengan orang tuaku, Ma. Apalagi setelah kejadian sekarang, orang tuaku pasti lebih membenciku karena aku dengan sengaja menghancurkan jalinan kasih putri kesayangan mereka,” ungkapnya jujur. “Namun, aku tetap bersyukur Papa bersedia mengantarku menuju altar dan menjadi wali di pernikahanku, meski kehadirannya hanya sebentar,” imbuhnya.
“Tidak boleh berkata seperti itu, Dee. Sudah menjadi kewajiban Dennis sebagai orang tua untuk menghadiri pernikahan putrinya dan mendampingimu,” ujar Allona menenangkan. “Sejak dulu Mama memang lebih mengharapkanmu menjadi menantu di keluarga Narathama daripada Deanita, bukan berarti Mama tidak menyukai Kakakmu. Bahkan, mendiang suami Mama pun berniat menjodohkanmu dengan Hans dulu,” batinnya menambahkan.
“Ngomong-ngomong, Hans di mana, Dee? Apakah sudah berangkat ke kantor?” Allona kembali bersuara setelah terdiam beberapa saat. Sejak datang ia belum melihat batang hidung putranya.
“Tuan masih di kamarnya, Nyonya,” Bi Harum menyela ketika melihat Diandra menggeleng, tanda tidak mengetahui keberadaan suaminya sendiri.
Allona menghela napas. Sesuai dugaannya, anak dan menantunya menggunakan kamar terpisah. Sekarang ia memilih mengalah dan harus memaklumi keadaan mereka, tapi tidak untuk ke depannya. Di mana-mana pasangan suami istri itu seharusnya menempati kamar yang sama dan tidur seranjang.
“Dee, Mama pamit sekarang ya,” pamitnya setelah melihat jam tangannya.
“Semoga perjalanan Mama lancar dan selamat sampai di tujuan,” ujar Diandra. Ia ikut berdiri dan akan mengantar ibu mertuanya sampai di pintu.
Setelah mobil Allona menghilang dari jangkauannya, Diandra yang ingin kembali ke dalam rumah terkejut saat berpapasan dengan Hans. Karena tidak berniat menyapa laki-laki tanpa ekspresi tersebut, Diandra pun melanjutkan langkah kakinya. Ia masih mempunyai banyak pekerjaan yang harus segera dibereskan, salah satunya kembali ke rumah Helena dan mengambil semua barang-barangnya.
“Ada urusan apa Mamaku datang pagi-pagi ke sini? Apa yang beliau katakan padamu?” cecar Hans tanpa berniat berbasa-basi. “Hei, aku sedang berbicara denganmu! Apakah kini mulutmu sudah tidak berfungsi?” hardiknya sambil mencekal lengan Diandra ketika pertanyaannya diabaikan.
Diandra menahan nyeri akibat cekalan tangan Hans pada lengannya. “Kedatangan beliau pagi-pagi hanya untuk berpamitan sebelum berangkat ke Singapura,” jawabnya datar. “Pertanyaanmu sudah aku jawab, jadi cepat lepaskan cekalan tanganmu! Oh ya, kamu sudah dengar sendiri kan, bahwa mulutku masih berfungsi dengan sangat baik,” sambungnya dengan tatapan tajam.
Hans langsung mengempaskan tangan Diandra dengan kasar. Tanpa membuang waktu ia langsung mengambil ponsel di saku celananya, dan meminta Ratna memesankan tiket pesawat untuk penerbangan pagi dengan tujuan Singapura. Selain itu, Hans juga menghubungi Damar, sang asisten. Ia memberi instruksi kepada asistennya agar menangani urusan kantor selama beberapa hari ke depan.
•••
Setelah mengganti pakaiannya di rumah Helena, Diandra dan sahabatnya tersebut kini tengah berada di salah satu furniture retail milik keluarga Sinatra. Ia ingin membeli meja kerja minimalis untuk melengkapi kamar tidurnya. Setelah menyelesaikan pembayaran dan memberitahukan alamatnya kepada kasir, Diandra menemani Helena yang ingin mencari buku cerita untuk Mayra ke mall. Diandra juga telah menghubungi Bi Harum agar langsung membawa meja pesanannya ke kamar jika sudah datang.
“Dee, nanti biar aku saja yang mengantarmu pulang. Mending disimpan saja uang untuk ongkos taksimu,” ujar Helena setelah memarkirkan mobilnya di basement mall.
Diandra terkekeh saat melepas seatbelt. “Kalau begitu, sekalian nanti kamu bisa membantuku mengatur letak meja kerja di kamarku,” balasnya. Untuk menghemat waktu, Diandra sudah mengambil semua barang-barangnya dan kini tengah dititipkan pada bagasi mobil Helena.
“Selain bertujuan menekan biaya pengeluaranmu, aku juga ingin mengetahui alamat rumahmu, Dee,” Helena menimpali sambil tertawa kecil. “Siapa tahu nanti aku dan Sonya kangen, jadi kami bisa langsung berkunjung,” sambungnya.
Setelah memasuki mall, keduanya pun langsung menuju toko buku untuk mencari buku yang ingin dibelinya, agar mereka segera bisa beristirahat di food court.
Cukup lama memilih dan berkat bantuan Diandra, akhirnya Helena membeli beberapa buku cerita untuk Mayra. Kini mereka menuju area food court untuk bersantai sekaligus makan siang. Setelah mendapat tempat duduk, Helena mewakili Diandra memesan makanan dan minuman untuk mereka nikmati.
“Sayang sekali Sonya dan Mayra tidak bisa ikut ya, Len,” ucap Diandra ketika Helena sudah kembali dari memesan makanan dan kini telah duduk di hadapannya.
“Sonya sibuk bekerja, sedangkan Mayra bersekolah,” jawab Helena sambil terkekeh. “Oh ya, Dee, kapan wisudamu?” tanyanya.
“Sabtu depan, Len. Selain acara wisuda, nanti juga akan ada fashion show dan pameran dari masing-masing jurusan. Aku jamin acaranya pasti seru,” beri tahu Diandra seraya menyandarkan punggungnya pada kursi yang didudukinya. “Kamu dan Sonya datang ya,” pintanya dengan penuh harapan.
Helena memberikan jempol tangan kanannya sebagai persetujuan. “Kamu sudah memberi tahu orang tuamu atau Dea untuk menghadiri acara penting itu?” tanyanya ingin tahu.
“Jika diberi tahu pun mereka pasti tidak akan menghadirinya, apalagi setelah masalah yang menimpaku,” jawab Diandra jujur. Perhatian Diandra teralih ketika mendengar ponselnya bergetar di atas meja.
“Siapa? Suamimu?” Helena bertanya sambil melihat perubahan ekspresi Diandra saat menatap ponselnya.
Diandra menggeleng. “Dea,” ucapnya. Tanpa membuang waktu ia langsung membaca pesan yang dikirimkan kakaknya tersebut. “Ia ingin bertemu,” beri tahunya setelah selesai mengetikkan balasan.
Kini giliran Helena yang mengerutkan kening mendengar pemberitahuan Diandra. “Bukannya Kakakmu masih menemani Mamamu di Singapura?”
“Entahlah,” Diandra menjawabnya dengan singkat. “Ayo, kita makan dulu. Selesai makan, antar aku ke taman yang ada di samping bangunan mall ini. Aku menyuruhnya untuk menemuiku di sana,” imbuhnya ketika melihat pramusaji menuju ke arahnya dan mengantarkan pesanan mereka masing-masing.
•••
Deanita menatap ke sekeliling taman untuk mencari keberadaan adiknya. Ia mengambil ponselnya guna melihat alamat yang diberitahukan oleh adiknya tadi. Selesai membaca alamat, ia melihat Diandra sedang duduk di bangku taman sambil berbicara dengan seorang wanita. Tanpa mengulur waktu, ia pun bergegas menghampiri sang adik.
“Dee.” Interupsi Deanita membuat Diandra langsung menghentikan obrolannya dan menoleh ke sumber suara.
“Dee, aku mau berkeliling dulu,” pamit Helena saat melihat Deanita berdiri di belakang Diandra. Ia tidak ingin mengganggu pembicaraan kakak beradik tersebut.
“Aku kira kamu sedang di Singapura?” Diandra langsung bertanya setelah Deanita duduk di bangku yang sebelumnya ditempati Helena. “Oh ya, bagaimana keadaan Mama?” sambungnya.
“Aku baru pulang tadi pagi, Dee. Kondisi Mama sudah membaik, dan sekarang Papa yang sedang menjaganya. Jika kondisinya terus membaik, secepatnya Mama akan kembali ke Indonesia,” beri tahu Deanita sedikit canggung.
Semenjak peristiwa kecelakaan yang dialaminya dan merenggut nyawa Wira, hubungan Deanita dengan Diandra merenggang. Bahkan, Diandra secara terang-terangan bersikap dingin padanya. “Selamat atas pernikahanmu ya, dan maaf kemarin lusa aku tidak bisa hadir,” imbuhnya sambil memaksakan senyum.
Diandra mendengkus. “Tidak perlu pura-pura bersikap tegar di hadapanku. Meski bukan paranormal, tapi aku mengetahui dengan jelas alasanmu tidak hadir. Lagi pula tidak ada yang istimewa dari pernikahan itu.”
“Bukan seperti itu, Dee. Kamu jangan salah paham dulu padaku. Aku benar-benar turut bahagia dengan pernikahanmu meski Hans itu sebelumnya kekasihku. Sebagai seorang laki-laki sejati ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah dilakukannya padamu,” Deanita berkilah dan membela diri.
“Oh ya, sepertinya laki-laki yang sangat mencintaimu itu akan menelan kekecewaan karena tidak menemukan keberadaanmu di Singapura.” Diandra mengabaikan ucapan kakaknya. Ia tersenyum tipis ketika melihat kebingungan Deanita atas ucapannya.
“Maksudmu Hans ke Singapura? Buat apa?” Deanita bergumam dan yakin sang adik mendengarnya.
“Yang jelas karena merindukanmu, selain ingin menjenguk Mama.” Diandra menyeringai ketika memergoki wajah Deanita memerah setelah mendengar jawabannya. “Bahkan, Mamanya pun sedang dalam penerbangan ke sana,” imbuhnya yang kembali membuat sang kakak terkejut.
“Sudah ada Papa di sana yang akan menyambut kedatangan mereka,” Deanita mencoba menanggapi serangan-serangan adiknya dengan santai.
“Tapi kasihan juga laki-laki itu, usahanya sia-sia. Sudah datang dari jauh, eh ternyata yang dicari malah ada di sini,” gumam Diandra. Ia menggelengkan kepala sambil menatap ke sekeliling taman.
“Baiklah, Dee. Seperti katamu, sebaiknya aku tidak perlu lagi menutupi perasaanku.” Deanita akhirnya menyerah atas sikap dan perkataan adiknya yang terus saja mengintimidasinya.
“Aku memang mengakui masih sakit hati atas kandasnya hubunganku dengan Hans. Aku juga belum bisa sepenuhnya menerima pernikahan kalian. Apakah salah jika aku berusaha bersikap tegar dan mencoba untuk menerimanya?” tanya Deanita dengan mata berkaca-kaca dan suara serak.
Diandra mengalihkan perhatiannya dari sekeliling taman. “Kamu melakukannya hanya agar aku berhenti membencimu kan? Bukankah kebencianku pada kalian merupakan suatu kewajaran? Mengapa aku katakan wajar, karena kamu dan laki-laki itu secara tidak langsung telah membunuh kekasihku,” cecarnya dengan nada dan tatapan menusuk.
“Aku memang ingin kamu berhenti membenciku, Dee.” Deanita memberanikan diri menatap mata Diandra yang sorotnya sangat menusuk. “Anggap saja sekarang kita sudah impas. Kamu sudah berhasil menghancurkan hubunganku dengan Hans, malah sekarang kalian telah menjadi pasangan suami istri. Asal kamu tahu, Dee, hatiku sangat sakit setiap membayangkan kalian bersama.” Deanita sudah tidak bisa membendung air matanya. Ia menumpahkan semua sesak yang mengimpit dadanya selama ini.
“Impas katamu? Selamanya tidak akan pernah ada kata impas, Deanita!” hardik Diandra yang emosinya mulai naik. “Jika kamu merasakan sakit hati setiap membayangkanku bersama laki-laki berengsek itu, bagaimana denganku? Leherku seperti tercekik ketika melihat tubuh laki-laki yang sangat peduli dan mencintaiku terbujur kaku. Hatiku sangat sakit sekaligus tercabik-cabik ketika membayangkan bajingan itu menjamah tubuhku dan memperkosaku yang tengah tidak sadarkan diri. Bahkan, napasku seakan terenggut saat mengetahui benih yang bajingan itu tanam telah berkembang di rahimku. Kamu salah besar jika berpikiran pernikahan ini menjadi penyelesaian yang tepat,” ungkapnya dengan penuh luapan emosi.
Deanita yang mendengar perkataan Diandra hanya bisa terisak.
“Sejak kecil hidupku selalu dikelilingi oleh ketidakadilan. Perlakuan yang aku terima dari orang tua kita sangat berbeda denganmu. Mereka selalu menjadikanmu prioritasnya. Sikap mereka yang tidak pernah berhenti memujimu dan selalu menuruti semua permintaanmu benar-benar membuatku muak. Untuk mendapat perhatian orang tua kita, aku terpaksa menjadi seorang anak yang pemberontak. Awalnya aku berpikir, dengan memberontak orang tua kita akan memberiku sedikit perhatian. Namun, ternyata aku salah besar. Mirisnya, saat aku mulai mengecap sedikit kebahagiaan, kamu dan kekasihmu telah merenggutnya walau secara tidak sengaja.” Dengan penuh kepiluan Diandra menceritakan beban yang sudah lama mengendap di hatinya. “Kini, masih pantaskah kamu menganggap semuanya sudah impas, hah?!” hardiknya.
Deanita yang sudah berlinang air mata langsung berdiri dan memeluk tubuh bergetar adiknya. Selama ini ia hanya fokus pada dirinya sendiri dan tidak menyadari penderitaan yang dialami Diandra. Sebagai seorang kakak, ia merasa gagal melindungi adik semata wayangnya. Bahkan, ia tidak mengetahui adiknya diperlakukan keji oleh laki-laki yang sangat dicintainya tersebut. Kini lidahnya kelu, tidak tahu apa yang harus dikatakan. Yang bisa dilakukannya kini hanyalah mendekap tubuh sang adik, dengan harapan mampu memberikannya sedikit ketenangan dan kenyamanan.
Setelah kejadian menguras emosi beberapa hari lalu di taman, Diandra merasa sedikit lebih lega. Hubungannya dengan Deanita pun berangsur membaik, meski masih sedikit dingin. Bahkan, untuk memperbaiki hubungannya, Deanita berjanji akan mewakili orang tuanya menghadiri acara wisudanya. Saat Deanita menyampaikan janjinya, Diandra hanya menanggapi dengan bersikap apatis. Padahal di lubuk hatinya, ia sangat berharap sang kakak menepati janjinya.Diandra meregangkan ke atas kedua tangannya ketika selesai memeriksa desain gaun malam yang akan diperlihatkan dan dipresentasikannya besok siang kepada Mbak Santhi, pemilik butik tempatnya bekerja sebagai freelancer. Diandra mendesah ketika menyadari air di gelasnya telah habis, padahal ia sedang haus. Ia juga menghela napas berat saat melihat jam meja digital di samping kotak pensilnya yang memperlihatkan angka satu. Dengan malas ia merapikan meja kerjanya sebelum berdiri dan keluar kamar. Ia ingin ke dapur untuk minum air sekaligus mengi
Damar mengernyit saat mendengar permintaan atasannya yang sangat tidak biasa. Ia diminta membeli bunga mawar berwarna pink sebanyak 99 tangkai. Andai saja Damar tidak mengetahui kondisi Hans yang tengah dipengaruhi oleh hormon kehamilan Diandra, sudah pasti ia akan menertawakan atasannya tersebut. Selain menjadi atasannya, Hans juga merupakan sahabatnya. Persahabatannya memang tidak sedekat antara hubungan Hans dengan Felix, mengingat perbedaan status mereka.Damar menyadari jelas posisi dan statusnya. Ia hanyalah seorang anak asisten rumah tangga yang sangat beruntung diizinkan tinggal di kediaman keluarga Narathama. Sebelumnya ia tinggal bersama ayahnya yang menderita gagal ginjal di sebuah kontrakan kecil, sedangkan ibunya bekerja di kediaman orang tua Hans sebagai asisten rumah tangga. Awalnya orang tua Hans beberapa kali meminta ayahnya agar bersedia tinggal di salah satu paviliun keluarga Narathama yang letaknya di belakang kediaman utama, tapi sang ayah menolaknya karen
Di tengah-tengah aktivitasnya menonton televisi di kamar setelah menyelesaikan pekerjaan kantor yang dibawanya ke rumah, Hans kembali merasakan perutnya lapar. Dengan malas Hans beranjak dari posisi nyamannya di atas ranjang. Ia berniat ke dapur mencari camilan untuk mengganjal rasa laparnya, karena tidak mungkin membangunkan Bi Harum yang sedang beristirahat, apalagi kini sudah tengah malam.Hans tersenyum ketika tiba di dapur dan membuka kulkas karena menemukan kotak makanan berukuran tanggung berisi potongan-potongan nugget yang siap digoreng. Ia yakin nugget tersebut sengaja dibuat Bi Harum seperti yang sering dilakukannya di kediaman Narathama. Tanpa membuang waktu, Hans langsung memanaskan minyak dan mengeluarkan kotak tersebut dari kulkas. Ia akan menggoreng semuanya agar rasa laparnya hilang.“Aku kira nugget udang, ternyata ayam,” Hans bergumam saat mencicipi nugget yang sudah ditiriskan. “Tapi enak juga,” komentarnya.Setelah semua nugget tersebut matang
Diandra tidak memusingkan pertemuannya yang tanpa sengaja dengan Hans dan Deanita di kafe seminggu lalu. Ia dan Hans pun tidak pernah berkomunikasi meski tinggal di atap yang sama. Untungnya Bi Harum tidak jadi kembali ke kediaman Narathama, setelah Allona marah besar mengetahui keputusan Hans. Selain itu, Allona juga kecewa padanya karena tidak memberitahukan mengenai acara wisudanya.Diandra tengah memeriksa kembali barang yang akan dibawanya ke kediaman Narathama sambil menunggu kedatangan Lavenia menjemputnya. Karena Hans sedang ada perjalanan bisnis ke Jepang selama beberapa hari ke depan, jadi Diandra diminta tinggal di kediaman Narathama oleh Allona. Awalnya ia menolak permintaan Allona, mengingat di rumah sudah ada Bi Harum yang akan menemaninya. Namun, akhirnya ia menyanggupinya setelah mendengar Allona meminta Lavenia menemaninya. Selain itu, Bi Harum juga diminta ikut ke kediaman Narathama untuk sementara waktu.“Nyonya, Nona Ve sudah datang,” Bi Harum memberi
Hans menginstruksikan Damar agar langsung menuju kediaman Narathama setelah mereka tiba di bandara. Ia akan memberikan oleh-oleh yang sudah dibelinya terlebih dulu kepada ibu dan adiknya, sekaligus ingin makan siang bersama. Selain itu, ia juga ingin memberi kabar menggembirakan kepada keluarganya tersebut mengenai hasil pertemuannya di Jepang. Setelah berhasil melebarkan sayap perusahaannya di Singapura dan Thailand, kini usahanya dalam merambah Jepang pun sudah membuahkan hasil seperti yang diharapkan.“Dam, nanti kamu bicarakan saja dengan Mama mengenai konsep pesta perusahaan tahun ini. Apa pun konsep yang Mama mau, aku akan menyetujuinya,” ujar Hans sambil melihat keluar jendela.“Baik, Tuan,” jawab Damar. Ia mengernyit ketika melihat mulut Pak Amin, sopir di kediaman Narathama berbicara tanpa bersuara. Seperti menyampaikan sesuatu padanya, tapi takut diketahui Hans. “Apa yang ingin dikatakannya?” batinnya bertanya-tanya.“Dam, nanti tolong temui Dea dan berik
Merasa jenuh dengan suasana tempat tinggalnya, Diandra berencana berkunjung ke rumah neneknya dan menginap di sana selama beberapa hari. Ia sangat merindukan udara sejuk di sekitar rumah neneknya yang memang berada di dataran tinggi, lebih tepatnya di Puncak, Bogor. Awalnya Diandra akan pergi sendirian, tapi saat ia memberitahukan rencananya kepada Helena, sahabatnya tersebut ingin mengantar dan menemaninya. Meski sempat menolak, tapi pada akhirnya Diandra mengizinkan setelah Helena bersikukuh ingin mengantar dan menemaninya. Andaikan hari libur, ia juga ingin mengajak Mayra dan Sonya, agar mereka sama-sama bisa menikmati sejuknya udara pegunungan.“Bi, aku berangkat dulu ya,” Diandra berpamitan setelah Helena menjemputnya.“Hati-hati, Nyonya. Kabari Bibi jika Nyonya sudah sampai,” pinta Bi Harum sebelum Diandra memasuki mobil Helena.Diandra mengangguk dan tersenyum. “Nanti pulangnya aku belikan Bibi oleh-oleh,” ucapnya sambil melambaikan tangannya setelah berada
Diandra meletakkan buket bunga mawar putih yang dirangkainya sendiri di atas makam milik Rossaline Lidya. Ternyata neneknya tadi meminta ditemani berkunjung ke tempat peristirahatan terakhir mendiang tantenya. Bunga mawar putih tersebut dipetiknya langsung dari kebun milik neneknya sendiri. Diandra merasa dari dulu hingga kini kebun tersebut tetap sama, yaitu hanya dipenuhi oleh bunga mawar putih. Ia memang mengetahui alasan sang nenek mengisi kebunnya hanya dengan bunga mawar putih, tidak lain karena mendiang tantenya sangat menyukai bunga tersebut. Selain di tempat peristirahatan terakhir milik tantenya, Diandra juga meletakkan bunga mawar putih tersebut di makam kakeknya, yang letaknya bersebelahan.Setelah menyapa anggota keluarganya yang telah lebih dulu menghadap Sang Pencipta, Diandra mengajak neneknya kembali pulang. Selain karena sudah cukup sore, rintik-rintik hujan yang mengenai kulit mereka pun menjadi alasan Diandra bergegas meninggalkan area pemakaman.“Dee
Setelah memastikan mobil yang ditumpangi orang tuanya meninggalkan halaman rumah, Deanita segera mencari Bi Asih dan menyuruhnya mengeluarkan barang-barang milik Diandra dari kamarnya. Tanpa sepengetahuan ibunya dan atas izin Bi Asih, ia menyembunyikan semua barang milik Diandra di kamar asisten rumah tangganya tersebut. Ia sengaja menolak ajakan ibunya yang memintanya ikut berkunjung ke rumah sang nenek.“Bi, masukkan semuanya ke bagasi mobilku ya,” pinta Deanita kepada Bi Asih.Bi Asih mengangguk. “Kalau boleh Bibi tahu, barang-barang milik Non Dee akan Nona mau bawa ke mana?” tanyanya penuh keberanian.Walau Deanita dan Diandra diketahuinya selama ini tidak pernah terlibat perseteruan secara langsung, tapi Bi Asih tetap mewaspadai jika putri sulung keluarga Sinatra mempunyai niat terselubung.“Mau aku antarkan ke rumah Dee, Bi,” Deanita menjawabnya sambil membaca pesan di ponselnya. “Bibi mencurigaiku?” tebaknya setelah mengalihkan perhatian dari ponselnya